Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

Fraktur adalah suatu patahan pada kontinuitas struktur tulang. Patahan tadi mungkin

tidak lebih dari suatu retakan, suatu pengisutan atau perimpilan korteks; biasanya patahan

itu lengkap dan fragmen tulang bergeser. Bilamana tidak ada luka yang menghubungkan

fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit atau kulit diatasnya masih utuh ini disebut

fraktur tertutup (atau sederhana), sedangkan bila terdapat luka yang menghubungkan tulang

yang fraktur dengan udara luar atau permukaan kulit yang cenderung untuk mengalami

kontaminasi dan infeksi ini disebut fraktur terbuka.

Fraktur femur sering terjadi akibat dari kecelakaan lalu lintas, yang mengakibatkan

femur menjadi patah atau retak. Fraktur femur biasanya disebabkan oleh trauma akibat

tekanan yang berlebihan pada tulang melebihi kapasitas tulang tersebut. Secara

epidemiologi, fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan

perbandingan 3:1. Fraktur femur 1/3 proksimal sering disebut fraktur subtrochantor. Femur

merupakan tulang panjang yang dilewati oleh otot-otot besar yang berfungsi sebagai

penyangga tubuh dalam aktivitas misalnya berdiri, berjalan, dan bekerja.

Prinsip menangani fraktur meliputi: (1) reduksi yaitu memperbaiki posisi fragmen

yang terdiri dari reduksi tertutup (tanpa operasi) dan reduksi terbuka (dengan operasi), (2)

mempertahankan reduksi (immobilisasi) yaitu tindakan untuk mencegah pergeseran dengan

traksi terus-menerus, pembebatan dengan gips, pemakaian penahan fungsional, fiksasi

internal dan fiksasi eksternal.

1
Immobilisasi dengan internal fiksasi adalah: (1) plate and screws, (2) cortical bone

graft and screws, (3) intra modular nail, (4) screw plate and screws, (5) nail plate, (6)

oblique transfixion screws, (7) circumferential wire band (Adams, 1992). Dalam kasus ini

internal fiksasi yang digunakan adalah plate and screws.

Problematik fisioterapi post operasi ORIF 1/3 distal os femur dextra meliputi

impairment dan functional limitation. Problematik yang termasuk impairment yaitu (1)

adanya nyeri pada tungkai kanan, (2) adanya keterbatasan gerak, (3) adanya penurunan

kekuatan otot. Problematik yang termasuk functional limitation adalah keterbatasan

penderita untuk melakukan aktifitas fungsional denagn tungkai.

Fisioterapi dalam mengatasi problematik di atas dapat menggunakan salah satu

modalitas fisioterapi yaitu terapi latihan. Terapi latihan adalah salah satu usaha

penyembuhan dalam fisioterapi yang dalam pelaksanaannya menggunakan gerak tubuh

baik secara aktif maupun pasif. Terapi latihan yang diberikan antara lain : (1) static

contraction untuk mengurangi nyeri post operasi, (2) Passive exercise untuk memelihara

luas gerak sendi, (3) Hold relax untuk mengurangi nyeri dan meningkatkan luas gerak

sendi, (4) Ressisted exercise untuk meningkatkan kekuatan otot.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan tentang Anatomi Biomekanik

1. Anatomi

a. Sistem Tulang (Osteo)

a) Os Femur

Merupakan tulang panjang dalam tubuh yang dibagi atas caput,

corpus, dan collum dengan ujung distal dan proximal. Tulang ini bersendi

dengan acetabullum dalam struktur persendian panggul dan bersendi dengan

tulang tibia pada sendi lutut. Tulang paha atau tungkai atas merupakan

tulang terpanjang dan terbesar dari pada tubuh yang termasuk seperempat

bagian dari panjang tubuh. Tulang paha terdiri dari 3 bagian, yaitu epiphysis

proximalis, diaphysis dan epiphysis distalis.

3
1) Epiphysis Proximalis

Ujung membuat bulatan 2/3 bagian bola disebut caput femoris,

yang punya facies articularis untuk bersendi dengan acetabulum

ditengahnya terdapat cekungan yang disebut favea capatis. Caput

melanjutkan diri sebagai collum femoris yang kemudian disebelah lateral

membulat disebut throchanter major kearah medial juga membulat kecil

disebut trachanter minor. Dilihat dari depan, kedua bulatan mayor dan

minor ini dihubungkan oleh garis yang disebut linea intertrochanterica

(linea spirialis). Dilihat dari belakang kedua bulatan ini dihubungkan oleh

rigi disebut crita intertrochterica dilihat dari belakang pula maka

disebelah medial trachantor major terdapat cekungan disebut fossa

trachanterica.

2) Diaphysis

Merupakan bagian yang panjang disebut corpus. Penampang

melintang merupakan sepertiga dengan basis menghadap ke depan pada

diaphysis mempunyai dataran yaitu facies medialis dan lateralis. Nampak

bagian belakang berupa garis disebut linea aspera, yang dimulai dari

bagian proximal dengan adanya suatu tonjolan kasar disebut tuberositas

glutea. Linea ini terbagai menjadi dua bibit yaitu labium mediale dan

labium lateralae, labium medial sendiri merupakan lanjutan dari linea

intertrochanterica. Linea aspera bagian distal membentuk segitiga disebut

planum poplitenum. Dari trachantor minor terdapat suatu garis disebut

4
linea pectinea. Pada dataran belakang terdapat foramen nutricium, labium

medial, lateral disebut juga supracondylaris lateralis medialis.

3) Epiphysis Distalis

Merupakan bulatan sepasang yang disebut condylus medialis dan

condylus lateralis. Disebelah proximal tonjolan ini terdapat lagi masing-

masing sebuah bulatan kecil disebut epicondylus medialis dan

epincondylus lateralis. Epicondylus ini merupakan akhir perjalanan linea

aspera bagian distal dilihat dari depan terdapat dataran sendi yang

melebar disebut facies patelaris untuk bersendi dengan Os patella.

