Anda di halaman 1dari 6

PAPER ARSITEKTUR NUSANTARA

KAJIAN KRITIS TENTANG ARSITEKTUR NUSANTARA MENGKINI

DISUSUN OLEH :
GHINA AUDHIYA NABILLAH (030613818123063)

MATA KULIAH : ARSITEKTUR NUSANTARA


DOSEN PEMBIMBING : 1. JOHANNES ADI YANTO, S.T., M.T.
2. FUJI AMALIA, S.T., M.SC

PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS SRIWIJAYA
KAJIAN KRITIS TENTANG ARSITEKTUR NUSANTARA MENGKINI
Arsitektur Nusantara merupakan arsitektur yang ditumbuhkembangkan oleh berbagai
macam banyak suku bangsa di Indonesia. Arsitektur yang berkembang saat ini membuat
keberadaan Arsitentur Nusantara menjadi tersisihkan, Arsitektur di Nusantara sendiri memiliki
keragaman yang tinggi karna setiap suku atau etnik memiliki ciri atau corak khas masing-
masing, Perkembangan arsitektur Nusantra perlu dibuat kekinian untuk terhindar dari
ketertinggalan, dengan melakukan pengambilan sesuatu ciri khas lalu dikembangkan .
Berarsitektur berarti bangunan mampu berbicara dan menopang kebutuhan manusia,
dengan citra dan unsur-unsurnya, baik dengan bahan material maupun dengan bentuk serta
komposisinya. Hakekat bahasa arsitektur yang bagus dan makna atau pesan yang ingin
disampaikan bukan pertama-tama harus dihubungkan dengan persyaratan kemewahan dan
biaya mahal, namun kemuliaan bahasa arsitektur berupa kejujuran, kewajarannya atau seperti
yang dinasehatkan oleh ahli pikir Thomas dari Aquinas: Pulchrum splendor est vertatis,
(keindahan adalah pancaran kebenaran)”(Mangunwijaya, 2013).
Mangunwijjaya, Arsitek asal Jawa Tengah berpandangan bahwa arsitektur berbeda dari
arsitektur barat atau menurut Vitruvius. Jika beraksitektur menurut Arsitek Barat artinya
berbahasa dengan ruang, garis dan bidang serta material dan suasana, maka Mangunwijaya
berpandangan bahwa arsitek harus mewujudkan karya yang dapat memahami kondisi dan
situasi, lingkungan fisik dan social serta membumi atau menampilkan identitas dan jatidiri dalam
sebuah karya. Arsitektur adalah sarana untuk menyadari keadaan diri, harga diri dan identitas
diri,sehingga kita dapat berkomunikasi secara setara dengan arsitektur luar. Penerapan yang
dilakukan oleh Mangunwijaaya adalah mengungkapkan Jati diri Indonesia memlui secara fisik.

Ga
mbar1.Bentuk pendopo sebagai hasil modifikasi, tafsir ulang dan intgerasi karya Mangunwijaya

Arsitek lain, Prijotomo juga berpandang dalam membuat karya arsitek harus
memposisikan kedudukan arsitektur nusantara setara dengan arsitektur barat dan lainnya,
bahkan dapat menempatkan ke-Indonesiaan sebagai sebuah jati diri Arsitektur di Indonesia.
Prijotomo merasakan kekhawatiran terhadap keadaan arsitektur Nusantara masa kini
(Prijotomo, 2008). Menurut Prijotomo, walaupun mempunyai tujuan yang sama, Prijotomo
(2008) mengatakan bahwa: “Disini berarsitektur dapat dilakukan dengan penghadiran kembali
(lewat modifikasi) berbagai unsur dan komponen arsitektur klasik yang ada di daerah-daerah”,
yang artinya mampu menghadiran kembali komponen arsitektur klasik atau daerah atau
tradisional dalam rancangan baru untuk memperlihatkan identitas atau jati diri”. Penerpaannya
dapat dilakukan dengan menggunakan unsur atau komponen arsitektur Tradisional baik berupa
material ataupun bentuk ornament ukiran yang dihadirkan kembali dalam suatu karya arsitektur
sebagai penguat jati diri arsitektur di Indonesia.

