Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolic


dengan karateristik hiperglikemi yang terjadi karena kelaian sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua – duanya. Hiperglikemi diabetic kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi ginjal, saraf, jantung
dan pembuluh darah.1
Saat ini penelitian epidemiologi menunjukan adanya kecenderungan
peningkatan angka insidensi dan prevalensi (WHO) memprediksi adanya
peningkatan jumlah penyandang DM yang menjadi salah satu ancaman kesehatan
global.2
Secara epidemiologi diabetes sering kali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
dini. Faktor resiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah
bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih banyaknya obesitas, distribusi lemak
tubuh, kurangnya aktifitasjasmani dan hiperinsulinemia.semua faktor ini
berinteraksi dengan beberapa faktor yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe
2.1
WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari
8,4 pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Laporan ini
menunjukan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat
pada tahun 2035.2
Diabetes meltus merupakan penyakit sistemik yang dapat mengakibatkan
disfungsi berbagai organ tubuh. Gangguan fungsi saluran cerna merupakan
masalah yang sering ditemui pada penderita diabetes mellitus dan berkaitan
dengan terjadinya disfungsi neurogenic dari saluran cerna.3
Istilah gastroparesis diabetikum pertama kali digunakan oleh Kassender
terhadap keadaan retensi lambung yang di jumpai pada penderita diabetes yang
asimptomatik. Gastroparesis diabetic dapat terjadi pada penderita IDDM maupun
NIDDM. Di perkirakan keterlambatan waktu pengosongan lambung dijumpai
pada sekitar 50 %penderita IDDM maupun NIDDM.3
Presentasi klinis gastropati diabetik tidak spesifik dan dapat tumpang
tindih dengan gangguan struktural dan dispepsia fungsional seperti Mual, muntah
, kembung, rasa kenyang , dan ketidak nyamanan pada perut, gejala yang paling
umum adalah nyeri perut, yang mungkin disebabkan oleh distensi lambung atau
retensi.4

Suatu studi menunjukkan bahwa diabetes mellitus merupakan penyebab


kedua tersering dari gastroparesis (24%) setelah idiopatik (33%), sedangkan
penyakit tersering lainnya adalah paska operasi lambung (19%). Dari hasil
berbagai laporan disimpulkan bahwa sekitar 30 – 60 % penderita diabetes
mengalami keterlambatan waktu pengosongan lambung, dan bahwa prevalensi
keterlambatan pengosongan lambung diperkirakan sama pada penderita IDDM
maupun NIDDM.
BAB II
LAPORAN KASUS

2. 1 Identitas Pasien
Nama : Ny.F
Umur : 55 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Status perkawinan : Menikah
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Teluk kenali, Kec. Telanai pura
Agama : Islam
MRS : 29 Mei 2018

Tanggal pengambilan CRS : 30 Mei 2018

2. 2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan berdasarkan Autoanamnesis
Keluhan utama
Nyeri pada perut ±3 hari SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke rumah sakit Raden Mattaher pada 29 Mei 2018
pukul 19.39 dengan keluhan nyeri pada perut sejak 3 hari sebelum masuk
rumah sakit, nyeri terasa di ulu hati dan hilang timbul.
Pasien mengeluh badan terasa lemas dan nafsu makan menurun, mual
(+) Muntah 1 kali waktu perjalanan ke rumah sakit (+) muntah darah (-),
demam (-)
Selain itu, Pasien mengeluh BAB cair sebanyak 2 kali sehari sebelum
masuk rumah sakit dan masih ada ampas , lendir (-), darah (-). BAK dalam
batas normal, darah (-), pasir (-).
Selain itu pasien juga mengeluh kaki kesemutan dan pandangan kabur
sejak 4 tahun yang lalu, sejak pasien mengalami penyakit diabetes melitus.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat keluhan yang sama (+) dan sudah berobat namun tidak
ada perubahan namun obat yang diminum pasien tidak ingat.
 Riwayat magh (-)
 Riwayat kencing manis (+) sejak 4 tahun yang lalu dan pasien
minum obat glibenclamid 1x1 sebelum makan
 Riwayat hipertensi (+) sejak 1 tahuan yang lalu namun tidak
terkontrol
 Riwayat sakit kuning (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang serupa.
 Riwayat kencing manis (+) pada kakak kandung
 Riwayat hipertensi (+) pada suami
 Riwayat stroke (+) pada suami
Riwayat Pekerjaan dan Sosial
Pasien seorang ibu rumah tangga, Pasien sudah menikah dan memiliki 4
orang anak, 3 perempuan dan 1 laki-laki.
Pasien gemar makan makanan pedas, riwayat merokok (-), minum alcohol
(-), riwayat minum kopi (-), riwayat minum-minum jamu (+) setelah pasien
melahirkan.

2.1 Pemeriksaan Fisik (31 mei 2018)


VITAL SIGN (KEADAAN UMUM)

A. Suhu : 37,oC Nadi : 70 x/I Tekanan darah : 150/90


mmHg
B. Pernafasan : reguler frekuensi : 24x/i Jenis : Thorakoabdominal
C. Tinggi Badan : Berat badan : IMT :
D. Keadaan umum : Baik Sedang Buruk
E. Keadaan Sakit : Tidak tampak sakit
Ringan Sedang Buruk

F. Sianosis : Tidak ada Dehidrasi : Tidak ada


G. Edema Umum : Tidak ada
H. Dugaan umur : Sesuai Habitus : Dalam batas
normal
I. Cara berbaring : Aktif
J. Cara berjalan : Bisa berjalan

KULIT Warna : Sawo Matang


Efloresensi : Tidak ada
Pigmentasi : Dalam batas normal
Turgor : Dalam batas normal
Jaringan parut : Terdapat pada punggung kaki kanan
Ikterus :-
Lembab kering : Lembab
KEPALA Ekspresi muka : Biasa
Deformitas : Tidak ada
Simetri muka : Simetris
Rambut : Pertumbuhan rambut merata, mudah dicabut(-)
Pembuluh darah temporal : teraba
Nyeri tekan syaraf : (-)
MATA Exophtalmus/enophtal: Tidak ada
Conjungtiva : Anemis(-/-)
Sklera : Ikterik (-/-)
Gerakan kedua belah mata : Normal tidak ada batasan
Kornea : Xeroftalmus (-), ulkus(-)
Pupil : isokor (+/+) , bulat, ukuran 3mm-3mm, reflek
cahaya (+/+)
Visus : kanan : 5/60, kiri: 5/60
TELINGA Lubang : Serumen (+/+) minimal Pendengaran : Baik
Cairan : Tidak ada
Nyeri tekan di proc mastoideus : (-/-)