Intercondyloidea yang dibagian proximalnya terdapat garis disebut linea

inercondyloidea.

b. Arthrologi / Sistem sendi

Sendi adalah hubungan antar dua tulang atau lebih dari system sendi

disini meliputi system sendi panggul dan sendi lutut.

a) Sendi panggul ( hip joint )

Sendi panggul dibentuk oleh facies lunata acetabullum dan caput

famoris facies lunata rongga sendi atau cavum articularis merupakan

cekungan bentuk simetris terbentang melampaui equator labium lunata,

labium acetabuli mengandung zat rawan fibrosa. Facies lunata dan labium

meliputi dua pertiga caput femoris lekuk tulang tidak lengkap dan bagian

interior ditutup oleh ligamentum tranversum acetabuli, dikanan terdapat

bantalan lemak menuju caput femoris. Kapsul sendi melekat pada tulang

panggul sebelah luar labium acetabuli sehingga labium acetabuli dengan

5
bebas masuk ke rongga kapsul. Sendi panggul diperkuat oleh ligamentum-

ligamentum yang diantaranya.

1) Ligamentum Iliofemorale

Berbentuk Y, dasarnya melekat pada spinailiaca anterior dan

inferior, berfungsi mencegah gerakan extensi dan exorotasi tungkai atas

yang berlebihan pada sendi pangkal paha.

2) Ligamentum Pubofemorale

Berbentuk segitiga, dasarnya ligament pada ramus superior pubis

berfungsi mencegah gerakan abduksi tungkai atas yang berlebihan.

3) Ligamentum Ischiofemorale

Berbentuk spiral, melekat pada corpus ischium dekat tepi

acetabulum.

4) Ligamentum transfersum acetabuli

Dibentuk oleh labium acetabulare. Berfungsi mencegah keluarnya

caput femoris dari acetabulli.

5) Ligamentum capitis femoris

Berbentuk gepeng dan segitiga melekat pada caput femoris,

berfungsi sebagai tempat berjalan vena dan saraf, meratakan permukaan

sendi.

b) Sendi Lutut ( knee joint )

Sendi lutut dibentuk oleh tiga sendi yang berbeda dan dilindungi oleh

kapsul sendi. Sendi tersebut dibentuk oleh tulang femur dan patella yang

mana pada facet joint terdiri dari tiga permukaan pada bagian lateral, yang

6
mana pada satu permukaan bagian medial otot vastus lateralis menarik

patella ke arah medial sehingga patella stabil. Pada posisi 300 , 400 dari

ekstensi, patella tertarik oleh mekanisme gaya kerja otot sangat kuat.

1. Lig. Sacrospinal 1. Lig. Pubofemorale


2. Lig, Sacrotuberal 2. Canalis obturatorius
3. Caput reflexum 3. Membrana obturatoria
4. Caput rectum 4. Trochanter minor
5. Lig. Iliofemorale 5. M. Rectum Femoris
6. collum femoris 6. Pars decendens
7. trochanter major 7. Pars Transversa
8. Tuberositas glutea 8. Trochanter major
9. Trochanter minor
10. Lig. Ischio femoral

c. Sistem Otot (Muskulo skeletal)

Otot-otot yang akan dibahas ini hanya berhubungan dengan kondisi

pasien post operasi ORIF (Operation Reduction Internal Fixation) fraktur femur

1/3 tengah dextra dengan pemasangan intra medular nail adalah otot yang

berfungsi ke segala arah seperti regio hip untuk gerakan flexi-extensi, abduksi-

adduksi, dan eksternal rotasi-internal rotasi.

7
Otot-Otot Penggerak Tungkai (Putz and Pabts, 2005).

Otot-otot paha dan pinggul; lapisan dalam setelah sebagian besar otot

permukaan gluteal dan ischiokrural disingkirkan ; tampak belakang (Putz and

Pabts, 2005).

Otot Tungkai Atas Bagian Anterior (Richard, 1986).

a) Sartorius

b) Illiacus

c) Pectineus

d) Quadriceps femoralis Rectus femoris

e) Vatus lateralis

f) Vatus medialis

g) Vatus intermediaus

Otot Tungkai Atas Bagian Posterior (Richard, 1986).

a) Biceps femoralis

8
b) Semi tendonosus

c) Semi membranosus

d) Adductor magnus

Otot Tungkai Atas Regio Glutealis (Richard, 1986).

a) Gutues Maximus

b) Gutues Minimus

c) Gutues Medius

d) Priformis

e) Obturatorius internus

Otot Tulang Medial Paha (Richard, 1986).

a) M. gracilis

b) M. adductor logus

c) M. adductor brevis

d) M. obturatoirus

e) M. Obturatorius externus

d. Sistem Persyarafan (Nervus System)

a) Nervus Femoralis

Merupakan cabang terbesar dari plexus lumbalis. Nervus ini berisi dari

tiga bagian plexus yang berasal dari nervus lumbalis (L2, L3 dan L4).

Nervus ini muncul dari tepi lateral psoas di dalam abdomen dan berjalan ke

bawah melewati m. psoas dan m. illiacus ia terletak di sebelah fasia illica

dan memasuki pada lateral terhadap anterior femoralis dan selubung femoral

9
dibelakang ligament inguinal dan pecah menjadi devisi anterior dan posterior

nervus femoralis mensyarafi semua otot anterior hip.

b) Nervus Obturatorius

Berasal dari plexus lumbalis (L2,L3,L4) dan muncul pada bagian tepi

m. psoas di dalam abdomen, nervus ini berjalan ke bawah dan depan pada

lateral pelvis untuk mencapai bagian atas foramen abturatorium, yang mana

tempat ini pecah menjadi devisi anterior dan posterior. Devisi anterior

memberi cabangcabang muscular pada m. gracillis, m. adductor brevis, dan

longus. Sedangkan devisi posterior mensyarafi articulates guna memberi

cabang-cabang muscular kepada m. obturatorius exsternus, dan adductor

magnus.

c) Nervus Gluteus Superior dan Inferior

Cabang nervus sacralis meninggalkan pelvis melalui bagian atas dan

bawah foramen ischiadicus majus diatas m. piriformis dan mensyarafi

gluteus medius, minimus dan maximus.

