Anda di halaman 1dari 16

KRITIK HADITS DALAM KAWASAN KAJIAN SEJARAH

Taufiqurrahman
UIN Imam Bonjol Padang
E-mail: taufiqurrahman@uinib.ac.id

Abstract
The position of hadith criticism is explicitly directed at the criticism of sanad
(external criticism; naqd al-khariji) and matan criticism (internal criticism; naqd al-
dakhili) basically based on the existence of hadith as the second source which needs
to be maintained so that there is an assessmentcritics of the narrators have a purpose
to determine the acceptance or rejection of their narrations which are equipped with
comprehensive data about the rawi assessed. in this case it is very possible for
various approaches, such as the historical approach as a study area, even the
approaches of other social sciences as an effort to understand the behavior formed
by certain positions in society. in other words, Scientific Kum Doktriner; do not see
the doctrinal aspects of sich, but also the scientific aspects.

Keywords: Hadith criticism, existence of hadith, historical approach

Pendahuluan penelitian hadits. Bahkan, di antara


Kesetiaan untuk membela ulama ada yang berpandangan ekstrim,
hadits sebagai salah satu sumber ajaran seperti Ibn Chaldun dan Ahmad Amin,
Islam, dalam perjalanan sejarahnya, bahwa yang dimaksud dan yang ingin
ternyata membawa implikasi yang dicapai dalam penelitian hadits hanya
melahirkan bibit-bibit ilmiah sehingga meneliti sanad an sich, bukan pada
dalam perkembangannya dapat aspek matan-nya1. Pandangan seperti
dirumuskan menjadi suatu disipilin ini juga ditopang dengan pernyataan
ilmu, yang dikenal dengan Ulumul Imam al-Nawawiy yang menjelaskan
Hadits. Potensi ilmiah ini bahwa hubunngan sanad dengan hadits
dimplikasikan pada sistem sanad dalam diibaratkan hewan dengan kakinya2,
periwayatan hadits, yang pada serta pernyataan Sufyan al-Tsauriy
gilirannya terakumulasi secara mengibaratkan seperti senjata bagi
epistemologis dalam Ilmu Jarh dan orang beriman3.
Ta’dil, dan sekaligus merupakan lahan
kegiatan Naqd al-Sanad, Kritik Sanad.
1
Atas dasar itu, paling tidak ada dua Ibn Chaldun, Muqaddimah, Beirut,
objek lahan kajian dalam penelitian Dar al-Fikr, T.th., h. 27, lihat Ahmad Amin,
hadits yang mencakup aspek penelitian Fajr al-Islam, Kairo, Maktabah al-Nahdhah al-
Mishriyat, 1974, h. 217-218.
sanad dan penelitian matan. Dalam 2
Abu Zakaria Yahya al-Nawawiy,
kaitan ini, para ulama sepakat Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawiy, Kairo,
memposisikan sanad sebagai aspek Maktabah al-Mishriyat, 1924, h. 88.
3
yang dominan serta menempat-kannya Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fiy
pada kedudukan terpenting dalam ‘Ulum al-Hadits, Damaskus, Dar al-Fikr, 1979,
h. 344.

89
90 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

Anggapan dan asumsi yang Dalam tinjauan historis,


berkembang dari kalangan ulama di dinamika penelitian sanad hadits
atas wajar saja muncul, dengan alasan sempat mencapai puncaknya dan
bahwa mereka memandang urgensi dan merupakan referensi khusus serta
posisi penelitian sanad dalam hadits menjadi data otentik sejarah dalam
lebih diutamakan, sehingga penelitian pelaksanaan penelitian hadits
sanad tersebut tampak jelas sebagai berikutnya. Oleh sebab itu, dalam
format utama dalam upaya menilai tulisan ini diupayakan menyingkap
kualitas dan validitas suatu hadits. Oleh kembali warisan-warisan “yang
sebab itu, proses kerja dalam penelitian mungkin sempat dimuseumkan”
sanad sangat mendukung dalam dengan dilandasi pada analisis kritis
mencapai tujuan kesahihan hadits. Di dalan aspek rumusan dan operasional
lain pihak, penelitian sanad dilakukan kritik sanad hadits. Di samping itu,
karena adanya faktor internal yang melalui kaca mata sejarah akan
memotivasi pelaksanaan penelitian disoroti perkembangan periode klasik
tersebut. Sebagaimana dikemukakan dalam kaitannya dengan Ilmu Jarh
oleh M. Syuhudi Ismail, bahwa ada dua dan Ta’dil. Perlu juga dimaklumi
hal yang melatarbelakangi pelaksanaan bahwa ada bagian tertentu sebagai
penelitian sanad, yaitu: melihat “notabene”, meskipun tidak tertulis,
kesumberan hadits dalam ajaran Islam, terhadap perkembangan pemikiran
dan faktor sejarah hadits itu sendiri. dari kalangan orientalis yang
Lebih lanjut Syuhudi Ismail melahirkan hipotesis baru yang
menjelaskan faktor pertama sangat erat sangat kontroversial. Fenomena ini
kaitannya bahwa hadits merupakan merupakan “home work” bagi seluruh
salah satu sumber ajaran Islam. umat Islam dalam rangka menyikapi
Sedangkan faktor kedua pentingnya dinamika pemikiran yang kritis dalam
penelitian sanad hadits karena dalam konteks kekinian.
perjalanan sejarahnya muncul tragedi
dan inovasi. Hal ini dapat dimaklumi Pola Penerapan Kritik Sanad
bahwa tidak seluruh hadits tertulis. Dalam kajian dan penelitian
Sesudah zaman Nabi berkembang hadits, kritik sanad menempati posisi
upaya pemalsuan hadits. Sementara itu, untuk menilai bahkan membuktikan
kegiatan penghimpunan hadits secara secara real bahwa secara historis
resmi dan massal terlaksana setelah sesuatu yang dikatakan hadits tersebut
berkembanganya pemalsuan- dapat diyakini berasal dari Nabi SAW.
pemalsuan hadits4. Dengan demikian, Di lain sisi, dari kacamata sejarah,
kedua motivasi ini merupakan basis ternyata telah membaur dampak politik
dalam rangkan mengoptimalkan yang ada terhadap kekisruhan dalam
pelaksanaan penelitian sanad hadits, periwayatan hadits melalui jalaur
bahkan melakukan pelacakan sanad, sehingga hal ini menuntut
keotentikan sumber hadits. adanya suatu sistem dan metode yang
sistematis guna melahirkan kaedah atau
standar kesahihan suatu sanad dalam
4
M. Syuhudi Ismail, Kaedah periwayatan hadits. Tegasnya, objek
Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis dan kajian dari kritik sanad secara esensial
Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, ditujukan kepada yang dikategorikan
Jakarta, Bulan Bintang, 1988, h. 75.
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 91

