DISUSUN OLEH :
GHINA AUDHIYA NABILLAH (030613818123063)
Ga
mbar1.Bentuk pendopo sebagai hasil modifikasi, tafsir ulang dan intgerasi karya Mangunwijaya
Arsitek lain, Prijotomo juga berpandang dalam membuat karya arsitek harus
memposisikan kedudukan arsitektur nusantara setara dengan arsitektur barat dan lainnya,
bahkan dapat menempatkan ke-Indonesiaan sebagai sebuah jati diri Arsitektur di Indonesia.
Prijotomo merasakan kekhawatiran terhadap keadaan arsitektur Nusantara masa kini
(Prijotomo, 2008). Menurut Prijotomo, walaupun mempunyai tujuan yang sama, Prijotomo
(2008) mengatakan bahwa: “Disini berarsitektur dapat dilakukan dengan penghadiran kembali
(lewat modifikasi) berbagai unsur dan komponen arsitektur klasik yang ada di daerah-daerah”,
yang artinya mampu menghadiran kembali komponen arsitektur klasik atau daerah atau
tradisional dalam rancangan baru untuk memperlihatkan identitas atau jati diri”. Penerpaannya
dapat dilakukan dengan menggunakan unsur atau komponen arsitektur Tradisional baik berupa
material ataupun bentuk ornament ukiran yang dihadirkan kembali dalam suatu karya arsitektur
sebagai penguat jati diri arsitektur di Indonesia.
Pengertian kesetempatan atau lokalitas juga sering dikaitkan dengan identitas, Baik
Pangarsa, Prijotomo maupun Mumford, membagi nilai lokalitas atau kesetempatan dalam
beberapa hal: 1. Lokalitas tidak identik denngan sejarah, atau mengkopi sebuah konstruksi
masa lalu, tetapi bagaimana mencoba mengerti dan memahaminya serta mampu menyikapinya
secara kritis sehingga menghasilkan sebuah kreasi baru dengan jiwa setempat yang bernilai
luhur. 2. Lokalitas adalah bagaimana melihat sebuah tempat yang seharusnya memiliki
sentuhan khusus atau sebuah keunikan/keindahan yang tersembunyi. 3. Lokalitas dalam
perkembangannya harus dapat menunjukan keberlanjutan terutama dalam hal material dan
teknologi, sehingga didapatkan hasil karya arsitektur yang berkelanjutan dan berkembang
seiring zaman. 4. Lokalitas harus dapat menunjukan bagaimana hubungan bentuk dengan nilai-
nilai dan cara-cara modifikasi, tafsir ulang dan pengintegrasiannya dalam arsitektur.
Gambar 3 Saka guru, pertemuan saka guru dengan balo-balok yang melintang dan
penggunaan material yang berbeda
Interpertasi tersebut di atas didapatkan dari pernyataanya bahwa: “Kelekatan dengan
lingkungan hunian itulah sebenarnya asas kesetempatannya sebagai homo localis atau
manusia yang berkesetempatan” (Pangarsa, 2006), dan diperkuat dengan pernyataannya
bersama Eko Prawoto bahwa: “Merancang satu bangunan atau suatu lingkungan binaan baru,
seharusnya bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan-ketimpangan yang ada dan bangunan
dapat berkelanjutan antar generasi dalam konteks geo-historis manusia dan alam
Nusantara”(Pangarsa, 2008).
Gambar 4. Detail arsitektur yang menggunakan potensi alam di sekitar dalam desain karya
Pangarsa juga menjelaskan bahwa ada dua poin penting agar bangunan dikatakan
mampu menunjukkan jati diri arstektur Nusantara yaitu nilai kesetempatan dan nilai
kesemestaan yang menjadii ciri khas dalam arsitektur di Indonesia dan berkaitan dengan ke-
Bineka Tunggal Ika-an. Prijotomo juga sependapat dengan Pangarsa dengan mengatakan
bahwa beragamnya karya arsitektur yang mencerminkan keberagaman etnis dan budaya
menunjukan adanya kesetempatan yang luar bias
Nilai kesemestaan adalah suatu nilai yang berkaitan dengan keseimbangan antara
fenomena alam dengan manusianya, bagaimana kepekaan manusia terhadap fenomena alam.
Nilai kesemataan kesemestaan suatu nilai yang berhubungan dengan keseimbangan antara
fenomena alam dengan manusianya. Contoh penerapan nilai kesemestaan pada bentuk
arsitektur rumah Batak Toba yang disebut Banua dan Torajayang disebut Tongkonan,
keduanya mempunyai bentuk atap melengkung di kedua ujungnya menjulang keatas. Bentuk ini
lebih didasarkan pada orientasi yang mengarah ke gunung. Keduanya merupakan rumah
panggung, dengan kolong bagian bawah yang difungsikan sebagai tempat untuk hewan piaraan
dan tempat peralatan.
Gambar 5. Kesamaan bentuk rumah Batak toba dan Tongkonan dalam bentuk Atap dan
Tiang kolong
mulai menjadi fokus pekerjaan para arsitek melalui bagaimana cara arsitek menyikapi
terhadap perkembangan material dan teknologi serta bagaimana mewujudkan pengetahuan
nilai-nilai kesemestaan dan kesetempatan itu agar dapat dituangkan ke dalam karya arsitektur
Pangarsa, Galih Wijil, 2006, Merah Putih Arsitektur Nusantara,Penerbit Andi Offest, Yogyakarta