2. Biomekanik

b. Osteokinematik

Gerakan yang memungkinkan terjadi pada sendi lutut adalah fleksi

ekstensi dengan ROM 00 untuk ekstensi dan 1200-1350 untuk fleksi. Sendi lutut

juga menghasilkan rotasi beberapa derajat dalam posisi lutut tertentu

(sebenarnya sendi lutut hanya memiliki 1 DKG utama yakni fleksi-ekstensi,

tetapi karena terjadi rotasi pada axis longus saat fleksi lutut, maka dianggap

memiliki 2 DKG yang bersifat asesoris). Stabilisasi yang terbaik dari lutut

10
adalah saat ekstensi lutut penuh yang ditambah pula oleh penumpuan berat

badan.

a) Axis lutut dan jarak gerak sendi

1) DKG I adalah axis transversalis untuk mengontrol gerakan fleksi-ekstensi

pada bidang gerak sagital dengan ROM fleksi aktif dengan posisi hip

fleksi 1400, aktif posisi dengan ekstensi 1200, pasif 1600 (membuat tumit

dapat menyentuh gluteus). Sedangkan ROM ekstensi, pada saat aktif

yaitu 00 dan pasif 50-100 (hiperekstensi).

2) DKG II adalah aksis longus (panjang tungkai yang disertai dengan fleksi

lutut, DKG II tidak mungkin saat ekstensi lutut) dengan ROM endorotasi

300 dan eksorotasi 400. Peneliti yang lalu menyatakan bahwa jika fleksi

lutut 300 maka eksorotasi 320, dan jika fleksi lutut 900 maka eksototasi

420. Rotasi aksial secara pasif dapat dilakukan dalam posisi tengkurap

dengan lutut fleksi lalu kaki digenggam dan diputar ke dalam serta keluar

(ROM yang terjadi lebih besar dari pada rotasi axial aktif yakni eksorotasi

450-500 dan endorotasi 300-350).

c. Arthrokinemati

Kapsul sendi yang longgar meliputi dua persendian, yaitu:

a) Tibiofemoral

Memiliki ciri khas sendi hinge biaksial yang diantarai oleh 2 meniskus,

di sanggah oleh ligamen-ligamen dan otot-otot. Stabilitas sendi bagian

anterior dan posterior diberikan oleh ligamen crusiatum anterior-posterior,

11
demikian pula untuk stabilitas sendi sisi medial-lateral diberikan oleh

ligamen collateral medial (tibialis) dan collateral lateral (femoralis).

Tulang femur berbentuk konveks dan di tambah oleh 2 condilus yang

tidak simetris pada ujung distal femur, dimana kondilus medial lebih panjang

dari pada lateralis, sehingga dapat menjadi mekanisme pengunci lutut.

Tulang tibia berbentuk konkaf dan dua dataran tibia pada ujung

proksimal tibia beserta meniscus fibrokartilago. Dataran medial lebih besar

daripada dataran lateral.

Meniscus dapat meningkatkan kongruenitas permukaan sendi dimana

melekat pada kapsul sendi melalui ligamen coronari. Meniskus medialis

melekat dengan kuat pada kapsul sendi sebagaimana halnya dengan

meniskus lateralis ligamen cruciatum anterior dan otot semimembranosus.

Pada gerakan tibia (rantai kenematika terbuka) dataran konkaf akan

slide dalam arah yang sama dengan gerakan tulang. Pada gerakan femur

dimana tibia terfiksasi (rantai kinematika tertutup) kondilus yang konveks

akan slide dalam arah yang berlawanan dengan gerakan tulang. Contohnya

dalah dari berdiri ke duduk atau jongkok dan sebaliknya. Rotasi terjadi

antara kondilus femur dengan tibia pada saat derajat akhir ekstensi.

b) Patellofemoral

Memiliki ciri khas yaitu patella merupaka tulang sesamoidea dari otot

qudriceps, yang akan bersendi dengan sulcus intercondilodea pada aspek

anterior dari bagian distal femur. Permukaan sendinya dilingkupi oleh

kartilago hyalin yang halus. Patella tersusup kedalam bagian anterior dari

12
kapsul sendi dan akan dihubungkan ke tibia melalui ligamen patella, serta

banyak bursa yang melingkupi patella.

Pada saat fleksi lutut, maka patella akan slide ke caudal disepanjang

sulcus intercondilodea, sedangkan saat ekstensi lutut maka patella akan slide

ke cranial. Letak tulang patella dirujuk dengan bentuk Q-Angle yaitu sudut

yang dibentuk oleh perpotongan 2 garis yakni garis SIAS ketitik tengah

patella dengan garis dari tuberculum tibia ketitik tengah patella, dengan nilai

normalnya adalah 150. Adapun faktor yang mempertahankan ketepatan

patella adalah fiksasi lateral diberikan oleh serabut iliotibial dan retinaculum

lateral untuk melawan tarikan ke arah medial dari otot vastus medialais, dan

fiksasi inferior diberikan oleh ligamen patella untuk melawan tarikan dari

otot quadriceps ke arah superior.

Tulang patella sisi posterior akan menekan ke tulang femur , yang akan

meningkat dengan tajam setelah 300 fleksi lutut. Sebelum 300 fleksi akan

terjadi penumpuan berat badan yang meningkat, dimana jika naik-turun

tangga akan meningkat 3x berat badan dan jika melakukan jongkok-berdiri

akan meningkat 8x berat badan.

Otot-otot penggeraknya yaitu otot ekstensor lutut (Quadriceps femoris)

dan otot fleksor lutut yaitu hamstring, gastrocnemius dan popliteus.

13
B. Tinjauan tentang Fraktur Femur

1. Definisi

Fraktur femur adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang

femur (Mansjoer, 2000). Sedangkan menurut Sjamsuhidajat (2004) fraktur femur

adalah fraktur pada tulang femur yang disebabkan oleh benturan atau trauma

langsung maupun tidak langsung. Fraktur femur juga didefinisikan sebagai

hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa

fraktur femur terbuka yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit,

jaringan saraf dan pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat

disebabkan oleh trauma langsung pada paha (Helmi, 2012) Dari beberapa

penjelasan tentang fraktur femur di atas, dapat disimpulkan bahwa fraktur femur

merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan kontinuitas tulang femur yang

dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun trauma tidak langsung dengan

adanya kerusakan jaringan lunak.