Gambar 2. Modifikasi material bangunan yang menggunakan material arsitektur tradisional


Selain Prijotomo, Arsitek Pangarsa juga memberikan pandangan dalam pengkinian
arsitektur nusantara melalui berbagai tulisan antaralain dalam bukunya Merah Putih Arsitektur
Nusantara. Pemikiran tentang bagimana jati diri atau identitas dimunculkan dalam karya-karya
arsitektur pada akhir dekade ini diungkapkan oleh para Arsitek-Arsitek dalam konteks
regionalisme.
Regionalisme sebagai identitas bentuk, merupakan pendekatan yang banyak dilakukan
oleh para pakar. Pendekatan ini mengasumsikan bahwa bentuk-bentuk tertentu memiliki peran
penting untuk menampilakan ciri daerah tertentu, seperti yang dirumuskan oleh Venturi dalam
Learning from Las Vegas, bahwa bentuk menjadi penanda tidak harus terkait dengan apa yang
ada di dalamnya namun mampu menonjolkan ciri khas atau karakter bangunan. Pangarsa
memiliki pemikiran tentang kesetempatan dalam karya Arsitektur. Kesetempatan tidak saja
merujuk pada lingkungan alam yaitu nilai-nilai untuk menjaga keselarasan alam sehingga
Kesempatan ialah lingkungan budaya yang berupa nilai-nilai budaya, social dan
ekonomi, sehingga dapat disimpulkanbahwa “menuliskan arsitektur” merupakan kerja yang
open ending‟. Pangarsa memiliki pandangan bahwa segala potensi setempat atau lokal adalah
sebuah kekayaan alam yang seharusnya dipakai untuk diperlihatkan, serta dijaga agar jati diri
arsitektur di Indonesia memiliki garis khas dalam arsitektur dunia.

Pengertian kesetempatan atau lokalitas juga sering dikaitkan dengan identitas, Baik
Pangarsa, Prijotomo maupun Mumford, membagi nilai lokalitas atau kesetempatan dalam
beberapa hal: 1. Lokalitas tidak identik denngan sejarah, atau mengkopi sebuah konstruksi
masa lalu, tetapi bagaimana mencoba mengerti dan memahaminya serta mampu menyikapinya
secara kritis sehingga menghasilkan sebuah kreasi baru dengan jiwa setempat yang bernilai
luhur. 2. Lokalitas adalah bagaimana melihat sebuah tempat yang seharusnya memiliki
sentuhan khusus atau sebuah keunikan/keindahan yang tersembunyi. 3. Lokalitas dalam
perkembangannya harus dapat menunjukan keberlanjutan terutama dalam hal material dan
teknologi, sehingga didapatkan hasil karya arsitektur yang berkelanjutan dan berkembang
seiring zaman. 4. Lokalitas harus dapat menunjukan bagaimana hubungan bentuk dengan nilai-
nilai dan cara-cara modifikasi, tafsir ulang dan pengintegrasiannya dalam arsitektur.

Gambar 3 Saka guru, pertemuan saka guru dengan balo-balok yang melintang dan
penggunaan material yang berbeda
Interpertasi tersebut di atas didapatkan dari pernyataanya bahwa: “Kelekatan dengan
lingkungan hunian itulah sebenarnya asas kesetempatannya sebagai homo localis atau
manusia yang berkesetempatan” (Pangarsa, 2006), dan diperkuat dengan pernyataannya
bersama Eko Prawoto bahwa: “Merancang satu bangunan atau suatu lingkungan binaan baru,
seharusnya bertujuan untuk memperbaiki ketimpangan-ketimpangan yang ada dan bangunan
dapat berkelanjutan antar generasi dalam konteks geo-historis manusia dan alam
Nusantara”(Pangarsa, 2008).

