Taufiqurrahman
UIN Imam Bonjol Padang
E-mail: taufiqurrahman@uinib.ac.id
Abstract
The position of hadith criticism is explicitly directed at the criticism of sanad
(external criticism; naqd al-khariji) and matan criticism (internal criticism; naqd al-
dakhili) basically based on the existence of hadith as the second source which needs
to be maintained so that there is an assessmentcritics of the narrators have a purpose
to determine the acceptance or rejection of their narrations which are equipped with
comprehensive data about the rawi assessed. in this case it is very possible for
various approaches, such as the historical approach as a study area, even the
approaches of other social sciences as an effort to understand the behavior formed
by certain positions in society. in other words, Scientific Kum Doktriner; do not see
the doctrinal aspects of sich, but also the scientific aspects.
89
90 Jurnal Ulunnuha Vol. 8 No.1/Juni 2019
terdapat adanya perawi-perawi yang nampak pada perawi yang merusak ke-
mempunyai kemiripan nama, ‘adil-an atau menjelekkan kehafalan
sedangkan kualitasnya berbeda dan dan kecermatannya, sehingga
tidak semuanya “Tsiqah”. menyebabkan gugur atau lemah dan
Ketika menilai adanya cacat tertolak riwayat yang
14
dalam sebuah hadits dengan berpatokan disampaikannya” .
kepada kriteria terakhir ini (‘illat), Adapaun ‘adl secara etimologis
maka diperlukan bantuan kecerdasan, berarti sesuatu yang dirasakan oleh diri
intuisi, hafalan hadits dalam jumlah bahwa dia itu dalam keadaan lurus.
yang banyak, pendalam pengetahuan Secara terminologis adalah “orang
tentang tingkat dhabith perawi serta yang tidak nampak dalam urusan
mempunyai keilmuan dalam kajian keagamaan dan muru’ah-nya sesuatu
sanad dan matan hadits. yang menjelekkan ke-‘adil-an dan
Berbagai kriteria dan prosedur muru’ah-nya”15. Dari kata ‘adl ini
yang dilakukan oleh seorang kritikus di muncul kata ta’dil, secara etimologis
atas bila diterapkan secara concerns adalah mashdar dari kata ‘addala -
akan menempatkan posisi kajian sanad yu’addilu, yang berarti mengemukakan
hadits sebagai “Shahih al-Isnad”. sifat-sifat ‘adil yang dimiliki oleh
Itulah sebabnya, ulama memberikan seseorang. Dan secara terminologis,
penilaian pada tingkat yang tinggi berarti “mensifatkan perawi dengan
terhadap kritik sanad, karena kritik sifat-sifat baik, sehingga nampak jelas
sanad dipandang lebih utama bila ke-‘adil-an dan karenanya riwayat yang
dibandingkan dengan kritik matan. Di disampaikan dapat diterima”16.
samping itu, standar dalam kritik sanad Berdasarkan defenisi kata
dipandang sebagai telah baku, dan perkata dari jarh dan ta’dil di atas,
aplikasinya dinilai akurat melalui maka dapat dipahami bahwa pengertian
berbagai bukti yang telah disepakati. Ilmu Jarh dan Ta’dil adalah: “suatu
ilmu yang membahas keadaan perawi
Posisi Sanad Dalam Ilmu Jarh Dan hadits dari segi diterima atau
Ta’dil ditolaknya periwayatan mereka”.
Secara etimologis, jarh Dalam tataran operasionalnya, secara
merupakan mashdar dari kata jaraha - praktis ilmu Jarh dan Ta’dil dapat
yajrahu, yang berarti melukai. Baik ditentukan melalui syarat-syarat dan
luka yang berkenaan dengan fisik standar objektif. Penjelasan berikut ini
maupun non fisik. Kata jaraha bila berupaya untuk melihat lebih rinci
digunakan hakim di pengadilan yang mekanisme kerja dari ilmu ini.
ditujukan pada masalah kesaksian
memiliki makna tertentu, yakni 1. Syarat Kritikus Jarh
menggugurkan keabsahan saksi13. dan Ta’dil
Secara terminologis, jarh Seorang kritikus harus
didefenisikan oleh Muhammad ‘Ajjaj memenuhi beberapa persyaratan guna
al-Khatib sebagai “suatu sifat yang menetapkan karateristik hadits melalui
13 14
‘Ajjaj al-Khatib, Op.Cit., 1975, ‘Ajjaj al-Khatib, Loc.Cit., 1975.
15
h. 260; M. Syuhudi Ismail, Op.Cit., h. 72; Ibid., h. 260-261; Ibn Manzur,
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, Dar al- Op.Cit., Juz XIII, h. 457.
16
Mishriyah, Mesir, t.th., Juz II, h. 422-423. Ibid.
Rahmi, Taufiqurrahman, Kritik Hadits dalam Kawasan Kajian Sejarah 95