Disusun Oleh :
(Kelompok IV)
1. Aditya Pratama
2. Akbar Hidayatullah
3. Nur Zahra
4. Putri Ulul Azmi
5. Rahayu
6. Salabillah Bajamal
7. Siti Rahma
DIV KEPERAWATAN
2020
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan Rahmat,
Taufik dan Hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan Makalah Pendidikan Anti Korupsi
dengan pengetahuan yang kami miliki.
Kami berharap makalah ini berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai Pendidikan Anti Korupsi. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan – kekurangan dan jauh dari apa yang kami
harapkan. Untuk itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang
membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila ada kata – kata yang kurang
membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Korupsi merupakan kata yang dinegasikan oleh setiap orang, namun tidak orang
menyadari bahwa korupsi telah menjadi bagian dari dirinya. Hal ini biasanya terjadi akibat
pemahaman yang keliru tentang korupsi atau karena realitas struktural yang menghadirkan
korupsi sebagai kekuatan sistematik yang membuat tak berdaya para perilakunya. Ada nilai-
nilai kultural seperi pemberian hadiah yang mendorong seseorang untuk melakukan tindakan
korupsi, namun ada pula sistem yang memaksa seseorang berlaku korupsi.
B. RUMUSAN MASALAH
BAB II
PENGERTIAN KORUPSI
A. Definisi Korupsi
Korupsi sejatinya berasal dari bahasa Latin (Fockema Andreae : 1951). Yaitu
Corruptio yang arti harfiahnya adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran,
dapat disuap tidak bermoral penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang
menghina atau memfitnah.
Dari beberapa defenisi diatas, baik secara etimologis maupun terminologis, korupsi
dapat dipahami dalam tiga level. Pertama Korupsi dalam pengertian tindakan pengkhianatan
terhadap kepercayaan, kedua pengertian dalam semua tindakan penyalahgunaan kekuasaan
baik pada tingkat negara maupun lembaga-lembaga struktural lainnya termasuk lembaga
pendidikan. Ketiga korupsi dalam pengertian semua bentuk tindakan penyalahgunaan
kekuasaanuntuk mendapatkan keuntungan materil.
B. Bentuk-Bentuk Korupsi
5) Menggunakan uang yang tidak tepat, memalsukan dokumen dan menggelapkan uang,
mengalirkan uang lembaga ke rekening pribadi, menggelapkan pajak, jual beli besaran pajak
yang harus dikenali, dan menyalahgunakan keuangan.
6) Menipu dan mengecoh, memberi kesan yang salah mencurangi dan memperdaya serta
memeras.
7) Mengabaikan keadilan, memberi kesaksian palsu menahan secara tidak sah dan menjebak.
11) Menyuap, menyogok, memeras, mengutip pungutan secara tidak sah dan meminta komisi.
12) Jual beli objek pemeriksaan, menjual temuan, memperhalus dan mengaburkan temuan.
13) Menggunakan informasi internal dan informasi rahasia untuk kepentingan pribadi dan
membuat laporan palsu.
14) Menjual tanpa izin jabatan pemerintah, barang milik pemerintah, dan surat izin pemerintah.
18) Menerima hadiah uang jasa, uang pelicin dan hiburan, perjalanan yang tidak pada tempatnya.
19) Penempatan uang pemerintah kepada Bank tertentu yang berani memberikan bujed yang
tidak sesuai yang sebenarnya.
22) Memata-mata secara tidak sah, menyalahgunakan telekomunikasi dan pos untuk kepentingan
pribadi.
23) Menyalahgunakan stempel dan kertas surat kantor, rumah jabatan dan hak istimewa jabatan.
C. Sejarah Korupsi
Pada era di bawah kepemimpinan Soekarno, tercatat sudah dua kali dibentuk Badan
Pemberantasan Korupsi – Paran dan Operasi Budhi – namun ternyata pemerintah pada waktu
itu setengah hati menjalankannya. Paran, singkatan dari Panitia Retooling Aparatur Negara
dibentuk berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, dipimpin oleh Abdul Haris Nasution
dan dibantu oleh dua orang anggota yakni Prof M Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Salah satu tugas Paran saat itu adalah agar para pejabat pemerintah diharuskan
mengisi formulir yang disediakan – istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara. Dalam
perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi
keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran
tetapi langsung kepada Presiden.
Lembaga ini di kemudian dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”. Sasarannya adalah
perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-lembaga negara lainnya yang dianggap rawan
praktik korupsi dan kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya,
untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan permohonan kepada Presiden
untuk menjalankan tugas ke luar negeri, sementara direksi yang lain menolak diperiksa
dengan dalih belum mendapat izin dari atasan.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan, keuangan negara dapat
diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11 miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun
waktu itu. Karena dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi
dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor, “prestise Presiden harus
ditegakkan di atas semua kepentingan yang lain”.