sebagai hadits “Ahad”, bukan hadits akhir sanad di dalam periwayatan


“Mutawatir”. Kategori ini dimaksudkan hadits tersebut5. Bertitik tolak dari
bahwa hadits yang “mutawatir” sudah pemahaman ini dapat dipahami bahwa
disepakati telah mencapai standar kebersambungan sanad hadits
validitas kesahihan sanad-nya sampai diperlukan guna memastikan bahwa
kepada tingkat Nabi SAW. Sebaliknya, matan hadits yang diriwayatkan
terhadap hadits “Ahad” masih ada memang berasal dari Nabi SAW.
kecenderungan yang meragukan Artinya, bila terjadi keterputusan jalur
tingkat validitasnya. Dengan demikian, sanad dan ketidaklayakan seorang
untuk mencapai tingkat standar perawi membawa akibat kepada matan
validitas kesahihan sanad hadits, maka hadits yang diriwayatkannya ditolak
hadits “Ahad” itu sendiri perlu dan tingkat kesahihan hadits tersebut
memenuhi beberapa persyaratan akan mengalami penurunan. Dalam
optimal yang disepakai oleh para kaitan ini, metode kritis yang dapat
ulama. Dalam kaitan ini, para ulama diterapkan guna meneropong
merekomendasikan perlu diadakan kebersambungan sanad hadits tersebut
penelitian dalam bentuk kritik sanad, adalah6:
atau biasa juga disebut sebagai Naqd Pertama, mencatat semua
al-Sanad atau Naqd al-Kharijiy (kritik perawi yang terdapat di dalam jalur
Ekstern). sanad.
Kritik sanad atau kritik ekstern Kedua, mempelajari biografi
yang merupakan telaah ulang atas dan aktivitas kelimuan dari masing-
prosedur periwayatan hadits melalui masing perawi. Untuk dimaklumi,
jalur sanad dari seluruh perawi yang ketika menggunankan kitab-kitab
secara berantai menyampaikan matan klasik, maka setelah dijelaskan biografi
hadits sampai kepada perawi akhir. seorang perawi akan diketemukan kata-
Oleh sebab itu, validitas kesahihan kata ‫“ روى ﻋ ﻦ‬rawa ‘an” (siapa
sanad hadits dapat diukur melalui lima gurunya) dan ‫“ روي ﻋﻨ ﮫ‬ruwiya ‘anhu”
kriteria, yaitu sanad bersambung, (siapa muridnya). Ketika menggunakan
seluruh perawi dalam jalur sanad fasilitas digital library, akan
bersifat ‘adil, seluruh perawi dalam diketemukan kata-kata suyukh (para
jalur sanad bersifat dhabith, sanad guru) dan talamidz (para murid) dari
hadits terhindar dari syadz dan sanad seorang perawi.
hadits terhindar dari ‘illat. Rincian Ketiga, mengkaji kata-kata yang
kriteria ini dapat diuraikan sebagai digunakan sebagai penghubung antara
berikut: seorang perawi dengan perawi yang
terdekat dalam satu jalur sanad.
1. Sanad Bersambung Sebagai contoh, apakah kata-kata yang
Shubhi al-Shalih dalam digunakan dengan lafaz haddatsana
bukunya ‘Ulum al-Hadits wa (haddatsani), akhbaran (akhbarani),
Mushthalahuhu menjelaskan bahwa ‘an dan lain-lainnya.
sanad bersambung atau “Ittishal”
adalah setiap perawi dalam jalur sanad 5
Shubhi al-Shalih, ‘Ulum al-Hadits
hadits menerima riwayat hadits dari wa Mushthalahuhu, Beirut, Dar al’Ilm li al-
perawi terdekat sebelumnya; keadaan Malayin, 1977, h. 145.
6
demikian berlangsung sampai pada M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., 1993,
h. 112.
92 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

Setelah metode tersebut di atas dalam menyoroti ‘adil-nya seorang


diterapkan akan diperoleh suatu perawi adalah sebagai berikut8:
kesimpulan tentang status dan posisi Pertama, melihat popularitas
dari hubungan masing-masing perawi dan kemuliaan seseorang dalam
pada jalur sanad yang diteliti. kedudukan sebagai perawi di kalangan
Sebaliknya, untuk menilai keterputusan ulama hadits.
(tidak bersambungnya) sanad dalam Kedua, adanya penilaian dari
satu jalur sanad hadits dapat dilihat para kritikus rawi yang menjelaskan
dari beberapa kategori berikut ini: berbagai aspek keunggulan dan
Pertama, gugurnya sanad, baik kekurangan yang ada pada diri seorang
pada tingkat sahabat (mursal), tingkat perawi.
tabi’in (mu’allaq); dengan jumlah Ketiga, berlakunya kaedah al-
perawi yang gugur dua atau secara Jarh wa al-Ta’dil ketika terjadi
berurutan (mu’dal) dan tidak secara kontroversi para kritikus rawi dalam
berurutan (munqathi’). menilai seorang perawi.
Kedua, adanya bukti bahwa Kemudian ditarik kesimpulan
seorang perawi yang menerima hadits tentang kualitas seorang perawi
tidak pernah berkunjung atau bertemu berdasarkan konsederasi yang
ke tempat orang yang menyampaikan termaktub di atas, sehingga penilaian
hadits tersebut. Bisa jadi dalam kasus terhadap perawi tersebut dapat
tertentu, seorang yang menyampaikan dipertanggungjawabkan dan mendapat
hadits telah meninggal dunia, legalitas.
sementara yang menerima hadits belum
lahir. Kajian terhadap kasus-kasus 3. Perawi Bersifat Dhabith
seperti ini menuntut perlunaya Ada tiga kategori khusus dalam
penguasaan riwayat hidup (kelahiran melihat sifat dhabit dari seorang perawi
dan wafatnya) seorang perawi serta yang dapat diterapkan oleh seorang
berbagai daerah yang pernah ktitikus, yakni (a) tidak banyak
dikunjungi. melakukan kesalahan dan tidak lupa
ketika meriwayatkan kembali hadits
2. Perawi Bersifat ‘Adil tertentu; (b) masih hafal ketika
‘Adil dalam kajian Ilmu Hadits, meriwayatkan kembali sebuah hadits
sebagaimana dijelaskan oleh Jalal al- dan (c) mengetahui makna hadits
Din ‘Abd al-Rahman Ibn Bakr al- apabila meriwayatkannya melalui
9
Suyuthi terangkum dalam empat makna . Sementara metode kritik yang
kriteria khusus, yaitu beragama Islam, dapat diterapkan ketika melihat sifat
mukallaf, tidak fasiq dan selalu dhabith seorang perawi adalah sebagai
menjaga muru’ah7. Dengan demikian, berikut:
metode kritik yang dapat diterapkan Pertama, adanya kesaksian
ulama.
Kedua, antara riwayat dari
7
Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman seorang perawi dengan riwayat perawi
Bin Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawi fi lain yang sudah cukup dikenal sifat
Syarh Taqrib al-Nawawi, Dar al-Ihya’ al-
Sunnah al-Nabawiyah, Beirut, 1979, Juz I, 8
M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., 1993,
h. 63; Nuruddin ‘Itr, Op/Cit., h. 344; ‘Ajjaj h. 119.
9
al-Khathib, Op.Cit., 1975, h. 305. Ibid., h. 120.
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 93

dhabit- nya mempunyai kesesuaian dan Kedua, meneliti kualitas semua


kesamaan. Akan tetapi, tingkat perawi yang terdapat dalam jalur
kesesuaian dan kesamaan ini hanya sanad.
berlaku pada makna dan harfiahnya Ketiga, apabila seluruh perawi
saja. dalam jalur sanad dinilai “Tsiqah”, dan
Setalah itu, penarikan hanya satu orang sanad yang
kesimpulan dapat dilakukan setelah menyalahi sanad-sanad lainnya, maka
diketahui otentisitas nilai dari sanad yang menyalahi tersebut
kesaksian sumber dan perbandingan dikelompokkan pada syadz, karena
kajian intern sanad, sehingga sifat dikalahkan oleh sanad-sanad lain yang
dhabith dari seorang perwai dapat dikenal sebagai mahfudz.
diterima. Setelah dilakukan verifikasi
melalui perbandingan kualitas dan
4. Terhindar dari Syadz kategorisai di atas, maka kesimpulan
Para ulama berbeda pendapat yang dapat diambil adalah proses
dalam menyikapi terjadinya syadz penilaian hadits tersebut sudah bisa
dalam suatu sanad, namun acuan ditetapkan perawi yang syadz dan
umum yang dapat dilakukan bertitik mahfud.
tolak dari rumusan Imam al-Syafi’iy
yang menjelaskan bahwa: “apabila 5. Terhindar dari ‘Illat
suatu hadits diriwayatakan oleh Menurut Ibn Shalah, ‘illat
seorang perawi yang “Tsiqah”, dimaksudkan sebagai sebab yang
sedangkan perawi “Tsiqah” yang lain tersembunyi dan dapat merusak
tidak ikut meriwayatakn hadits kualitas suatu hadits. Kebenaran dan
tersebut. Suatu hadits dapat dinyatakan munculnya ‘illat dapat menyebabkan
sebagai syadz, apabila hadits yang turunya nilai suatu hadits (tidak
diriwayatkan seorang perawi yang shahih)11. Atas dasar itu, maka seorang
“Tsiqah” bertentangan dengan hadits kritikus dapat mengetahui ‘illat dengan
yang diriwayatkan oleh banyak perawi memperhatikan beberapa kategori
yang juga “Tsiqah”10. Dengan berikut ini12:
demikian, sanad yang pertama dinilai Pertama, sanad yang tampak
sebagai syadz, sedangkan yang lebih “muttashil” dan “marfu’”, ternyata
kuat disebut mahfudz. Atas dasar itu, setelah diselidiki “muttashil” dan
ada tiga kategori yang dapat dilakukan “mauquf”.
oleh seorang kritikus ketika melihat Kedua, sanad yang tampak
kriteria syadz ini: “muttashil” dan “marfu’”, ternyata
Pertama, semua matan hadits setelah diselidiki “muttashil” dan
yang mempunyai pokok permasalahan “mursal”.
sama yang ada pada masing-masing Ketiga, terjadi percampuran
sanad diambil dan dikumpulkan untuk sebuah hadits dengan hadits yang
disatukan, dan kemudian dilihat lainnya.
perbandingannya. Keempat, terdapat kesalahan
ketika menyebutkan perawi, karena
11
Ibn Shalah, Op.Cit., h. 81.
10 12
Ibn Shalah, ‘Ulum al-Hadits, M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., 1993,
Madinah, Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972, h. 48. h. 130.
94 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

terdapat adanya perawi-perawi yang nampak pada perawi yang merusak ke-
mempunyai kemiripan nama, ‘adil-an atau menjelekkan kehafalan
sedangkan kualitasnya berbeda dan dan kecermatannya, sehingga
tidak semuanya “Tsiqah”. menyebabkan gugur atau lemah dan
Ketika menilai adanya cacat tertolak riwayat yang
14
dalam sebuah hadits dengan berpatokan disampaikannya” .
kepada kriteria terakhir ini (‘illat), Adapaun ‘adl secara etimologis
maka diperlukan bantuan kecerdasan, berarti sesuatu yang dirasakan oleh diri
intuisi, hafalan hadits dalam jumlah bahwa dia itu dalam keadaan lurus.
yang banyak, pendalam pengetahuan Secara terminologis adalah “orang
tentang tingkat dhabith perawi serta yang tidak nampak dalam urusan
mempunyai keilmuan dalam kajian keagamaan dan muru’ah-nya sesuatu
sanad dan matan hadits. yang menjelekkan ke-‘adil-an dan
Berbagai kriteria dan prosedur muru’ah-nya”15. Dari kata ‘adl ini
yang dilakukan oleh seorang kritikus di muncul kata ta’dil, secara etimologis
atas bila diterapkan secara concerns adalah mashdar dari kata ‘addala -
akan menempatkan posisi kajian sanad yu’addilu, yang berarti mengemukakan
hadits sebagai “Shahih al-Isnad”. sifat-sifat ‘adil yang dimiliki oleh
Itulah sebabnya, ulama memberikan seseorang. Dan secara terminologis,
penilaian pada tingkat yang tinggi berarti “mensifatkan perawi dengan
terhadap kritik sanad, karena kritik sifat-sifat baik, sehingga nampak jelas
sanad dipandang lebih utama bila ke-‘adil-an dan karenanya riwayat yang
dibandingkan dengan kritik matan. Di disampaikan dapat diterima”16.
samping itu, standar dalam kritik sanad Berdasarkan defenisi kata
dipandang sebagai telah baku, dan perkata dari jarh dan ta’dil di atas,
aplikasinya dinilai akurat melalui maka dapat dipahami bahwa pengertian
berbagai bukti yang telah disepakati. Ilmu Jarh dan Ta’dil adalah: “suatu
ilmu yang membahas keadaan perawi
Posisi Sanad Dalam Ilmu Jarh Dan hadits dari segi diterima atau
Ta’dil ditolaknya periwayatan mereka”.
Secara etimologis, jarh Dalam tataran operasionalnya, secara
merupakan mashdar dari kata jaraha - praktis ilmu Jarh dan Ta’dil dapat
yajrahu, yang berarti melukai. Baik ditentukan melalui syarat-syarat dan
luka yang berkenaan dengan fisik standar objektif. Penjelasan berikut ini
maupun non fisik. Kata jaraha bila berupaya untuk melihat lebih rinci
digunakan hakim di pengadilan yang mekanisme kerja dari ilmu ini.
ditujukan pada masalah kesaksian
memiliki makna tertentu, yakni 1. Syarat Kritikus Jarh
menggugurkan keabsahan saksi13. dan Ta’dil
Secara terminologis, jarh Seorang kritikus harus
didefenisikan oleh Muhammad ‘Ajjaj memenuhi beberapa persyaratan guna
al-Khatib sebagai “suatu sifat yang menetapkan karateristik hadits melalui
13 14
‘Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., 1975, ‘Ajjaj al-Khatib, Loc.Cit., 1975.
15
h. 260; M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 72; Ibid., h. 260-261; Ibn Manzur,
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Dar al- Op.Cit., Juz XIII, h. 457.
16
Mishriyah, Mesir, t.th., Juz II, h. 422-423. Ibid.
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 95