HIDUNG Bagian luar : Deformitas (-) Septum : deviasi(-)


Penyumbatan : (-) Ingus : Tidak ada
Pendarahan : (-)

MULUT Bibir : Sianosis (-), kering (-), luka pada sudut mulut
(-), ulkus (-), bercak (-)
Palatum : Ulkus (-)
Gusi : Hiperemis (-), bengkak (-), berdarah (-)
Selaput Lendir : (-)
Lidah : Kotor (-), Atropi (-)
FARING
Tonsil : Hiperemis (-), T1/T1, Abses (-)

LEHER
Inspeksi : JVP 5-1
Palpasi : pembesaran KGB dan kel.tiroid (-)
Kaku kuduk : tidak ada

DADA Bentuk : Simetris, lesi (-) retraksi dinding dada (-)


Buah dada : Nodul (-), nyeri (-), ginekomastia (-/-)

PARU-PARU
Inspeksi :
 Dalam pernafasan : normal
 Jenis pernafasan : thorako-abdominal
 Kecepatan pernafasan : 24x/menit
Palpasi: fremitus vokal sama dextra dan sinistra, nyeri tekan (-), krepitasi (-)
Perkusi : Sonor dextra dan sinistra.
Auskultasi : Vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronchi (-/-)

JANTUNG
Inspeksi (Iktus Cordis) : Tidak terlihat
Palpasi(Iktus Cordis) :
 Tempat : ICS V linea midclavikula sinistra
 Luas : 2 cm
 Kuat angkat : normal
Perkusi : Batas jantung :
 Kiri : ICS V Linea midclavicular sinistra
 Kanan : ICS 4 linea parasternalis dextra
 Atas : ICS 2 linea parasternalis sinistra
Auskultasi
 Bunyi jantung : BJ 1/2 reguler, murmur (-), gallop (-)
 Frekuensi : 70x/menit
Pembuluh darah :
A. Temporalis : teraba A. Femoralis : tidak dilakukan
A.Carotis : teraba A. Poplitea : teraba
A.Brachialis : teraba A. Tibialis Posterior : teraba
A.Radialis : teraba A. Dorsalis pedis : teraba

PERUT
Inspeksi : Datar, Striae (-), Venektasi (-), peristaltik usus (-),
distensi (-), spider naevi (-), luka bekas operasi (-)
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (+)
 Hati : Tidak teraba
 Limpa : Tidak teraba
 Ginjal : Tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : BU (+) normal

PUNGGUNG
 Inspeksi : Simetris, Lesi (-)
 Palpasi : Nyeri tekan (-)
 vocal fremitus kanan - kiri : Normal
 Perkusi : Sonor kanan/kiri
 Gerakan : Simetris, tidak ada bagian yang tertinggal
 Lain-lain : (-)

ALAT KELAMIN :
Perempuan : TIDAK DILAKUKAN

TANGAN :
Warna : Sianosis (-)
Tremor : Tidak ada
Lain –lain : palmar eritem (-)

TUNGKAI DAN KAKI :


Luka : (-) Varices : tidak ada
Otot : atropi
Sendi : nyeri (-) Gerakan : Normal
Kekuatan tangan : 5/5
Kekuatan Kaki : 5/5
Edema : (-)

REKLEKS
Fisiologik : Normal Kiri : Normal Kanan : Normal
Patologik : tidak ada kiri : tidak ada Kanan : tidak ada
SENSIBILITAS :
Pemeriksaan halus : Sensibilitas sakit ( + )
Sensibilitas raba ( + )
Sensibilitas suhu : Tidak Dilakukan.

2.3 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Pemeriksaan Penunjang di Rumah Sakit Raden Mattaher
1. Darah Rutin

Jenis 29 30 2 Normal
Pemeriksaa mei mei juni
n
WBC 2,06 2,28 6,44 (4-10,0 103/mm3)
RBC 4,58 4,12 4,12 (3,5-5,5 106/mm3)
HGB 12,5 11,6 11,4 (11,0-16 g/dl)
HCT 36,8 33 33.5 (35,0-50,0 %)
PLT 128 101 138 (100-300 103/mm3)
MCV 80,3 80,2 81,2 (80-100 fl)
MCH 27,3 28,2 27,7 (27-34 pg)
MCHC 340 352 340 (320-360g/dl)

2. Elektrolit
Parameter 29 mei 30 mei Harga Normal
Natrium (Na) 125,18 135,44 (135-148)
Kalium (K) 3,69 4,11 (3.5-5.3)
Chlorida (Cl) 102,50 108,19 (98-110)
Calcium (Ca+) 1,14 1,45 (1.19-1.23)

3. Kimia Darah

Parameter 29 mei 30 mei Harga Normal


FAAL HATI
4.
SGOT - 37 <40
SGPT - 21 <41
FAAL GINJAL (26 Mei 2018
Ureum 19 - (15-39 mg/dl)
Kreatinin 0,8 - (L 0,9-1.3; P 0,6-1,1 mg/dl)
Apusan Darah Tepi (2-6-2018)

KESAN
Eritrosit Normositik Normokromik
Leukosit Jumlah dalam batas normal
Trombosit Jumlah cukup, penyebaran
merata
Kesimpulan : Morfologi sel darah dalam batas normal

2.1 Diagnosa kerja

Primer
DM tipe II dengan Susp. Gastropati DM
Sekunder
 Hipertensi Stage II
 Hiponatremi
 Leukopenia
 Neuropati

2.2 Diagnosis Diferensial


 Sidrom dyspepsia
 GERD
 Pankreatitis
 Colilitiasis

2.3 Pemeriksaan yang Dianjurkan


 Endoskopi
 USG abdomen
 Foto polos abdomen 3 posisi
 Scintigraphic
 Elektrogastrographi

2.4 Tatalaksana
1. Non Medikamentosa
 Istirahat
 Edukasi tentang penykit pasien
 Diet lambung III

2. Medikamentosa
 IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
 Inj. Ceftazidin 2x1
 Inj. Omeprazole 1x40 mg
 Inj. Metoclopramide 3x1
 Sucralfat syr 3x1
 Metformin 1x500 mg
 Glimepiride 1x1 mg

2.5 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad malam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam` : Dubia ad malam
FOLLOW UP PASIEN
Tanggal 30 Mei 2018
S : Badan terasa lemas, nyeri ulu hati
O : TD = 120/70 mmHg, N = 80x/mnt, RR = 20 x/mnt, T = 36,5°C
Nyeri tekan epigastrium
GDPP = 09.00 : 227 mg/dl
A: DM Tipe 11 + Gasropati DM + Hipertensi stage 2 + Hiponatremi + Neuropati
P:
1. IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
2. Inj.Omeprazole 1x40mg
3. Inj. Ceftazidin 2x1g
4. Inj. Metoclopramide 3x10mg
5. Sucralfate syr 3x1C
6. Diet DM 1700 kal