Gambar 4. Detail arsitektur yang menggunakan potensi alam di sekitar dalam desain karya

Pangarsa juga menjelaskan bahwa ada dua poin penting agar bangunan dikatakan
mampu menunjukkan jati diri arstektur Nusantara yaitu nilai kesetempatan dan nilai
kesemestaan yang menjadii ciri khas dalam arsitektur di Indonesia dan berkaitan dengan ke-
Bineka Tunggal Ika-an. Prijotomo juga sependapat dengan Pangarsa dengan mengatakan
bahwa beragamnya karya arsitektur yang mencerminkan keberagaman etnis dan budaya
menunjukan adanya kesetempatan yang luar bias

Nilai kesemestaan adalah suatu nilai yang berkaitan dengan keseimbangan antara
fenomena alam dengan manusianya, bagaimana kepekaan manusia terhadap fenomena alam.
Nilai kesemataan kesemestaan suatu nilai yang berhubungan dengan keseimbangan antara
fenomena alam dengan manusianya. Contoh penerapan nilai kesemestaan pada bentuk
arsitektur rumah Batak Toba yang disebut Banua dan Torajayang disebut Tongkonan,
keduanya mempunyai bentuk atap melengkung di kedua ujungnya menjulang keatas. Bentuk ini
lebih didasarkan pada orientasi yang mengarah ke gunung. Keduanya merupakan rumah
panggung, dengan kolong bagian bawah yang difungsikan sebagai tempat untuk hewan piaraan
dan tempat peralatan.

Gambar 5. Kesamaan bentuk rumah Batak toba dan Tongkonan dalam bentuk Atap dan
Tiang kolong

mulai menjadi fokus pekerjaan para arsitek melalui bagaimana cara arsitek menyikapi
terhadap perkembangan material dan teknologi serta bagaimana mewujudkan pengetahuan
nilai-nilai kesemestaan dan kesetempatan itu agar dapat dituangkan ke dalam karya arsitektur

Bedasarkan pandangan Mangunwijaya, Pangarsa dan Prijotomo maka Arsitektur


Nusantara sebuah wawasan menarik untuk terus dikembangkan baik keindahan dari material
alami, struktur dan detail arsitektur yang disebut sebagai perwujudan architectonicmerupakan
dasar untuk memberikan nilai lebih pada rancangan arsitektur masa kini. Dengan mengambil
potensi tersebut dan melakukan tafsir ulang serta modifikasi sesuai dengan masa kini maka
perwujudan architectonic pada arsitektur Nusantara sebagai cerminan regionalisme di
Indonesia merupakan sebuah harapan yang akan menjadi kenyataan sehingga arsitektur
Indonesia tetap mampu bersaing tanpa meninggalkan jati diri Arsitektur Indonesia itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
“Stone, Steel, and Straw” Building Materials and Sustainable Environment . (2013). NILAI-NILAI
KESETEMPATAN DAN KESEMESTAAN DALAM REGIONALISME ARSITEKTUR DI
INDONESIA , 3-4.
Maria I Hidayatun1), J. P. (2016). ARCHITECTONICPADA ARSITEKTUR NUSANTARA
SEBAGAI CERMINAN REGIONALISME ARSITEKTUR DI INDONESI.
ARCHITECTONICPADA ARSITEKTUR NUSANTARA SEBAGAI CERMINAN
REGIONALISME ARSITEKTUR DI INDONESI, 2-3.
Maria I Hidayatun1, J. P. (2014). Transformasi Nilai-nilai Tradisionaldalam Arsitektur Masa Kini.
ArsitekturdiIndonesia Dalam Perkembangan Jaman,Sebuah Gagasan untuk Jatidiri
Arsitektur di Indonesia., 2-5.

Pangarsa, Galih Wijil, 2006, Merah Putih Arsitektur Nusantara,Penerbit Andi Offest, Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai