Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Dosen : Moh. Fadli Dg. Patompo.SH.MH

Disusun Oleh :

(Kelompok IV)

1. Aditya Pratama
2. Akbar Hidayatullah
3. Nur Zahra
4. Putri Ulul Azmi
5. Rahayu
6. Salabillah Bajamal
7. Siti Rahma

DIV KEPERAWATAN

POLTEKKES KEMENKES PALU

2020

KATA PENGANTAR
            Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat,
Taufik dan Hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan  Makalah Pendidikan Anti Korupsi
dengan pengetahuan yang kami miliki.

            Kami berharap makalah ini berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pendidikan Anti Korupsi. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan – kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.

            Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kata – kata yang kurang
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar belakang

Korupsi merupakan kata yang dinegasikan oleh setiap orang, namun tidak orang
menyadari bahwa korupsi telah menjadi bagian dari dirinya. Hal ini biasanya terjadi akibat
pemahaman yang keliru tentang korupsi atau karena realitas struktural yang menghadirkan
korupsi sebagai kekuatan sistematik yang membuat tak berdaya para perilakunya. Ada nilai-
nilai kultural seperi pemberian hadiah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
korupsi, namun ada pula sistem yang memaksa seseorang berlaku korupsi.

B.   RUMUSAN MASALAH

a.  Apa pengertian korupsi?

b.  Apa sajakah factor penyebab korupsi?

c.  Apa sajakah dampak korupsi?

d.  Sebutkan nilai dan prinsip anti korupsi

e.  Upaya pemberantasan korupsi

f.   Gerakan kerjasama dan intrumen internasional pencegahan korupsi

g.  Tindak pidana korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia

h.   Peran dan keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi

BAB II
PENGERTIAN KORUPSI

A.   Definisi Korupsi

Korupsi sejatinya berasal dari bahasa Latin (Fockema Andreae : 1951). Yaitu
Corruptio yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran,
dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.

Sementara dalam terminologis korupsi diartikan sebagai pemberian dan penerimaan


suap. Defenisi korupsi ini lebih menekankan pada praktik pemberian suap atau penerimaaan
suap. Dengan demikian baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor.

David M Chalmers menguraikan pengertian korupsi sebagai tindakan-tindakan


manipulasi dan kepurusan mengenai keuangan yang membahayakan ekonomi. JJ Senturia
dalam Encyclopedia of social sciens (Vol VI, 1993) mendefinisikan korupsi sebagai
penyalahgunaan kekusaan pemerintahan untuk keuntungan pribadi. Definisi ini dianggap
sangat spesifik dan konvensional karena meletakan persoalan korupsi sebagai ranah
pemerintah semata. Padahal seiring dengan proses swastanisasi (privatisasi) perusahaan
negara dan pengalihan kegiatan yang selama ini masuk dalam ranah negara ke sektor swasta,
maka definisi korupsi mengalami perluasan. Ia tidak hanya terkait dengan penyimpanagan
yang dilakukan oleh pemerintah, tapi juga oleh pihak swasta dan pejabat-pejabatranah publik
baik politisi, pegawai negrimaupun orang-orang dekat mereka yang memperkaya diri dengan
cara melanggar hukum. Berpijak pada hal tersebut Transparancy International memasukan
tiga unsur korupsi yaitu penyalahgunaan kekuasaan, kekuasaan yang dipercayakan dan
keuntungan pribadi baik secara pribadi, anggota keluarga, maupun kerabat dekat lainnya.

Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi
dapat dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan
terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan
baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga
pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan
kekuasaanuntuk mendapatkan keuntungan materil.

B.   Bentuk-Bentuk Korupsi

Adapun bentuk-bentuk korupsi yang sudah lazim dilakukan di lingkungan instansi


pemerintah pusat maupun daerah, BUMN, dan BUMD serta bekerja sama dengan pihak
ketiga antara lain sebagai berikut :

1)  Transaksi luar negeri ilegal dan penyelundupan.


2)  Menggelapkan dan manipulasi barang milik lembaga, BUMN/BUMD, swastanisasi anggaran
pemerintah.

3)  Penerimaan pegawai berdasarkan jual beli barang.

4)  Jual beli jabatan, promosi nepotisme dan suap promosi.

5)  Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang,
mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, jual beli besaran pajak
yang harus dikenali, dan menyalahgunakan keuangan.

6)  Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta
memeras.

7)  Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak.

8)   Mencari-cari kesalahan orang yang tidak salah.

9)   Jual beli tuntutan hukuman, vonis, dan surat keputusan.

10)  Tidak menjalankan tugas, desersi.

11)  Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi.

12)  Jual beli objek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan.

13)  Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan
membuat laporan palsu.

14)  Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah.

15)  Manipulasi peraturan, memunjamkan uang negara secara pribadi.

16)  Menghindari pajak, meraih laba secara berlebihan.

17)  Menjual pengaruh, menawarkan jasa perantara, konflik kepentingan.

18)  Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.

19)  Penempatan uang pemerintah kepada Bank tertentu yang berani memberikan bujed yang
tidak sesuai yang sebenarnya.

20)  Berhubungan dengan organisasi kejahatan, operasi pasar gelap.

21)  Perkoncoan untuk menutupi kejahatan.

22)  Memata-mata secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos untuk kepentingan
pribadi.

23)  Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.

24)  Memperbesar pendapatan resmi yang ilegal.


25)  Pimpinan penyelenggara negara yang meminta fasilitas yang berlebihan dan double atau
triple.

C.   Sejarah Korupsi

1. Era sebelum kemerdekaan

Sejarah sebelum Indonesia merdeka sudah diwarnai oleh “budaya-tradisi korupsi”


yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita. Kita dapat
menyimak bagaimana tradisi korupsi berjalin berkelin dan dengan perebutan kekusaan di
Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan:
Anusopati-Tohjoyo-Ranggawuni-Mahesa Wongateleng dan seterusnya), Majapahit
(pemberontakan Kuti, Narnbi, Suro dan lain-lain), Demak (Joko Tingkir dengan Haryo
Penangsang), Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso),
perlawanan rakyat terhadap Belanda dan seterusnya sampai terjadinya beberapa kali
peralihan kekuasaan di Nusantara telah mewarnai Sejarah Korupsi dan Kekuasaan
diIndonesia.