Saran Pemeriksaan:
1. Cek GDN/PP

Tanggal 31Mei 2018


S : Badan terasa lemas sedikit berkurang, nyeri pada epigastrium
O : TD = 110/80 mmHg, N = 60 x/mnt, RR = 20 x/mnt, T = 37 C
Nyeri tekan epigastrium
GDN : 06.00 : 169
GDPP : 09.30 : 263
A: DM tipe II + Gastropati + Hipertensi terkontrol + hiponatremi teratasi +
Neuropati
P:
1. IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
2. Inj.Omeprazole 1x40mg
3. Inj. Ceftazidin 2x1g
4. Inj. Metoclopramide 3x10mg
5. Sucralfate syr 3x1C
6. Glimepiride 1x1 mg sebelum makan
7. Metformin 1x500mg sesudah makan
Rencana pemeriksaan ASDT
Tanggal 01 Juni 2018
S : Badan terasa lemas (-), Nyeri ulu hati (-)
O : TD = 130/80 mmHg, N = 86 x/mnt, RR = 20 x/mnt, T = 36,5°C
Nyeri tekan epigastrium (-)
A: DM tipe II + Gastropati + hipetensi terkontrol + hiponatremi teratasi +
neuropati teratasi
P:
1. IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
2. Inj.Omeprazole 1x40mg
3. Inj. Ceftazidin 2x1g
4. Inj. Metoclopramide 3x1mg
5. Sucralfate syr 3x1C
6. Glimepiride 1x1 mg
7. Metformin 1x500mg

Tanggal 02 Juni 2018


S : Badan terasa lemas (-), nyeri epigastrium (-), nyeri tekan epigastrium (-), nyeri
pada bekas infus lengan kiri, nyeri tekan dan bernanah
O : TD = 130/70 mmHg, N = 70x/mnt, RR = 21 x/mnt, T = 36,3°C

A: DM tipe II + gastropati + hipertensi terkontrol + hiponatremi teratasi +


neuropati teratasi + phlebitis di dorsum manus sinistra
P:
1. IVFDNacl 0,9% 20 tpm
2. Inj.Omeprazole 1x40mg
3. Inj. Ceftazidin 2x1g
4. Inj. Metoclopramide 3x10mg
5. Sucralfate syr 3x1C
6. Glimepiride 1x1 mg sebelum makan
7. Metformin 1x500mg sesudah makan
8. As. Fusidat 3x1 cream
keluar hasil pemeriksaan ASDT : morfologi sel darah dalam batas normal
Anjuran pemeriksaan : Darah rutin dan GDN/PP
Tanggal 03 Juni 2018
S : nyeri pada luka bekas infus, badan lemas (-)
O : TD = 130/70 mmHg, N = 72 x/mnt, RR = 20 x/mnt, T = 36°C
Nyeri tekan pada lokasi infus, nyeri tekan epigastrium (-)
GDN : 202 jam 06.00
GDPP: 279 jam 10.00
A: DM tipe II + gastropati + hipertensi terkontrol + hiponatremi teratasi +
neuropati teratasi + phlebitis di dorsum manus sinistra
P:
1. IVFD Nacl 0,9% 20 tpm
2. Inj.Omeprazole 1x40mg
3. Inj. Ceftazidin 2x1g
4. Inj. Metoclopramide 3x10mg
5. Sucralfate syr 3x1C
6. Glimepiride 1x1 mg sebelum makan
7. Metformin 1x500mg sesudah makan
8. As. Fusidat 3x1 cream

Tanggal 04 Juni 2018


S : Nyeri ulu hati , nyeri pada bekas infus sudah berkurang
O : TD = 120/70 mmHg, N = 62 x/mnt, RR = 20 x/mnt, T = 36°C
Nyeri tekan pada lokasi infus, nyeri tekan epigastrium (+)

A:DM tipe II + gastropati + hipertensi terkontrol + hiponatremi teratasi +


neuropati teratasi + phlebitis di dorsum manus sinistra
P:
1. IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/m
2. Inj.lovemir 14 U
3. Cefadroksil 500 mg 3x1
4. Cilostazol 100 mg 2x1
5. Vit. B12 3x1
6. Glimepiride 1x2mg sebelum makan
7. Metformin 500mg 3x1 sesudah makan
8. Asam fusidat 3x1 cream
Intruksi cek GDN

5 juni 2018
S : Nyeri ulu hati sudah berkurang , nyeri pada bekas infus sudah berkurang
O : TD = 130/80 mmHg, N = 68 x/mnt, RR = 20 x/mnt, T = 37°C
Nyeri tekan pada lokasi infus udah tidak ada, nyeri tekan epigastrium
berkurang
GDN : 95 jam 06.30
A: DM tipe II terkontrol + gastropati + hipertensi terkontrol + hiponatremi teratasi
+ neuropati teratasi + phlebitis teratasi
P:
1. IVFD Nacl 0,9% 20 gtt/m
2. Inj.lovemir 14 U
3. Cefadroksil 500 mg 3x1
4. Cilostazol 100 mg 2x1
5. Vit. B12 3x1
6. Glimepiride 1x2mg sebelum makan
7. Metformin 500mg 3x1 sesudah makan

Pasien pulang
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Diabetes Melitus Tipe 2

3.1.1 Definisi Diabetes Melitus Tipe 2

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.2
Secara epidemiologic diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan
onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan,
sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi
ini. Factor resiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah
bertambahanya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak
tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua factor ini
berinteraksi dengan beberapa factor genetic yang berhubungan dengan terjadinya
DM tipe 2.1
3.1.2 Patogenesis DM Tipe 21

Resistensi insulin pada otot dan liver serta kegagalan sel beta pankreas
telah dikenal sebagai patofisiologi kerusakan sentral dari DM tipe 2. Belakangan
diketahui bahwa kegagalan sel beta terjadi lebih dini dan lebih berat daripada
yang diperkirakan sebelumnya. Selain otot, liver dan sel beta, organ lain seperti:
jaringan lemak (meningkatnya lipolisis), gastrointestinal (defisiensi incretin), sel
alpha pancreas (hiperglukagonemia), ginjal (peningkatan absorpsi glukosa), dan
otak (resistensi insulin), ke semua nya ikut berperan dalam menimbulkan
terjadinya gangguan toleransi glukosa pada DM tipe – 2. Delapan organ penting
dalam gangguan toleransi glukosa ini (ominous octet) penting dipahami karena
dasar patofisiologi ini memberikan konsep tentang :
1. Pengobatan harus ditujukan guna memperbaiki gangguan patogenesis,
bukan hanya untuk menurunkan HbA1c saja
2. Pengobatan kombinasi yang diperlukan harus didasari atas kinerja obat
pada gangguan multiple dari patofisiologi DM tipe 2.
3. Pengobatan harus dimulai sedini mungkin untuk mencegah atau
memperlambat progresivitas kegagalan sel beta yang sudah terjadi pada
penyandang gangguan toleransi glukosa DeFronzo pada tahun 2009
menyampaikan, bahwa tidak hanya otot, liver dan sel beta pankreas saja
yang berperan sentral dalam patogenesis penderita DM tipe – 2 tetapi
terdapat organ lain yang berperan yang disebutnya sebagai the ominous
octet (gambar 1)

