Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PERSPEKTIF ISLAM TENTANG GURU DAN MURID


POLA HUBUNGAN ANTARA GURU DAN MURID  
Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah Ilmu Pendidikan Islam

Oleh
ASFAHANI, S.Pd.I

SEKOLAH  TINGGI  AGAMA  ISLAM  NEGERI


(STAIN) PONOROGO
2009
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pendidikan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan, sekalipun penting
pendidikan tidak akan terlaksana tanpa adanya komponen-komponen yang ada di dalam yaitu
adanya pendidik dan peserta didik.
Kehadiran pendidik dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai pewaris nabi adalah
peran yang cukup berat untuk diemban karena membutuhkan sosok seorang guru yang utuh
dan tahu dengan kewajiban dan tanggung jawab sebagai seorang pendidik.
Sebagai peserta didik dalam mengejar prestasi membutuhkan suatu bimbingan serta
serta kasih sayang dengan harapan mengantarkan mereka ke arah yang lebih baik. Karena itu
gurulah sebagai suri tauladan bagi mereka.
Dari hal itu penulis berusaha mencoba menguraikan bagaimana sebenarnya pandangan
agama Islam tentang pendidik, peserta didik dan hubungan antara kedunya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Perspektif Islam tentang pendidik ?
2. Bagaimana Perspektif Islam tentang peserta didik ?
3. Bagaimana pola hubungan antara guru dan murid dalam Perspektif Islam ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Perspektif Islam Tentang Pendidik