2. Era Pasca Kemerdekaan

Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu
itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara
dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution
dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.

Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi
keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.

Usaha Paran akhirnya mengalami deadlock karena kebanyakan pejabat berlindung di


balik Presiden. Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu menjabat sebagai
Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua dibantu oleh Wiryono
Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja
pengadilan.

Lembaga ini di kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya,
untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden
untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa
dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.

Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun
waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi
dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus
ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.

Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan pembubaran


Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya menjadi Kotrar (Komando Tertinggi
Retooling Aparat Revolusi) di mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat pemberantasan korupsi
pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi.

3. Era Orde Baru

Pada pidato kenegaraan di depan anggota DPR/MPR tanggal 16 Agustus 1967, Pj


Presiden Soeharto menyalahkan rezim Orde Lama yang tidak mampu memberantas korupsi
sehingga segala kebijakan ekonomi dan politik berpusat di Istana. Pidato itu memberi isyarat
bahwa Soeharto bertekad untuk membasmi korupsi sampai ke akar-akarnya. Sebagai wujud
dari tekad itu tak lama kemudian dibentuklah Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) yang
diketuai Jaksa Agung.

Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan
TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang
protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas
mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong”
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.

Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib


(Operasi Tertib) derigan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya
melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul
perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut
pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin
berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan
kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu,
Opstib pun hilang ditiup angin tanpa bekas sama sekali.

4. Era Reformasi

Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan. Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.

Di samping membubarkan TGPTPK, Gus Dur juga dianggap sebagian masyarakat


tidak bisa menunjukkan kepemimpinan yang dapat mendukung upaya pemberantasan
korupsi. Kegemaran beliau melakukan pertemuan-pertemuan di luar agenda kepresidenan
bahkan di tempat-tempat yang tidak pantas dalam kapasitasnya sebagai presiden, melahirkan
kecurigaan masyarakat bahwa Gus Dur sedang melakukan proses tawar-menawar tingkat
tinggi.

Proses pemeriksaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan konglomerat Sofyan


Wanandi dihentikan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dari Jaksa Agung
Marzuki Darusman. Akhirnya, Gus Dur didera kasus Buloggate. Gus Dur lengser, Mega pun
menggantikannya melalui apa yang disebut sebagai kompromi politik. Laksamana Sukardi
sebagai Menneg BUMN tak luput dari pembicaraan di masyarakat karena kebijaksanaannya
menjual aset-aset negara.

Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke
luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim,
The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa
pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin
kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.

BAB III

FAKTOR PENYEBAB KORUPSI

Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory,
bahwa faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :

 Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial
ada di dalam diri setiap orang.
 Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
 Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
 Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi
oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.

Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor eksternal yang menyebabkan terjadinya Korupsi


adalah :

1.  Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat
sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.

2.  Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak
menggunakan kesempatan.

3.  Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.

4.  Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu
memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.

5.  Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak
pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.

6.  Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.

7.  Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.

8.  Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi,
karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.

9.  Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno  bahwa
agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama
hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak
berfungsi dalam  memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional
antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa
korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
BAB IV

DAMPAK MASIF KORUPSI

A.   Dampak Ekonomi

Di sisi lain, meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa,
yang kemudian dapat melonjakkan utang Negara. Pada keadaan ini inefisiensi terjadi, yaitu
ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan, namun disertai dengan maraknya
praktik korupsi. Berbagai permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila
korupsi sudah merajalela yang dapat mengakibatkan lesunya pertumbuhan ekonomi dan
investasi. Rendahnya kualitas barang dan jasa bagi public, menurunnya pendapatan Negara
dari sector pajak, meningkatnya hutang Negara.

B.   Dampak Sosial dan KemiskinanMasyarakat


Bagi masyarakat miskin, korupsimengakibatkan dampak yang luar biasadan saling
bertaut satu sama lain. Pertama, dampak langsung yang dirasakan olehorang miskin yakni
semakin mahalnya jasa berbagai pelayanan publik, rendahnyakualitas pelayanan, dan
pembatasan aksesterhadap berbagai pelayanan vital sepertiair, kesehatan, dan pendidikan.
Kedua,dampak tidak langsung terhadap orangmiskin yakni pengalihan sumber dayamilik
publik untuk kepentingan pribadi dankelompok, yang seharusnya diperuntukkanguna
kemajuan sektor sosial dan orangmiskin, melalui pembatasan pembangunan.Hal ini secara
langsung memiliki pengaruhkepada langgengnya kemiskinan yangdapat menimbulkan
solidaritas social semakin langka dan demoralisasi sertadapat meningkatkan angka
kriminalitas.

C.   Dampak Terhadap Politik danDemokrasi

Dampak masif korupsi terhadap politik dan demokrasi antara lainmemunculkan


kepemimpinan korup karenakondisi politik yang carut marut dancenderung koruptif,
hilangnya kepercayaan publik pada demokrasi karena terjadinyatindak korupsi besar-besaran
yangdilakukan oleh petinggi pemerintah,legislatif, yudikatif atau petinggi
partai politik, menguatnya plutokrasi (sistem politik yang dikuasai oleh pemilik modal/kapital
is), dan hancurnyakedaulatan rakyat yang disebabkankekayaan negara hanya dinikmati
olehsekelompok tertentu.

D.   Dampak terhadap Penegakan Hukum

Dampak masif korupsi terhadap penegakan hukum dapat dirasakan antaralain fungsi


pemerintahan yang mandulkarena korupsi mengikis banyak kemampuan pemerintah untuk
melakukanfungsi yang seharusnya, hilangnyakepercayaan rakyat terhadap lembaganegara
karena bobroknya penegakanhukum di Indonesia. Seharusnyalah pemerintah menciptakan
keteraturan dalamkehidupan berbangsa dan bernegara dan bukan sebaliknya.

E.   Dampak Terhadap Pertahanan danKeamanan

Dampak masif korupsi terhadap pertahanan dan keamanan antara


lain dapatmengakibatkan kerawanan HANKAMNASkarena lemahnya alutsista dan sumber
dayamanusia, lemahnya garis batas Negara karena kemiskinan yang terjadi di
daerah perbatasan negara, menguatnya sisikekerasan dalam masyarakat karenakondisi
kemiskinan pada akhirnya memicu berbagai kerawanan sosial lainnya yangsemakin membuat
masyarakat frustasimenghadapi kerasnya kehidupan.