Pada keadaan fraktur, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh dimana

akan terjadi edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi,

ruptur tendon, kerusakan saraf dan kerusakan pembuluh darah (Brunner, 1997).

Kerusakan-kerusakan diatas menimbulkan beberapa manifestasi klinis yang khas,

salah satunya yaitu nyeri.

2. Etiologi

Untuk mengetahui mengapa dan bagaimana tulang mengalami kepatahan,

kita harus mengetahui kondisi fisik tulang dan keadaan trauma yang dapat

14
menyebabkan tulang patah. Tulang kortikal mempunyai struktur yang dapat

menahan kompresi dan tekanan memuntir (shearing).

Kebanyakan fraktur terjadi akibat truma yang disebabkan oleh kegagalan

tulang menahan tekanan membengkok, memutar dan tarikan. Penyebab fraktur

dapat dibagi menjadi tiga, yaitu :

a. Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :

a) Cedera langsung berarti pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang

patah secara spontan. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang

dan kerusakan pada kulit dia atasnya.

b) Cedera tidak langsung berarti pukulan langsung berada jauh dari lokasi

benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur

klavikula.

c) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak dari otot yang

kuat.

b. Fraktur patologik. Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit

dimana dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur dapat juga terjadi

pada berbagai keadaan berikut:

a) Tumor tulang ( jinak atau ganas) : pertumbuhan jaringan baru yang tidak

terkendali dan progresif.

b) Infeksi seperti osteomielitis: dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau

dapat timbul sebagai salah satu proses yang progresif, lambta dan sakit

nyeri.

15
c) Rakhitis : suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D

yang mmepengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan

kegagalan adsorbsi vitamin D atau karena asupan kalsium atau fosfat yang

rendah.

c. Secara spontan.

Disebabakan oleh stres tulang yang terus menerus misalnya pada penyakit

polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

3. Patoanatomi dan Patofisiologi

Mekanisme terjadinya fraktur dapat terjadi akibat : 1) Peristiwa trauma

tunggal, 2) Tekanan yang berulang ulang, 3) Kelemahan abnormal pada tulang

dalam kasus fraktur femur sepertiga distal dekstra kemungkinan mekanisme

terjadinya fraktur ada dua cara, yaitu kareana trauma maupun kecelakaan langsung

yang mengenai tungkai atas pada batang femur, sehigga mengakibatkan perubahan

pasisi pada fragmen tulang (Bloch, 1986).

Tulang bersifat terlalu rapuh, namun cukup mepunyai kekutaan dan daya

tahan pegas untuk menahan tekanan tulang, yang mengalami fraktur biasanya

diikuti kerusakan jaringan sekitarnya. Fraktur ini suatu permasalahan yang

komplek karena pada fraktur tersebut tidak ditemui luka terbuka sehingga dalam

mereposisi fraktur tersebut perlu pertimbangan dengan fiksasi yang baik, agar

tidak timbul komplikasi selama reposisi. Fraktur ganggguan pada tulang biasanya

disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress,

gangguan fisik, gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung

16
tulang turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan

mengakibatkan pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka

terjadi peubahan perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan

poliferasi menjadi edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka

atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan ganggguan

rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral

vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggau.

Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan

dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan

integritas kulit Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma

gangguan adanya gaya dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan

metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang turun, baik yang

terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan

pendarahan, maka volume darah menurun. COP menurun maka terjadi peubahan

perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi

edem lokal maka penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan

mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri.

Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi revral vaskuler yang

menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggau. Disamping itu

fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi

infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan integritas

kulit.

17
Penggunan fiksasi yang tepat yaitu dengan internal fiksasi jenis plate and

screw. Dilakukan operasi terhadap tulang ini bertujuan mengembalikan posisi

tulang yang patah kenormal atau tulang pada posisi sejajar sehingga akan terjadi

suatu proses penyambungan tulang (Appley, 1995). Pada umumnya pada pasien

fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk

mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai

sembuh.

Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidak

seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan fraktur tertutup.

Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak seperti tendon, otot,

ligament dan pembuluh darah. Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang

akan menderita komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan,

hilangnya kekuatan otot.

4. Gambaran Klinis

a. Deformitas

b. Daya Tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari

tempatnya perubahan keseimbangan dan contur terjadi seperti :

i. Rotasi pemendekan tulang

ii. Penekanan tulang

c. Bengkak : edema muncul secara cepat dan lokasi dari ekstravaksasi darah

dalam jaringan yang berdekatan dengan fraktur.

d. Echumosis dan perdarahan subculaneus

e. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur

18
f. Tenderness

g. Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya

dan kerusakan struktur di daerah yang berdekatan

h. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya saraf/perdarahan)

i. Pergerakan abnormal

j. Syock hipovolemik dari hilangnya hasil darah

k. Krepitasi

C. Tinjauan tentang Intervensi Fisioterapi

1. Terapi Latihan

Terapi latihan gerakan tubuh, postur atau aktivitas fisik yang dilakukan

secara sistematis dan terencana guna memberikan manfaat bagi pasien untuk : (1)

memperbaiki atau mencegah gangguan (2) meningkatkan, mengembalikan atau

menambah fungsi fisik (3) mencegah atau mengurangi faktor resiko terkait

kesehatan (4) mengoptimalkan kondisi kesehatan, kebugaran, atau rasa sejahtera

secara keseluruhan. Program latihan yang dirancang oleh fisioterapis bersifat

individual sesuai dangan kebutuhan khusus tiap-tiap pasien.