Gambar 3.1. The ominous octet, delapan organ yang berperan dalam patogenesis
hiperglikemia pada DM tipe 21
Secara garis besar patogenesis DM tipe-2 disebabkan oleh delapan hal
(omnious octet) berikut :
1. Kegagalan sel beta pancreas:
Pada saat diagnosis DM tipe-2 ditegakkan, fungsi sel beta sudah
sangat berkurang. Obat anti diabetik yang bekerja melalui jalur ini adalah
sulfonilurea, meglitinid, GLP-1 agonis dan DPP-4 inhibitor.
2. Liver :
Pada penderita DM tipe-2 terjadi resistensi insulin yang berat dan
memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam keadaan basal
oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat. Obat yang
bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan proses
gluconeogenesis.
3. Otot :
Pada penderita DM tipe-2 didapatkan gangguan kinerja insulin
yang multiple di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin
sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan
sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di
jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.
4. Sel lemak :
Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,
menyebabkan peningkatan proses lipolysis dan kadar asam lemak bebas
(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FA akan merangsang
proses glukoneogenesis, dan mencetuskan Resistensi insulin di liver dan
otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang
disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja
dijalur ini adalah tiazolidindion.
5. Usus :
Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar
dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai
efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like
polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide
atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita DM tipe-2
didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP. Disamping hal
tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan ensim DPP-4, sehingga
hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja menghambat
kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran pencernaan juga
mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui kinerja ensim
alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi monosakarida yang
kemudian diserap oleh usus dan berakibat meningkatkan glukosa darah
setelah makan. Obat yang bekerja untuk menghambat kinerja ensim alfa-
glukosidase adalah akarbosa.
6. Sel Alpha Pancreas :
Sel-α pancreas merupakan organ ke-6 yang berperan dalam
hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi dalam
sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam plasma
akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam keadaan basal
meningkat secara signifikan dibanding individu yang normal. Obat yang
menghambat sekresi glukagon atau menghambat reseptor glucagon
meliputi GLP-1 agonis, DPP-4 inhibitor dan amylin.
7. Ginjal :
Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam
pathogenesis DM tipe-2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram glukosa
sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan diserap
kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose co-Transporter) pada
bagian convulated tubulus proksimal. Sedang 10% sisanya akan di
absorbsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,
sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urine. Pada penderita DM
terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat kinerja
SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di tubulus
ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urine. Obat yang bekerja
di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah satu contoh
obatnya.
8. Otak :
Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu
yang obes baik yang DM maupun non-DM, didapatkan hiperinsulinemia
yang merupakan mekanisme kompensasi dari resistensi insulin. Pada
golongan ini asupan makanan justru meningkat akibat adanya resistensi
insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang bekerja di jalur Ini adalah
GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

3.1.3 Diagnosis DM Tipe 21

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.


Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara
enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat
dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan
glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan


adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:
 Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
 Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi
ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.
Tabel 3.2. Kriteria Diagnosis DM

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM


digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).
 Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa
plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa
plasma 2-jam <140 mg/dl;
 Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma
2-jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa
<100 mg/dl
 Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT
 Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4%.

Tabel 3.3. Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis daibetes dan
prediabetes.

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) :


1. Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan (dengan karbohidrat
yang cukup) dan melakukan kegiatan jasmani seperti kebiasaan sehari-
hari.
2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,
minum air putih tanpa glukosa tetap diperbolehkan .
3. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah puasa.
4. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 mL dan diminum dalam waktu 5 menit.
5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2
jam setelah minum larutan glukosa selesai.
6. Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban
glukosa.
7. Selama proses pemeriksaan, subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.

3.2 Gastropati Diabetikum

3.2.1 Anatomi Lambung5

Lambung terletak pada bagian atas abdomen, dari regio hipochondrium

kiri sampai regio epigastrium dan regio umbilikalis. Sebagian besar

lambung terletak di bawah iga-iga bagian bawah. Secara kasar lambung

berbentuk huruf J dan mempunyai dua lubang, ostium cardiacum dan

ostium pyloricum, dua curvatura yang dikenal sebagai curvatura major dan

minor, dan dua permukaan anterior dan posterior. Lambung relatif

terfiksasi pada kedua ujungnya, tetapi diantara ujung-ujung tersebut sangat

mobile. Lambung cenderung terletak tinggi dan transversal pada orang

yang pendek dan gemuk (lambung steer-horn) dan memanjang secara

vertikal pada orang yang tinggi dan kurus (lambung berbentuk huruf J).

Bentuk lambung sangat berbeda-beda pada orang yang sama tergantung

pada volume isinya, posisi tubuh dan fase pernafasan.

Lambung terbagi atas beberapa bagian, yaitu sebagai berikut :

1. Fundus, berbentuk kubah dan menonjol ke atas dan terletak di sebelah

kiri ostium cardiacum. Biasanya fundus terisi penuh oleh gas.


2. Corpus, dari setinggi ostium cardiacum sampai setinggi incisura

angularis, suatu lekukan yang selalu ada pada bagian bawah curvatura

minor.

3. Antrum pyloricum, adalah bagian lambung yang paling berbentuk

lambung. Dinding ototnya yang tebal membentuk sphincter pyloricum.

Rongga pylorus dinamakan canalis pyloricus.

Gambar 3.4 Bagian Lambung

Pada lambung, terdapat curvatura minor yang membentuk pinggir kanan

lambung dan terbentuk dari ostium cardiacum sampai pylorus. Omentum

minus terbentang dari curvatura minor sampai hati. Curvatura major jauh

lebih panjang dari curvatura minor dan terbentang dari sisi kiri ostium

cardiacum, melalui kubah fundus dan kemudian mengitarinya dan menuju

ke kanan sampai bagian inferior pylorus. Ligamentum (omentum)


gastrolienalis terbentang dari bagian atas curvatura major sampai limpa, dan

omentum majus terbentang dari bagian bawah curvatura major sampai colon

transversum.