neraca Jarh dan Ta’dil. Persyaratan Keempat, tidak melakukan jarh


tersebut adalah: (1) berilmu, taqwa, terhadap hal-hal yang tidak perlu di-
wara’ dan jujur; (2) mengetahui sebab- jarah-kan pada seorang perawi.
sebab jarh dan ta’dil; (3) mengetahui Kode etik ini diberlakukan guna
penggunaan kalimat-kalimat bahasa mengantisipasi terhadap sikap negatif
Arab, sehingga suatu lafaz yang dan menghindari dari perkembangan
digunakan tidak diterapkan kepada praktis berlebih-lebihan dalam
makna yang lain17. memberikan penilaian jarh dan ta’dil.
Berbagai persyaratan tersebut di
atas menempati posisi yang sangat 3. Langkah-langkah Penetapan
penting dalam rangka menentukan Jarh dan Ta’dil
kewenangan seorang kritikus guna Ada beberapa prosedur yang
layaknya operasional Jarh dan Ta’dil. dilalui dalam rangka memberikan
Sebaliknya, bila persyaratan tersebut penilaian jarh dan ta’dil. Prosedur ini
tidak dipenuhi maka status individu ditetapkan sebagai langkah untuk
kritikus tersebut tertolak dengan menentukan status seorang perawi.
sendirinya, atau tidak dipercaya Langkah-langkah yang dimaksud
kredibilitasnya. adalah19:
Pertama, pernyataan ke-‘adil-an
2. Kode Etik Jarh dan Ta’dil oleh dua ahli terhadap seorang perawi.
Ada beberapa kode etik yang Di kalangan Jumhur Ulama, dua
telah disepekati ketika seorang kritikus kesaksian mereka ini dapat diterima
melakukan praktek Jarh dan Ta’dil. karena dianalogikan kepada kesaksian
Kode etik tersebut dapat diurai sebagai hukum yang disyariatkan minimal dua
berikut18: orang saksi.
Pertama, bersikap objektif, Kedua, dalam pandangan para
sehingga seorang kritikus tidak perawi telah dikenal (masyhur) bahwa
bersikap sepihak dengan meninggikan seorang perawi adalah “Tsiqah”, atau
martabat seorang perawi dari yang sudah dikenal di kalangan ulama yang
sebenarnya atau merendahkannya. lain yang banyak memberikan pujian
Kedua, jarh tidak melebihi dari atas ke-Tsiqah-annya. Terhadap perawi
kebutuhan sebenarnya, karena jarh itu yang demikian tidak dituntut adanya
disyariatkan lantaran darurat, saksi.
sementara sifat darurat ada batasnya. Ketiga, penialian ‘adil dari satu
Ketiga, tidak hanya mengutip orang. Dalam kaitan ini, al-Baghdadiy,
jarh apabila seorang perawi dinilai jarh Ibn Shalah dan mayoritas peneliti
oleh sebahagian kritikus, dan yang lain hadits melihat bahwa penilaian seperti
memberi penilaian ta’dil. Sikap yang ini dapat diterima walaupun dengan
demikian akan merampas hak seorang pernyataan satu orang saja.
perawi yang bersangkutan. Bagi Keempat, penilaian ‘adil bagi
kalangan Muhadditsun sikap seperti ini seorang pengemban ilmu. Alasan yang
sangat dicela. diberikan ‘Abd al-Barr adalah bahwa
setiap pengemban ilmu yang dikenal
loyalitasnya terhadap ilmu dipandang
17
Nuruddin ‘Itr, Op.Ct., h. 344.
18 19
Ibid. Ibid.
96 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

