Anda di halaman 1dari 9

Laporan Kasus

RINOSINUSITIS KRONIK

Oleh:
Yuni Nilamsari, S.Ked
1911901073

Pembimbing:
dr. Sara Yosephine Aruan, Sp.THT-KL

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU
2021
PENDAHULUAN
Epitel traktus respiratorius merupakan titik utama interaksi antara
organisme hidup dan lingkungannya. Oleh karena itu, epitel ini memiliki fungsi
pelindung dan adaptif yang memungkinkannya berfungsi sebagai barrier
(penghalang) bagi elemen lingkungan yang berbahaya bagi organisme hidup. Epitel
traktus respiratorius berperan peran penting dalam etiologi penyakit- penyakit dan
gangguan pada saluran pernafasan.1

Rhinosinusitis kronis adalah contoh penting dari penyakit tersebut.


Rhinosinusitis adalah peradangan simtomatis pada sinus paranasales dan cavum
nasi. Istilah rhinosinusitis lebih sering dipakai daripada sinusitis, oleh karena
sinusitis selalu diikuti juga dengan adanya peradangan pada mukosa cavum nasi.
Rhinosinusitis dibagi menjadi dua berdasarkan durasinya yaitu akut dan kronis.
Disebut akut jika durasinya kurang dari 4 minggu, atau kronis jika durasinya
berlangsung selama 12 minggu atau lebih dengan dua atau lebih gejala dan keluhan
berupa Drainase yang mukopurulen (anterior, posterior, atau keduanya), kongesti
pada hidung, nyeri pada wajah karena tekanan, atau menurunnya daya pembauan.
Dan adanya peradangan ditandai dengan ditemukannya satu atau lebih hal-hal
berikut ini yaitu mukus yang purulen atau edema di meatus nasi medius atau regio
ethmoidalis anterior, polip pada cavum nasi atau meatus nasi medius, dan atau
pemeriksaan radiologis menunjukkan adanya peradangan pada sinus paranasales.2,3

Cavum nasi adalah celah irregular yang terdapat diantara palatum dari
cavum oris dan basis cranii. Bagian 2/3 inferior mukosa cavum nasi adalah area
respirasi dan 1/3 superiornya adalah area olfaktori.4 Area respirasi dari cavum nasi
mukosanya dilapisi oleh epitel berlapis semu bersilia dengan sel banyak sel goblet.
Ada banyak kelenjar seromukus dalam lamina propria dari mukosa hidung.
Sekresinya membuat permukaannya menjadi lengket sehingga bisa menjebak
partikel-partikel yang terdapat di udara yang terinspirasi. Film mukosa terus-
menerus digerakkan oleh aksi siliar (eskalator mukosiliar) ke arah posterior ke
nasofaring.5
Dinding lateral dari cavum nasi tidak rata karena adanya tiga conchae yaitu:
concha nasi superior, medius, dan inferior. Conchae nasi ini berjalan dengan arah
inferimedial. Tiga conchae nasalis ini membentuk 4 celah untuk jalannya udara dan
sebagai muara dari sinus-sinus paranasales, yaitu recessus sphenoetmoidalis ,
meatus nasi superior sebagai muara dari sinus etmoidalis posterior dan sinus
sfenoidalis, meatus nasi media sebagai muara dari sinus frontalis, sinus maksilaris
dan sinus etmoidalis anterior. Meatus nasi inferior sebagai tempat muara dari ductus
nasolakrimalis. Karena tempatnya yang saling berhubungan, hal-hal yang dapat
mengakibatkan obstruksi pada bagian ini mengakibatkan terjadinya stagnansi
mukus pada sinus sehingga dapat mengakibatkan sinusitis.5,6,7

Gambar 1. Dinding Lateral dari Cavum Nasi Dextra.7

Penyebab utama dan terpenting dari Rinositis adalah obstruksi ostium sinus.
Berbagai faktor baik lokal maupun sistemik dapat menyebabkan inflamasi atau
kondisi yang mengarah pada obstruksi ostium sinus. Berbagai faktor tersebut
meliputi infeksi saluran nafas atas, alergi, paparan bahan iritan, kelainan anatomi,
defisiensi imun dan lain-lain. Infeksi bakteri atau virus, alergi dan berbagai bahan
iritan dapat menyebabkan inflamasi mukosa hidung.8
Diagnosis didasarkan pada gejala klinik rinosinusitis kronis menurut
American Academy of Otolaryngic Allergy (AAOA), dan American Rhinologic
Society (ARS) adalah rinosinusitis yang berlangsung lebih dari 12 minggu dengan
2 gejala mayor atau lebih atau 1 gejala mayor disertai 2 gejala minor atau lebih.
Gejala Mayor Gejala Minor
 Nyeri pada sinus  Nyeri kepala
 Hidung tersumbat  Nyeri geraham
 Sekret purulen  Nyeri telinga
 Post nasal drip  Batuk
 Gangguan penghidu  Demam
 Halositosis