Ostium cardiacum merupakan tempat dimana oesophagus bagian abdomen

masuk ke lambung. Walaupun secara anatomis tidak ada sphincter, diduga

bahwa terdapat mekanisme fisiologis yang mencegah regurgitasi isi lambung

ke oesophagus.Ostium pyloricum dibentuk oleh canalis pyloricus yang

panjangnya sekitar 2,5 cm. Otot sirkular yang meliputi lambung jauh lebih

tebal di sini dan secara anatomis dan fisiologi membentuk sphincter

pyloricum. Pylorus terletak pada bagian transpilorica dan posisinya dapat

dikenali dengan adanya sedikit kontraksi pada permukaan lambung.

Sphincter pyloricum mengatur kecepatan pengeluaran isi lambung ke

duodenum. Membran mukosa adalah tebal dan banyak pembuluh darah dan

terdiri atas banyak lipatan atau rugae yang terutama longitudinal arahnya.

Lipatan memendek bila lambung teregang.

Dinding otot lambung mengandung serabut longitudinal, serabut sirkular

dan serabut obliq. Serabut longitudinal terletak paling superfisial dan paling

banyak sepanjang curvatura. Serabut sirkular yang lebih dalam mengelilingi

fundus lambung dan sangat menebal pada pylorus untuk membentuk

sphincter pyloricum. Serabut sirkular jarang sekali ditemukan pada daerah

fundus. Serabut obliq membentuk lapisan otot yang paling dalam. Serabut

ini mengitari fundus dan berjalan turun sepanjang dinding anterior dan

posterior, berjalan sejajar dengan curvatura minor. Peritoneum mengelilingi


lambung secara lengkap dan meninggalkan curvatura sebagai lapisan ganda

yang dikenal sebagai omentum.

Batas-batas lambung :

Anterior

Dinding anterior abdomen, arcus costae kiri, pleura dan paru kiri, diafragma

dan lobus kiri hepar.

Posterior

Bursa omentalis, difragma, limfa, kelenjar suprarenal kiri, bagian atas ginjal

kiri, A.lienalis, pankreas, mesocolon transversum dan colon transversum.

3.2.2 Definisi Gatropati Diabetikum

Tidak ada konsensus pasti yang menerangkan definisi gastroparesis

diabetika. Istilah gastroparesis diabetika sering berubah menjadi gastropati

diabetik. Bell et al mendefinisikan gastroparesis diabetik sebagai kelainan

neuropati traktus gastrointestinal yang sering terjadi pada pasien diabetes.

Talley et al menggunakan istilah gastropati diabetikum sebagai sindrom

klinis dari gangguan saluran cerna bagian atas akibat gangguan motilitas

pada pasien diabetes melitus dan didapatkan adanya keterlambatan

pengosogan lambung.4

American Gastroenterological Association (AGA) membuat kesepakatan

bahwa diagnosis gastroparesis harus berdasarkan adanya tanda dan gejala

yang sesuai, keterlambatan pengosongan lambung, serta tidak adanya lesi

obstruktif pada lambung maupun usus halus. Dengan demikian,


gastroparesis diabetik dapat didefinisikan sebagai gastroparesis yang

terjadi pada pasien dengan diabetes melitus dengan kriteria gastroparesis

sesuai dengan yang dijelaskan AGA.4

Sebagian besar pasien mengeluhkan adanya keluhan saluran cerna bagian

atas seperti mual, muntah, kembung, tetapi hubungan antara gejala dengan

gangguan fungsi motorik lemah, dan lebih mengarah pada etiologi yang

multifaktorial. Keluhan rasa penuh dan kembung sering sebagai prediksi

adanya keterlambatan pengosongan gaster, tetapi banyak pasien dengan

gastroparesis yang relative asimtomatik. Gastroparesis asimtomatik sering

timbul pada pasien dengan diabetes melitus.

3.2.3 Patofisiologi Gastropat Diabetikum

Penyebab pasti penundaan pengosongan lambung belum diketahui.

Pengosongan lambung yang normal merupakan integrasi tonik dari fundus,

antrum, serta tahanan dari hasil kontraksi pilorus dan duodenum. Proses ini

merupakan interaksi yang kompleks dari otot polos, sistem saraf otonom,

sel enterik, dan sel-sel pacemaker khusus yang disebut dengan sel

intersetisial Cajala (ICC). Neurotransmiter dan neuroendokrin juga

berperan dalam motilitas lambung. Nitrit okside (NO) merupakan senyawa

yang penting dalam menghambat nonadrenergik, nonkolinergik, dan

neurotransmiter di usus yang ikut berperan dalam mempengaruhi motilitas

lambung. NO berperan dalam tonus otot sfingter osefagus bagian bawah

dan pilorus, mengtur reflek fundus, serta mengatur reflek peristaltik pada

usus. Disfungsi neuron NO pada pleksus mienterikum akan menyebabkan


terjadinya penyakit gastrointestinal, termasuk gastroparesis. CRH

(Corticotropin Releasing Hormon) terbukti dapat menurunkan motilitas

lambung. Aktivitas mioelektrikal pertama kali dicetuskan oleh ICC yang

terdapat pada dinding otot antrum serta corpus gaster selama kurang lebih

3 kali per menit. Gangguan pada fase ini dapat menyebabkan terjadinya

gastroparesis. Faktor lain yang juga mempengaruhi pengosongan lambung

adalah neuropati otonom, neuropati enterik, kelainan ICC, fluktuasi gula

darah yang terjadi tiba-tiba, dan faktor psikosomatis. Selain itu

pengosongan lanbung biasanya terjadi lebih lambat pada keadaan

hiperglikemia dan menjadi lebih cepat selama hipoglikemia. Kelailan

kadar elektrolit (hipokalsemia, hipomagnesemia) dan hormon motilin dan

gastrin juga berpengaruh terhadap terjadinya gastroparesis.3

3.2.4 Penegakkan Diagnosis Gastropati Diabetikum6

1. Gejala Klinis
Diagnosis gastroparesis ditegakkan dengan adanya penundaan

pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi telah disingkirkan

melalui pemeriksaan endoskopi dan pencitraan radiologi. Gejala yang

muncul pada gastroparesis adalah muntah, mual, cepat kenyang,

kembung, tidak nyaman dan nyeri pada perut, serta bersendawa .

Gejala ini menyerupai dispepsia, akan tetapi pada dispepsia

pengosongan lambung terjadi lebih cepat. Oleh karena itu diperlukan

pengukuran terhadap kecepatan pengosongan lambung untuk

membedakan keduanya. Muntah yang terjadi pada gastroparesis harus


dibedakan dengan regurgitasi pada GERD . Pada gastroparesis biasanya

vomitus akan terjadi 30 menit setelah makanan masuk ke dalam

lambung (postprandial regurgitasi).

2. Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya nafas busuk, tetapi

tidak spesifik. Selain itu diperlukan pemeriksaan fisik terhadap tanda-

tanda malnutrisi dan penurunan berat badan.

3. Pemeriksaan Penunjang

Tes pengosongan lambung pada beberapa pasien yang menunjukkan

gejala gangguan gastrointestinal bagian atas diperlukan untuk

menegakkan diagnosa gastroparesis. Hal ini bertujuan untuk

membedakan dengan dengan dispepsia. Pengukuran tekanan dan profil

listrik dari fungsi lambung merupakan pilihan pada sebagian besar

pasien yang telah menderita diabetes.

Gastroparesis diabetik didiagnosis melalui adanya gejala saluran cerna

atas yang mendukung perlambatan pengosongan lambung pada pasien

diabetes, tanpa adanya obstruksi mekanik yang dapat menyebabkan

gejala saluran cerna atas, dan terdapat tanda-tanda perlambatan

pengosongan lambung. Obstruksi usus halus dan lambung disebabkan

oleh massa intraabdomen harus diekslusi menggunakan radiografi

abdomen, computed tomography, dan magnetic resonance imaging.

Endoskopi dibutuhkan untuk menyingkirkan adanya striktur, massa,

atau ulkus. Pemeriksaan yang dibutuhkan untuk menyingkirkan


infeksi, metabolik, dan penyebab imunologis menyebabkan gejala

saluran cerna atas yaitu pemeriksaan darah lengkap, pemantauan

metabolik komprehensif meliputi elektrolit dan tes fungsi hati,

urinalisis, tingkat sedimentasi eritrosit, dan pemeriksaan biokimia dan

imunologis untuk thyroid stimulating hormone. Setelah menyingkirkan

etiologi lain yang mungkin dan obstruksi dengan endoskopi dan

pencitraan abdomen, gastroparesis diabetik didiagnosis dengan

menunjukkan adanya perlambatan pengosongan lambung.

3.2.5 Komplikasi Gastropati Diabetikum

Komplikasi gastroparesis diabetika sangat serius sehingga sedapat

mungkin harus dicegah. Akibat muntah-muntah ataupun regurgitasi

yang berulang-ulang sering terjadi esofagitis yang berat dan luas yang

menyebabkan perdarahan saluran cerna atas yang akut maupun kronis,

dapat pula terjadi robekan esophagus Mallory weiss, pneumonia aspirasi,

malnutrisi maupun gangguan keseimbangan air dan elektrolit. Akibat

terganggunya pengosongan lambung solid non digestible dapat terjadi

pembentukan bezoar di lambung. Gastroparesis juga dapat menyebabkan

terganggunya absorbsi obat oral sehingga menyebabkan fluktuasi kadar

obat dalam darah, hal ini menjadi masalah yang penting bagi penderita

diabetes dewngan obat hipoglikemik oral6.


3.2.6 Penatalaksanaan Gastropati Diabetikum6

Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas hidup,

mencegah komplikasi dan untuk gastroparesis diabetika disertai

terselenggaranya kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini

tindakan pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang

simptomatik, pada yang asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes

yang baik belum diperlukan pengobatan, tetapi lebih ditujukan membantu

mencapai kendali gula darah yang lebih baik dan memperbaiki nutrisi,

pengobatan terhadap kasus asimptomatik dapat diberikan. Terhadap

penderita gastroparesis yang simptomatik sebaiknya dilakukan

penyesuaian diet, yang dianjurkan adalah porsi kecil namun sering,

dengan kadar lemak dan serat yang rendah dan tetap menjaga asupan

kalori yang cukup. Bila cara tersebut tidak menolong dapat diberikan

makanan cair ataupun yang dihomogenesisasi dan pada kasus yang sangat

berat mungkin diperlukan suatu feeding tube ke jejunum untuk nutrisi

enternal.

Secara alami, gejala gastroparesis dapat menyebabkan berkurangnya

intake oral, termasuk berkurangnya intake makronutrien, penurunan berat

badan, dehidrasi, dan defisiensi vitamin dan mineral. Dengan demikian,

tujuan manajemen diet adalah mengembalikan dan mempertahankan status

nutrisi dan secara bersamaan mengurangi keluhan. Pada pasien diabetes,

intervensi diet ditujukan pada untuk mengontrol status glikemik pasien.


Pada gejala sedang sampai berat,kemungkinan dibutuhkan asupan nutrisi

tambahan.

Komponen utama dalam diet yang perlu dievaluasi adalah ukuran partikel,

ukuran makanan, dan kandungan makanan dan lemak dalam makanan.

Alkohol dan minuman berkarbonasi dilarang. Secara keseluruhan dapat

disimpulkan saran untuk diet gastroparesis adalah diet yang sering, ukuran

kecil, makanan rendah serat dan rendah lemak dengan peningkatan intake

nutrisi dalam bentuk cairan.

Jika pengukuran diet dan terapi farmakologi gagal mengurangi keluhan

dan mempertahankan status nutrisi, beberapa bentuk support rute

pemberian makanan perlu dilakukan. Pemberian makanan dengan pompa

nasogastrik perlahan adalah pilihan terapi yang disarankan. Walau dalam

praktiknya, pasien dengan gastroparesis berat jarang yang dapat

mentoleransi volume yang dibutuhkan untuk menentukan kebutuhan

nutrisi mereka ketika makanan diberikan langsung ke dalam lambung.

Pemberian makanan langsung pada gaster dapat mengurangi risiko aspirasi

pada pasien dengan keterlambatan pengosongan lambung. Pemberian

makanan nasojejunum lebih dapat ditoleransi karena melewatkan lambung

yang malfungsi.

Kadar glukosa harus dipertahankan di bawah 180 mg/dl untuk mencegah

inhibisi dari kontrol mioelektris dan gerakan lambung. Mempertahankan

kontrol status glikemik penting karena hiperglikemia menginhibisi aksi

obat prokinetik seperti eritromisin.Obat oral antidiabetik dapat digunakan


pada pasien diabetes tipe 2 dan gastroparesis ringan. Insulin dapat

digunakan pada pasien diabetes melitus tipe I dan pasien dengan

gastroparesis berat.

Penggunaan obat-obat prokinetik untuk meningkatkan kecepatan

pengosongan lambung merupakan pendekatan paling efektif dalam

pengobatan penderita gastroparesis yang simptomatik. Sebelum terapi

prokinetik dimulai seharusnya waktu pengosongan lambung diukur,

namun karena tidak praktis dapat diberikan terapi pengobatan selama 4

minggu, bila symptom tidak berkurang ataupun muncul kembali setelah

terapi dihentikan maka waktu pengosongan lambung harus diukur.