(Kisner&Colby,2017).

a. Static Contraction

Static Contraction merupakan suatu terapi latihan dengan cara

mengontaksikan otot tanpa disertai perubahan panjang otot maupun pergerakan

sendi. Tujuan static contaction adalah memperlancar sirkulasi darah sehingga

19
dapat membantu mengurangi oedem dan nyeri serta menjaga kekuatan otot agar

tidak terjadi atrofi.

b. Passive Exercise

Passive Exercise merupakan suatu gerakan yang dihasilkan dari kekuatan

luar dan bukan merupakan kontraksi otot yang disadati. Kekuatan luar tersebut

dapat berasal dari gravitasi, mesin, individu atau bagian tubuh lain dari individu

itu sendiri.

c. Hold Relax

Hold relax merupakan salah satu teknik khusus exercise dari

Proprioceptive Neuromuscular Fasilitation (PNF) yang menggunakan kontraksi

isometric secara optimal pada kelompok otot antagonis.

d. Active Resisted Exercise

Active resisted exercise yaitu dengan penambahan beban minimal dan

maximal dapat meningkatkan kekuatan otot dan merupakan bagian dari active

exercise dimana terjadi kontraksi otot secara statik maupun dinamik dengan

diberikan tahanan dari luar, dengan tujuan meningkatkan kekuatan otot dan

meningkatkan daya tahan otot. Tahanan dari luar bisa manual atau mekanik.

Tahanan manual adalah tahanan dimana latihan ini akan meniingkatkan

rekruitment motor unit-motor, unit sehingga akan semakin banyak melibatkan

komponen otot yang bekerja, dapat dilakukan dengan peningkatan secara

bertahap beban atau tahanan yang diberikan dengan penurunan frekuensi

pengulagan (Kisner, 2007).

20
BAB III

PROSES ASSESSMENT FISIOTERAPI

A. Data Medis

Post ORIF Distal Femur

B. Identitas Pasien

Nama : An. T

Umur : 13 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Pekerjaan : Pelajar

Alamat : Dsn. Luwu

C. History Taking

Nyeri dan sulit untuk Vital Sign


menggerakkan tungkai bagian 1. Nadi :
Keluhan Utama
kanan. 70 x/menit
2. Tekanan Darah :
Jatuh 120/80 mmHg
Faktor Penyebab
3. Pernapasan :
Faktor yang Menggerakkan tungki kanan 20 x/menit
memperberat 4. Suhu
Faktor yang Tidak menggerakkan tungkai atau 360C
memperingan istirahat
Pasien pernah jatuh 3 bulan yang Indeks Massa Tubuh
lalu. Pasien berobat di tukang urut. 1. Berat Badan : 35 kg
Riwayat perjalanan Pasien mengalami pincang selama 2. Tinggi Badan : 145 cm
penyakit sekarang 3 bulan sehingga konsul ke poli
orthopedic Antropometri :
Calf (d) : 22 cm
Riwayat penyakit - Calf (s) : 25 cm
dahulu dan
penyerta

21
D. Inspeksi/Observasi

1. Statis

Anterior : Pasien duduk di atas bed dan terpasang bandage pada paha sampai

knee

Posterior :-

Lateral : tungkai lurus kedepan dan terpasang bandage pada paha sampai

knee

2. Dinamis

a. Pasien tidak mampu menggerakkan dan membengkokkan tungkai

b. Pasien tidak mampu berdiri dan berjalan

E. Regional Screening Test

Fleksi Knee : Nyeri/Tidak mampu

Fleksi HIP : Nyeri

F. Pemeriksaan Gerak

1. Tes Gerak Aktif

a. HIP

Fleksi HIP : Nyeri dan terbatas

Ekstensi HIP : Nyeri dan terbatas

Abduksi HIP : Nyeri dan terbatas

Adduksi HIP : Nyeri dan terbatas

b. Knee : tidak mampu dilakukan

c. Ankle

Plantar Fleksi : Nyeri dan terbatas

22
Dorso Fleksi : Nyeri dan terbatas

Eversi : Nyeri dan terbatas

Inversi : Nyeri dan terbatas

2. Tes Gerak Pasif

a. HIP

Fleksi HIP : Nyeri dan terbatas, soft end feel

Ekstensi HIP : Nyeri dan terbatas, hard end feel

Abduksi HIP : Nyeri dan terbatas, hard end feel

Adduksi HIP : Nyeri dan terbatas, hard end feel

b. Knee : Tidak dapat dilakukan

c. Ankle

Plantar Fleksi : Nyeri dan terbatas, hard end feel

Dorso Fleksi : Nyeri dan terbatas, elastic end feel

Eversi : Nyeri dan terbatas, hard end feel

Inversi : Nyeri dan terbatas, hard end feel

3. Tes Isometrik Melawab Tahanan

a. HIP

Fleksi HIP : tahanan minimal

Ekstensi HIP : tahanan minimal

Abduksi HIP : tahanan minimal

Adduksi HIP : tahanan minimal

b. Knee : tidak dapat dilakukan

c. Ankle

23
Plantar fleksi : tahanan minimal

Dorso fleksi : tahanan minimal

Eversi : tahanan minimal

Inversi : tahanan minimal

G. Pemeriksaan Spesifik

Palpasi : Suhu daerah sekitar fraktur normal

H. Pengukuran Fisioterapi

1. VAS :

a. Nyeri diam :2

b. Nyeri tekan :5

c. Nyeri gerak :8

2. ROM :

HIP S. 50 – 00 – 200 F. 100 – 00 – 50


Ankle S. 100 – 00 - 100 R. 50 – 00 - 60

3. MMT :

Grup otot HIP :3

Grup otot Ankle :3

24
I. Algoritma Assessment

History Taking :
Nyeri dan sulit untuk menggerakkan
tungkai bagian kanan

Inspeksi :

Tidak mampu menggerakkan dan


membengkokkan tungkai. Tidak mampu
menumpu dan berdiri. Terpasang elastic
bandage

Pemeriksaan fisik

Tes gerak aktif/pasif : Palpasi : VAS : MMT :

Nyeri dan ketebatasan gerak Suhu pada daerah Nyeri diam : 2 Grup otot HIP : 3
pada regio HIP, Knee, dan fraktur normal. nyeri tekan : 5 Grup otot ankle : 3
Ankle nyeri gerak :8

Pemeriksaan penunjang
(X-Ray) :
Terpasang selang drain dan fiksasi internal pada 1/3
distas os femur dextra, masih tampak garis fraktur
pada region tersebut dengan pembentukkan callus
dan soft tissue swelling disekitarnya.