1.      Pengertian pendidik
a)      Secara Etimologi

Dalam konteks Islam, pendidik disebut dengan murabbi. Muallim dan


muaddib.  Kata Murabbi berasal dari kata rabba, yurabbi. Kata muallim isim fail dari allama,
yuallimu sebagaimana ditemukan dalam al-Qur’an (QS.2:31)
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä ’n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# t
“Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat”
Sedangkan kata muaddib berasal dari kata addaba, yuaddibu. Seperi sabda
Rasul : “Allah mendidikku, maka Ia memberikan kepadaku sebaik-baiknya pendidikan”.[1]
Secara Terminologi
Dalam hal ini para pakar menggunakan rumusan yang berbeda-beda tentang pendidik.
Ahmad Tafsir mengatakan bahwa pendidik dalam Islam sama dengan teori di barat, yaitu
siapa saja yang bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik.[2]
Ahmad Syauqi dalam bukunya M. Athiyah Al-Abrasyi bahwa pendidik adalah bapak
“spiritual” atau pemberi semangat bagi murid, dialah yang memberi santapan kejiwaan
dengan ilmu (Taqhdziyah al nafs ) membimbing dan meluruskan akhlaq kepada murid
( Tahdzjib al-akhlaq taqwimuha ) dan mengantarkan mereka ke arah kehormatan hidup.[3]
2.      Jenis Pendidik
Pendidik dalam pendidikan Islam ada beberapa macam.
a)      Allah SWT
Dari berbagai ayat al-Qur’an yang membicarakan kedudukan Allah sebagai pendidik
dapat dipahami dalam firman-firman yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW.
Allah memiliki pengetahuan yang amat luas. Ia juga sebagai pencipta.
Firman Allah SWT
Qs. Al-fatikah: 2
߉ôJysø9$# ¬! Å_Uu‘ šúüÏJn=»yèø9$# ÇËÈ
 "Segala pujibagi Allah, Tuhan semesta alam”  [4]
Qs. Al Baqorah ayat 31
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä ’n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# t
"Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,
Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat” [5]
b)     Nabi Muhammad SAW
Nabi sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai mualim (pendidik). Nabi sebagai
penerima wahyu al-Qur’an yang bertugas menyampaikan petunjuk-petunjuk kepada seluruh
umat Islam kemudian dilanjutkan mengajarkan kepada manusia ajaran-ajaran tersebut. Hal
ini pada intinya menegaskan bahwa kedudukan nabi sebagai pendidik ditunjuk langsung oleh
Allah SWT.
c)      Orang Tua
Pendidik dalam lingkungan keluarga adalah orang tua. Hal ini disebabkan karena cara
alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya.
Dari merekalah anak mulai mengenal pendidikannya. Dasar pandangan hidup, sikap hidup,
dan ketrampilan hidup banyak tertanam sejak anak berada di tengah orang tuanya.
8d)     Guru
Pendidik di lembaga pendidikan sekolahan disebut dengan guru. Yang meliputi guru
madrasah atau sekolah sejak dari taman kanak-kanak, sekolah menengah,  sampai dosen-
dosen perguruan tinggi, kyai di pondok pesantren, dan lain sebagainya. Namun guru bukan
hanya menerima amanat dari orang tua untuk mendidik, melainkan juga dari setiap orang
yang memerlukan bantuan untuk mendidik.[6]
3.      Paradigma guru dalam era pendidikan kontemporer
a)      Guru sebagai ustadz
Guru sebagai ustadz adalah orang yang berkomitmen terhadap profesionalisme yang
melekat pada dirinya sikap deduktif, komitmen terhadap mutu proses dan hasil kerja atau
guru yang harus mengajar bidang pengetahuan agama Islam.
b)     Guru sebagai muallim
Guru sebagai mualiam adalah orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan, menjelaskan dimensi
teoritis dan praktisnya serta transfer ilmu pengetahuan.
c)      Guru sebagai Mudarris
Guru sebagai mudarris ialah orang yang memilki kepekaan intelektual dan
informasi serta memperbaharui keahliannya secara berkelanjutan dan berusaha mencerdaskan
peserta didiknya, memberantas kebodohan serta melatih kertrampilan sesuai dengan bakat,
minat dan kemampuannya.
d)     Guru sebagai Muaddib
Guru sebagai muaddib ialah orang yang mampu mempersiapkan peserta didik untuk
bertanggung jawab dalam membangun peradaban yang berkualitas di masa depan.
e)      Guru sebagai Murabby
Guru sebagai murabby ialah orang yang mendidik dan mempersiapkan peserta didik
agar mampu berkreasi serta mampu mengatur  dan memelihara hasil kreasi untuk tidak
menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam sekitarnya.
f)       Guru sebagai Mursyid
Guru sebagai mursyid ialah orang yang mampu menjadi model dan sentral
identifikasi diri atau menjadi pusat satuan teladan dan konsultan bagi peserta didik.[7]
4.      Keutamaan Pendidik
            Dalam ajaran Islam Pendidik sangat dihargai kedudukannya. Hal ini dijelaskan oleh
Allah maupun Rasul-Nya, di dalam firman-Nya:
Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# 
ٍM»y_u‘yŠ ٍ
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (QS: Al-Mujaadilah: 11)[8]
            Sabda Rasulullah SAW:
Artinya:
            “Tinta para ulama’ lebih tinggi nilainya dari pada darah para syuhada” [9]
Syarat-syarat Guru/ Pendidik dalam pendidikan Islam
            Dr. Ahmad Tafsir (2001: 80) menyatakan bahwa syarat guru:
a)      Dewasa, pendidikan amatlah penting karena menyangkut perkembangan anak didik, oleh
karena itu tanggung jawab ini dilakukan oleh orang dewasa.
b)     Sehat jasmani dan rohani
c)      Tentang kemampuan mengajar harus ahli.
d)     Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi.[10]
            Berbeda dengan pendapat  H. Mubangid bahwa syarat guru:
a)      Harus orang yang beragama.
b)     Mampu bertanggung jawab atas kesejahteraan agama.