Tahun 1970, terdorong oleh ketidak-seriusan TPK dalam memberantas korupsi seperti
komitmen Soeharto, mahasiswa dan pelajar melakukan unjuk rasa memprotes keberadaan
TPK. Perusahaan-perusahaan negara seperti Bulog, Pertamina, Departemen Kehutanan
banyak disorot masyarakat karena dianggap sebagai sarang korupsi. Maraknya gelombang
protes dan unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa, akhirnya ditanggapi Soeharto dengan
membentuk Komite Empat beranggotakan tokoh-tokoh tua yang dianggap bersih dan
berwibawa seperti Prof Johannes, IJ Kasimo, Mr Wilopo dan A Tjokroaminoto. Tugas
mereka yang utama adalah membersihkan antara lain Departemen Agama, Bulog, CV
Waringin, PT Mantrust, Telkom, dan Pertamina. Namun kornite ini hanya “macan ompong”
karena hasil temuannya tentang dugaan korupsi di Pertamina tak direspon pemerintah.
4. Era Reformasi
Jika pada masa Orde Baru dan sebelumnya “korupsi” lebih banyak dilakukan oleh
kalangan elit pemerintahan. Kemudian, Presiden BJ Habibie pernah mengeluarkan UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN
berikut pembentukan berbagai komisi atau badan baru seperti KPKPN, KPPU atau lembaga
Ombudsman, Presiden berikutnya, Abdurrahman Wahid membentuk Tim Gabungan
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).
Badan ini dibentuk dengan Keppres di masa Jaksa Agung Marzuki Darusman dan
dipimpin Hakim Agung Andi Andojo, Namun di tengah semangat menggebu-gebu untuk
rnemberantas korupsi dari anggota tim, melalui suatu judicial review Mahkamah Agung,
TGPTPK akhirnya dibubarkan. Sejak itu, Indonesia mengalami kemunduran dalam upaya.
pemberantasan KKN.
Di masa pemerintahan Megawati pula kita rnelihat dengan kasat mata wibawa hukum
semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan. Lihat saja betapa
mudahnya konglomerat bermasalah bisa mengecoh aparat hukum dengan alasan berobat ke
luar negeri. Pemberian SP3 untuk Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, Sjamsul Nursalim,
The Nien King, lolosnya Samadikun Hartono dari jeratan eksekusi putusan MA, pemberian
fasilitas MSAA kepada konglomerat yang utangnya macet, menjadi bukti kuat bahwa elit
pemerintahan tidak serius dalam upaya memberantas korupsi, Masyarakat menilai bahwa
pemerintah masih memberi perlindungan kepada para pengusaha besar yang nota bene
memberi andil bagi kebangkrutan perekonomian nasional. Pemerintah semakin lama semakin
kehilangan wibawa. Belakangan kasus-kasus korupsi merebak pula di sejumlah DPRD era
Reformasi.
BAB III
Mengutip teori yang dikemukakan oleh Jack Bologne atau sering disebut GONE Theory,
bahwa faktor-faktor internal yang menyebabkan terjadinya korupsi meliputi :
Greeds (keserakahan): berkaitan dengan adanya perilaku serakah yang secara potensial
ada di dalam diri setiap orang.
Opportunities (kesempatan): berkaitan dengan keadaan organisasi atau instansi atau
masyarakat yang sedemikian rupa, sehingga terbuka kesempatan bagi seseorang untuk
melakukan kecurangan.
Needs (kebutuhan): berkaitan dengan faktor-faktor yamg dibutuhkan oleh individu-
individu untuk menunjang hidupnya yang wajar.
Exposures (pengungkapan): berkaitan dengan tindakan atau konsekuensi yang dihadapi
oleh pelaku kecurangan apabila pelaku diketemukan melakukan kecurangan.
1. Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat
sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
2. Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak
menggunakan kesempatan.
3. Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan
sebatas formalitas.
4. Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu
memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk
berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
5. Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan
ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak
pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
7. Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa
menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya.
Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
8. Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi,
karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
9. Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa
agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena
perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama
hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak
berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa
memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional
antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa
korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
BAB IV
Di sisi lain, meningkatnya korupsi berakibat pada meningkatnya biaya barang dan jasa,
yang kemudian dapat melonjakkan utang Negara. Pada keadaan ini inefisiensi terjadi, yaitu
ketika pemerintah mengeluarkan lebih banyak kebijakan, namun disertai dengan maraknya
praktik korupsi. Berbagai permasalahan ekonomi lain akan muncul secara alamiah apabila
korupsi sudah merajalela yang dapat mengakibatkan lesunya pertumbuhan ekonomi dan
investasi. Rendahnya kualitas barang dan jasa bagi public, menurunnya pendapatan Negara
dari sector pajak, meningkatnya hutang Negara.
Kejujuran
Kejujuran merupakan nilai dasar yang menjadi landasan utama bagi penegakan integritas diri
seseorang. Tanpa adanya kejujuran mustahil seseorang bisa menjadi pribadi yang
berintegritas. Seseorang dituntut untuk bisa berkata jujur dan transparan serta tidak berdusta
baik terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kejujuran juga akan terbawa dalam bekerja
sehingga dapat membentengi diri terhadap godaan untuk berbuat curang.
Kepedulian
Kepedulian sosial kepada sesama menjadikan seseorang memiliki sifat kasih sayang. Individu
yang memiliki jiwa sosial tinggi akan memperhatikan lingkungan sekelilingnya di mana
masih terdapat banyak orang yang tidak mampu, menderita, dan membutuhkan uluran tangan.
Pribadi dengan jiwa sosial tidak akan tergoda untuk memperkaya diri sendiri dengan cara
yang tidak benar tetapi ia malah berupaya untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk
membantu sesama.