Diagnosa ICF :
Pain, muscle weakness with hipomobile et causa
Post ORIF fracture 1/3 distal os femur dextra

25
J. Diagnosa Fisioterapi (ICF-ICD)

Pain, muscle weakness with hipomobile et causa Post ORIF fracture 1/3 distal os

femur dextra.

K. Problematik Fisioterapi

No Pemeriksaan/Pengukuran Yang
Komponen ICF
. Membuktikan
1. Impairment
a. Nyeri pada tungkai kanan Tes gerak aktif dan pasif
b. Keterbatasan gerak tungai Pengukuran ROM
kanan
c. Kelamahan pada otot tungkai Pengukuran MMT
kanan
2. Activity Limitation
a. Kesulitan menggerakkan
kanan
b. Kesulitan saat Lower Extremity Function Scale
berdiri/menumpu
3. Participation Restriction
a. Pasien belum mampu untuk
ke sekolah
Lower Extremity Function Scale
b. Pasien belum mampu untuk
bermain bersama teman

26
BAB IV

INTERVENSI DAN EVALUASI FISIOTERAPI

A. Rencana Intervensi Fisioterapi

1. Tujuan Jangka Panjang

Mengembalikan kemampuan untuk berdiri/menumpu, pergi kesekolah dan

bermain bersama teman tanpa adanya keterbatasan dan nyeri.

2. Tujuan Jangka Pendek

a. Mengurangi nyeri

b. Meningkatkan ROM

c. Meningkatkan kekuatan otot

B. Strategi Intervensi Fisioterapi

No Problematik Fisioterapi Tujuan Intervensi Jenis Intervensi


.
1. Impairment
a. Nyeri pada tungkai kanan Mengurangi nyeri Static Contraction
b. Keterbatasan gerak tungai Meningkatkan ROM Passive Exercise
kanan tungkai kanan dan Hold Relax
c. Kelamahan pada otot Meningkatkan Ressisted Exercise
tungkai kanan kekuatan otot

2. Activity Limitation
a. Kesulitan menggerakkan
tungkai kanan Mengembalikan Passive Exercise,
b. Kesulitan saat fungsional pada Hold Relax dan
berdiri/menumpu tungkai kanan Ressisted Exercise

3. Participation Restriction
a. Pasien belum mampu untuk Mengembalikan Passive Exercise,
ke sekolah aktivitas fungsional Hold Relax dan

27
b. Pasien belum mampu untuk
bermain bersama teman sebagai pelajar Ressisted Exercise

C. Prosedur Pelaksanaan Intervensi Fisioterapi

a. Static Contraction (pumping action ankle)

Posisi pasien : Sitting

Posisi Fisioterapis : Berdiri disamping tungkai kanan pasien

Teknik pelaksanaan : Pasien diminta menggerakkan ankle kearah plantar dan

dorso fleksi.

Dosis : 3-4 menit selama 3-5 kali perhari.

b. Passive Exercise

Posisi pasien : Supine Lying

Posisi Fisioterapis : Berdiri disamping tungkai kanan pasien

Teknik pelaksanaan : Fisioterapis menggerakkan setiap persendian pada ankle dan

HIP

Dosis : 8-10 kali gerakan

c. Hold Relax

Posisi pasien : Supine Lying

Posisi Fisioetapis : Berdiri disamping tungkai kanan pasien

Teknik pelaksanaan : Pasien diminta untuk mengerakkan ankle sampai batas

nyeri, kemudian terapis memberikan tahanan, tahan 5 detik kemudian pasien

diminta untuk menrik napas kemudian hembuskan.

28
Dosis : 10x repitisi

d. Resisted Active Movement

Posisi pasien : Supine Lying

Posisi Fisioterapis : Berdiri disamping tungkai kanan pasien

Teknik pelaksanaan : Pasien diminta untuk melakukan gerakan fleksi, ekstensi,

abduksi, dan adduksi HIP sinistra, dorsal dan plantar fleksi dextra dengan diberi

tahanan oleh fisioterapis.

Dosisi : 8-10 gerakan.

D. Edukasi dan Home Program

1. Edukasi

 Disarankan untuk tidak melakukan aktifitas berat diam yang menumpu pada

kaki terlalu lama.

 Diusahakan kamar mandi menggunakan WC duduk jangan jongkok.

2. Home Program

Diharapkan di rumah pasien mau melakukan latihan sendiri sesuai yang telah

diajarkan fisioterapis seperti active exercise dan pumping actin ankle.

E. Evaluasi

29
BAB V

PEMBAHASAN

A. Pembahasan Assessmen Fisioterapi

Assesment atau pemeriksaan merupakan komponen penting dalam menejemen

penatalaksanaan fisioterapi. Tindakan ini bertujuan untuk menegakkkan diagnosis

dan pedoman dalam pelaksaan terapi terhadap keluhan yang dialami pasien. Baik

berupa anamnesis maupun berupa pemeriksaan. dengan anamnesis dan pemeriksaan

yang terarah dan terstruktur dapat di peroleh diagnosa yang tepat. Berikut langkah

langkah anamnesis dan pemeriksaan:

1. Tinjauan tentang Assessmen

a. History Taking

Anamnesis adalah cerita tentang riwayat penyakit yang diutarakan oleh

pasien melalui tanya jawab, pada saat melakukan anamnesis seorang pemeriksa

sudah mempunyai gambaran untuk menentukan strategi dalam pemeriksaan

klinis selanjutnya, karena dengan anamnesis yang baik membawa kita

menempuh setengah jalan kearah diagnosis yang tepat. Secara umum sekitar

60-70 % kemungkinan diagnosis yang benar dapat ditegakkan hanya dengan

anamnesis yang benar.