c)      Tidak kalah dengan guru-guru sekolah umum lainnya dalam membentuk  warga negara 
yang demokratis dan bertanggung jawab atas kesejahteraan bangsa dan tanah air.
d)     Dia harus memiliki perasaan panggilan murni (roeping)[11]
            Dari syarat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidik adalah orang dewasa yang
harus berakhlaqul karimah dan mempunyai kecakapan mendidik.
5.      Sifat-sifat yang harus dimiliki oleh Pendidik
                  Guru merupakan mata air tempat manusia menimba ilmu, pendidikan dan akhlak. Dan
mata air yang mulia inilah yang akan mengalirkan sifat-sifatnya.
                  Prof. Dr. Moh. Athi-yah al-Abrasy, seorang pendidik harus memilik sifat:
a)      Juhud dan mengajar karena mencari ridha Allah.
b)     Guru harus suci badan dan jiwanya, menjaga diri dari dosa, membebaskan diri dari perilaku
sombong, riya’, dengki, permusuhan, pemarah dan sifat tercela lainnya.
c)      Ikhlas dan melaksanakan tugas.
d)     Bersikap murah hati.
e)      Memiliki sikap tegas dan terhormat.
f)       Memiliki sifat kebapakan sebelum menjadi guru.
g)      Memahami karakteristik murid.
h)     Menguasai materi pelajaran.[12]
            Demikian juga Al-Ghazali dalam karyanya Ihya’ Ulumuddin tentang sifat-sifat guru
dan pembimbing di antaranya:
a)      Belas kasihan kepada murid dan memperlakukannya seperti anaknya.
‫ِلِ َولِ ِد ِه‬ ‫أَ ْل َوالِد‬ ‫ ِم ْث ُل‬ ‫لَ ُك ْم‬ ‫أَنَا‬ ‫إِنَّ َما‬
“Sesungguhnya saya bagimu adalah seperti orang tua kepada anaknya” (HR. Abu Daud, An
–Nasa’i, dan Ibnu Majah)
b)     Tidak mengharapkan balas jasa/ upah tetapi mengajar karena mencari ridha Allah dan
mengikuti pemilik syara’(Nabi ) SAW.
c)      Menasehatkan pelajar untuk mencegah memasuki tingkatan sebelum ia berhak dan sibuk
dengan ilmu yang samar sehingga menguasai ilmu yang jelas.
d)     Mencegah murid dari akhlak yang buruk dengan jalan sindiran , tidak diterangkan, dengan
jalan kasih sayang , tidak dengan membuka rahasia.
e)      Memperhatikan tingkat akal pikiran anak-anak dan berbicara menurut kadar akalnya.
f)       Mengamalkan ilmunya dan jangan mendustakan perkataannya. Sebagaimana firman Allah:
 tbrâßDù's?r& }¨$¨Y9$# ÎhŽÉ9ø9$$Î/ tböq|¡Ys?ur öNä3|¡àÿRr&
“Mengapa kamu suruh manusia untuk berbuat kebajikan, sedang kamu melupakan  diri
(kewajiban) mu sendiri? (QS: Al-Baqarah: 44)[13]
      Az-Zarnuji  dalam karyanya Ta’limu Muta’alim menambahkan beberapa sifat guru yaitu:
a)      Guru yang alim (mempunyai kelebihan ilmu)
b)     Wara’: Kesanggupan menjaga diri dari perbuatan yang terlarang.
c)      Yang lebih tua
            Az Zarnuji mengutip pernyataan Imam Abu Hanifah ketika beliau mendapatkan
Hammad ibn Sulaiman, sebagai berikut:
            “Aku dapati dia (Hammad) sudah tua, berwibawa, santun dan penyabar maka
memetaplah aku di sampingnya dan akupun tumbuh sekarang”.[14] 
            Demikian berat menjadi seorang guru sebagai tugas suci memenuhi panggilan agama
dan sentral proses pendidikan.
            Sementara Abdurrahnman An Nahlawi menyarankan agar guru bersifat:
a)      Rabbani                                         f)   Mampu mengelola siswa
b)     Ikhlas                                            g)   Bertindak tegas
c)      Sabar                                             h)   Menggunakan metode bervariasi
d)     Jujur                                              i)    Adil[15]
e)      Membekali ilmu dan membiasakan terus mengkajinya.
6.      Tugas Pendidik
                  Allah mengisyaratkan dalam firman-Nya:
$uZ/u‘ ô]yèö/$#ur öNÎg‹Ïù Zwqß™u‘ öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä Þ
OßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$#spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.t“ãƒur 4 y7¨RÎ) |MRr& â“ƒÍ•yè
ø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# 
  “ Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan
membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab
(Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah
yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”.(QS: Al-Baqarah: 129)
            Al-Nahlawi menyimpulkan bahwa tugas pokok guru ada dua:
a)      Pensucian, yaitu mengembangkan dan membersihkan jiwa pendidik agar dapat
mendekatkan diri kepada Allah, menjauhkan keburukan dan menjaga agar tetap pada
fitrahnya.
b)     Pengajaran, yaitu menyampaikan pengetahuan dan pengalaman untuk dilaksanakan dalam
tingkah laku dan kehidupan.[16]
            Tugas pendidik jika diklasifikasiakan ada dua bagian:
a)      Tugas secara umum
            Hadits Nabi SAW
‫األَ ْنبِيَا ِء‬ ُ‫ َو َرثَة‬ ‫ا ْل ُعلَ َما َ ُء‬
                   “Ulama’ adalah pewaris para nabi”
                  Pada hakekatnya pendidik adalah mengemban misi rahmat li al- alamin yaitu
manusia untuk tunduk dan patuh pada hakum Allah untuk  memperoleh keselamatan dunia
akhirat.
b)     Tugas secara Khusus
(1)   Sebagai pengajar (instuksional) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan
melaksanakan program yang telah disusun, dan penilaian setelah program itu dilaksanakan.
(2)   Sebagai pendidik (edukator) yang mengarahkan peserta didik pada tingkat kedewasaaan yag
berkepribadian insan kamil, seiring dengan tujuan Allah mencitakan manusia.
(3)   Sebagai pemimpin (managerial), yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta
didik dan masyarakat yang terkait, Menyagkut upaya pengarahan, pengawasan,
pengorganisasian, pengontrolan, partisipasi atas program yang dilakukan itu.[17]