Ada berbagai bahan farmakologik yang memiliki efek prokinetik lambung,

namun obat-obat prokinetik yang secara luas digunakan, dalam mengobati

gastroparesis diabetika adalah metoclopramide, domperidone, cisapride

dan erythromycin. Karena sifat kelainan motorik yang beraneka ragam ada

gastroparesis diabetika maka tidak mungkin untuk memperoleh perbaikan

terhadap seluruh kelainan motorik/sensorik dengan satu obat. Waktu

pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa sehingga kadar

plasma obat. Waktu pemberian obat prokinetik haruslah sedemikian rupa

sehingga kadar plasma puncak dan aktivitas terapeutik bertepatan dengan

waktu makan yaitu setidaknya 30 menit peprandial.

Metoclopramide adalah suatu derivat procainamide merupakan antagonis

reseptor dopamine D2 dan reseptor 5HT3, pelepas acetylcholine dan

inhibitor cholinesterase, memiliki khasiat prokinetik lambung dan anti


emetik dan dapat melewati sawar darah otak. Aktivitas prokinetiknya

diperkirakan berasal dari antagonisme reseptor dopamine lambung

peningkatan pelepasan acetylcholine dari plexus myentericus. Adapun aksi

prokinetiknya antara lain meningkatkan tekanan sfingter esophagus

bawah, menghambat relaksasi fundus, meningkatkan kontraktilitas antrum

dan merelaksasi sfingter pylorus. Aksi metoclopramide pada aktivitas

IMMC masih belum jelas. Aktivitas antiemetiknya adalah berdasarkan

antago-nisme reseptor dopamine sentral pada chemoreceptor trigger zone

dan vomiting center. Metoclopramide dapat menurangi symptom statis

lambung dan memperbaiki pengosongan lambung solid maupun liquid,

namun antara perbaikan symptom dengan pengosongan lambung tidak

berkorelasi. Pada pemakaian yang berke-panjangan efek prokinetiknya

akan menghilang meskipun perbaikan simptomatiknya terus berlangsung.

Metoclopramide dianggap merupakan obat yang paling efektif dalam hal

memperbaiki symptom. Metoclopramide diberikan per oral dengan dosis 5

– 20 mg sebelum makan dan pada waktu tidur. Dapat pula diberikan

melalui intravena, intramuskuler, subkutan, intrarektal maupun

intraperitoneal. Efek samping metoclopramide setidak-tidaknya mengenai

20% penderita, sifatnya tergantung dosis, dan yang tersering adalah

gangguan neurologik dan endokrinologik. Gangguan neurologik berupa

mengantuk, gelisah, cemas, depresi, symptom dystonic (yaitu tardive

dyskinesia, oculogyric crisis, opisthotonus, trismus dan torticollis), dan

symptom parkinsonisme (yaitu tremor, rigidity dan akinesia).


Gangguan endokrinologik antara lain hiperprolaktinemia yang

menyebabkan gynecomastia, mastalgia, galactorrhea dan amenorrhea,

selain itu dapat terjadi peningkatan kadar aldosterone dan thyrotropin dan

penurunan kadar luteinizing hormone, follicle stimulating hormone dan

growth hormone.

Domperidone merupakan derivat benzimidalzole, suatu antagonis reseptor

dopamine yang tidak melewati sawar darah otak. Aksi prokinetik

lambungnya adalah melalui penghambatan reseptor dopamine pada

lambung dan duodenum, sedangkan efek antiemetiknya hanya terjadi pada

chemoreceptor trigger zone. Domperidone efektif dalam mengendalikan

symptom dan memperbaiki pengosongan lambung pada gastoparesis

diabetika. Pemberian secara akut pada pendderita diabetes akan

meningkatkan kecepatan pengosongan solid maupun liquid, sesudah

pengobatan 4 minggu peningkatan pengosongan liquid tetap terjadi namun

pengosongan solid tidak, sedangkan symptom klinis membaik pada

pengobatan akut maupun kronis. Domperidone dapat diberikan melalui

oral, intravena, intramuskuler ataupun intrarektal. Dosis awal oral adalah

10 mg sebelum makan dan malam sebelum tidur, dapat ditingkatkan

menjadi 4 kali 20 mg perhari, dan pada gastroparesis yang berat dapat

ditingkatkan menjadi 4 x 30 mg perhari. Efek samping domperidone

bervariasi dari 2-7%, umumnya adalah mulut kering, sakit kepala, ruam

kulit, gatal, diare, kegelisahan dan gangguan endokrin yang berkaitan

dengan hiperproklaktinemia.
Cisapride merupakan suatu derivat benzamide yang tidak memiliki

sifat antidopaminergik, akan tetapi meningkatkan pelepasan

acetylcholine pada plexus myentericus intestinalis dan juga bersifat

antagonis terhadap reseptor 4 HT3 dan antagonis 5HT4. Cisapride tidak

mempunyai efek antiemetik langsung, namun dapat meningkatkan

amplitudo kontraksi di seluruh bagian saluran cerna sehingga

menguntungkan bagi penderita. Obat ini meningkatkan kontraksi antrum

dan duodenum dan juga meningkatkan koordinasi antroduodenal. Pada

penderita gastroparesis diabetika cisapride dapat memperbaiki

pengosongan lambung liquid, solid maupun non digestible solid, dan

efek perbaikan ini terjadi pada pemberian akut maupun kronis. Dibanding

dengan metoclopramide, cisapride lebih poten dan dianggap sebagai obat

pilihan utama untuk gastroparesis pada saat ini. Cisapride diberikan

melalui oral dengan dosis 5-20mg, sebelum makan dan atau pada

waktu tidur.

Efek samping cisapride jauh lebih sedikit dibanding metoclopramide,

umumnya adalah kram perut, diare dan sakit kepala, biasanya

bersifat sementara dan dapat diatasi dengan pengurangan dosis.

Erythomycin merupakan antibiotik macrolide yang memiliki efek

menyerupai motilin terhadap motilitas saluran cerna, bekerja sebagai

agonis motilin dengan cara berkaitan dengan reseptor motilin pada

antrum dan duodenum bagaian atas, dan aktivitas ini tidak berkaitan

dengan efek antimikrobialnya. Studi inviro menunjukkan bahwa selain


merangsang kontraksi antrum dan duodenum, erythromycin juga

menginhibisi otot pylorus. Pada manusia erythromycin dapat

meningkatkan kontraksi antrum, memperbaiki kontraksi antroduodenal,

mengurangi waktu aktivitas IMMC fase 2 dan merangsang serta

memperpanjang aktivitas IMMC fase 3 (5 kutip). Kao dkk

menyimpulkan bahwa erythromycin efektif terhadap gastroparesis

diabetika karena memperbaiki transit esophagus dan pengo-songan

lambung.

