Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
GAGAL NAPAS
Oleh :
Samsul Rahmat, S.Ked
Pembimbing :
dr. A. Alamsyah Irwan, M.Kes, Sp.An
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb
Laporan kasus ini dapat terselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya
sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Anestesi. Secara khusus penulis sampaikan rasa hormat dan terima kasih yang
mendalam kepada dr. A. Alamsyah Irwan, M.Kes, Sp.An selaku pembimbing yang
telah banyak meluangkan waktu dengan tekun dan sabar dalam membimbing,
memberikan arahan dan koreksi selama proses penyusunan tugas ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan kasus ini belum sempurna adanya
dan memiliki keterbatasan tetapi berkat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak,
baik moral maupun material sehingga dapat berjalan dengan baik. Akhir kata, penulis
berharap agar laporan kasus ini dapat memberi manfaat kepada semua orang.
Penulis
1
LEMBAR PENGESAHAN
NIM : 105505402419
Pembimbing Mahasiswa
3
LAPORAN KASUS
SKENARIO
Seorang perempuan berusia 28 tahun dibawa oleh keluarganya ke unit gawat
darurat RS dengan keluhan sesak napas sejak 2 jam yang lalu. Riwayat kecelakaan
lalu lintas (+), tidak ada penyakit penyerta. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
tampak sianosis, tekanan darah 130/90 mmHg, denyut nadi 120x/menit,frekuensi
napas 32 x/menit, suhu 37oC. Regio thoraks nampak jejas pada dada kiri dan jejas
pada region abdomen kiri atas.
KATA/KALIMAT KUNCI :
1. Perempuan, 28 tahun
5. Tampak sianosis
6. Tanda-tanda vital :
Nadi 120x/menit
Suhu 37o C
4
7. Regio thoraks nampak jejas pada dada kiri dan jejas pada region abdomen kiri
atas.
PERTANYAAN
5
PEMBAHASAN
6
2. Etiologi Gagal Napas
Gagal napas adalah suatu kondisi dimana sistem respirasi gagal untuk
melakukan fungsi pertukaran gas, pemasukan oksigen dan pengeluaran
karbondioksida. Ketidakmampuan itu dapat dilihat dari kemampuan jaringan
untuk memasukkan oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Gagal nafas
dibagi menjadi dua yaitu gagal nafas tipe I dan gagal nafas tipe II.
7
alveolar-kapiler. Contohnya adalah edema paru, ARDS,
pneumonia interstitial.
8
Obstruksi jalan napas
Cedera abdomen
a) Airway
9
orofaring dapat membantu untuk sementara. Tetapkan jalan napas definitif
jika ada keraguan tentang kemampuan pasien untuk menjaga integritas
jalan napas.
10
memar paru dapat mengganggu ventilasi ke tingkat yang lebih rendah dan
biasanya teridentifikasi selama secondary survey. Simple Pneumotoraks
dapat berubah menjadi tension pneumotoraks ketika pasien diintubasi dan
ventilasi tekanan positif disediakan sebelum mendekompresi
pneumotoraks dengan chest tube.
c) Circulation
11
kristaloid awal, dia harus menerima transfusi darah. Cairan diberikan
dengan bijaksana, karena resusitasi agresif sebelum kontrol perdarahan
telah terbukti meningkatkan mortalitas dan morbiditas.
d) Disability
12
e) Exposure
Pasien yang dapat berbicara dengan adalah tanda memiliki jalan nafas
yang bebas. Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan
jalan napas dan ventilasi. Jika ada cedera kepala, leher atau dada maka
pada waktu intubasi trachea tulang leher (cervical spine) harus
dilindungi dengan imobilisasi inline. Obstruksi jalan nafas paling
sering disebabkan oleh obstruksi oleh lidah pada pasien yang tidak
sadar.
13
Suara napas abnormal (stridor)
Agitasi (hipoksia)
Sianosis
Apnea
Hipoksia
Trauma dada
Cedera maksilofasial
14
a. Inspeksi (LOOK) laju pernapasan sangat penting. Apakah ada salah satu
dari hal berikut ini :
Sianosis
Luka penetrasi
Fail chest
Sucking wounds
b. Palpasi (FEEL) :
Pergeseran trakea
Emfisema subkutan
c. Auskultasi (LISTEN) :
TINDAKAN RESUSITASI
Jika terdapat distres pernapasan maka rongga pleura harus dikosongkan dari
udara dan darah dengan memasang drainage toraks segera tanpa menunggu
pemeriksaan sinar X. Jika diperlukan intubasi trakhea tetapi sulit, maka lakukan
krikotiroidotomi.