B.     Perspektif Islam tentang murid (peserta didik)


1. Pengertian Peserta Didik
                           Peserta didik secara formal adalah orang yang sedang berada dalam fase
pertumbuhan  dan perkembangan baik fisik maupaun psikis, pertumbuhan dan perkembangan
merupakan ciri dari seseorang peserta didik yang perlu bimbingan dari seorang pendidik.
                  Murid dilihat dari dari pengertian bahasa adalah dari fi’il madhi               
‫اَ َر َد‬      ُ‫ي ِر ُد‬      ًِ‫ا َر َدة‬       ً‫ ُم ِردا‬         orang yang menginginkan
Sehingga murid diartikan oang yang menghendaki agar mendapat ilmu
pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, dan kepribadian yang baik untuk bekal hidup di
dunia akhirat dengan jalan belajar sungguh-sungguh.[18]
2. Sifat yang harus di miliki peserta didik
Syekh Az Zarnuji dalam ta’limu al muta’alim menerangkan sifat-sifat para penuntut
ilmu :
a)      Tawudu’, sederhana, tak sombong, tak rendah diri
b)     Wara’ ( memelihara diri dari sifat tercela )
c)      Tabah, sabar
d)     Cinta ilmu dan kasih sayang kepada kitab
e)      Cita-cita luhur
f)       Ajeg dan ulet
g)      Tawakal.[19]
3. Tugas-tugas murid
Moh. Athiyah Al Abrasyi dalam kitabnya Ruh al Islam sependapat dengan Hujatul
Islam Al Ghazali dalam “ihya” ulumuddin tentang tugas-tugas murid :
a)      Mendahulukan kesucian jiwa dari akhlaq yang hina
Sabda nabi SAW  َُ‫فَة‬ َ‫النَّظ‬ ‫ َعلَى‬  َ‫ِيْن‬ ‫ال َّد‬ ‫بِنِى‬                        
“ Agama itu di bina atas kebersihan “
 Allah berfirman
($yJ¯RÎ) šcqä.Ύô³ßJø9$# Ó§pgwU
“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis” ( At taubah: 28 )[20]
b)     Mengorientasi belajarnya dalam rangka memperbaiki jiwa dengan sifat-sifat mulia
c)      Jangan membuka rahasia guru
d)     Tidak sombong karena ilmu
e)      Menyediakan diri untuk belajar sampai akhir hayat.[21]

C.    Pola Hubungan Guru dan murid dalam Perspektif Islam


1.      Etika hubungan guru di tengah-tengah murid :
a)      Guru hendaknya mengajar dengan niat mengharap ridha Allah, menyebarkan ilmu,
menghidupkan syara’, menegakkan kebenaran, dan melenyapkan kebathilan serta memelihara
kemaslatan umat.
b)      Guru hendaknya tidak menolak untuk mengajar murid yang tidak mempunyai niat tulus
dalam belajar.
c)      Guru hendaknya mencintai muridnya seperti mencintai dirinya sendiri. Artinya seorang
guru hendaknya mengganggap bahwa muridnya itu adalah merupakan bagian  dari dirinya
sendiri ( bukan orang lain )
d)     Guru hendaknya memotivasi muridnya untuk menuntut ilmu seluas mungkin. Sebagaimana
pernah dianjurkan Rosulullah dalam sabdanya yang berarti : “Tuntutlah ilmu sekalipun ke
negeri Cina”. Hadits ini menyiratkan bahwa menuntut ilmu itu tidak ada batasnya, kapan,
dan di manapun tempatnya.
e)      Guru hendaknya menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dan berusaha agar
muridnya dapat memahami pelajaran.
f)       Guru hendaknya melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukanya.
g)      Guru hendaknya bersikap adil terhadap semua muridnya. Hal ini pernah diingatkan oleh
Allah dalam firman-Nya:
Artinya : “ Sesungguhnya Allah menyuruh ( kamu ) berlaku adil dan berbuat kebaikan……
( QS. Al-Nahl:90 )
h)     Guru hendaknya terus memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaqnya.
Murid yang saleh akan menjadi “tabungan” bagi guru baik di dunia maupun di akhirat.[22]
2.      Tata kesopanan murid terhadap guru
Syeikh Az Zarnuji dalam karya monumentalnya ta’lim al muta’lim sengaja mengukir
kata-kata di dalamnya tentang cara menghormati ilmu dan ahlinya ( guru atau pendidik ),
karena sebagai pelajar tidak akan memperoleh ilmu dan tidak akan dapat mengambil
mafaatnya, tanpa menghormati ilmu dan guru dan beliau menambahkan bahwa menghormati
lebih baik dari mentaati.
Dalam hal ini beberapa cara menghormati guru sebagaimana peryataan syeikh Az
Zarnuji :
a)      Seorang murid tidak berjalan di depannya, tidak di tempatnya, tidak memulai bicara kecuali
ada ijinya.
b)     Tidak banyak bicara di hadapannya
c)      Mencari kerelaan hati guru ( harus menjauhi hal-hal yang menyebabkan ia murka )
d)     Tidak diperbolehkan menyakiti hati sang guru.
e)      Murid harus bersikap rendah diri.
f)       Tidak memasuki ruangan guru kecuali mendapat ijinnya.[23]

