Anda di halaman 1dari 18

BAGIAN ILMU PENYAKIT THT-KL REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2020


UNIVERSITAS HALU OLEO

ABSES PARAFARING

Oleh:

Dian Ismail, S.Ked

K1A1 11 049

Pembimbing :

dr. Sophian Sujana, M.Kes.,Sp.THT-KL

BAGIAN ILMU PENYAKIT TELINGA, HIDUNG, TENGGOROKAN,


KEPALA LEHER
RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI BAHTERAMAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2020

1
ABSES PARAFARING

Dian Ismail, Sophian Sujana

A. Pendahuluan
Abses leher dalam adalah abses yang terbebntuk di dalam ruang

potensial di antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai

sumber, seperti infeksi pada daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjar air liur,

telinga tengah atau bisa juga akibat trauma pada saluran cerna,

limfadenitis, serta penggunaan obat injeksi secara intravena atau subkutan.

Sejak ditemukannya antibiotik, secara signifikan angka kesakitan dan

kematian kasus abses leher dalam menurun secara drastis. Walaupun

demikian, abses leher dalam sampai saat ini masih menjadi salah satu

kasus kegawatdaruratan di bidan THT-KL.

Kebanyakan kuman penyebab adalah golongan Streptococcus,

Staphylococcus, kuman anaerob Bacteroides atau kuman campuran. Abse

leher dalam dapat berupa peritonsil, abses retrofaring, abses parafaring,

abses submandibula dan angina ludovici.

Abses parafaring adalah ases leher dalam paling sering terjadi

kedua setelah abses peritonsilar. Insiden kejadian abses parafaring

diseluruh dunia adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap tahun. Abses

parafaring ditegakkan berdasrakan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara

langsung akibat tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen.

Gejala klinis berupa demam, nyeri tenggorok dan disfagia. Pada

2
pemeriksaan fisik didapatkan trismus, pembengkakan disekitar angulus

mandibula, pembengkakan dinding lateral faring hingga menonjol kearah

medial. Pemeriksaan penunjang berupa foto polos jaringan lunak leher dan

tomografi computer.

Secara umum terapi abses leher dalam terdiri dari medikamentosa

dan drainase. Terpai medikamentosa meliputi pemberian antibiotic baik

untuk kuman aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan serta

gejala klinis yang timbul. Drainase abses dapat dilakukan dengan dua

pendekatan yaitu insisi eksterna dan intra oral.

B. Definisi
Abses adalah kumpulan nanah dalam suatu rongga yang terjadi

akibat adanya suatu proses infeksi bakteri piogenik yang terdapat dibawah

jaringan, organ atau pada ruang-ruang kosong. Abses mempunyai daerah

pusat yang meninjil yang terjadi akibat penumpukkan sel dan jaringan

yang mati. Daerah tersebut dilindungi oleh netrofil, sedang di sebelah

luarnya terdapat pelebaran pembuluh darah serta jaringan parenkim dan

fibroblast yang berfungsi untuk mempercepat proses penyembuhan.

Abses parafaring adalah infeksi di daerah parafaring yang dapat

meluas dan menyebabkan penimbunan nanah.

C. Anatomi

Ruang parafaring (disebut juga ruang faring lateral, ruang

faringomaksila, ruang pterigomaksila, ruang pterigofaring), merupakan

ruang potensial yang termasuk bagian dari ruang leher dalam yang

3
terbentuk piramida terbalik, yang terbentuk dari multi komponen system

fasia. Batas-satas ruang parafaring adalah di inferior oleh kornu minor

tulang hyoid, di superior oleh dasar tengkorak, sebelah medial dibatasi

divisi viseal dari lapisan media (sepanjang otot konstriktor faring) dan

fasia otot-otot tensor dan levator veli palatine serta stiloglosus. Batas

lateral dipertegas oleh lapisan superficial yang meliputi mandibula,

pterigoideus medial, dan parotis. Batas posterior dibentuk oleh divisi

prevertebra dari lapisan profunda dan sisi posterior selubung karotis

(tepatnya batas postero lateral). Batas anterior merupakan fasia

interpterigoideus dan rafe pterigomandibula. Ruang parafaring ini dapat

dibagi-bagi menjadi kompartemen-kompartemen oleh satu garis ang

ditarik dari lamina pterigoid menuju prosesus stiloid.