sebagai ‘adil, kecuali bila dari seseorang yang “Tsiqah” atau


diketemukan adanya bukti cacat dalam tidak.
kehidupannya atau banyak melakukan Ketiga, pengamalan dan fatwa
kesalahan. dari seorang yang alim dan sesuai
Berbagai persyaratan yang dengan yang diriwayatkannya belum
dikemukakan di atas merupakan suatu tentu hadits itu dinilai shahih. Hal ini
hal yang dituntut dalam memberikan disebabkan bahwa pengamalan seorang
penilaian jarh dan ta’dil untuk alim tersebut yang sesuai dengan hadits
menentukan status seorang perawi bisa jadi disebabkan oleh kehati-
hadits. Ini dilakukan dalam rangkan hatiannya atau karena ada dalil lain
mencapai standar objektivitas dalam yang sesuai dengan hadits tersebut.
prosedur penilaian. Sedangkan upaya- Begitu pula sebaliknya, bila
upaya yang dilakukan dalam penetapan pengamalannya menyalahi hadits itu,
jarh dan ta’dil diluar koridor bisa jadi karena ada salah satu kendala
persyaratan di atas dipandang sebagai yang berat atau karena terjadi proses
suatu penyimpangan, dan berbagai pen-ta’wil-an20.
konsekuensi yang ditimbulkan tidak
diterima sebagai hasil dari proses 4. Tingkatan Jarh dan Ta’dil
tersebut. Upaya yang mungkin Dalam pandangan Ulama
dilakukan diluar dari koridor yang Hadits, seperti Ibn Hajar al-‘Asqalaniy,
dimaksud, antara lain dalam bentuk- masing-masing jarh dan ta’dil terdapat
bentuk berikut ini: klasifikasi tingkatan. Pandangan Ibn
Pertama, penilaian ta’dil secara Hajar tersebut, sebagaimana dikutip
samar. Sebagai contoh, seorang perawi oleh Nuruddin ‘Itr dianggap paling
berkata; “seorang yang “Tsiqah” atau komprehensif dan sistematis di
tidak, aku curigai menceritakan sesuatu kalangan Ulama Hadits. Atas dasar itu,
kepadaku”, tanpa menjelaskan nama kalsifikasi dari tingkatan jarh dan ta’dil
seseorang tersebut. Dalam hal ini, dimaksud dapat dijelaskan dalam
penilaian tersebut tidak dapat diterima, uraian sebagai berikut21:
sampai ia menjelaskan nama seorang Pertama, klasifikasi tingkatan
yang dimaksud. Alasan yang ta’dil dikelompokkan kepada enam
digunakan adalah bila seorang tersebut tingkatan. Masing-masingnya akan
dinilai “Tsiqah” oleh seorang perawi, menentukan nilai dan status seorang
namun ketika dijelaskan namanya bisa perawi, yaitu:
jadi seseorang itu di-jarh-kan oleh Pertama, tingkat ta’dil tertinggi,
orang lain dalam bentuk mencacatkan, yaitu sahabat.
di samping itu menimbulkan keraguan- Kedua, tingkat ta’dil dengan
keraguan bagi orang lain. menggunkan lafaz-lafaz yang
Kedua, menurut Ahli Hadits, menunjukkan ketinggian atau dengan
apabila seorang perawi ‘adil menggunakan af’al al-tafdhil.
meriwayatakan hadits dari orang lain Misalnya, autsaq al-nas, atsbat al-nas,
yang dijelaskan namanya, belum dapat adhbath al-nas, ilaihi al-muntaha fi al-
dikatakan sebagai ta’dil. Alasan yang
dikemukakan bahwa perawi yang ‘adil
tersebut bisa saja meriwayatakan hadits 20
Ibid.
21
Ibid.
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 97

tsabut. Kemudian kata-kata; man dzaka, laisa bi al-qawiy, laisa bi al-


mitslu fulan atau fulan la yus’al ‘anhu. matin, laisa bi hujjatain, laisa bi
Ketiga, menggunakan lafaz makmun, laisa bi mardhiyi atau kata
ta’dil yang diulang-ulang, baik yang dipergunakan sebahagian ulama
pengulangan ma’nawiy, seperti tsabtun saja, seperti layyin, takallamu fihi,
hujjatun, tsabtun hafidzun tsiqatun math’un fihi atau fihi nazhar.
tsabtun dan tsiqatun mutqinun. Kedua, menggunakan lafaz
Kemudian pengulangan lafaz seperti jarh, seperti ungkapan seseorang; fulan
tsiqatun tsiqah. la yuhtaju bihi, dha’afahu, mudhtarif
Keempat, lafaz ta’dil tunggal, al- hadits, lahu ma yunkar, haditsuhu
seperti tsiqatun, tsabtun, mutqinun, munkar, lahu manakir, dha’if atau
kaannahu mushafun, hujjatun dan munkar.
imamun. Ketiga, menggunakan lafaz
Kelima, menggunakan lafaz- jarh, seperti fulan rudda haditsuhu,
lafaz seperti laisa bihi ba’sun, la ba’sa mardud al- hadits, dha’if jiddan, laisa
bihi, shadqun, makmunun, khiyar al- bi tsiqah, la yuktab haditsuhu, la tahillu
khalqiy, ma a’lam bihi ba’sun atau kitabah haditsihi, la yusawi syaian, la
mahaluhu al-shidqun. yustasyhadu bi haditsihi dan lain-lain.
Keenam, menggunakan lafaz- Keempat, adalah tingkat jarh
lafaz yang memberikan kesan jarh, yang menggunakan lafaz, seperti fulan
seperti laisa bi ba’id min al-shawab, yasriq al-hadits, matruk, dzahibt al-
syaikhun, yurwa haditsuhu, tu’tabaru hadits, tarakuhu, la yu’tabaru
bihi, ruwiya ‘anhu, shalih al- hadits, haditsuhu, laisa bi al-tsiqah, ghairu
yuktabu haditsuhu, shaduq insya-Allah, tsiqah, mudin dan lain-lain.
hasan al- hadits, wasath dan lain-lain. Kelima, menggunakan lafaz
Status perawi yang berada pada jarh, seperti al-dajjal, al-kadzdzab, al-
salah satu tingkatan ta’dil di atas wadhdha’, yadha’u dan wadha’ al-
menempati kalsifikasi penilaian yang hadits.
berbeda. Perawi yang berada pada Keenam, klasifikasi tingkatan
tingkat pertama sampai tingkat jarh ini adalah menggunakan lafaz
keempat berstatus dapat dijadikan yang mengarah kepada tingginya nilai
hujjah (dalil). Sementara perawi pada jarh seorang perawi, seperti akdzab al-
tingkat berikutnya (kelima dan nas, huwa ruknu al-kidzib, ma’da al-
keenam) tidak dapat dijadikan hujjah, kidzib dan lain-lain.
karena lafaz yang ditujukan kepada Kesimpulan yang diambil dari
mereka tidak menggambarkan nilai ke- klasifikasi tingkatan jarh di atas adalah
dhabit-an, akan tetapi hadits yang bahwa hadits yang riwayatkan oleh
mereka riwayatkan sekedar ditulis perawi pada tingkat pertama dan kedua
untuk dijadikan i’tibar. dari tingkat jarh dapat dipakai sebagai
Kedua, klasifikasi tingkatan i’tibar, yakni dengan meneliti sejumlah
jarh dapat dikelompokkan kepada perawi dalam jalur sanad lain yang
enam tingkatan sebagai berikut: dapat mendukung hadits tersebut untuk
Pertama, merupakan tingkat dapat dijadikan hujjah (dalil). Hal ini
jarh yang paling ringan, seperti dilandasi kepada lafaz-lafaz yang
penggunaan lafaz dha’if, yunkaru digunakan pada dua tingkat tersebut
marratan wa yu’rafu ukhra, laisa bi menimbulkan kesan bahwa hadits yang
98 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

