Prinsip 1
Stumulus
Prinsip 2
Mengingat bahwa dalam setiap kasus penyimpangan klinis, pikiran dan perasaan
umumnya tidak kasat mata, sementara manifestasi perbuatan akan lebih tampak jelas,
maka penanganan terapi menjadi mudah terjerumus ke dalam teknik modifikasi
perbuatan semata daripada modifikasi pikiran dan perasaan. Sebagai contoh : dalam
kasus depresi, dokter akan memberikan resep obat anti depresan untuk mengatasi
masalah depresi pasien, dimana gejala depresinya diharapkan segera hilang atau
berkurang. Namun tanpa merubah mekanisme pola pikiran-perasaan-perbuatan, klien
akan mudah terjebak lagi dalam situasi depresi lain (atau sebenarnya perkembangan dari
status lama), karena sebenarnya masalah utama penyebab depresi dan ketrampilan
mengatasi tekanan belum diselesaikan , terutama apabila efek obat berangsur-angsur
hilang.
Tujuan Terapi
Tujuan terapi Cognitive Behavior adalah untuk mengajak klien untuk menentang
pikiran (dan emosi) yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan
dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Terapis diharapkan mampu
menolong klien untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri klien dan
secara kuat mencoba menguranginya. Terapis harus waspada terhadap munculnya
pemikiran yang tiba-tiba yang mungkin dapat dipergunakan untuk merubah mereka.
Dalam proses ini, beberapa ahli Cognitive Behavior memiliki pendapat bahwa
masa lalu tidak perlu menjadi focus penting dalam terapi, karenanya cognitive behavior
lebih banyak bekerja pada status kognitif masa kini untuk dirubah dari negative menjadi
positif. Sementara sebagian ahli lain berusaha menghargai masa lalu sebagai bagian dari
hidup klien dan mencoba membuat klien menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan
perubahan pada pola pikir masa kini demi mencapai perubahan untuk masa yang akan
datang.
Prinsip 3
Dalam pelayanan terapi, CBT lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa
lalu, namun bukan berarti mengabaikan masa lalu How to charge present then
future.
Hubungan terapeutik
Terapis diharapkan mampu berfungsi sebagai guru dank lien sebagai murid,
dimana terapis bersikap direktif dan mengajarkan klien mekanisme SKR (Stimulus
Kognisi Respon) yang baru untuk mengubah struktur kognitif mereka. Terapis juga
diharapkan mampu menolong klien dalam menentukan keyakinan yang salah dan
membuka alternative lain untuk melanjutkan kehidupannya. Jaringan SKR negative
secara bertahap dimodifikasi menjadi jaringan SKR positif, dengan menggunakan variasi
teknik-teknik terapi yang sesuai dengan kebutuhan klien.
Fenomena yang umum terjadi dalam situasi psikoterapi tentang hubungan antara
terapis dank lien, mudah terjadi pula dalam terapi Cognotif Behavior, dimana klien
menjadi sangat tergantung kepada terapis, bahkan berkembang menjadi transference –
dimana klien menjadi terikat secar emosional dengan terapisnya. Oleh karena itu terapis
diharapkan dapat mempersiapkan tindakan-tindakan professional untuk mengatasi hal ini.
Dukungan dan semangat yang diberikan terapis kepada klien untuk melanjutkan
mekanisme pembentukan SKR positif dalam proses penyelesain masalahnya yang lain,
diharapkan dapat menjadi ketrampilan baru klien agar tidak selalu tergantung kepada
terapisnya.
Teknik Terapi
Berbagai variasi teknik perubahan kognisi, emosi dan tingkah laku menjadi sarana
psikoterapi yang penting dalam Cognitive Behavior. Metode ini berkembang sesuai
keutuhan klien, dimana terapis bersikap aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan
berpusat pada masa kini. Teknik ini menyanggah keyakinan irrasional klien dengan
menggunakan pekerjaan rumah, mengumpulkan data asumsi-asumsi negative, mencatat
aktivitas, membentuk interpretasi yang berbeda, belajar keahlian menyelesaikan maslah,
merubah pola piker dan pola bicara, berimajinasi, dan secara kuat menentang keyakinan
yang salah.
Proses Terapi
Menurut teori Cognitive Behavior yang asli, terapi Cognitive Behavior memerlukan
sedikitnya 12 sesi pertemuan, yang secara sistematis dan terencana, meliputi :
Namun berdasarkan pengalaman praktek yang terjadi, jumlah 12 sessi menjadi sangat
sulit untuk dilakukan di Indonesia karena proses terapi menjadi :
1. Terlalu lama, sementara klien mengharapkan hasil yang dapat segera dirasakan
manfaatnya.
2. Terlalu mahal, karena 12 sessi berarti sedikitnya 12 jam kunjungan terapi, sementara
dalam masyarakat umumnya pengeluaran dana untuk terapi masih dianggap sebagai
pemenuhan kebutuhan tersier
3. Terlalu rumit, dimana klien yang mengalami gangguan umumnya datang
berkonsultasi dalam kondisi pikiran yang sudah begitu berat, sehingga tidak mampu
lagi mengikutii program terapi yang merepotkan atau karena kapasitas intelegensi dan
emosinya terbatas
4. Membosankan, karena kemajuan dan perkembangan terapi menjadi sedikit demi
sedikit
5. Menurunkan keyakinan klien akan kemampuan terapisnya, antara lain karena alas an-
alasan yang telah disebutkan diatas, yang dapat berakibat kepada kegagalan terapi.