15
- Jika tersedia, pertahankan pasien dengan oksigen sampai stabilisasi total
tercapai.
- Jika dicurigai adanya tension pneumothorax, maka satu jarum berdiameter
besar harus dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui ruang interkostal
kedua, garis mid clavicular untuk menghilangkan tekanan. Pertahankan posisi
jarum hingga pemasangan drain toraks selesai.
- Jika intubasi telah dilakukan satu atau dua kali namun gagal, krikotiroidotomi
harus dipertimbangkan sebagai prioritas. Hal ini bergantung pada ketersediaan
tenaga medis berpengalaman, dengan peralatan yang sesuai.
4. Secondary Survey
Secondary survey adalah evaluasi dari kepala sampai kaki pasien
trauma, riwayat lengkap dan pemeriksaan fisik, termasuk penilaian ulang
semua tanda vital. Setiap bagian tubuh diperiksa secara lengkap. Potensi
untuk melewatkan cedera terutama pada pasien yang tidak responsif atau tidak
stabil.
A. Anamnesis
Setiap penilaian medis lengkap mencakup riwayat mekanisme cedera.
Seringkali, riwayat seperti itu tidak dapat diperoleh dari pasien yang
mengalami trauma; oleh karena itu, personel pra-rumah sakit dan keluarga
harus memberikan informasi ini. Riwayat AMPLE perlu ditanyakan, yang
terdiri atas :
Allergies : alergi
Medication : Obat yang digunakan saat ini
Past illness/pregnancy : Penyakit terdahulu/kehamilan
Last meal : makanan terakhir
Events/environment : peristiwa/lingkungan yang terkait
B. Pemeriksaan Fisik
16
Selama secondary survey, pemeriksaan fisik lengkap dilakukan
meliputi kepala, struktur maksilofasial, servikal dan leher, dada, perut dan
panggul, perineum / rektum / vagina, sistem muskuloskeletal, dan sistem
saraf. Kondisi pasien sangat dipengaruhi oleh mekanisme cedera.
Pengetahuan tentang mekanisme cedera dapat meningkatkan pemahaman
tentang keadaan fisiologis pasien dan memberikan petunjuk untuk cedera
yang diantisipasi. Beberapa cedera dapat diprediksi berdasarkan arah dan
jumlah energi yang terkait dengan mekanisme cedera. Pola cedera juga
dipengaruhi oleh kelompok usia dan aktivitas. Cedera dibagi menjadi dua
kategori besar: trauma tumpul dan tembus. Jenis cedera lain yang
memerlukan informasi historis termasuk cedera termal dan cedera yang
disebabkan oleh lingkungan berbahaya.
Penilaian awal dan pengobatan pasien dengan trauma toraks terdiri
dari primary survey dengan resusitasi fungsi vital, secondary survey
secara terperinci, dan perawatan definitif. Karena hipoksia adalah akibat
paling serius dari cedera toraks, maka tujuan intervensi dini adalah untuk
mencegah atau memperbaiki hipoksia.
17
sama dan identifikasi suara tambahan yang mungkin menunjukkan efusi
atau memar. Lakukan palpasi untuk menentukan apakah ada area nyeri
tekan, krepitasi, atau cacat.
Tanda-tanda cedera dada dan / atau hipoksia yang signifikan, namun
sering tidak kentara, termasuk peningkatan laju pernapasan dan perubahan
pola pernapasan pasien, yang sering kali ditunjukkan dengan pernapasan
yang semakin dangkal. Ingatlah bahwa sianosis adalah tanda akhir
hipoksia pada pasien trauma dan sulit terlihat pada kulit berpigmen gelap;
ketiadaannya tidak selalu menunjukkan oksigenasi jaringan yang adekuat
atau jalan napas yang adekuat.
18
Gambar 1. Mekanisme cedera
5. Deferential Diagnosis
A. Tension Pneumothorax
19
karena terdesak akibat udara yang masuk meningkat tekanan pada
intrapleura. Secara otomatis terjadi juga gangguan pada proses perfusi
oksigen kejaringan atau organ, akibat darah yang menuju kedalam paru
yang kolaps tidak mengalami proses ventilasi, sehingga proses oksigenasi
tidak terjadi.
Nyeri dada
Air Hunger
Takipnea
Gangguan pernapasan
Takikardia
Hipotensi
20
Hemitoraks yang meningkat tanpa gerakan pernapasan
B. Hemothorax
21
iatrogenik, sekuestrasi paru-paru, vaskular, neoplasia, koagulopati, dan
proses infeksi.