Kemandirian
Kemandirian membentuk karakter yang kuat pada diri seseorang menjadi tidak bergantung
terlalu banyak pada orang lain. Mentalitas kemandirian yang dimiliki seseorang
memungkinkannya untuk mengoptimalkan daya pikirnya guna bekerja secara efektif. Jejaring
sosial yang dimiliki pribadi yang mandiri dimanfaatkan untuk menunjang pekerjaannya tetapi
tidak untuk mengalihkan tugasnya. Pribadi yang mandiri tidak akan menjalin hubungan
dengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab demi mencapai keuntungan sesaat.
Kedisiplinan
Disiplin adalah kunci keberhasilan semua orang. Ketekunan dan konsistensi untuk terus
mengembangkan potensi diri membuat seseorang akan selalu mampu memberdayakan
dirinya dalam menjalani tugasnya. Kepatuhan pada prinsip kebaikan dan kebenaran menjadi
pegangan utama dalam bekerja. Seseorang yang mempunyai pegangan kuat terhadap nilai
kedisiplinan tidak akan terjerumus dalam kemalasan yang mendambakan kekayaan dengan
cara yang mudah.
Tanggung Jawab
Pribadi yang utuh dan mengenal diri dengan baik akan menyadari bahwa keberadaan dirinya
di muka bumi adalah untuk melakukan perbuatan baik demi kemaslahatan sesama manusia.
Segala tindak tanduk dan kegiatan yang dilakukannya akan dipertanggungjawabkan
sepenuhnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat, negara, dan bangsanya. Dengan
kesadaran seperti ini maka seseorang tidak akan tergelincir dalam perbuatan tercela dan nista.
Kerja Keras
Individu beretos kerja akan selalu berupaya meningkatkan kualitas hasil kerjanya demi
terwujudnya kemanfaatan publik yang sebesar-besarnya. Ia mencurahkan daya pikir dan
kemampuannya untuk melaksanakan tugas dan berkarya dengan sebaik-baiknya. Ia tidak
akan mau memperoleh sesuatu tanpa mengeluarkan keringat.
Kesederhanaan
Pribadi yang berintegritas tinggi adalah seseorang yang menyadari kebutuhannya dan
berupaya memenuhi kebutuhannya dengan semestinya tanpa berlebih-lebihan. Ia tidak
tergoda untuk hidup dalam gelimang kemewahan. Kekayaan utama yang menjadi modal
kehidupannya adalah ilmu pengetahuan. Ia sadar bahwa mengejar harta tidak akan pernah ada
habisnya karena hawa nafsu keserakahan akan selalu memacu untuk mencari harta sebanyak-
banyaknya.
Keberanian
Seseorang yang memiliki karakter kuat akan memiliki keberanian untuk menyatakan
kebenaran dan menolak kebathilan. Ia tidak akan mentolerir adanya penyimpangan dan
berani menyatakan penyangkalan secara tegas. Ia juga berani berdiri sendirian dalam
kebenaran walaupun semua kolega dan teman-teman sejawatnya melakukan perbuatan yang
menyimpang dari hal yang semestinya. Ia tidak takut dimusuhi dan tidak memiliki teman
kalau ternyata mereka mengajak kepada hal-hal yang menyimpang.
Keadilan
Pribadi dengan karakter yang baik akan menyadari bahwa apa yang dia terima sesuai dengan
jerih payahnya. Ia tidak akan menuntut untuk mendapatkan lebih dari apa yang ia sudah
upayakan. Bila ia seorang pimpinan maka ia akan memberi kompensasi yang adil kepada
bawahannya sesuai dengan kinerjanya. Ia juga ingin mewujudkan keadilan dan kemakmuran
bagi masyarakat dan bangsanya.
B. PRINSIP-PRINSIP ANTIKORUPSI
a) Akuntabilitas
Prinsip ini pada dasarnya dimaksudkan agar segenap kebijakan dan langkah-langkah
yang dijalankan sebuah lembaga dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna. Oleh karena
itu prinsip akuntabilitas sebagai prinsip pencegahan tindak korupsi membutuhkan perangkat-
perangkat pendukung, baik berupa perundang-undangan (de jure) maupun dalam bentuk
komitmen dan dukungan masyarakat (de facto). Sebagai bentuk perwujudan prinsip
akuntabilitas, undang-undang keuangan Negara juga menyebutkan adanya kewajiban ganti
rugi yang diberlakukan atas mereka yang karena kelengahan atau kesengajaan telah
merugikan Negara. Prinsip akuntabilitas pada sisi lain juga mengharuskan agar setiap
penganggaran biaya dapat disusun sesuai target atau sasaran.Agenda-agenda yang harus
ditempuh untuk mewujudkan prinsip-prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan Negara
meliputi dua aspek yaitu :
1.) Mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban. Mekanisme yang berjalan selama ini adalah
bahwa setiap pengelolaan anggaran Negara dibuat dalam beberapa rangkap yang ditunjukkan
kepada penanggungjawab proyek pada lembaga yang bersangkutan dan yang menadai, yakni
Direktorat Jendral Anggaran Departemen Keuangan, yang kemudian ditembuskan kepada
komponen-komponen atau lembaga yang melakukan pengawasan.