Gambar 1. Ilustrasi Bentuk Ruang Parafaring

4
Kompartemen anterior bersisi arteri maksilaris interna, nervus

alveolaris inferior nervus lingualis, dan nervus aurikulotemporalis. Infeksi

yang terjadi pada komparemen ini ditandai adanya trismus. Kompartemen

posterior berisis slubung karotis (arteri karotis, vena jugularis interna, dan

nervus vagus), nervus glosofaringeal, nervus hipoglosus, persyarafan

simpatis, dan pembuluh limfe. Nervus aseeorius juga berada dalam

kompartemen ini, tetapi seringkali terlindungi oleh proses infeksi yang

terjadi dalam kompartemen posterior.

Gambar 2. Penampang leher pada level tulang hyoid

Ruang parafring berhubungan dengan ruang retrofaring di bagian

posteromedial, ruang submandibula di bagian inferior, dan ruang

mastikator dibagian lateral, secara umum, ruang parafaring merupakan

5
pusat hubungan dari semua ruang potensial leher dalam. Kejadian infeksi

dalam ruang parafaring seringkali menyebar ke ruang-ruang potensial

lainnya, terutama ruang retrofaring dan selubung karotis.

Gambar 3. Ruang Parafaring

Ruang parapharyngeal di bagi atas :

Pre styloid : Medial-fossa tonsilaris

Lateral-pterygoid medial

Kandungan lemak, jaringan penghubung, kelenjar

limfe.

Post styloid : Selubung karotis

Nervus IX,X,XII

D. Patogenesis

Abses parafaring dimulai dari infeksi jaringan lunak pada daerah

kepala dan leher. infeksi ini dapat meluas dari salah satu ruang potensial

6
leher dalam, yang kemudian mengenai parafaring. Suatu infeksi bakteri di

ruang parafaring dapat terjadi melalui beberapa cara :

1. Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain

misalnya melalui saluran vaskuler menyebabkan terjadinya

endoplebitis atau thrombosis atau melalui saluran limfatik sehingga

menyebabkan terjadinya supurasi kelenjar limfe servikal profunda.

Infeksi dibagian tubuh yang lain seperti pada tonsillitis, faringitis

akut, adenoiditis, perluasan peritonsiler abses, infeksi gigi molar

pada pencabutan gigi molar bawah, tindakan endoskopi per oral,

yang kasar, perluasan infeksi glandula parotis atau pada timpani-

mastoiditis kronis melalui abses Bezold.

2. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat adanya luka atau trauma

tindakan seperti esofagoskopi atau bronkoskopi, tertelan benda

asing; tusukan jarum yang tidak steril di leher pada pecandu morfin.

3. Lymphadenitis, peradangan pada kelenjar limfe itu sendiri.

E. Prevalensi

Prevalensi atau angka kejadian abses parafaring dapat ditentukan

secara tepat, namun menurut hasil penelitian yang dilakukan di Amerika

Serikat, ditemukan negara maju lebih rendah angka morbiditasnya

disbanding negara berkembang hal ini disebabkan karena penanganan

abses parafaring yang lebih cepat, alat-alat medis yang lebih modern,

perkembangan antibiotic yang lebih maju, protokol penanganan dan tehnik

operasi yang lebih baik. Pada penelitian yang dilakukan oleh para ahli

7
Amerika Serikat dikatakan 117 anak yang menderita abses leher dalam

yang diteliti selama kurun waktu 6 tahun ditemukan infeksi peritonsil

(49%), infeksi retrofaring (22%), infeksi submandibular (14%), infeksi

bukalis (11%), infeksi ruang kanna (2%).