F.   Dampak Kerusakan Lingkungan

Dampak masif korupsi juga dapatmengakibatkan kerusakan lingkungan yangditandai


dengan menurunnya kualitaslingkungan karena adanya ekslpoitasi besar
besaran sumber daya alam,menurunnya kualitas hidup yang juga
akan berdampak pada menurunnya kualitashidup manusia yang ada di dalamnya, serta
kualitas hidup global
BAB V

NILAI DAN PRINSIP ANTI KORUPSI

A.   Nilai-Nilai Anti Korupsi

 Kejujuran

Kejujuran merupakan nilai dasar yang menjadi landasan utama bagi penegakan integritas diri
seseorang. Tanpa adanya kejujuran mustahil seseorang bisa menjadi pribadi yang
berintegritas. Seseorang dituntut untuk bisa berkata jujur dan transparan serta tidak berdusta
baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kejujuran juga akan terbawa dalam bekerja
sehingga dapat membentengi diri terhadap godaan untuk berbuat curang.
 Kepedulian

Kepedulian sosial kepada sesama menjadikan seseorang memiliki sifat kasih sayang. Individu
yang memiliki jiwa sosial tinggi akan memperhatikan lingkungan sekelilingnya di mana
masih terdapat banyak orang yang tidak mampu, menderita, dan membutuhkan uluran tangan.
Pribadi dengan jiwa sosial tidak akan tergoda untuk memperkaya diri sendiri dengan cara
yang tidak benar tetapi ia malah berupaya untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk
membantu sesama.

 Kemandirian

Kemandirian membentuk karakter yang kuat pada diri seseorang menjadi tidak bergantung
terlalu banyak pada orang lain. Mentalitas kemandirian yang dimiliki seseorang
memungkinkannya untuk mengoptimalkan daya pikirnya guna bekerja secara efektif. Jejaring
sosial yang dimiliki pribadi yang mandiri dimanfaatkan untuk menunjang pekerjaannya tetapi
tidak untuk mengalihkan tugasnya. Pribadi yang mandiri tidak akan menjalin hubungan
dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab demi mencapai keuntungan sesaat.

 Kedisiplinan

Disiplin adalah kunci keberhasilan semua orang. Ketekunan dan konsistensi untuk terus
mengembangkan potensi diri membuat seseorang akan selalu mampu memberdayakan
dirinya dalam menjalani tugasnya. Kepatuhan pada prinsip kebaikan dan kebenaran menjadi
pegangan utama dalam bekerja. Seseorang yang mempunyai pegangan kuat terhadap nilai
kedisiplinan tidak akan terjerumus dalam kemalasan yang mendambakan kekayaan dengan
cara yang mudah.

 Tanggung Jawab

Pribadi yang utuh dan mengenal diri dengan baik akan menyadari bahwa keberadaan dirinya
di muka bumi adalah untuk melakukan perbuatan baik demi kemaslahatan sesama manusia.
Segala tindak tanduk dan kegiatan yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, negara, dan bangsanya. Dengan
kesadaran seperti ini maka seseorang tidak akan tergelincir dalam perbuatan tercela dan nista.

 Kerja Keras

Individu beretos kerja akan selalu berupaya meningkatkan kualitas hasil kerjanya demi
terwujudnya kemanfaatan publik yang sebesar-besarnya. Ia mencurahkan daya pikir dan
kemampuannya untuk melaksanakan tugas dan berkarya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak
akan mau memperoleh sesuatu tanpa mengeluarkan keringat.

 Kesederhanaan

Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang menyadari kebutuhannya dan
berupaya memenuhi kebutuhannya dengan semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak
tergoda untuk hidup dalam gelimang kemewahan. Kekayaan utama yang menjadi modal
kehidupannya adalah ilmu pengetahuan. Ia sadar bahwa mengejar harta tidak akan pernah ada
habisnya karena hawa nafsu keserakahan akan selalu memacu untuk mencari harta sebanyak-
banyaknya.

 Keberanian

Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki keberanian untuk menyatakan
kebenaran dan menolak kebathilan. Ia tidak akan mentolerir adanya penyimpangan dan
berani menyatakan penyangkalan secara tegas. Ia juga berani berdiri sendirian dalam
kebenaran walaupun semua kolega dan teman-teman sejawatnya melakukan perbuatan yang
menyimpang dari hal yang semestinya. Ia tidak takut dimusuhi dan tidak memiliki teman
kalau ternyata mereka mengajak kepada hal-hal yang menyimpang.

 Keadilan

Pribadi dengan karakter yang baik akan menyadari bahwa apa yang dia terima sesuai dengan
jerih payahnya. Ia tidak akan menuntut untuk mendapatkan lebih dari apa yang ia sudah
upayakan. Bila ia seorang pimpinan maka ia akan memberi kompensasi yang adil kepada
bawahannya sesuai dengan kinerjanya. Ia juga ingin mewujudkan keadilan dan kemakmuran
bagi masyarakat dan bangsanya.

B.   PRINSIP-PRINSIP ANTIKORUPSI

a) Akuntabilitas

Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah
yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena
itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-
perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk
komitmen dan dukungan masyarakat (de facto). Sebagai bentuk perwujudan prinsip
akuntabilitas, undang-undang keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti
rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah
merugikan Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap
penganggaran biaya dapat disusun sesuai target atau sasaran.Agenda-agenda yang harus
ditempuh untuk mewujudkan prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara
meliputi dua aspek yaitu :

1.)   Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama ini adalah
bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap yang ditunjukkan
kepada penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan dan yang menadai, yakni
Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang kemudian ditembuskan kepada
komponen-komponen atau lembaga yang melakukan pengawasan.

2.)   Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas sebagai
penilaian dan evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses pelaksanaan seperti diuraikan
sebelumnya dan tidak dilakukan.

b) Transparansi

Transparansi merupakan prinsip yang mengharuskan semua proses kebijakan 


dilakukan secara terbuka, sehingga segala bentuk penyimpangan dapat diketahui oleh public.
Dalam konteks pemberantasan korupsi yang melibatkan kekuasaan dan keuangan, ada sector-
sektor yang mengharuskan keterlibatan masyarakat agar tidak terjebak dalam lingkaran setan
korupsi yang begitu akut dan menyengsarakan  rakyat.