2.) Berkenaan dengan upaya-upaya evaluasi. Selama ini evaluasi hanya terbatas sebagai
penilaian dan evaluasi terhadap kinerja administrasi dan proses pelaksanaan seperti diuraikan
sebelumnya dan tidak dilakukan.
b) Transparansi
Kurangya transparansi dalam pengelolaan keuangan Negara ini dapat dilihat dari tidak
tertatanya adminidtrasi keuangan Negara dengan baik. Hal ini misalnya bisa dilihat dari
aliran dana tertentu (non budgeter) yang ada dibeberapa departemen. Ketidaktahuan
masyarakat akan dana-dana tersebut memberikan keleluasaan bagi oknum aparat untuk
menikmatinya sesuka hati.
c) Fairness
Kebijakan merupakan sebuah usaha mengatur tata interaksi dalam ranah sosial.
Korupsi sebagai bentuk kejahatan luar biasa yang mengancam tata kehidupan berbangsa telah
memaksa setiap Negara membuat undang-undang untuk mencegahnya. Beberapa Negara
membuat aturan main anti korupsi yang mempersempit ruang gerak perilaku korupsi.
Kebijakan tersebut tidak selalu identik dengan undang-undang anti korupsi, namu bias berupa
undang-undang kebebasan mengakses informasi, undang-undang di sentralisasi, undang-
undang anti monopoli, mauoun yang lainnya yang dapat memudahkan masyarakat
mengetahui sekaligus mengontrol kinerja dan penggunaan anggaran Negara oleh para pejabat
Negara.
Signifikan kebijakan anti korupsi terletak padsa asumsi bahwa hukum atau penegakan
hukum di yakini sebagai cara efektif untuk mengendalikan naluri berbuat korupsi. Korupsi
bagian dari nilai-nilai yang ada dalam diri seseorang dapat di kendalikan dan di control oleh
peraturan atau undang-undang langkah ini merupakan subsistem dari keseluruhan sistem
kehidupan sebuah Negara yang merangkul sekaligus menat beragam kepentigan, demi
terciptanya sebuah kenegaraan yang harmonis.
Kedua, pembuat kebijakan. Kebijakan antikorupsi tidak bias dilepaskan dari para
pembuat kebijakan. Paling tidak, isi dari kebijakan merupakan cermin dari kualitas dan
integritas pembuatnya. Sekaligus akan menentukan kualitas isi kebijakan tersebut. Apabila
pembuat kebijakan antikorupsi adalah mereka yang tidak memahami duduk masalah korupsi
atau justru mereka menjadi bagian dari carut marut perilaku koruptif, maka alih-alih dapat
menjadi control dan memberikan jalan dari tindakn korupsi, justru tindakan tersebut bias
menjadi bumerang bagi pemberantasan korupsi.
Ketiga, penegakan kebijakan. Kebijakan yang telah di buat dapat berfungsi apabila di
dukung oleh actor-aktor penegak kebiajakn itu sendiri. Penegak kebijakan dalm struktur
kenegaraan modern terdiri dari kepolisian, pengadilan, pengacara, dan lembaga
pemasyarakatan. Apabila penegak kebijakan tidak memiliki komitmen untuk meletakkanya
sebagai aturan yang mengikat bagi semua, termasuk bagi dirinya, maka sebuah kebijakan
hanya akan menjadi instrumen kekuasaan yang justru melahirkan kesenjangan,
Ketidakadilan, dan bentuk penyimpangan lainya.
Keempat, kultue kebijakan (hokum). Eksitensi sebuah kebijakan terkait dengan nilai-
nilai, pemahaman, sikap, persepsi, dan kesadaran masyarakat terhadap hokum undang-
undang anti korupsi. Lebih jauh kultur kebijakan ini akan menentukan tingkat partisipasi
masyarakat dalam pemberantasan korupsi.
Keempat hal tersebut akan menentukan efektifitas pelaksanaan dan fungsi sebuah
kebijakan. Dalam konteks kebijakan antikorupsi, maka keempat komponen tersebut akan
berpengaruh terhadap efektifitas pemberantasan korupsi melalui kebijakan yang ada.
Namun, sebagai produk politik, sebuah kebijakan seringkali tidak berfungsi secara
maksimal baik karena adanya intervensi kekuasaan maupun karena tidak di potong oleh
sistem maupun budaya masyarakat. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi yang
seharusnya bias efektif melalui peraturan tidak berjalan secara normal. hal ini bias di lihat
dari sejarah pemberantasan korupsi di Indonesia yang belum mampu menghasilkan kerja
maksimal di bandingkan dengan keberadaan undang-undang atau peraturan antikorupsi yang
sudah ada sejak lama. Bahkan sebagai Negara asia yang memiliki undang-undang
antikorupsi, Indonesia jusdtru berada di tingkat yang sangat rendah dalam peringkat Negara-
negara yang bebas dari korupsi.
e) Control Kebijakan
Menurut David Korten lebih dari tiga dasawarsa, pembangunan di ansumsikan dari
pemerintah dan untuk pemerintah sendiri. Ini berarti bahwa fungsi, peran, dan kewenangan
pemerintah teramat dominan hingga terkesan bahwa proses kenegaraan hanya menjadi tugas
pemerintah dan sama sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah dan sama
sekali tidak perlu melibatkan rakyat. Seolah-olah, pemerintah paling mengetahui seluk beluk
kehidupan masyarakat di negaranya. Itulah sebabnya, di tengah arus demokratisasi,
paradigma tersebut harus di rekonstruksi sehingga tumbuh tradisi baru berupa control
kebijakan.