bersangkutan dapat dijadikan i’tibar. sebabnya kajian Jarh dan Ta’dil


Sedangkan hadits yang diriwayatakan dipandang sebagai semangat ilmiah
para perawi yang berada pada tingkat yang dilandasi semangat religius dalam
selanjutnya (ketiga, keempat, kelima rangka melihat sosok upaya kritis para
dan keenam) tidak dapat dipakai hujjah Jarih dan Mu’addil. Indikasi demikian
(dalil) dan i’tibar. terlihat dari: Pertama, adanya kejelasan
Dilandasi pada paparan di atas penentuan objek dan kriteria objek
dapat dipahami bahwa kajian Jarh dan yang dikaji (perawi). Dalam kaitan ini,
Ta’dil merupakan semangat ilmiah para para ahli Ilmu Hadits telah menetapkan
pakar Ilmu Hadits yang tampak dari bahwa perawi sebagai objek kajian
sikap mereka memberikan atensi yang Ilmu Jarh dan Ta’dil harus dinilai dari
cukup besar dan penekanan yang sisi kualitas pribadinya (ke-‘adil-annya,
berulang-ulang tentang pentingnya yang meliputi; Islam, mukallaf,
sikap kritis terhadap sanad, melaksanakan ketentuan agama, dan
sebagaimana pernyataan yang memelihara muru’ah), serta kapasitas
dikemukakan Muhammad Bin Sirin (w. keilmuannya (ke-dhabith-annya, yakni;
101 H): “Sanad hadits merupakan hafal dengan sempurna hadits yang
bagian dari agama, maka perhatikanlah diterimanya, mampu memahami dan
dari siapa kamu mengambil menyampaikan kepada orang lain
agamamu”22. Juga pernyataan Abdullah hadits yang diterima dan yang
Ibn Mubarak (w. 181 H): “Sanad hadits dihafalnya). Perawi yang ‘adil dan
merupakan bagian dari agama, dhabith-lah periwayatannya diterima.
sekiranya sanad hadits tidak ada Di samping itu, Ulama Hadits juga
niscaya siapa saja akan bebas menentukan keadaan yang merusak ke-
menyatakan apa yang ‘adil-an perawi (suka berdusta,
23
dikehendakinya” . tertuduh suka berdusta, fasiq,
Secara tekstual, pernyataan dua tidak dikenal sebagai periwayat hadits
tokoh Jarih dan Mu’addil di atas atau al-jahalah, berbuat bid’ah) dan
mengisyaratkan adanya anggapan di yang merusak ke-dhabith-an perawi
kalangan Ulama Hadits bahwa Ilmu (lebih sering salah dalam meriwayatkan
Jarh dan Ta’dil yang merupakan sarana hadis/fahusya ghalatuhu, lebih
mempelajari keberadaan sanad menonjol sifat lupanya/al-ghaflah ‘an
diposisikan sebagai ilmu dalam lingkup al-itqan, riwayat yang disampaikan
empiris dan jangkauan manusia, bertentang dengan riwayat orang yang
sehingga apa yang diterima dari ilmu tsiqah, dan jelek hafalannya/su’u al-
ini sebagai produk kajian rawi per rawi hifzh) 24.
harus diiringi dengan sikap kritis. Itu Kedua, para ahli Ilmu Hadits
juga menetapkan syarat-syarat yang
22
Abu Husain Muslim Bin Al- harus dipenuhi untuk menjadi kritikus,
Hajjaj al-Qusyairi, al-Jami’ al-Shahih yakni yang berkaitan dengan sikap
(Sahih Muslim), Disunting Kembali oleh pribadi (bersifat adil, tidak fanatik
Muhammad Fuad al-Baqi, Isa al-Babi al- terhadap mazhab yang dianutnya, tidak
Halabi wa al-Syurakah, T.tp., 1955, h. 14.
23 24
Ibid.; Muhammad al-Thahhan, ‘Ali Bin Sultan al-Harawi al-
Ushul al-Takhrij fi Dirasat al-Asanid, al- Qari, Syarh Nukhbat al-Fikr, Dar al-Kutub
Mathba’ah al-‘Arabiyah, Halb, 1978, h. al-‘Ilmiyah, Beirut, 1978, h. 159-160; M.
158. Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 69-71.
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 99

bermusuhan dengan periwayat yang sebagai “ilmu” yang memiliki metode


dinilainya) dan berkaitan dengan tertentu yang sistematis dan
kapasitas kritikus (memiliki mempunyai tata nilai kebenaran
pengetahuan yang mendalam tentang tertentu.
ajaran Islam, Bahasa Arab, Hadits,
Ilmu Hadits, pribadi periwayat yang Sanad Hadits Dalam Kawasan
dikritiknya, adat istiadat yang berlaku, Sejarah
serta sebab-sebab yang Kata sanad berasal dari bahasa
melatarbelakangi sifat terpuji dan Arab, dari fi’il madhi, ‫ﺳ ﻨﺪ‬, dan fi’il
tercela yang dimiliki perawi). Di mudhari’, ‫ ﯾﺴ ﻨﺪ‬. Bentuk pluralnya
samping itu juga ditentukan aturan- asnada dan sanada. Secara harfiah
aturan bagi kritikus dalam men-jarh berarti sandaran. Apabila huruf ‫ س‬dan
dan men-ta’dil, di antaranya harus ‫ن‬diberi harkat fathah, maka dalam
bersikap objektif, tidak berlebih- tinjauan semantik artinya adalah
lebihan dalam men-jarh maupun men- seseorang bersandar pada sesuatu.
ta’dil dan menjelaskan sebab Secara terminologis, para ulama
ketercelaan perawi. memberikan landasan pemahaman
Indikasi ketiga, sikap kritis tentang sanad, dalam rangka mencoba
Ulama Hadits nampak dengan adanya melihat secara spesifik arti dan
penjelasan kaedah-kaedah jarh dan cakupan istilah tersebut, antara lain,
ta’dil. Indikasi keempat ialah adanya seperti dikemukakan oleh kelompok
metode tertentu dalam civitas Jarh dan Ahli Hadits, bahwa sanad merupakan
Ta’dil, yakni metode komperasi jalan yang menghantarkan kita kepada
melalui perbandingan (cross reference, matan hadits25. ‘Ajjaj al-Khathib
silang rujuk) untuk saling konfirmasi memberikan rumusan sanad sebagai
keberadaan rawi per perawi baik antar penjelasan tentang jalan (rangkaian
kritikus maupun dengan dokumen- periwayat) yang menyampaikan kita
dokumen tertulis. Semua indikasi kepada materi hadits26. Sebahagian
tersebut di atas menunjukkan bahwa ulama lain, sebagaimana yang
pada dasarnya para kritikus tidak dijelaskan oleh Abdul Hamid
begitu saja menerima input tentang Muhammad Muhyiddin bahwa sanad
perawi tanpa diikuti seperangkat sikap adalah jalan yang bersambung yang
yang kritis. Munculnya karya-karya di sampai kepada matan hadits27. M.
bidang jarh dan ta’dil, yakni sejak Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa
akhir abad II H merupakan bukti nyata istilah sanad dapat dipahami sebagai
semangat ilmiah dan kerja keras para
Ulama Hadits terhadap studi perawi.
Dari uraian di atas, terlihat
bahwa melalui pendekatan ontologis 25
Hasbi As-Shiddiqiy, Sejarah dan
semakin jelas kajian Ilmu Jarh dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta, Bulan Bintang,
Ta’dil di mata Filsafat Ilmu merupakan 1965, h. 163.
26
bagunan “ilmu” dalam lingkup empiris ‘Ajjaj al-Khatthib, Ushul al-Hadits:
‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut, Dar al-
manusia dan bukan wewenang agama, Fikr, 1975, h. 32-33.
serta tercakup dalam sub Ilmu 27
Abdul Hamid Muhammad
Kemanusiaan (Human Sciences). Oleh Muhyiddin, Syarh al-Fiyahal-Sayuthiy fiy
sebab itu, Ilmu ini memposisikan diri Mushthalah al-Hadits, Mesir, Maktabah
Tijariyah al-Kubra, T.th., h. 4.
100 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