Kurangya transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak
tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya bisa dilihat dari
aliran dana tertentu  (non budgeter) yang ada dibeberapa departemen. Ketidaktahuan 
masyarakat akan dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat untuk
menikmatinya sesuka hati.

c) Fairness

Fairness merupakan salah satu prinsip antikorupsi yang mengedepankan kepatuhan


atau Kewajaran. Prinsip fairnesssaesungguhnya lebih ditujukan untuk mencegah terjadinya
manipulasi dalam penganggaran proyek pembangunan, baik dalam bentuk merk up maupun
ketidakwajaran kekuasaan lainnya. Jika mempelajari definisi korupsi sebelumnya, maka
dalam korupsi itu sendiri terdapat unsur-unsur manipuilasi yang penyimpangan baik dalam
bentuk anggaran, kebijakan, dan sebagainya.Prinsip fairness bertujuan mencegah
menjalarnya praktek-praktek ketidakwajaran, baik berupa penipuan maupun penyimpangan
dalam segala level kehidupan. di samping itu, fairnessdapat menggiring setiap proses
pembangunan khususnya yang berkaitan dengan penganggaran berjalan secara wajar, jujur,
dan sesuai dengan prosedur yang telah di sepakati bersama pemerintah dan rakyat.

d) Kebijakan Anti Korupsi

Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah sosial.
Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbangsa telah
memaksa setiap Negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa Negara
membuat aturan main anti korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi.
Kebijakan tersebut tidak selalu identik dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa
undang-undang  kebebasan mengakses informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-
undang anti monopoli, mauoun yang lainnya yang dapat memudahkan masyarakat
mengetahui sekaligus mengontrol kinerja dan penggunaan anggaran Negara oleh para pejabat
Negara.
Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hukum atau penegakan
hukum di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat korupsi. Korupsi
bagian dari nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di kendalikan dan di control oleh
peraturan atau undang-undang langkah ini merupakan subsistem dari keseluruhan sistem
kehidupan sebuah Negara yang merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi
terciptanya sebuah kenegaraan yang harmonis.

Kebijakan antikorupsi dapat di lihat dalam beberapa perspektif Pertama,isi kebijakan.


Komponen penting dari sebuah kebijakan adalah konten atau isi dari kebijakan tersebut.
Dengan kata lain, kebijakan anti-korupsi menjadi efektif apabila di dalamnya terkandung
unsure-unsur yang terkait dengan persoalan korupsi sebagai focus dari kegiatanm tersebut.
Paling tidak, di dalamnya terkandung unsure-unsur yang secara teoretis dapat menjawab
persoalan yang hendak di atur dalam kebijakan antikorupsi.

Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari para
pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari kualitas dan
integritas pembuatnya. Sekaligus akan menentukan kualitas isi kebijakan tersebut. Apabila
pembuat kebijakan antikorupsi adalah mereka yang tidak memahami duduk masalah korupsi
atau justru mereka menjadi bagian dari carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat
menjadi control dan memberikan jalan dari tindakn korupsi, justru tindakan tersebut bias
menjadi bumerang bagi pemberantasan korupsi.

Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi apabila di
dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan dalm struktur
kenegaraan modern terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga
pemasyarakatan. Apabila penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakkanya
sebagai aturan yang mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya, maka sebuah kebijakan
hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang justru melahirkan kesenjangan,
Ketidakadilan, dan bentuk penyimpangan lainya.

Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait dengan nilai-
nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hokum undang-
undang anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi 
masyarakat dalam pemberantasan korupsi.

Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi sebuah
kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen tersebut akan
berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan korupsi melalui kebijakan yang ada.

Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi secara
maksimal baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun  karena tidak di potong oleh
sistem maupun budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi yang
seharusnya bias efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal. hal ini bias di lihat
dari sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang belum mampu menghasilkan kerja
maksimal di bandingkan dengan keberadaan undang-undang atau peraturan antikorupsi yang
sudah ada sejak lama. Bahkan sebagai Negara asia yang memiliki undang-undang
antikorupsi, Indonesia jusdtru berada di tingkat yang sangat rendah dalam peringkat Negara-
negara yang bebas dari korupsi.

e) Control Kebijakan

Menurut David Korten  lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari
pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan kewenangan
pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas
pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama
sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk beluk
kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus demokratisasi,
paradigma tersebut harus di rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa control
kebijakan.

Terbentuknya lembaga atau forum-forum yang peduli terhadap masalah- masalah


penganggaran merupakan embrio bagi tumbuh dan berkembangya gerakan rakyat untuk
melakukan control dan pengawasan kepada pemerintah. Pada saat kesadaran masyarakat
yang kian bangkit itu, maka langkah-langkah yang  dan konkret dari setiap lembaga di
harapkan mengembalikan tiga strategi pokok yang saling terkait yaitu: analisis kebijakan,
advokasi, dan pemberdayaan komunitas local. Semuanya mengarah pada upaya menciptakn
proses-proses penganggaran yang transparan untuk kepentingan masyarakat local dan daerah.

Paling tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi,
penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tiga model control tersebut
tergantung pada bentuk rumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah serta  pilihan politik
yang hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan
masyarakat dalam mengontrol kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip
penganggaran dan pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat
perundang-undangan,  transparan, akuntabilitas, alokasi dan distribusi, stabilitas dan
kepatuhan seta keadilan, maka keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Secara lebih
focus, yang menjadi sasaran pengawasan dan control public dalam proses pengelolaan
anggaran Negara adalah: pertama, berkaitan dengan konsistensi dalam perencanaan program
atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan denghan pelaksanaan penganggaran itu sendiri.

Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar masyarakat
secara intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sektor-sektro yang meliputi:

1.  Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi, penjualan migas
dan sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.

2.  Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses penepatan
pajak retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman
luar negeri dan pengolalanya dalam penganggaran.
3.  Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan oleh
kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas pekerjaan secara
fisik.