22
cairan infus, transfusi darah, dilanjutkan pemberian analgetik dan
antibiotic. Setelah hemodinamik pasien stabil dapat direncanakan untuk
pengeluaran cairan (darah) dari rongga pleura dengan pemasangan chest
tube yang disambungkan dengan water shield drainage dan didapatkan
cairan (darah). Pemasangannya selama beberapa hari untuk
mengembangkan paru ke ukuran normal.
C. Kontusio Paru
Kontusio paru adalah cedera atau peradangan pada paru akibat trauma
dada, ada kerusakan langsung atau tidak langsung pada parenkim paru
yang menyebabkan edema atau hematoma alveolar dan hilangnya struktur
fisiologis dan fungsi paru. Jenis cedera ini menyebabkan berkurangnya
pertukaran gas, peningkatan resistensi vaskular paru, dan penurunan
kepatuhan paru dalam waktu 24 jam. Dalam kasus pasien yang terluka
parah, respon inflamasi menghasilkan ARDS. Berdasarkan mekanisme
cederanya, kontusio paru dapat berkembang sebagai akibat dari cedera
tumpul atau tembus, atau karena kombinasi keduanya.
23
Kontusio ringan mungkin dapat bersifat asimtomatik. Dalam kasus
kontusia paru yang parah, pertukaran gas alveolar yang terganggu
menurunkan konsentrasi oksigen arteri. Hipoksia jaringan yang dihasilkan
menyebabkan dispnea, takipnea, dan akibatnya takikardia. Gejala klinis
yang terlihat tidak khas dan sering berkembang secara perlahan.
Auskultasi dapat menilai suara pernapasan yang berkurang di atas area
yang memar, kesulitan bernapas dan batuk juga dapat diamati. Bronkorea
dan hemoptisis yang berlebihan muncul pada kontusio berat. Nyeri, patah
tulang rusuk, hematoma, dan emfisema subkutan dapat terjadi di area dada
yang terkena, di samping takikardia dan hipotensi.
24
yang memburuk saat inspirasi menyebabkan hipoventilasi, jenis nyeri lain
menyebabkan hiperventilasi, keduanya memengaruhi fungsi pernapasan
secara negatif.
D. Flail Chest
Flail chest adalah kondisi trauma yang terjadi pada thorax. Flail chest
terjadi ketika 3 tulang rusuk atau lebih patah di setidaknya 2 tempat. Flail
chest menyebabkan segmen dinding dada bergerak secara independen dari
dinding dada lainnya. Flail chest dapat menyebabkan gangguan signifikan
pada fisiologi pernapasan. Flail chest adalah cedera penting dengan
komplikasi yang signifikan. Flail chest biasanya dikaitkan dengan trauma
dinding dada tumpul yang signifikan.. Flail chest seringkali unilateral
tetapi bisa bilateral.
Nyeri sering terjadi pada pasien dengan flail chest. Inspeksi pada
pemeriksaan klinis didapatkan pergerakan dinding dada paradoks
(hemithorakx yang terkena bergerak ke dalam saat sisi kontralateral yang
tidak terpengaruh mengembang selama inspirasi). Krepitasi dan nyeri
tekan dapat timbul saat palpasi dinding dada. Cedera paling sering
melibatkan dinding dada anterior atau anterolateral.
Tes pilihan untuk mengevaluasi tidak hanya flail chest tetapi juga
untuk cedera terkait adalah CT scan, khususnya dengan rekonstruksi 3D.
Menemukan 3 tulang rusuk yang patah di 2 tempat pada x-ray atau CT
menunjukkan adanya flail chest tetapi perlu dikorelasikan secara klinis.
25
dipertahankan dengan oksigen dan ventilasi non-invasif bila
memungkinkan. Ventilasi mekanis invasif digunakan hanya jika metode
lain gagal dan ekstubasi harus dilakukan sedini mungkin. Penggunaan
cairan yang bijaksana dianjurkan di sebagian besar situasi trauma dan
penting dalam flail chest karena kontusi paru yang hampir terjadi di mana-
mana. Manajemen nyeri harus ditangani secara dini dan tepat termasuk
blok saraf atau anestesi epidural.
26
Grimes mendeskripsikan tiga fase presentasi gejala dan tanda yang
terdapat pada ruptur diafragma, yaitu fase akut, fase laten dan fase
obstrutif.
27
WSD harus dipasang. Pada beberapa kasus rongga yang tercipta setelah
darah atau udara intrapleura dialirkan melalui chest tube akan digantikan
dengan organ abdomen yang terherniasi akibat perbedaan tekanan antara
rongga abdomen dengan rongga intrapleura.