Angka kejadian abses leher dalam di Indonesia pernah diteliti di

Rumah Saikt Hasan Sadikin Bandung selama tahun 2012. Dari penelitian

tersebut didapatkan 28 kasus abses leher dalam, dengan lokasi abses

peritonsil 9 kasus, abses parafaring 1 kasus, abses retrofaring 4 kasus,

abses submandibula 5 kasus, abses submental 2 kasus dan abses gabungan

(submandibular dan parafaring ) 7 kasus. Persentase pasien jenis kelamin

laki-laki sebanyak 68% dan perempuan sebanyak 32% dengan kelompok

usia terbanyak 20-39 tahun sebanyak 50%.

F. Mikrobiologi

Pada abses parafaring didapatkan spectrum kuman yang cukup

luas. Sebagian besar abses disebebkan oleh campuran kuman aerob dna

anaerob. Kuma pathogen yang sering dijumpai adalah kelompok genus

Streptococci misalnya Streptococcus haemoliticus, Staphilococcus aureus

dan Haemophilus influenza. Terkadang dijumpai pula kelompok Coliform

dan Pseudomonas aeroginosa. Infeksi anaerob biasanya timbul dari flora

normal yang berbeda dipermukaan mukosa yang dalam keadaan normal

kuman-kuman anaerob tersebut berada dalam mulut. Infeksi atau kelainan

gigi seperti karies gigi dan pembentukan kantong-kantong pada

periodontal menimbulkan infeksi yang lebih didominasi oleh kuman

8
anaerob. Kuman anaerob tersebut cenderung berkumpul dicelah-celah gigi,

salah satu kman anaerob yang sering dijumpai adlah Bacteriodes sp.

Adanya kuman anaerob harus dicurigai bila didapatkan pus yang berbau

busuk. Keberadaan kuman anaerob dapat diketahui secara klinis nanah

dari infeksi anaerob digambrkan sebagia “a pedicular putrid, odicus, foul

smelling, actually stinking, sickening and nauseating type of purulent

discharge”. Selain itu adanya krepitasi dan pembentukan gas yang terlihat

sebagai gambaran udara dalam pemeriksaan radiologis juga menunjukkan

adanya kuman anerob.

G. Manifestasi Klinis

Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan

dengan nyeri tekan di daerah submandibula terutama pada angulus

mandibula, leukositisis dnegan pergeseran ke kiri dan adanya edema.

Terlihat edem uvula, pilar tonsil, palatum dan pergesran ke medial dinding

lateral faring. Sebagai perbandingan pada peritonsil, hanya tonsil yang

terdorong ke medial.

Trismus yang disebabkan oleh meregangnya m. pterigoid internus

merupakan gejala yang meninjol, tetapi mungkin tidak terlihat jika infeks

jauh didalam sampai prosesus stiloid Dan sturkuts yang melekat padanya

sehingga tidak mengenai m pterigoid internus.

H. Diagnosis

9
Untuk menegakkan diagnosis abses paraaring diperlukan anmnesis

yang cermat, pemeriksaan fisik, radiologi, laboratorium dan aspirasi pus

dengan jarum besar untuk pemeriksaan kultur dan tes kepekaan kuman.

1. Anamnesis

Pada anamnesis pasien dengan abses parafaring didapatkan riwayat

demam, pembengkakan dan nyeri pada daerah infeksi terutama di

daerah parafaring, region tiroid dan regio submandibular. Keluhan

nyeri biasanya akan semakin hebat ketika pasien sedang menoleh atau

sedang menggerakkan leher. Pada beberapa pasien didapatkan riwayat

sakit gigi atau riwayat tertelan benda asing. Keluhan lain didapatkan

sulit menelan selama beberapa hari, trismus bahkan sampai sesal nafas.

2. Pemeriksaan fisik

Pada umumnya tergantung dari lokasi infeksi yng terjadi, akan

tetapi secara umum dapat dijumpai pembengkakan pada dinding faring

lateral terutama dibelakang akus posterior. Tonsil terdorong kemedial

atau kearah anterior. Terjadi gangguan terutama pada saraf cranial N

IX, X, XII. Selain itu sering didapatkan karies dentis dan trismus yaitu

terbatasnya gerakan membuka mulut akibat perluasan infeksi yang

menimbulkan spasme iritatif pada m. pterigoideus internus.