4.  Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan dalam
penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima hasil (out put)
pekerjaan, tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis terhadap kualitas setiap pekerjaan
yang telah dikerjakan , terutama proyek-proyek fisik.

Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai proses pembuatan sampai pelaksanaan
dan dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari itu,
seluruh rangkaian kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.

BAB VI

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI

A.   Upaya Penanggulangan Tindak KorupsiDengan Hukum Pidana

Kebijakan penanggulangan kejahatanatau yang biasa dikenal dengan


istilah politik kriminal ataucriminal policyolehG. Peter Hoefnagels dibedakan sebagai berikut
(Nawawi Barda: 2008):

a)    Kebijakan penerapan hukum pidana(criminal law application); 

b)   Kebijakan pencegahan tanpa hukum pidana (prevention without  punishment );

c)    Kebijakan untuk mempengaruhi pandangan masyarakat mengenaikejahatan dan


pemidanaan lewat mediamassa(influencing views of society oncrime and punishment/mass
media).

Melihat pembedaan tersebut, secaragaris besar upaya penanggulangankejahatan dapat


dibagi menjadi 2 (dua)yakni melalui jalur penal (denganmenggunakan hukum pidana) dan
jalur non-penal (diselesaikan di luar hukum pidana dengan sarana sarana non-penalmisalnya
penyuluhan, pendidikan dll).Menurut Barda Nawawi Arief,
upaya penanggulangan kejahatan melalui jalur  penal lebih menitikberatkan pada sifatrepresif
(penumpasan/ penindakan/ pemberantasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur non-
penal lebihmenitikberatkan pada sifat preventif (pencegahan). (Nawawi Arief : 2008).Berikut
akan dipaparkan berbagaiupaya atau strategi yang dilakukan untuk memberantas korupsi
yang dikembangkanolehUnited Nationsyang dinamakantheGlobal Program Against
Corruption dandibuat dalam bentuk United Nations Anti-Corruption Toolkit (UNODC:
2004).

B.   Strategi Atau Upaya Pemberantasan Korupsi

1.    Pembentukan Lembaga Ani-Korupsi

Salah satu cara untuk memberantaskorupsi adalah dengan membentuk lembaga yang


independen yang khususmenangani korupsi. Sebagai
contohdi beberapa Negara didirikan lembaga yangdinamakanOmbudsmanyang
tugasnyaantara lain menyediakan sarana bagimasyarakat yang hendak mengajukankeberatan
tentang apa yang dilakukan olehlembaga pemerintah dan pegawainya.Selain itu
juga,Ombudsmanmemberikanstandar perilaku sertacode of conduct bagilembaga pemerintah
maupun lembagahukum yang membutuhkan. NegaraIndonesia sendiri sudah memiliki
lembagayang khusus dibentuk untuk memberantaskorupsi, yaitu Komisi
PemberantasanKorupsi.

a) Memperbaiki kinerja lembaga peradilan baik dari tingkat kepolisian,kejaksaan, pengadilan dan


lembaga pemasyarakatan;

b)   Di tingkat departemen,kinerja lembaga-lembaga diaudit sepertiinspektorat Jenderal harus


ditingkatkan;

c)   Reformasi birokrasi dan reformasi pelayanan publik adalah salah satu carauntuk mencegah


korupsi;

d)   Memantaudan memperbaiki kinerja PemerintahDaerah;

e)   Mempergunakan hak pilihdengan baik baik itu dalam pilkada, pemiludan pilpres.

2. Pencegahan Korupsi Di Sektor Publik 

a)   Mewajibkan pejabat public untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang
dimiliki, baik sebelum maupun sesudah menjabat

b)   Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang, baik di pemerintahan pusat, daerah, maupun
militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah melakukan lelang atau
penawaran secara terbuka.

c)   Membuat dan mengembangkan system yang transparan dan akuntabel dalamhal perekrutan
negawai negeri dananggota militer.

d)   Selain system perekrutan, perlu pengembangan system penilaian kinerja pegawai negeri yang
menitik beratkan pada proses dan hasil kerja akhir.

3. Pencegahan Korupsi Melalui Sosial DanPemberdayaan Masyarakat


a)    Memberikan hak pada masyarakatuntuk mendapatkan akses terhadapinformasi 

b)   Meningkatkan kesadaran sertakepedulian public dengan caramelakukan kampanye tentang


bahayakorupsi

c)    Menyediakan sarana bagi masyarakatuntuk melaporkan kasus korupsi.

d)   Tidak memberlakukan pasal mengenai“fitnah” dan pencemaran nama


baik bagi orang yang melaporkan dugaankorupsi.

e)   Memfungsikan pers sebagai alatkampanye mengenai bahaya korupsi,dan melakukan


pengawasan atas perilaku pejabat publik.

f)    Meningkatkan pengawasan melaluiLembaga Swadaya Masyarakat

4.   Pengembangan dan PembuatanBerbagai Instrument Hukum yangMendukung


Pencegahan danPemberantasan Korupsi.
Untuk mendukung pencegahan dan pemberantasan korupsi tidak cukupmengandalkan
satu instrument hokum yakni undang-undang pemberantasantindak  pidana korupsi. 

Salah satu peraturan perundang-undangan yang harusada untuk mendukung


pemberantasankorupsi adalah undang-undangtindak  pidana pencucian uang, undang
undang perlindungan saksi dan korban, undang-undang pers.

Hal ini bertujuan untuk lebihmemberdayakan masyarakat. Masyarakattidak boleh


takut melaporkan kasuskorupsi yang diketahuinya. Selain itu,untuk mendukung pemerintahan
yang bersih, perlu instrument kode etik yangditujukan untuk semua pejabat public,
baik  pejabat eksekutif, legislatife maupun kodeetik bagi aparat penegak hukum (kepolisian,
kejaksaan, hakim dan advokat)

5. Monitoring dan evaluasi

Menindak lanjuti upaya upaya pemberantasan korupsi di atas, maka yang penting untuk


dilakukan selanjutnya adalahmelakukan monitoring dan evaluasiterhadap seluruh pekerjaan
atau kegiatan pemberantasan korupsi. Untuk strategi
atau program yang sukses sebaiknyadilanjutkan, sedangkan untuk yang gagal,harus dicari
penyebabnya dan dicarikansolusi yang lebih baik.
BAB VII

GERAKAN KERJASAMA DAN INTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN


KORUPSI

A.      Gerakan Kerja Sama Internasional dan Instrumen Pencegahan Korupsi

 G8 Declaration on Recovering Proceeds of Corruption

     Adopsi atas The G8 Ministerial Declaration on Recovering Proceeds of Corruption atau
Deklarasi G8 atas Pengembalian Aset hasil Korupsi ini dilakukan pada saat pertemuan
G8Justice and Home Affairs Ministers  yang diadakan di Washington, 11 May 2004.
Deklarasi ini membuka jalan untuk serangkaian inisiatif dengan tujuan untuk membantu
negara korban kejahatan korupsi mendapatkan kembali aset korupsi itu. Dalam hal
Pengembalian Aset, Deklarasi ini melengkapi inisiatif StAR atau Stolen Assets Recovery
Initiatif.