Studi meta analisis mengenai penggunaan obat-obat prokinetik pada

penderita gastroparesis menunjukkan bahwa erythromycin lebih unggul

dibanding cisapride, metoclopramide maupun domperidone dalam hal

mempercepat pengosongan lambung. Pemberian erythromycin 200 mg

intravena kepada penderita gastroparesis diabetika akan memperbaiki

pengosongan lambung solid maupun liquid secara dramatis menjadi

seperti yang terlihat pada orang normal, bila diberi secara oral kali 250

mg selama 4 minggu, perbaikan juga terjadi namun hasilnya kurang

dibanding intravena. Erythromycin tersedia untuk penggunaan oral dalam

bentuk stearat dan etyl succinate. Dosis erythromycin stearst adalah 3 kali

250 mg diberikan 30 – 60 menit sebelum makan. Untuk penggunaan

intravena dalam bentuk lactobionate diberikan sebagai infus selama 30

menit dengan dosis 200 mg, diencerkan dalam larutan garam fisiologis.

Pada orang normal erythromycin dapat menimbulkan efek samping mual,

muntah, kejang abdomen dan diare, sedangkan pemberian yang berlama-


lama sebagai prokinetik akan meningkatkan resiko timbulnya strain

bakteri resisten. Saat ini dikembangkan derivat erythromycin, ER 523,

suatu agonis reseptor motilin yang 18 kali lebih kuat dari

erythromycin namun tidak memiliki aksi antibiotik, dan terbukti

efektif memperpendek waktu pengosongan lambung liquid maupun

solid pada penderita IDDM dengan gastroparesis yang berat.

Ondansentron, antagonis reseptor 5-HT3 dapat digunakan untuk

mengontrol keluhan, tetapi tidak menunjukkan perbaikan dalam

pengosongan lambung. Mirtazipine adalah antidepresan yang aktif pada

resep 5-HT3 dan dilaporkan bermanfaat untuk gastroparesis refrakter

dibandingkan terapi lain. Antidepresan trisiklik juga bermanfaat dalam

sindrom muntah kronik. Ada beberapa gabungan terapi yang sedang dalam

evaluasi penggunaannya untuk gastroparesis. Sebagai contoh, prokinetik

azithromycin dan mitemcinal dapat menstimulasi reseptor motilin.

Ghrelin, suatu hormone peptide yang diproduksi oleh sel entero-endokrin

dalam lambung yang menstimulasi nafsu makan dan meningkatkan gerak

lambung.
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien masuk rumah sakit dengan keluhan nyer pada perut. Setelah dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka diagnosis pasien
ini adalah DM tipe II dengan gastropati diabetic. Diagnosis dari diabetes mellitus
tipe 2 di dapatkan dari anamnesis kaki kesemutan, pandangan kabur dan badan
terasa lemas sesuai dengan yang tertera pada buku ajar ilmu penyakit dalam yang
menyatakan keluhan klasik DM berupa polyuria, polydipsia, polifagia, dan
penurunan berat badan dan keluhan lain berupa badan lemas, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan pruritus vulva. Diagnosis gastropati diabetic di dapat dari
anamnesis nyeri ulu hati, perut terasa penuh dan mual – muntah sesuai dengan
gejala dari gastropati diabetic seperti adanya mual dan muntah, kembung atau
perut terasa penuh.

Berdasarkan dari pemeriksaan fisik dan penunjang yang di dapatkan bahwa


adanya pandangan kabur pada pasien merupakan komplikasi dari diabetes melitus
yang di derita pasien dan dari pemeriksaan gula darah puasa di dapatkan 169 dan
gula darah sewaktu didapatkan 227 dimana kadar gula darah pasien ini meningkat.
Dimana kadar gula darah yang normal pada gula darah puasa < 100, prediabetes
100 – 125, dan diabetes > 126mg/dl kalau pada gula darah sewaktu yang normal <
140, prediabetes 140 – 199 dan diabetes > 200, sehingga disimpulakn bahwa
pasien ini mengalami peningkatan pada kadar gula darah. Untuk mendiagnosis
pasti dari gastropati diabetic pada pasien ini kita harus melakukan pemeriksaan
penunjang dengan tes pengosongan lambung.

Berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang


sehingga di berikan penatalaksanaan infus nacl 0,9 % karena dari pemeriksaan lab
di dapatkan kadar natrium menurun 125,18 dengan nilai normal 135-148,
ceftazidine di berikan sebagai antibiotic, omeprazole diberikan sebagai anti emetic
untuk mengatasi mual dan muntah pada pasien ini, metoclorpramid di berikan
untuk membantuk proses dari pengosongan lambung karna kerja dari obat ini bias
meningkatkan motilitas dari usus, sucralfat di berikan untuk melapisi mukosa
lambung dari infeksi lanjutan, gilepride dan metformin di berikan karna pada
terapi sangat bagus untuk pasien yang gagal dari monoterapi, dan untuk
mengendalikan HbAIc, untuk mengendalikan gula darah sewaktu, gulosa post
prandial dan dapat mencegah terjadinya hipoglike. Dimana kerja dari glimepiride
adalah memperbaiki fungsil sel beta dan menningkatkan sintesis dan rilis dari
insulin di pancreas sedangkan metformin memperbaiki resistensi insulin di hepar,
sel otot dan mengurangi hepatic glucose overproduction (HGO) di hati untuk
menurunkan gluconeogenesis dan glikogenolisis.
BAB V

KESIMPULAN

Gastropati diabetikum sebagai sindrom klinis dari gangguan saluran cerna bagian

atas akibat gangguan motilitas pada pasien diabetes melitus dan didapatkan

adanya keterlambatan pengosogan lambung. Diagnosis gastroparesis ditegakkan

dengan adanya penundaan pengosongan lambung dengan gangguan obstruksi

telah disingkirkan melalui pemeriksaan endoskopi dan pencitraan radiologi

Tujuan penatalaksanaan gastroparesis adalah memperbaiki kualitas

hidup, mencegah komplikasi dan untuk gastroparesis diabetika disertai

terselenggaranya kendali diabetes yang lebih baik. Sampai saat ini tindakan

pengobatan lebih ditujukan kepada kasus-kasus yang simptomatik, pada yang

asimptomatik apalagi dengan kendali diabetes yang baik belum diperlukan

pengobatan, tetapi lebih ditujukan membantu mencapai kendali gula darah yang

lebih baik dan memperbaiki nutrisi, pengobatan terhadap kasus asimptomatik

dapat diberikan.

Anda mungkin juga menyukai