Paling tidak terdapat tiga model control terhadap kebijakan pemerintah, yaitu oposisi,
penyempurnaan, dan perubahan terhadap pemerintah. Penggunaan tiga model control tersebut
tergantung pada bentuk rumusan dan pelaksanaan kebijakan pemerintah serta pilihan politik
yang hendak di bangun. Namun, substansi dari ketiga model itu adalah keterlibatan
masyarakat dalam mengontrol kebijakan Negara. Dengan mengacu kepada prinsip-prinsip
penganggaran dan pengelolaan keuangan Negara, yakni tertib waktu dan administrasi, taat
perundang-undangan, transparan, akuntabilitas, alokasi dan distribusi, stabilitas dan
kepatuhan seta keadilan, maka keterlibatan rakyat menjadi sangat strategis. Secara lebih
focus, yang menjadi sasaran pengawasan dan control public dalam proses pengelolaan
anggaran Negara adalah: pertama, berkaitan dengan konsistensi dalam perencanaan program
atau kegiatan. Dan kedua, berkaitan denghan pelaksanaan penganggaran itu sendiri.
Sementara melalui focus dan sasaran yang kedua, dimaksudkan agar masyarakat
secara intensif melakukan control dan pengawasan terhadap sektor-sektro yang meliputi:
1. Sumber-sumber pendapatan Negara yang utama seperti pajak dan retribusi, penjualan migas
dan sumber-sumber lain yang di kelolah oleh pemerintah.
2. Tata cara penarikan dana dari berbagai sumber anggaran Negara seperti proses penepatan
pajak retribusi dan penetapannya, dana perimbangan (pusat dan daerah), penetapan pinjaman
luar negeri dan pengolalanya dalam penganggaran.
3. Memonitor lapangan pertanggung jawaban pelaksanaan proyak yang di sampaikan oleh
kontraktor atau pemimpin proyek, baik secara administrasi maupun kualitas pekerjaan secara
fisik.
4. Limit waktu dalam penyelesaian proyek tidak hanya dibatasi pada aspek ketepatan dalam
penyelesaiaan proyek dimana proyek dianggap selesai setelah serah terima hasil (out put)
pekerjaan, tetapi harus ada pertanggung jawaban teknis terhadap kualitas setiap pekerjaan
yang telah dikerjakan , terutama proyek-proyek fisik.
Dengan demikian, control terhadap kebijakan mulai proses pembuatan sampai pelaksanaan
dan dampat yang di hasilkan dapat dievaluasi dan terus di sempurnakan. Lebih dari itu,
seluruh rangkaian kebiojakan tersebut dapat menutup peluang bagi berseminya korupsi.
BAB VI
e) Mempergunakan hak pilihdengan baik baik itu dalam pilkada, pemiludan pilpres.
a) Mewajibkan pejabat public untuk melaporkan dan mengumumkan jumlah kekayaan yang
dimiliki, baik sebelum maupun sesudah menjabat
b) Untuk kontrak pekerjaan atau pengadaan barang, baik di pemerintahan pusat, daerah, maupun
militer, salah satu cara untuk memperkecil potensi korupsi adalah melakukan lelang atau
penawaran secara terbuka.
c) Membuat dan mengembangkan system yang transparan dan akuntabel dalamhal perekrutan
negawai negeri dananggota militer.
d) Selain system perekrutan, perlu pengembangan system penilaian kinerja pegawai negeri yang
menitik beratkan pada proses dan hasil kerja akhir.
Adopsi atas The G8 Ministerial Declaration on Recovering Proceeds of Corruption atau
Deklarasi G8 atas Pengembalian Aset hasil Korupsi ini dilakukan pada saat pertemuan
G8Justice and Home Affairs Ministers yang diadakan di Washington, 11 May 2004.
Deklarasi ini membuka jalan untuk serangkaian inisiatif dengan tujuan untuk membantu
negara korban kejahatan korupsi mendapatkan kembali aset korupsi itu. Dalam hal
Pengembalian Aset, Deklarasi ini melengkapi inisiatif StAR atau Stolen Assets Recovery
Initiatif.
a. membentuk suatu team gabungan yang berisi ahli dalam Bantuan Timbal Balik
ketikamenerima permintaan dari negara korban
b. membentuk satuan tugas berdasarkan kasus atas permintaan dari negara korban
c. menyelenggrakan workshop regional sebagai sarana tukar menukar informasi dengan negara
korban dalam hal teknik-teknik investigasi keuangan internasional dan tata cara bantuan
timbal balik
f. mencari alternatif yang lebih efektif dalam mengembalikan aset hasil kejahatan korupsi
The Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, yang diluncurkan oleh World Bank dan
UNODC di New York, pada tanggal 17 September 2007, bertujuan untuk menolong negara-
negara berkembang mendapatkan kembali aset/dana tercuri itu dan membantu mereka dalam
mempergunakan dana curian yang dikembalikan itu untuk kepentingan pembangunan. Untuk
mencapai tujuan itu, peranan negara-negara maju juga disebut terutama untuk mengurangi
halangan kembalinya dana-dana curian itu ke negara yang berhak.