Pemeriksaan foto polos toraks secara rutin pada pasien multipel trauma
merupakan hal terbaik yang harus dilakukan. Foto polos toraks
merupakan alat untuk mengevaluasi pasien dengan ruptur diafragma.
Computed Tomography (CT) merupakan alat diagnostik selanjutnya yang
dilakukan pada pasien dengan trauma tumpul dengan hemodinamik stabil.
Selain itu dengan CT, dapat juga dinilai kelainan pada organ-organ
lainnya intratorakal dan intraabdomen. Magnetic Resonance Imaging
(MRI) memperlihatkan pencitraan seluruh diafragma dan memperlihatkan
perbedaan yang sangat jelas antara diafragma dan struktur di sekitarnya.
Hambatan pada pasien dengan multipel trauma disebabkan oleh ruang
magnetik yang tidak sesuai dengan beberapa alat monitoring serta
prosedur yang dilakukan cukup lama. Biasanya, MRI dilakukan pada
pasien dengan hemodinamik yang stabil.
28
Tindakan operasi pada ruptur diafragma harus dilakukan secepat
mungkin, sehingga tidak terjadi perburukan dari gangguan pernafasan dan
sirkulasi akibat efek volume, cairan pada pleura, pneumoperitoneum, jika
terdapat herniasi organ intraabdomen, maka tidak terjadi perburukan
obstruksi, inkarserata atau strangulasi. Tindakan operasi ini dapat
merupakan tindakan diagnostik maupun terapeutik. Pilihan pendekatan
operasi untuk menatalaksana termasuk laparoskopi, torakoskopi,
laparotomi dan torakotom.
Ruptur diafragma terisolasi (kurang dari 10% dari semua pasien trauma
dengan ruptur diafragma)
29
Niville dkk. menambahkan pilihan yang direkomendasikan oleh
mereka adalah perut melalu, karena melalui insisi ini dapat dengan mudah
ditambahkan ke rongga toraks jika diperlukan. McCune dkk. Diperlukan
lebih dari sekadar ditunda untuk memperbaiki ruptur diafragma kanan
karena diagnosis lebih sering ditegakkan. Laparotomi lebih tepat pada
pasien tidak stabil dengan kelainan berbaring pada intra-abdominal.
Selanjutnya pemeriksaan kedua hemidiafragma wajib dilakukan.
Torakotomi lebih tepat pada pasien yang lebih stabil tanpa adanya
kelainan organ lain intra-abdominal dan tanpa kelainan pada
hemidiafragma kontralateral.
30
DAFTAR PUSTAKA
1. Amaliah R. Diagnosis dan Tatalaksana Ruptur Diafrgama pada Fase Akut dan
Fase Laten. Jurnal Bedah Nasional Vol.4 No.1. 2020. Hal: 26-36
2. Wilkinson DA, Skinner MW. 2000. Primary Trauma Care : A Manual for
Trauma Managementin District and Remote Locations. Oxford: Primary
Trauma Care Foundation. 2000
3. American College of Surgeons. ATLS : Advanced Trauma Life Support 10th
Ed. 2018
4. Romanelli D, Farrell MW. AVPU Score. StatPearls Publishing; 2020 Jan-
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538431/
5. Saaiq M et al. Chest Trauma : Significant source of Morbidity and Mortality.
Ann. Pak. Inst. Med. Sci. 2010; 6(3): 172-177
6. Syarani & Fajrinur, (2017). Gagal Napas in Buku Ajar Respirasi. Medan:
USU Press
7. Pumarejo Gomez L, Tran VH. Hemothorax. StatPearls Publishing; 2020 Jan.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK538219/
8. Mayasari, D, Pratiwi, A. I. Penatalaksanaan Hematotoraks Sedang Et Causa
Trauma Tumpul. Argomed Unila. Vol 4 No.1. 2017. Hal: 37-41
9. Rendeki, Szilárd, and Tamás F Molnár. “Pulmonary contusion.” Journal of
thoracic disease vol. 11,Suppl 2. 2019. : S141-S151.
10. Perera TB, King KC. Flail Chest. StatPearls Publishing; 2020 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534090/
11. Long B, Koyfman A. The Emergency Medicine Trauma Handbook.
Cambridge University Press. 2020.p: 175-92
12. Morgan BS, Jones TW, Garner JP. Traumatic Diphragma Injury. JR Army
Med Corps. 2010:156 (3). p: 139-43
31