BAB III
KESIMPULAN

A.    Pengertian pendidik menurut perspektif Islam


Adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap upaya perkembangan jasmani
dan rohani peserta didik sehingga mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiannya
sebagai khalifah fi al ardh maupun sebagai abdsesuai ajaran Islam, jenis pendidik :
a)      Allah
b)     Nabi Muhammad SAW
c)      Orang tua
d)     Guru
B.     Peserta didik menurut perspektif Islam
Adalah orang-orang yang menghendaki agar mendapat ilmu pengetahuan dan
kepribadian yang baik untuk bekal hidup di dunia dan akhirat dengan sungguh-sungguh dan
menyediakan diri untuk belajar sampai akhir hayat.
C.    Pada hubungan guru dan murid menurut perspektif Islam
Suatu hal yang menarik dari hubungan guru dan murid  adalah unsur menekankan sifat
kasih sayang, lemah lembut terhadap peserta didik sehingga ia berusaha memberikan yang
terbaik kepada murid-muridnya  yang disayanginya. Demikian sebaliknya murid-murid akan
selalu hormat pada sang pendidiknya.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Abrasyi, Muh Athiyah.  Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam.  Yoqyakarta: Titian Ilahi Press,


1996.
Al-Ghazali, terj. Moh Zuhri.  Ihya’ Ulumuddin. Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990.
Al-Nahlawi. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah: Wa-al alibiha fi al-baiti wa- al madrasati wa-al
mujtami.’ Kairo: Darul Fikri, 1996.
Az- Zarnuji. Ta’lim Muta’alim: Maktabah dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah.  Tt.
Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Jakarta: tp, 1992.
Fahmi, Asma Hasan.  Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang, 1979.
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam.  Surabaya: PSAPM, 2003.
Nata, Abudin. Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru-Murid.  Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003.
Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakakrta: Ciputat Press, 2002.
Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia, 2006.
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam. Bandung: PT.Remaja Rosda Karya,
2001.
Uhbiyati, Nur.  Ilmu Pendidikan Islam.  Bandung: Pustaka Setia, 1997.

[1] Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2006), 56.


[2] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Islam dalam Perspektif Islam (Bandung: PT.Remaja Rosda Karya, 2001), 74.
[3] Muh Athiyah al-Abrasyi, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1996), 65.
[4] Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: tp, 1992), 5.
[5] Ibid., 14.
[6] Ramayulis, Ilmu, 59-60.
[7] Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam (Surabaya: PSAPM, 2003), 61-62.
[8] Depag RI, Al-Qur’an, 190.
[9] Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 165.
[10] Tafsir, Ilmu, 80.
[11] Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 1997), 78-79.
12 Al-Abrasy, Beberapa Pemikiran, 66-70.
[12] Imam Al-Ghazali, terj. Moh Zuhri,  Ihya’ Ulumuddin (Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1990), 171-180.

[14] Az- Zarnuji, Ta’lim Muta’alim  ( Indonesia) : Maktabah dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 13.
[15] Abdurrhman al-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah: Wa-al alibiha fi al-baiti wa- al madrasati wa-al mujtami’ ( Kairo: Darul Fikri,
1996), 176-180.
[16] Ibid., 171.
[17] Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam (Jakakrta: Ciputat Press, 2002), 44.
[18] Abudin Nata, Perspektif Islam Tentang Pola Hubungan Guru- Murid (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), 49-50
[19] Az- Zarnuji, Ta’lim, 16-39
20Depag, Al Qur’an, 288.
21 Al Abrasyi, Beberapa, 73-75. lihat juga Al ghazali, Ihya, 149-164.

[22] Ramayulis, Ilmu, 72-73.
[23] Az -Zarnuji, Ta’lim, 16.

Anda mungkin juga menyukai