Dalam prakteknya, StAR didesain untuk bekerja di 4 area:
Telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara. Penandatanganan pertama kali dilakukan
pada konvensi internasional yang diselenggarakan di Mérida, Yucatán, Mexico, pada tanggal
31 Oktober 2003
mengkriminalisasi pejabat publik asing yang menerima suap (bribe) dalam transaksi bisnis
internasional.
HONG KONG - Bicara soal pemberantasan korupsi, banyak pakar yang mengatakan
bahwa Hong Kong adalah sebuah contoh sukses bagaimana mereka berhasil memberantas
korupsi. Empat puluh tahun yang lalu, organisasi anti-korupsi Transparansi Internasional
mencatat bahwa Hong Kong merupakan salah satu negara terkorup di dunia.
"Saya ingin membandingkan Hong Kong (tahun 1970-an) dengan Argentina saat ini," kata
Ran Liao, koordinator program senior untuk kawasan Asia Timur dan Selatan.
Transparansi Internasional baru mempublikasikan Indeks Persepsi Korupsi sejak 1995,
namun mereka memiliki data mengenai Hong Kong sejak tahun 1970-an, di mana Liao
mengatakan saat itu Hong Kong berada pada tingkat yang sejajar tidak hanya dengan
Argentina, tapi juga Gabon dan Tanzania.
Menurut Indeks Persepsi Korupsi terbaru, ketiga negara tersebut memiliki nilai rendah hanya
35 dari total 100, dari skala O (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Sementara itu, kini Hong Kong berhasil mendapat nilai 77 dari total 100, menempatkan
negeri ini di urutan 14 dari 176 negara, yang berarti bahwa Hong Kong dianggap sedikit lebih
korup dibandingkan Jerman (13), namun lebih bersih dibandingkan Inggris (17) dan AS (19).
Lalu, bagaimana caranya Hong Kong bisa berhasil menekan angka korupsi? Perubahan itu
berawal ketika bekas koloni Inggris itu dilanda aksi demonstrasi massal di jalanan setelah
Peter Godber, yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur polisi, melarikan diri dari Hong
Kong ketika tengah diselidiki atas dugaan melakukan korupsi. Aksi demonstrasi itu memicu
didirikannya Komisi Independen Anti-Korupsi (ICAC), sebuah badan pemerintah dengan
kewenangan penyidikan yang luas. Namun perubahan ini tidak hanya ditujukan pada pejabat
pemerintah saja. "Mereka mengadopsi pendekatan tiga tujuan, yaitu hukuman, pendidikan
dan pencegahan," kata Liao. Pendidikan dimulai di taman kanak-kanak lokal, di mana
beberapa tokoh yang diciptakan ICAC mengedepankan dilema etika dan cerita-cerita kepada
anak-anak yang menyampaikan pesan bahwa kejujuran selalu menang."Kami tidak
mengajarkan mereka mengenai hukum namun kami mengajarkan mereka mengenai nilai-
nilai," kata Monica Yu, direktur eksekutif Pusat Pengembangan Etika Hong Kong, sebuah
divisi ICAC.
Dua generasi setelah pendekatan ini dijalankan, Yu mengatakan terbukti terjadi pergeseran
budaya yang sangat besar dalam perilaku di kalangan penduduk China lokal. "Kami
menghitung tingkat toleransi warga terhadap korupsi, dari skala nol sampai 10. Nol berarti
sangat tidak mentolerir dan 10 berarti sangat mentolerir. Selama 10 tahun belakangan ini,
rata-rata nilainya adalah 0,8; 0,7 atau sekitar itu," kata Yu. Hasil ini membuat Yu
menyimpulkan, "Kini di Hong Kong, warga tidak akan pernah mentolerir korupsi." Ia
mengatakan minimnya toleransi dalam hal melanggar aturan memperkuat perilaku etis, baik
di lingkungan publik mau pun pribadi, di mana nama sang pelanggar disebutkan dan
dipermalukan oleh rekan-rekan mereka.
"Sangat sering orang akan datang ke ICAC untuk melaporkan korupsi, setiap kali mereka
mencurigai terjadinya kasus korupsi. Ini adalah perubahan besar jika dibandingkan dengan
sebelum ICAC didirikan," sahut Yu. Liao setuju. "Sebelum ICAC didirikan tidak ada seorang
pun yang memikirkan untuk melakukan cara yang begitu komprehensif untuk melawan
korupsi," sahutnya. Ketika penjara hanyalah satu-satunya hukuman untuk tindak pidana
korupsi, itu menunjukkan bahwa ada masalah lain: tidak ada upaya yang benar-benar
dilakukan untuk melawan korupsi.
"Hukuman berarti Anda harus terbukti melakukan pelanggaran," kata Liao. "Pencegahan
adalah hal yang sangat penting, (ICAC) bicara pada sektor-sektor yang berbeda, misalnya,
sektor-sektor perbankan dan konstruksi." ICAC menerbitkan panduan bagi dunia usaha dan
mencoba mengidentifikasi berbagai operasi yang berisiko tinggi. Institusi ini juga
mengorganisir berbagai acara untuk membahas mengenai isu-isu ini dan mendorong agenda
pencegahan korupsi di sektor bisnis dan pemerintah. Dalam proses itu, para karyawan
diberitahukan bagaimana dan kepada siapa melaporkan adanya praktek yang diduga korupsi.