     Deklarasi ini meminta negara-negara G8 untuk:

a. membentuk suatu team gabungan yang berisi ahli dalam Bantuan Timbal Balik
ketikamenerima permintaan dari negara korban

b. membentuk satuan tugas berdasarkan kasus atas permintaan dari negara korban

c. menyelenggrakan workshop regional sebagai sarana tukar menukar informasi dengan negara
korban dalam hal teknik-teknik investigasi keuangan internasional dan tata cara bantuan
timbal balik

d. memastikan tiap-tiap negara G8 mempunyai aturan yang meminta dilakukan Penelusuran


Lebih Ketat atau enhanced due diligence untuk rekening orang-orang yang masuk
kategoriPolitically Exposed Persons, dalam hal aturan tentang Informasi transaksi digital
[Wire Transfer Originator Information]

e.  menyusun manual tentang prosedur permintaan dan pengembalian aset

f. mencari alternatif yang lebih efektif dalam mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi

 StolenAssets Recovery [StAR] Initiative

     The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, yang diluncurkan oleh World Bank dan
UNODC di New York, pada tanggal 17 September 2007, bertujuan untuk menolong negara-
negara berkembang mendapatkan kembali aset/dana tercuri itu dan membantu mereka dalam
mempergunakan dana curian yang dikembalikan itu untuk kepentingan pembangunan. Untuk
mencapai tujuan itu, peranan negara-negara maju juga disebut terutama untuk mengurangi
halangan kembalinya dana-dana curian itu ke negara yang berhak.
Dalam prakteknya, StAR didesain untuk bekerja di 4 area:

•   Membantu negara-negara berkembang memperkuat lembaga penegak hukum dan proses


penegakkan hukumnya.

• Memperkuat integritas Pasar Keuangan dengan mengajak lembaga-lembaga keuangan agar


mematuhi peraturan tentang pencucian uang dan memperkuat kerja sama di antara financial
intelligence units [seperti PPATK] di seluruh dunia.

•   Membantu negara-negara berkembang dalam mengembalikan asetnya dengan cara


memberikan pinjaman atau hibah untuk membiayai biaya awal proses pengembalian aset,
memberikan nasehat hukum atau menyewa pengacara, serta memfasilitasi kerja sama antar
negara.

• Mengawasi penggunaan aset yang dikembalikan agar dipergunakan untuk kepentingan


pembangunan, seperti pendidikan dan infrastuktur.

B.   Intrumen Internasional Pencegahan Korupsi

 United Nations Convention Against Corruption (UNCAC)

Telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara. Penandatanganan pertama kali dilakukan
pada konvensi internasional yang diselenggarakan di Mérida, Yucatán, Mexico, pada tanggal
31 Oktober 2003

 Convention on Bribery of Foreign Public Official in International Business Transaction


konvensi internasional yang dipelopori oleh OECD. Konvensi ini menetapkan standar-standar
hukum yang mengikat (legally binding) negara-negara peserta untuk

mengkriminalisasi pejabat publik asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi bisnis
internasional.

C.   Belajar Pencegahan Korupsi dari Negara Lain

      HONG KONG - Bicara soal pemberantasan korupsi, banyak pakar yang mengatakan
bahwa Hong Kong adalah sebuah contoh sukses bagaimana mereka berhasil memberantas
korupsi. Empat puluh tahun yang lalu, organisasi anti-korupsi Transparansi Internasional
mencatat bahwa Hong Kong merupakan salah satu negara terkorup di dunia.

"Saya ingin membandingkan Hong Kong (tahun 1970-an) dengan Argentina saat ini," kata
Ran Liao, koordinator program senior untuk kawasan Asia Timur dan Selatan.
Transparansi Internasional baru mempublikasikan Indeks Persepsi Korupsi sejak 1995,
namun mereka memiliki data mengenai Hong Kong sejak tahun 1970-an, di mana Liao
mengatakan saat itu Hong Kong berada pada tingkat yang sejajar tidak hanya dengan
Argentina, tapi juga Gabon dan Tanzania.

Menurut Indeks Persepsi Korupsi terbaru, ketiga negara tersebut memiliki nilai rendah hanya
35 dari total 100, dari skala O (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Sementara itu, kini Hong Kong berhasil mendapat nilai 77 dari total 100, menempatkan
negeri ini di urutan 14 dari 176 negara, yang berarti bahwa Hong Kong dianggap sedikit lebih
korup dibandingkan Jerman (13), namun lebih bersih dibandingkan Inggris (17) dan AS (19).
Lalu, bagaimana caranya Hong Kong bisa berhasil menekan angka korupsi? Perubahan itu
berawal ketika bekas koloni Inggris itu dilanda aksi demonstrasi massal di jalanan setelah
Peter Godber, yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur polisi, melarikan diri dari Hong
Kong ketika tengah diselidiki atas dugaan melakukan korupsi. Aksi demonstrasi itu memicu
didirikannya Komisi Independen Anti-Korupsi (ICAC), sebuah badan pemerintah dengan
kewenangan penyidikan yang luas. Namun perubahan ini tidak hanya ditujukan pada pejabat
pemerintah saja. "Mereka mengadopsi pendekatan tiga tujuan, yaitu hukuman, pendidikan
dan pencegahan," kata Liao. Pendidikan dimulai di taman kanak-kanak lokal, di mana
beberapa tokoh yang diciptakan ICAC mengedepankan dilema etika dan cerita-cerita kepada
anak-anak yang menyampaikan pesan bahwa kejujuran selalu menang."Kami tidak
mengajarkan mereka mengenai hukum namun kami mengajarkan mereka mengenai nilai-
nilai," kata Monica Yu, direktur eksekutif Pusat Pengembangan Etika Hong Kong, sebuah
divisi ICAC.