30
Vital sign merupakan pemeriksaan tanda-tanda vital berupa tekanan

darah, denyut nadi, pernafasan dan temperatur.

b. Inspeksi/Observasi

Inspeksi merupakan suatu tindakan melihat atau mengamati keadaan fisik

pasien. Inspesi ini dilakukan dalam posisi nyaman pasien (antalgic position)

dan juga dalam posisi terkoreksi. Inspeksi dilakukan dalam 2 cara yaitu :

a) Inspeksi Statis

Inspeksi statis atau inspeksi saat pasien dalam posisi diam. Sebelum

melakukan inspeksi lokal, inspeksi dilakukan secara menyeluruh terlebih

dahulu, dengan memperhatikan setiap regio tubuh seperti kurva tubuh,

kesimetrisan bahu, dll.

b) Inspeksi Dinamis

Inspeksi dinamis yaitu inspeksi saat pasien bergerak. Inspeksi ini

sebenarnya telah dimulai sejak awal pertama bertatap muka dengan pasien.

Saat pertama kali melihat pada inspeksi yang diperhatikan adalah raut muka

pasien (apakah terlihat kesakitan), pola berjalan, kemampuan melakukan

gerakan-gerakan pada regio terkait, dll.

c. Regional Screening Test

Tes Orientasi adalah tes provokasi untuk mengungkap letak kelainan

yang dikeluhkan penderita baik segmental maupun regional yang bersifat

umum dan praktis. Sebagai contoh penderita dengan keluhan nyeri lutut, maka

tes orientasinya adalah berdiri ke jongkok dan sebaliknya, oleh karena biasanya

31
gangguan primer terletak di sendi hip atau di sendi lutut itu sendiri yang dapat

menimbulkan gangguan sekunder ke regio yang lain.

d. Pemeriksaan Gerak

a) Tes Gerak Aktif

Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta pasien untuk melakukan

gerakan dengan keinginan dan kekuatannya sendiri tanpa bantuan

pemeriksa atau mekanis. Saat pasien melakukan gerakan, pemeriksa harus

memperhatikan pola gerakan, koordinasi dan jangkauan gerak, dan nyeri

yang timbul saat pasien melakukan gerakan.

b) Tes Gerak Pasif

Pemeriksaan ini dilakukan dengan meminta pasien mengistirahatkan

dan merilekskan anggota geraknya dan membiarkan pemeriksa

menggerakkannya tanpa mendapat dukungan dari pasien. Pemeriksaan gerak

aktif perlu dilakukan dengan cermat agar gerakan-gerakan kompensasi

sedapat mungkin dicegah. Gerakan pasif dilakukan hingga sejauh

kemungkinan gerak dan menanyakan apakah timbul nyeri dan

memperhatikan pola keterbatasan gerak (capsular pattern) yang terjadi saat

gerakan. Selain itu juga penting untuk memeriksa endfeel dari setiap gerakan

untuk menilai adanya kondisi abnormal dari sendi terkait. Gerakan pasif ini

memberikan informasi mengenai kemampuan gerak suatu sendi (ROM),

stabilitas sendi, dan mengenai struktur yang di ulur (stretch). Pada kondisi

dengan gangguan sendi maka akan muncul rasa sakit pada gerakan pasif

karena pemeriksaan ini melibatkan sendi.

32
c) Tes Isometrik Melawan Tahanan

Tes isometrik ini bertujuan untuk menilai kekuatan musculotendinous

dan menilai kualitas saraf motorik dari suatu regio. Pemeriksaan ini

dilakukan dengan memberikan tahanan pada regio yang akan digerakkan

oleh pasien sehingga pasien akan tampak melakukan kontraksi otot tanpa

ada gerakan pada sendi yang terkait.

e. Pemeriksaan Spesifik

Adalah pemeriksaan yang dilakukan apabila informasi yang diperoleh

melalui anamnesis, inspeksi dan pemeriksaan fungsi belum cukup untuk

menegakkan diagnosis suatu penyakit atau problematic fisioterapi terhadap

penderita. Pemeriksaan spesifik dilakukan untuk mengungkap ciri khusus serta

jenis gangguan dari suatu struktur atau jaringan tertentu.

a) Palpasi

Palpasi merupakan pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan

memegang bagian tubuh pasien yang akan diperiksa atau yang dikeluhkan

pasien. Bertujuan untuk mengetahui adanya spasme otot, nyeri tekan, suhu

lokal, tonus, oedema dan perubahan bentuk.

f. Pengukuran Fisioterapi

a) VAS

Metode VAS adalah alat ukur intensitas nyeri yang meliputi 10 cm

garis, dengan setiap ujungnya ditandai dengan tingkat intensitas nyeri (ujung

kiri diberi tanda “no pai” dan ujung kanan diberi tanda “bad pain”). Pasien

33
diminta untuk menandai disepanjang garis tersebut sesuai dengan tingkat

intensitas nyeri yang dirasakan pasien, kemudia jaraknya diukur dari batas

kiri sampai pada tanda yang diberi oleh pasien dan itulah tingkat intensitas

nyeri pasien. Skor tersebut dicatat dan digunakan untuk melihat kemajuan

pengobatan/terapi selanjutnya. Secara potensial, VAS lebih sensitive

terhadap intensitas nyeri dibandingkan pengukuran lainnya (Munoz et al.,

2004).

b) MMT (Manual Muscle Testing)

Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai kekuatan otot dan kualitas

saraf motorik suatu regio. Pasien diposisikan pada postur yang optimun

untuk melakukan gerakan kemudian pemeriksa memberikan instruksi kepada

pasien untuk melawan tahanan dan mempertahankan posisi pasien.

c) ROM (Range of Motion)

Pemeriksaan ini untuk menilai seberapa besar keterbatasan gerak yang

dialami pasien dan membandingkan sisi yang normal dengan sisi yang

mengalami cedera.

B. Pembahasan Intervensi Fisioterapi

34
1. Terapi Latihan

a. Static Contraction

Pemberian static contraction memberkan efek pumping action pembuluh

darah baik, yaitu terjadinya peningkatan perifer resistance of blood vessels.