rangkaian para periwayat yang berlaku dalam budaya mereka30. Oleh


menyampaikan riwayat hadits28. sebab itu, mereka melakukan kegiatan
Bila dilihat defenisi yang transformasi puisi-puisi, cerita-cerita,
dikemukakan kalangan ulama di atas kisah-kisah dan berbagai berita
mempunyai pemahaman yang sama, ditujukan pada peristiwa yang terjadi di
dan hanya berbeda dalam redaksi yang kalangan mereka atau antar generasi
dikemukakan. Intinya adalah bahwa yang terjadi dengan sendirinya,
sanad merupakan rangakaian mata sehingga secara mekanis tanpa perlu
rantai para perawi mulai dari perawi pemahaman yang urgensi terhadap
pertama sebagai penghimpun hadits keharusan validitas penseleksian
sampai kepada materi (matan) hadits. sanadnya.
Dalam kaitan ini, sanad merupakan Sementara penerapan sanad
suatu sistem yang saling berhubungan sebagai proses penseleksian hadits di
dan mempunyai pertalian erat dalam dalam Islam, dimulai sejak kemunculan
rangka periwayatan suatu hadits, hadits itu sendiri, yakni masa
sehingga dapat diyakini benar-benar Rasulullah SAW dan sahabat-
berasal dan datang dari Rasulullah sahabatnya, meskipun dalam bentuk
SAW. sederhana (belum sistematis) melalui
Dalam perjalanan sejarah, “oral transmition”, mutawatir, dari
sistem sanad bukan berasal dari tradisi mulur ke mulut, dan berlansung secara
Islam. Secara de facto dapat dilihat spontanitas sebagai sarana dalam
bahwa dari aspek metode yang penyampaian hadits. Para sahabat,
diterapkan di dalam sanad ternyata misalnya, ketika Nabi masih hidup
sudah dipergunakan dalam rentang mereka menyampaikan suatu riwayat
waktu yang cukup lama sebelum hadits kepada sahabat yang lain setiap
kedatangan agama Islam itu sendiri. kali mereka bertemu. Secara tidak
Sebagai contoh, periwayatan puisi- tertulis, ada kesepakatan di antara
puisi Jahiliyah dari tradisi Arab klasik mereka bahwa bagi mereka yang
yang termaktub di dalam kitab Yahudi menghadiri majlis Nabi SAW, dituntut
“Mishna”, metode dan sistem sanad untuk saling tukar menukar dan saling
tersebut ternyata sudah diterapkan29. memberi informasi tentang apa yang
Meskipun demikian, sanad yang didapati (didengar atau dilihat) kepada
digunakan pada masa Jahiliyah pihak yang tidak ikut serta dalam
tersebut, khususnya di kalangan Arab, majlis tersebut. Sistem sanad yang
tidak lain merupakan keharusan dan diterapkan adalah, ketika mereka
kebiasaan yang tidak terikat dengan menyampaikan (meriwayatkan)
sistem sanad itu sendiri. Dalam hal ini, kembali apa yang mereka dengar dan
H.A.R. Gibb menegaskan bahwa dilihat, selalu menyandarkan kepada
kebiasaan yang demikian merupakan Nabi SAW. Selanjutnya, apabila
kesetiaan pada adat-istiadat yang mereka meriwayatakan sesuatu yang
tidak langsung diperoleh dari Nabi
28 SAW, maka mereka tetap menjelaskan
M. Syuhudi Ismail, Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang,
1993, h. 23.
29 30
M. M. Azami, Hadits Nabawiy dan H.A.R. Gibb, Mohamadanism and
Sejarah Kodifikasinya, Jakarta, Pustaka Historical Survey, London, Butler and Tunner,
Firdaus, 1994, h. 530. 1950, h. 73.
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 101

sumber darimana informasi tersebut urgensial, dimana ia berkembang


diperoleh dan mereka terima. setelah mendapat justifikasi sebagai
Tradisi yang dilakukan oleh bagian dari agama. Lebih jauh dapat
kalangan sahabat Nabi SAW dalam dilihat di dalam tradisi kajian ilmu
periwayatan hadits tersebut di atas, hadits, meskipun telah mengadopsi dari
terus tumbuh dan berkembang baik di sistem sanad dan mengembangkannya
lingkungan Nabi SAW sendiri maupun secara optimal dalam budaya
di antara para sahabat. Bahkan masih periwayatan hadits, tetapi sistem sanad
tetap langgeng hingga Nabi SAW tersebut telah mengakar secara internal
wafat. Akan tetapi kegiatan ini berhenti dalam ilmu hadits.
sampai tahun 40 H, dimana munculnya
fitnah di kalangan sahabat sebagai Penutup
dampak dari peperangan yang terjadi Secara eksplisit, penelitian atau
antara Khalifah Ali Ibn Abi Thalib dan kritik hadits yang selalu diarahkan pada
Muawiyah Ibn Abi Sufyan, sehingga kritik sanad (kritik eksternal; naqd al-
tradisi tersebut tidak dapat khariji) dan kritik matan (kritik
dipertahankan lagi sebagai model internal; naqd al-dakhili) pada
periwayatan hadits31. Sebagai akibat dasarnya dilatarbelakangi oleh: (1)
dari perang saudara ini adalah bahwa eksistensi hadits sebagai sumber
periwayatan hadits tidak terlepas dari hukum kedua yang perlu dipertahankan
pengaruh sistem politik, ekonomi dan keotentikannya; (2) hadits belum ditulis
sosial yang berkembang. Atas dasar secara lengkap pada masa Nabi SAW;
itu, para Ahli Hadits mulai menerima (3) maraknya pemalsusan hadits; (4)
dan meneliti sumber dan karakter proses penghimpunan hadits ke dalam
orang-orang yang terlibat dalam jalur kitab-kitab hadits yang memakan
sanad suatu hadits. Mereka sangat waktu lama; (5) banyaknya jumlah
berhati-hati dalam meriwayatkan suatu kitab-kitab hadits dengan metode
hadits dan menseleksi secara ketat penyusunan yang beragam; dan (6)
kriteria orang yang akan menerima diperbolehkannya periwayatan hadits
serta kepada siapa hadits tersebut akan bi al-ma’na.
disampaiakan. Implikasi ilmiyah Pada kritik sanad (naqd al-
sebagai dampak dari perang saudara khariji), kajian senantiasa diarahkan
tersebut, sekaligus merupakan tonggak pada kualitas para perawi dan metode
sejarah dalam penelitian dan periwayatan yang digunakan; apakah
perkembangan model sanad, yang kredibilitas para perawi dan hadits
dilanjutkan dengan penulisannya, tersebut diakui dan apakah ‘adat
dimulai pada akhir abad I H, dan secara tahammul dan ada’-nya menunjukkan
sistematis ilmiyah mulai diterapkan bahwa ia hadits Nabi SAW. Sedang
secara sempurna pada kahir abad II dalam kritik matan (naqd al-dakhili)
H32. lebih diarahkan pada ketentuan-
Memang pada tempatnya bila ketentuan bahwa matan hadits tidak
dikatakan bahwa secara historis, sanad boleh bertentangan dengan al-Quran;
menempati posisi yang sangat hadits-hadits Mutawatir atau yang lebih
tinggi kualitasnya; fakta sejarah; akal
31
Muhammad Rafiq, Sistem Isnad, sehat; panca indera; serta terhindar dari
Bandung, al-Ma’arif, 1980, h. 15-16. syadz dan ‘illat. Berangkat dari fokus
32
Ibid.
102 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

kajian kritik sanad pada penilaian Daftar Pustaka


kualitas para perawi, maka keberadaan
Ilmu Jarh dan Ta’dil mutlak Amin, Ahmad, Fajr al-Islam,
diperlukan. Melalui ilmu inilah Kairo, Maktabah al-Nahdhah al-
tersingkap penilaian para ulama Mishriyat, 1974.
kritikus terhadap diterima atau tidaknya As-Shiddiqiy, Hasbi, Sejarah
periwayatan seorang perawi. dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta,
Diskursus yang muncul dalam Bulan Bintang, 1965.
penilaian kritikus terhadap perawi ialah
adanya perbedaan kaedah yang Abu Zakaria Yahya al-
dipegang kritikus dalam men-jarh dan Nawawiy, Shahih Muslim bi Syarh al-
men-ta’dil, serta seringnya terjadi Nawawiy, Kairo, Maktabah al-
perbedaan pandangan di kalangan Mishriyat, 1924.
kritikus tersebut. Sebagian menilai Azami, M. M., Hadits Nabawiy
seorang perawi dengan predikat cacat, dan Sejarah Kodifikasinya, Jakarta,
sementara yang lain menilai Pustaka Firdaus, 1994.
sebaliknya. Kenyataan kedua inilah
yang membawa pada perbedaan sikap Gibb, H.A.R., Mohamadanism
kritikus dalam menghadapi fenomena and Historical Survey, London, Butler
penilaian yang tidak seragam terhadap and Tunner, 1950.
perawi yang sama; ada kritikus yang Ibn Chaldun, Muqaddimah,
menentukan penilaian perawi Beirut, Dar al-Fikr, T.th.
berdasarkan pandangan mayoritas
kritikus, ada pula yang didasarkan pada Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab,
penilaian yang diiringi argumentasi Dar al-Mishriyah, Mesir, t.th.
yang jelas dan sebagainya. Ibn Shalah, ‘Ulum al-Hadits,
Perlu untuk diresapi, bahwa Madinah, Maktabah al-‘Ilmiyah, 1972.
para ulama hadits telah bekerja dan
Ismail, M. Syuhudi, Kaedah
berupaya secara optimal dan maksimal
Kesahihan Sanad Hadis, Telaah Kritis
dalam rangka meneliti, menseleksi dan
dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu
membukukan sanad-sanad hadits
Sejarah, Jakarta, Bulan Bintang, 1988.
berikut dengan matan-matan-nya
dalam rentang waktu sejarah yang -------, Metodologi Penelitian
cukup panjang, sehingga tidak ada lagi Hadis Nabi, Jakarta, Bulan Bintang,
keraguan bahwa upaya itu semua 1993.
ternyata menjadi warisan yang tidak ‘Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd
ternilai manfaat ilmiyahnya dalam fiy ‘Ulum al-Hadits, Damaskus, Dar al-
rangka pemeliharaan kemurnian hadits Fikr, 1979.
Nabi SAW. Meskipun sempat terjadi
pertikaian politik dan kegiatan Al-Khatthib, ‘Ajjaj, Ushul al-
pemalsuan hadits, khususnya dari segi Hadits: ‘Ulumuhu wa Mushthalahuhu,
sistem sanad-nya, itu semua tidak Beirut, Dar al-Fikr, 1975.
mengurangi semangat ketelitian dan Muhyiddin, Abdul Hamid
penyelematan terhadap hadits. Muhammad, Syarh al-Fiyahal-Sayuthiy
fiy Mushthalah al-Hadits, Mesir,
Maktabah Tijariyah al-Kubra, T.th..
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 103

Al-Qari, ‘Ali Bin Sultan al-


Harawi, Syarh Nukhbat al-Fikr, Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1978.
Al-Qusyairi, Abu Husain
Muslim Bin Al-Hajjaj, al-Jami’ al-
Shahih (Sahih Muslim), Disunting
Kembali oleh Muhammad Fuad al-
Baqi, Isa al-Babi al-Halabi wa al-
Syurakah, T.tp., 1955.
Rafiq, Muhammad, Sistem
Isnad, Bandung, al-Ma’arif, 1980.
Al-Shalih, Shubhi, ‘Ulum al-
Hadits wa Mushthalahuhu, Beirut, Dar
al’Ilm li al-Malayin, 1977.
Al-Suyuthi, Jalal al-Din ‘Abd
al-Rahman Bin Bakr, Tadrib al-Rawi fi
Syarh Taqrib al-Nawawi, Dar al-Ihya’
al-Sunnah al-Nabawiyah, Beirut, 1979.
Al-Thahhan, Muhammad,
Ushul al-Takhrij fi Dirasat al-Asanid,
al-Mathba’ah al-‘Arabiyah, Halb, 1978.
104 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019

Anda mungkin juga menyukai