Pada pemeriksaan fisik dilakukan Rinoskopi anterior dengan cahaya lampu


kepala yang adekuat dan kondisi rongga hidung yang lapang (sudah diberi topikal
dekongestan sebelumnya). Dengan rinoskopi anterior dapat dilihat kelainan rongga
hidung yang berkaitan dengan rinosinusitis kronik seperti udem konka, hiperemi,
sekret (nasal drip), krusta, deviasi septum, tumor atau polip.Rinoskopi posterior
bila diperlukan untuk melihat patologi di belakang rongga hidung. 9,10

Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan transiluminasi, merupakan


pemeriksaan sederhana terutama untuk menilai kondisi sinus maksila. Pemeriksaan
dianggap bermakna bila terdapat perbedaan transiluminasi antara sinus kanan dan
kiri. Endoskopi nasal, dapat menilai kondisi rongga hidung, adanya sekret, patensi
kompleks ostiomeatal, ukuran konka nasi, udem disekitar orifisium tuba, hipertrofi
adenoid dan penampakan mukosa sinus. Radiologi, merupakan pemeriksaan
tambahan yang umum dilakukan, meliputi X-foto posisi Water, CT-scan, MRI dan
USG. CT-scan merupakan modalitas pilihan dalam menilai proses patologi dan
anatomi sinus, serta untuk evaluasi rinosinusitis lanjut bila pengobatan
medikamentosa tidak memberikan respon. Ini mutlak diperlukan padarinosinusitis
kronik yang akan dilakukan pembedahan.11,12
Pentalaksanaan rinosinusistis didasarkan pada penyebab yang
mendasarinya. Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti
deviasi septum, kelainan atau variasi anatomi KOM, hipertrofi adenoid pada anak,
polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan
penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan. Jika tidak
ditemukan faktor predisposisi, diduga kelainan adalah bakterial yang memerlukan
pemberian antibiotik dan pengobatan medik lainnya. Antibiotik seperti golongan
beta laktam, makrolida dan klindamisin dapat diberikan pada pasien yang dicurigai
mengalami rinosinusitis bakterial. Selain itu pemberian kortikosteroid sistemik atau
topikal dan cuci hidung dapat juga diberikan pada kasus rinosinusitis kronik. 12,13
Selainan pengobatan medika mentosa beberapa jenis tindakan pembedahan
yang dilakukan untuk rinosinusitis kronik ialah irigasi sinus (antral lavage), nasal
antrostomy,operasi Caldwell-Luc dan Functional Endoscopic Sinus Surgery
(FESS).10

KASUS
Dilaporkan sebuah kasus perempuan dengan usia 58 tahun datang kepoli
THT RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapura pada tanggal 13 januari 2021,
dengan keluhan pilek sejak ±2 bulan yang lalu, ingus susah untuk keluar. Pasien
mengeluhkan susah untuk menelan dan terasa ada cairan yang jatuh dari hidung ke
tenggorokannya disertai dengan batuk. Pasien mengatakan bahwa hidungnya
tersumbat dan susah mencium bau-bauan. Selain itu pasien juga mengeluhkan
adanya sakit kepala disertai nyeri pada daerah alis sebelah kiri. Pasien
mengeluhkan hidung terasa gatal dan sering bersin-bersin jika terkena debu rumah.
Keluhan ini sudah diobati pasien dipuskesmas, namun keluhan yang dirasakannya
tidak berkurang.

Pasien mengatakan bahwa tidak ada demam. Pada pemeriksaan fisik yang
dilakuan keadaan umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran komposmentis.
Pada pemeriksaan status THT dengan rinoskopi anterior pada hidung kiri dan kanan
pasien terdapat hiertrofi konka inferior dengan warna merah mudah dan permukaan
yang licin.
Gambar 2. Pemeriksaan Rinoskopi anterior

Pada pemeriksaan telinga dan tenggorok didapatkan dalam batas normal.


Pada pemeriksaan leher, tidak ditemukan adanya pembesaran pada kelenjar getah
bening. Diagnosis pasien ditegakkan sebagai rinosinusitis kronik.

PEMBAHASAN

Dilaporkan sebuah kasus seorang perempuan berusia 58 tahun datang ke


poli THT RSUD Tengku Rafi’an Siak Sri Indrapuran mengeluhkan pilek sejak ±2
bulan, susah untuk menelan dan terasa ada cairan yang jatuh dari hidung ke
tenggorokannya. hidungnya tersumbat dan susah mencium bau-bauan. Selain itu
pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala disertai nyeri pada daerah alis
sebelah kiri.

Keluhan yang disampaikan oleh pasien mengarah ke diagnosis rinosinusitis


karena didasarkan atas ditemukan adanya 3 gejala mayor disertai 1 gejala minor
menurut Task Force the American Academy of Otolaryngologic Allergy (AAOA)
dan American Rhinologic Society (ARS). Gejala mayor yang ditemukan yaitu nyeri
pada daerah muka (pipi, hidung), hidung tersumbat dan gangguan penciuman.
Gejala minor yang di temukan yaitu nyeri kepala dan batuk.