Pada akhir 1967 Presiden Soeharto membentuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK)
dengan Kepres No. 228/1967 tanggal 2 Desember 1967 dan dasar hukumnya masih tetap UU
24/1960. Para anggota tim ini merangkap jabatan lain seperti Jaksa Agung, Kapolri, Menteri
Kehakiman, dan Panglima ABRI. Hasil kerja tim ad-hoc ini kemudian berhasil menyeret 9
orang yang diindikasikan “koruptor”.
Presiden Soeharto juga membentuk Komisi Empat pada Januari 1970, untuk
memberikan “penilaian obyektif” terhadap langkah yang telah diambil pemerintah, dan
memberikan “pertimbangan mengenai langkah yang lebih efektif untuk memberantas
korupsi”. Mantan Wakil Presiden M. Hatta diangkat sebagai penasihat Komisi Empat.
Anggota-anggotanya adalah mantan perdana menteri Wilopo, I.J.Kasimo, Prof. Johannes dan
Anwar Tjokroaminoto dan Kepala BAKIN Mayjen Sutopo Yuwono menjadi sekretaris.
Selama periode 1970-1977 hanya satu pejabat tinggi yang dipenjara karena korupsi,
yaitu Deputi Kapolri Letjen Pol Siswadji (1977, divonis 8 tahun). Pegawai negeri yang
diganjar hukuman paling berat adalah Kepala Depot Logistik Kaltim Budiadji, yang divonis
penjara seumur hidup (grasi Presiden menguranginya menjadi 20 tahun). Koruptor itu
menilep uang negara Rp. 7,6 milyar, jumlah yang kala itu menggemparkan. Selebihnya yang
dihukum adalah para koruptor lapis kedua dan rendahan bahkan sedikit sekali pelaku tindak
pidana korupsi yang diajukan di pengadilan. Banyak kasus yang dipetieskan atau tidak
diketahui kelanjutannya secara jelas.
Selain Komisi Empat, dimasa pemerintahan orde baru juga pernah berdiri Komisi
Anti Korupsi (KAK) pada tahun 1970. Anggota KAK terdiri dari aktivis mahasiswa
eksponen 66 seperti Akbar Tanjung, Thoby Mutis, Asmara Nababan dkk. Namun belum
terlihat hasil yang telah dicapai, Komisi ini dibubarkan pada 15 Agustus 1970 atau hanya dua
bulan sejak terbentuk.
Pada tahun 1977 dengan berdasarkan Inpres 9 Tahun 1977, Pemerintah melancarkan
Operasi Penertiban (OPSTIB). Dalam empat tahun (1977-81) Opstib telah menyelamatkan
uang negara Rp.200 milyar dan menindak 6.000 pegawai. Opstib merupakan gabungan dari
unsur polisi, kejaksaan, militer, dan dari menteri pedayaguanaan aparatur negara dan setiap
tiga bulan melaporkan kepada Presiden tentang penertiban di departemen dan jawatan
pemerintah.
Pada tahun 1999 juga pernah terbentuk Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggaran Negara
(KPKPN) berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintahan yang
bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Komisi yang dipimpin oleh Yusuf
Syakir ini bertugas menerima dan memeriksa laporan kekayaan para penyelenggara negara.
Sejumlah pejabat pernah dilaporkan oleh KPKPN ke Kepolisian, namun banyak kasus yang
tidak ditindaklanjuti seperti kasus kepemilikan rumah dan tanah yang tidak dilaporkan milik
Jaksa Agung waktu itu, MA Rachman. Berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK
akhirnya KPKPN dilebur menjadi bagian KPK. Upaya terakhir mempertahankan KPKPN
melalui permohonan Judicial Review akhirnya ditolak oleh Mahakamah Konstitusi.
Pada era Megawati sebagai Presiden, berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2002
dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK). Komisi superbody yang memiliki 5 tugas dan 29 wewenang yang luar biasa ini
dipimpin oleh Taufiqurahman Ruki, Sirajudin Rasul, Amien Sunaryadi, Erry Riyana
Harjapamengkas, Tumpak Hatorang. Belum genap satu tahun berdiri, KPK telah menerima
1.452 laporan masyarakat mengenai praktek korupsi. Sepuluh kasus diantaranya
ditindaklanjuti dalam proses penyidikan dan sudah dua kasus korupsi yang berhasil
dilimpahkan ke Pengadilan Tipikor (Abdullah Puteh dan Harun Let Let dan keduanya telah
divonis). Kasus korupsi besar yang telah ditangani KPK adalah korupsi yang terjadi di
Komisi Pemilihan Umum (KPU). Hasil penyelidikan dan penyidikan KPK berhasil
menjebloskan ketua dan anggota KPU serta beberapa pegawai Setjen KPU ke penjara.
Meskipun seringkali menuai kritik dari berbagai kalangan namun apa yang telah dilakukan
oleh KPK sedikit banyak memberikan harapan bagi upaya penuntasan beberapa kasus
korupsi di Indonesia.