·       Tidak Pernah Mentolerir Korupsi

Dua generasi setelah pendekatan ini dijalankan, Yu mengatakan terbukti terjadi pergeseran
budaya yang sangat besar dalam perilaku di kalangan penduduk China lokal. "Kami
menghitung tingkat toleransi warga terhadap korupsi, dari skala nol sampai 10. Nol berarti
sangat tidak mentolerir dan 10 berarti sangat mentolerir. Selama 10 tahun belakangan ini,
rata-rata nilainya adalah 0,8; 0,7 atau sekitar itu," kata Yu. Hasil ini membuat Yu
menyimpulkan, "Kini di Hong Kong, warga tidak akan pernah mentolerir korupsi." Ia
mengatakan minimnya toleransi dalam hal melanggar aturan memperkuat perilaku etis, baik
di lingkungan publik mau pun pribadi, di mana nama sang pelanggar disebutkan dan
dipermalukan oleh rekan-rekan mereka.
"Sangat sering orang akan datang ke ICAC untuk melaporkan korupsi, setiap kali mereka
mencurigai terjadinya kasus korupsi. Ini adalah perubahan besar jika dibandingkan dengan
sebelum ICAC didirikan," sahut Yu. Liao setuju. "Sebelum ICAC didirikan tidak ada seorang
pun yang memikirkan untuk melakukan cara yang begitu komprehensif untuk melawan
korupsi," sahutnya. Ketika penjara hanyalah satu-satunya hukuman untuk tindak pidana
korupsi, itu menunjukkan bahwa ada masalah lain: tidak ada upaya yang benar-benar
dilakukan untuk melawan korupsi.
"Hukuman berarti Anda harus terbukti melakukan pelanggaran," kata Liao. "Pencegahan
adalah hal yang sangat penting, (ICAC) bicara pada sektor-sektor yang berbeda, misalnya,
sektor-sektor perbankan dan konstruksi." ICAC menerbitkan panduan bagi dunia usaha dan
mencoba mengidentifikasi berbagai operasi yang berisiko tinggi. Institusi ini juga
mengorganisir berbagai acara untuk membahas mengenai isu-isu ini dan mendorong agenda
pencegahan korupsi di sektor bisnis dan pemerintah. Dalam proses itu, para karyawan
diberitahukan bagaimana dan kepada siapa melaporkan adanya praktek yang diduga korupsi.

D.     Pentingnya Ratifikasi Konvensi Antikorupsi


Kehadiran konvensi antikorupsi menandai sebuah momentum penting diakuinya
praktek korupsi sebagai kejahatan global (transnasional). Oleh karenanya, cara memberantas
dan mencegah korupsi membutuhkan dukungan yang saling menguntungkan antara satu
negara dengan negara yang lain. Kejahatan korupsi bukan lagi urusan domestik negara yang
bersangkutan, akan tetapi menjadi persoalan global yang harus ditangani dalam semangat
kebersamaan.

Tanpa adanya sikap saling mempercayai dan memberikan dukungan dalam


memberantas korupsi, kejahatan yang telah merusak sendi-sendi ekonomi, sosial dan politik
ini akan selalu menghantui hubungan antar negara, baik dalam konteks politik maupun
ekonomi. Ketidakpercayaan para pebisnis asing terhadap iklim usaha di Indonesia yang
dinilai sarat ekonomi biaya tinggi misalnya cukup memberikan bukti bahwa korupsi
berdampak pada hubungan ekonomi yang merugikan.
BAB VIII

TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


DIINDONESIA

A.  Sejarah Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Sejarah pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi sesungguhnya sudah dimulai


sejak tahun 1960 dengan munculnya Perpu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan
tindak pidana korupsi. Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya
yang dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-
karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-
alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain
mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari
dakwaan.

Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya masih tetap UU
24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri
Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9
orang yang diindikasikan “koruptor”.

Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan
memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas
korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat.
Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan
Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi,
yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang
diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis
penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Koruptor itu
menilep uang negara Rp. 7,6 milyar, jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang
dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan bahkan sedikit sekali pelaku tindak
pidana korupsi yang diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang dipetieskan atau tidak
diketahui kelanjutannya secara jelas.

Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi
Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa
eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum
terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua
bulan sejak terbentuk.

Pada tahun 1977 dengan berdasarkan Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah melancarkan
Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam empat tahun (1977-81) Opstib telah menyelamatkan
uang negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai. Opstib merupakan gabungan dari
unsur polisi, kejaksaan, militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap
tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan
pemerintah.

Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, dibentuk Tim Gabungan


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Tim ini berada di bawah Jaksa Agung
Marzuki Darusman. TGPTPK dibentuk sebagai lembaga sementara sampai terbentuknya
Komisi Pemberantasan Korupsi yang merupakan amanat UU No.31 tahun 1999 tentang
pemberantasan korupsi. Sayang, TGPTPK yang beranggotakan jaksa, polisi dan wakil dari
masyarakat tidak mendapat dukungan. Bahkan oleh Jaksa Agung sendiri. Permintaan
TGPTPK untuk mengusut kasus BLBI yang banyak macet prosesnya ditolak oleh Jaksa
Agung. Akhirnya, TGPTPK dibubarkan tahun 2001 ketika gugatan judicial review tiga orang
Hakim Agung pernah diperiksa oleh TGPTPK dikabulkan oleh Mahkamah Agung.

Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran Negara
(KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf
Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian, namun banyak kasus yang
tidak ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik
Jaksa Agung waktu itu, MA Rachman. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Upaya terakhir mempertahankan KPKPN
melalui permohonan Judicial Review akhirnya ditolak oleh Mahakamah Konstitusi.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini
dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana
Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima
1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya
ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil
dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah
divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang terjadi di
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan KPK berhasil
menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai Setjen KPU ke penjara.
Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan namun apa yang telah dilakukan
oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus
korupsi di Indonesia.

Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu
Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas
memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun
belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah
menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan
Australia. Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang
terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.

Tim pemberantasan korupsi yang terakhir dibentuk adalah Tim Koordinasi


Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) yang dibentuk Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 pada
tanggal 2 Mei 2005. Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai oleh Hendarman
Supandji. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus dan/atau indikasi tindak pidana korupsi.
Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta
menelusuri asetnya dalam rangka pengembalian keuangan secara optimal.

Masa tugas Tim yang terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur kepolisian,
kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Tim ini berada dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Setiap tiga bulan, timtas tipikor melaporkan
perkembangan kerjanya kepada Presiden. Tidak lama setelah berdiri, tim ini sudah
disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 badan usaha milik negara
(BUMN), 4 Departemen, 3 perusahaan swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri.
Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menentukan adanya
kriteria kasus korupsi yang dapat langsung ditangani oleh komisi, dalam Kepres No. 11
Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum keberadaan Timtas Tipikor tidak menyebutkan
kriteria kasus apa saja yang menjadi kewenangannya.

B.   Delik Korupsi Menurut Undang-Undang dan Gratifikasi

1.    Pasal 2 ayat (1):

• Setiap orang

• secara melawan hukum

• memperkaya diri sendiri/orang lain/suatu korporasi

• dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara

Ayat (2):

Dilakukan dalam keadaan tertentu

UU No. 20/2001

Pasal 1 angka 1:

“Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga…”

Penjelasan Pasal 1 angka 1:

“Pasal 2 ayat (2)

… adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan,

•   terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan: keadaan bahaya, bencana alam
nasional, akibat kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi/moneter; dan

•   pengulangan tindak pidana korupsi

2.    Pasal 3:
•   Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan.kedudukan dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara

3.    Pasal 13:

•   Setiap orang memberi hadiah/janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan/
wewenang yang melekat pada jabatan/kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah/janji
dianggap melekat pada jabatan/kedudukan tersebut

4.    Pasal 15:

•   Setiap orang yang mencoba/ membantu/ bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi
BAB IX

PERAN DAN KETERLIBATAN MAHASISWA

DALAM GERAKAN ANTI KORUPSI

A.      GERAKAN ANTI KORUPSI

Korupsi di Indonesia sudah berlangsung lama. Berbagai upaya pemberantasan


korupsipun sudah dilakukan sejak tahun-tahun awal setelah kemerdekaan. Dimulai dari Tim
Pemberantasan  Korupsi pada tahun 1967 sampai dengan pendirian  KPK pada tahun 2003.

Berdasarkan UU No.30 tahun 2002, pemberantasan  Tindak Pidana Korupsi


dirumuskan sebagai serangkaian tindakanuntuk mencegah dan memberantastindak pidana
korupsi - melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan,
penuntutan,  dan pemeriksaan di sidang pengadilan - dengan peran serta masyarakat
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Upaya pemberantasan  korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran
serta masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan  korupsi terdapat 3 (tiga)
unsur utama, yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Salah satu upaya
pemberantasan  korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan  Anti-korupsi di
masyarakat.

B.    Peran Mahasiswa

Dalam sejarah  perjalanan  bangsa Indonesia  tercatatbahwa mahasiswa  mempunyai


peranan  yang sangat penting.

• Kebangkitan  Nasional tahun 1908

• Sumpah  Pemuda tahun 1928

• Proklamasi   Kemerdekaan  NKRI tahun 1945

• Lahirnya Orde Baru tahun 1966

• Reformasi  tahun 1998.


Tidak dapat  dipungkiri bahwa  dalam  peristiwa-peristiwa besar tersebut mahasiswa tampil 
di depan sebagai motor penggerak  dengan  berbagai  gagasan, semangat dan idealisme yang
mereka miliki.

Mahasiswa memiliki karakteristik intelektualitas, jiwa muda, dan idealisme. Dengan


kemampuan  intelektual yang tinggi, jiwamuda yang penuh semangat, dan idealisme yang
murni telah terbukti bahwa mahasiswa selalu mengambil peran penting dalam sejarah
perjalanan bangsa ini. 

Mahasiswa didukung oleh modal dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia,
kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan
kompetensi  yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen
perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu  mengkritisi kebijakan-
kebijakan yang koruptif, dan mampu  menjadi watch doglembaga-lembaga negara dan
penegak hukum.

C.    Keterlibatan Mahasiswa

Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
empat wilayah, yaitu:

• Lingkungan keluarga

• Lingkungan kampus

• Masyarakat sekitar

• Tingkat lokal/nasional
BAB X
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Korupsi merupakan praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan demikian
baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor. Pendidikan
antikorupsi harus dikenalkan pada anak sejak awal anak mulai dikenalkan nilai-nilai anti
korupsi.Tujuan dari pendidikan anti-korupsi adalah untuk membangun nilai-nilai dan
mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk posisi sipil murid dalam
melawan korupsi.

Upaya pemberantasan  korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran
serta masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan  korupsi terdapat 3
(tiga) unsur utama, yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Salah
satu upaya pemberantasan  korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan  Anti-
korupsi di masyarakat.

B. SARAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis menyarankan agar para pembaca dan
seluruh masyarakat luas hendaknya memiliki kesadaran untuk tidak melakukan korupsi,
karena selain melanggar hukum, korupsi juga dapat merugikan banyak orang. Selain itu,
masyarakat, pemerintah serta instansi terkait perlu melakukan kerja sama secara sinergis
untuk dapat mengimplementasikan dan menerapkan pendidikan anti korupsi dini di
segala aspek kehidupan
DAFTAR PUSTAKA

1. http://ashbur-backstage.blogspot.com/2011/03/pentingnya-pendidikan-anti-
korupsi.html.
2. http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-menurut-ahli/&#8221
3. http://guru.or.id/perlukah-pendidikan-antikorupsi-itu.html
4. http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-model-bentuk-jenis-korupsi.html.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku
Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia, 2003.Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta
6. Satya Widyananda, Adhyta. 2014. Peran Pendidikan Anti Korupsi Dini Dalam
Mencegah Terjadinya Tindak Korupsi. Makalah. Tidak diterbitkan. Malang. Univesrsitas
Negeri Malang

Anda mungkin juga menyukai