Pasien juga mengeluhkan adanya lendir yang mengalir dari hidung ke


tenggorok. Kondisi ini disebut sebagai post nasal drip biasanya sering ditemukan
pada sinusitis. Penciuman dirasakan berkurang oleh pasien atau disebut sebagai
hiposmia. Etiologi hiposmia dapat disebabkan oleh obstruksi hidung, seperti pada
rinitis alergi, rinitis vasomotor, rinitis atrofi, hipertrofi konka, deviasi septum, polip
atau tumor. Pada kasus sinusitis, hiposmia terjadi karena akumulasi sekret serta
kondisi lainnya yang menyebabkan obstruksi hidung.

Pada pemeriksaan fisik pemeriksaan hidung rinoskopi anterior dan


endoskopi dijumpai cavum nasi sempit, konka inferior hipertropi, berwarna merah
muda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Husni T dan Pradista A dari 33 orang
penderita rinosinusitis kronik yang diteliti 21 orang (61,8%) menderita konka
hipertrofi. Primartono mendapatkan dari 31 orang penderita sinusitis maksilaris
kronik, 5 orang menderita konka hipertrofi (16%), Munir melaporkan dalam
penelitiannya, dari sebanyak 35 sampel yang diteliti, 8,6% persen diantaranya
mengalami konka hipertrofi.
Penatalaksanan pada rinosinusitis kronik terdiri atas penatalaksanaan
medikamentosa dan pembedahan. Pada pasien ini diberikan tatalaksana yakni cuci
hidung Nacl 0,9%. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Harvey et al
tentang perbandingan antara cuci hidung dengan terapi topikal lainnya dalam
memperbaiki gejala klinis penderita rinosinusitis kronis. Berdasakan penelitian
tersebut didapatkan bahwa cuci hidung dengan NaCl 0,9% cukup berperan dalam
mengurangi gejala klinis dari rinosinusitis kronis dengan mekanisme menurunkan
produksi postnasal drip, sekresi cairan, mempercepat perbaikan mukosa dan
mengurangi gejala sumbatan hidung.

Kelompok studi Rinologi Indonesia berpendapat bahwa penggunaan cuci


hidung selain mengurangi proses inflamasi lokal pada hidung, juga dapat
membersihkan debu-debu yang tersaring pada siliar-siliar epitel hidung sehingga
iritasi mukosa dan proses infeksi dapat dicegah. Di RSUP Dr. M. Djamil,
penggunaan cuci hidung dengan NaCl 0,9% sudah dilakukan pada penderita
rinosinusitis kronis dengan hasil perbaikan gejala klinis pada beberapa pasien. Pada
pasien diberikan kortikosteroid topikal untuk mengurangi/menghilangkan udem
mukosa serta mengembalikan fungsi transpor mukosiliar.
DAFTAR PUSTAKA

1. Cho SH, Ledford D, Lockey RF. Medical management strategies in acute


and chronic rhinosinusitis. J Allergy Clin Immunol Pract. 2020
May;8(5):1559-63.
2. Albu S. Chronic rhinosinusitis an update on epidemiology, pathogenesis
and management. Journal of clinical medicine. 2020 July 6;9:1-5.
3. Bubun J, Aziz A, Akil A dkk. Hubungan antara derajat rinosinusitis
berdasarkan gejala dan CT Scan berdasarkan skor Lund-Mackay. ORLI.
2009;39(2):78-86.
4. Perić A, Gaćeša D. Etiology and pathogenesis of chronic rhinosinusitis.
Vojnosanitetski pregled. Military-medical and pharmaceutical
review.2018 Nov 12;65(9):699-702.
5. Rosenfeld RM, Piccirillo JF, Chandrasekhar SS, et al. Clinical practice
guideline (update): adult sinusitis. Otolaryngology-Head and Neck
Surgery. 2015;152 (25):1-39.
6. Moore, Keith L , Dalley AF, Agur AMR. Essential Clinically Oriented
Anatomy. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2015.
7. Susan S, Neil RB, Patricia C, et al. Gray’s Anatomy: The anatomical basis
of clinical practice.Churchill Livingstone:Elsevier.2008.549-59 p.
8. Hansen, JT. Netter’s clinical anatomy. 2nd ed. Philadelphia: Saunders
Elsevier, 2010. 398-99 p.
9. Slovick A, Long J, Hopkins C. Updates in the management of chronic
rhinosinusitis.Clin. Pract.2014;11(6):649–63.
10. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J. et al., European position paper on nasal
polyps 2007. Rhinology. 2007. 45; suppl. 20: 1-139.
11. Soetjipto D, Mangunkusumo E, Wardani RS. Dalam : Soepardi EA,
Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi 7. Cetakan III. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta. 2014. p. 96-103.
12. Husni T, Prdista A. Faktor predisposisi terjadinya rinosinusitis kronik di
poli klinik tht-kl rsud dr. Zainoel abidin banda aceh. Jurnal Kedokteran
Syiah Kuala.2012 Des 12(3):132-6.
13. Primartono. Hubungan faktor-faktor predisposisi dengan sinusitis
maksilaris kronik. Tesis. Fakultas Kedokteran UNDIP, SMF Kesehatan
THT-KL RS. Dr. Kariadi Semarang. 2003.

Anda mungkin juga menyukai