Setelah Megawati lengser dan digantikan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), program 100 hari pemerintahannya ditandai dengan pembentukan Tim Pemburu
Koruptor yang dipimpin oleh oleh Wakil Jaksa Agung , Basrief Arief dibawah koordinasi
Wakil Presiden Jusuf Kalla. Tim yang terdiri dari Kejaksaan dan Kepolisian bertugas
memburu terpidana dan tersangka kasus korupsi yang melarikan diri keluar negeri. Meskipun
belum terlihat hasil yang telah dicapai, namun Tim Pemburu koruptor diberitakan sudah
menurunkan tim ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hongkong, Cina dan
Australia. Selain itu Tim pemburu koruptor juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang
terparkir di luar negeri sebanyak Rp 6-7 triliun.
Masa tugas Tim yang terdiri dari 48 orang anggota dan berasal dari unsur kepolisian,
kejaksaan dan BPKP adalah dua tahun dan dapat diperpanjang. Tim ini berada dan
bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Setiap tiga bulan, timtas tipikor melaporkan
perkembangan kerjanya kepada Presiden. Tidak lama setelah berdiri, tim ini sudah
disibukkan dengan penyelesaian kasus korupsi yang terjadi di 16 badan usaha milik negara
(BUMN), 4 Departemen, 3 perusahaan swasta dan 12 koruptor yang melarikan diri.
Berbeda dengan Komisi Pemberantasan Korupsi yang telah menentukan adanya
kriteria kasus korupsi yang dapat langsung ditangani oleh komisi, dalam Kepres No. 11
Tahun 2005 yang menjadi dasar hukum keberadaan Timtas Tipikor tidak menyebutkan
kriteria kasus apa saja yang menjadi kewenangannya.
• Setiap orang
Ayat (2):
UU No. 20/2001
Pasal 1 angka 1:
… adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana
korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan,
• terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan: keadaan bahaya, bencana alam
nasional, akibat kerusuhan sosial yang meluas, krisis ekonomi/moneter; dan
2. Pasal 3:
• Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri/orang lain/korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena
jabatan.kedudukan dapat merugikan keuangan/ perekonomian negara
3. Pasal 13:
• Setiap orang memberi hadiah/janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan/
wewenang yang melekat pada jabatan/kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah/janji
dianggap melekat pada jabatan/kedudukan tersebut
4. Pasal 15:
• Setiap orang yang mencoba/ membantu/ bermufakat jahat untuk melakukan tindak pidana
korupsi
BAB IX
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran
serta masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan korupsi terdapat 3 (tiga)
unsur utama, yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Salah satu upaya
pemberantasan korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan Anti-korupsi di
masyarakat.
B. Peran Mahasiswa
Mahasiswa didukung oleh modal dasar yang mereka miliki, yaitu: intelegensia,
kemampuan berpikir kritis, dan keberanian untuk menyatakan kebenaran. Dengan
kompetensi yang mereka miliki tersebut mahasiswa diharapkan mampu menjadi agen
perubahan, mampu menyuarakan kepentingan rakyat, mampu mengkritisi kebijakan-
kebijakan yang koruptif, dan mampu menjadi watch doglembaga-lembaga negara dan
penegak hukum.
C. Keterlibatan Mahasiswa
Keterlibatan mahasiswa dalam gerakan anti korupsi pada dasarnya dapat dibedakan menjadi
empat wilayah, yaitu:
• Lingkungan keluarga
• Lingkungan kampus
• Masyarakat sekitar
• Tingkat lokal/nasional
BAB X
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Korupsi merupakan praktik pemberian suap atau penerimaaan suap. Dengan demikian
baik yang menerima maupun memberi keduanya termasuk koruptor. Pendidikan
antikorupsi harus dikenalkan pada anak sejak awal anak mulai dikenalkan nilai-nilai anti
korupsi.Tujuan dari pendidikan anti-korupsi adalah untuk membangun nilai-nilai dan
mengembangkan kapasitas yang diperlukan untuk membentuk posisi sipil murid dalam
melawan korupsi.
Upaya pemberantasan korupsi tidak akan pernah berhasil tanpa melibatkan peran
serta masyarakat. Dengan demikian dalam strategi pemberantasan korupsi terdapat 3
(tiga) unsur utama, yaitu: pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat. Salah
satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu Gerakan Anti-
korupsi di masyarakat.
B. SARAN
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penulis menyarankan agar para pembaca dan
seluruh masyarakat luas hendaknya memiliki kesadaran untuk tidak melakukan korupsi,
karena selain melanggar hukum, korupsi juga dapat merugikan banyak orang. Selain itu,
masyarakat, pemerintah serta instansi terkait perlu melakukan kerja sama secara sinergis
untuk dapat mengimplementasikan dan menerapkan pendidikan anti korupsi dini di
segala aspek kehidupan
DAFTAR PUSTAKA
1. http://ashbur-backstage.blogspot.com/2011/03/pentingnya-pendidikan-anti-
korupsi.html.
2. http://belajarpsikologi.com/pengertian-pendidikan-menurut-ahli/”
3. http://guru.or.id/perlukah-pendidikan-antikorupsi-itu.html
4. http://www.kajianpustaka.com/2013/08/pengertian-model-bentuk-jenis-korupsi.html.
5. Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku
Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi
Republik Indonesia, 2003.Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekretariat Negara. Jakarta
6. Satya Widyananda, Adhyta. 2014. Peran Pendidikan Anti Korupsi Dini Dalam
Mencegah Terjadinya Tindak Korupsi. Makalah. Tidak diterbitkan. Malang. Univesrsitas
Negeri Malang