Dengan adanya hambatan pada perifer maka akan didapatkan peningkatan

blood pressure dan secara otomatis cardiac output meningkat sehingga

mekanisme metabolism menjadi lancar dan sehingga oedem menjadi menurun

karena oedem menurun maka tekanan ke serabut saraf sensiris juga menurun

sehingga nyeri berkurang.

Menurut penelitian Didik Purnomo(2017) yang berjudul “Pengaruh terapi

latihan pada post ORIF dengan Plate abd screw neglected close fracture

femur” menunjukkan bahwa intervensi berupa terapi latihan pada kondisi post

ORIF fracture femur efektif dalam menurunkan derajat nyeri dan meningkatkan

aktivitas fungsional partisipan.

b. Passive Exercise

Passive exercise dengan gerakan penguluran selama gerakan terjadi dan

pada akhir gerakan diberikan penekanan yang mantap sehingga dapat

membantu peningkatan ROM. Dengan adanya gerakan pasif akan merangsang

propiceptif dengan perubahan panjang otot pada saat terjadi kontraksi otot

darah bergerak ke jaringan sehingga pada sendi terjadi penambahan nutrisi,

sehingga perlengketan jaringan dapat dicegah, maka dengan demikian ROM

bertambah.

35
Menurut penelitian Santi(2010) yang berjudul “Terapi Latihan pada

kondisi pasca operasi pertrokanter femur dextra dengan pemasangan Plate and

Screw” menunjukkan bahwa peggunaan modalitas dapat membantu mngatasi

masalah yang timbul dari kondisi fraktur pertrokanter femur dextra.

c. Hold Relax

Penggunaan teknik Hold Relaxed dapat meningkatkan LGS dengan

mekanisme yang telah dijelaskan di atas bahwa dengan kontraksi isometrik

yang kuat dan disertai dengan rileksasi maka ketegangan otot dan spasme dapat

berkurang. Hal tersebut ditambah dengan mekanisme penguluran otot sehingga

sarcomer otot yang semula memendek akan dapat memanjang kembali dan

berakibat pada kembalinya fungsi otot secara normal. Pada kasus ini, Hold

Relaxed yang diterapkan yaitu karena posisi immobilisasi yang cenderung

ekstensi sehingga kemungkinan terjadi spasme akan cukup besar. Sehingga

dengan hold relaxed diharapkan spasme dapat berkurang dan LGS lutut akan

meningkat.

Menurut penelitian Yulianto Wahhyono dan Budi Utoma (2016) yang

berjudul “Efek pemberian latihan Hold relax dan penguluran pasif otot

quadriceps terhadap peningkatan lingkup gerak fleksi lutut dan penurunan nyeri

pada kasus pasca ORIF karena fraktur femur 1/3 bawah dan tibia 1/3 atas”

menunjukkan bahwa latihan hold relax maupun penguluran pasif berpengaruh

terhadap penurunan nyeri dan peningkatan LGS.

36
d. Active Resisted Exercise

Mekanisme peningkatan kekutan otot melalui gerakan resisted active

exercise adalah dengan adanya irradiasi atau over flow reaction akan

mempengaruhi rangsangan terhadap motor unit, motor unit merupakan suatu

neuron dan group otot yang disarafinya. Komponen-komponen serabut otot

akan berkontraksi bila motor unit tersebut diaktifir dengan memberikan

rangsangan pada cell (AHC)nya. Jadi kekutan kontraksi otot ditentukan motor

unitnya, karena otot terdiri fari serabut-serabut dengan motor unit yang

mensarafinya, maka kontraksi otot secara keseluruhan tergantung dari jumlah

motor unit yang mengaktifkan otot tersebut pada saat itu. Jumlah motor unit

yang besar akan menimbulkan kotraksi otot yang kuat, sedangka kontraksi otot

yang lemah hanya membutuhkan keaktifan motor unit relatif lebih sedikit.

Denagn pemberian terapi latihan secara aktif maka akan terjadi

peningkatan kekuatan otot karena gerakan tubuh selalu disertai kontraksi otot.

Sedangkan kontraksi otot tergantung motor unitnya. Apabila tahanan yang

diberikan pada otot yang berkontraksi otot akan beradaptasi dan memaksa otot

bekerja sehingga bergerak untuk melawan gerakan tersebut dan secara tidak

langsung kekuatan otot akan meningkat. Hal ini juga didukung adanya nyeri

yang sudah mulai berkurang, maka kerja otot untuk berkontraksi semakin kuat.

Menurut penelitian Didik Purnomo(2017) yang berjudul “Pengaruh terapi

latihan pada post ORIF dengan Plate abd screw neglected close fracture

femur” menunjukkan bahwa intervensi berupa terapi latihan pada kondisi post

37
ORIF fracture femur efektif dalam menurunkan derajat nyeri dan meningkatkan

aktivitas fungsional partisipan.

DAFTAR PUSTAKA

Dwi Kurniasari,Santi.(2010).Terapi Latihan pada Kondisi Paska Operasi Pertrokanter


Femur Dekstra.Jurnal Pena, Vol.19,No.1

Khosrojerdi, H., Tajabadi, A., Amadani, M., Akrami, R., & Tadayonfar, M. (2018) The
Effect of Isometric Exercise on Pain Severity and Muscle Stregth of Patient with Lower
Limb Fracture: A Randomized Clinical Trial Study.

Kisner,Corolyn.,Lynn Allen Colby.(2017). Terapi Latihan Dasar dan Teknik.Jakarta.Buku


Kedokteran EGC.

Maryani.(2008).Terapi Latihan pada Kondisi Post Operasi Fraktur Femur 1/3 Medial
Dekstra.Surakarta. KTI UMS.

Purnomo, Didik., Kuswardani., Mutiara Asyita. Ristya.(2017). Exercise Therapy Effect in


Post Orif with Plate and Screw Neglected Close Fracture Femur. Jurnal Fisioterapi dan
Rehabilitasi, Vol.1, No.2.

Wahyono,Yulianto.,Utomo,Budi.(2016).Efek Pemberian Latihan Hold


relax.Surakarta.Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan Vol.5 No.1

38

Anda mungkin juga menyukai