3. Pemriksaan Penunjang

Pemeriksaan kultur kuman dan test kepekaan antibiotic perlu

dilakukan sebelum penderita mendapat antibiotic. Pemeriksaan darah

10
didaptkan peningkatan julah leukosit. Pemeriksaan penunjang yang

lain adlah pemeriksaan radiologi. Foto jaringan lunak leher antero-

posterior dan lateral merupakan prosedur diagnostic yang penting.

Pada pemeriksaan foto jaringan lunak leher pada kedua posisi tersebut

diperoleh deviasi trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam

jaringan lunak dan pembengkakakn daerah jaringan lunak leher.

Keterbatasan pemeriksaan foto polos leher tidak dapat membedakan

antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto toraks dapat

digunakan utuk mendiagnosis adanya edema paru, pneumotoraks,

pneumoediatinum atau pembesaran kelenjar getah hilus. Pemeriksaan

totmografi computer dapat membantu menggambarkan lokasi dan

perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas rendah,

peningkatan gambaran kontras pada dinidng abses dan edema jaringan

lunak disekitar abses.

11
Gambar 4. Gambaran Foto polos leher A. Foto polos leher lateral

normal, B. Foto polos leher posisi lateral abses parafaring

Gambar 5. Gambaran CT-Sacn: A. Tampak abses parafaring (panah),

B. Selulitis pada abses parafaring dengan abses di ruang

masseter.

I. Tatalaksana

Tatalaksana abses parafaring dilakukan dengan medikamentosa

dan terapi bedah. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotic

baik untuk kuman aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan

serta gejala klinik yang timbul. Terapi bedah dapat dilakukan dengan 2

cara pendekatan ekstrenal atau intra oral.

Ika terdapat pus maka tidak ada cara lain ecuali dengan evakuasi bedah.

Sebelumnya diperlukan tirah baring dan kompres panas untuk menekan

lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, lebih baik bedrdasarkan

tes sensitivitas.

1. Pemberian antibiotic

12
Banyak mikroorganisme yang dapat menjadi penyebab infeksi

kepala dan leher, dan berasal dari berbagai sumber. Flora bakteri

campuran sering ditemukan pada hasil kultur. Bakteri gram positif,

Streptococcus beta haemolitik dan Staphylococcus aureus adalah

bakteri yang paling sering ditemukan. Anaerob biasanya ditemukan

terutama pada infeksi-infeksi akibat penyebaran dentogen. Bakteri-

bakteri penghasil beta-beta laktamase ditemukan meningkat

frekuensinya pada infeksi kepala dan leher.

Dengan insidensi bakteri gram negatif dan bakteri penghasil beta

laktamase yang tinggi, penisilin buka lagi merupakan obat pilihan ntuk

kasus infeksi ini. Sebelum hasil kultur dan uji sensitifitas didapatkan,

antibiotic yang digunakan adalah yang memiliki spectrum terhadap

bakteri gram positif, gram negatif, anaerob dan penghasil beta

laktamase. Biasanya diberikan kombinasi antibiotic, seperti

klindamisin dan ceftriaxone serta ampisilin sebagai pilihan yang

terbaik.

2. Drainase abses

Sebagian besar abses leher dalam perlu dilakukan drainase untuk

penyembuhan dan mencegah komplikasi. Tindakan drainase pada

abses parafaring dilakukan dengan pendekatan eksterna dan intra oral.

a. Insisi intra oral

Insisi intra oral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam

faring, dilakukan anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan

13
dengan insisi dan drainase. Insisi intra oral dilakukan pada dinding

lateral faring harus dilakukan dengan menembus m.konstriktor

faring superior ke ruang parafaring. Insisi intra oral dilakukann bila

perlu dan sebagai terapi tambahan dari insisi eksterna.

Gambar 5. Abses Parafaring

b. Insisi ekstrena

Dilakukan dengan meletakkan dua jari di bawah dan sejajar

mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior

m. sternokleidomastoideus kea rah atas belakang menyusuri bagian

medial mandibula dan m. pterigoid interna mencapai ruang

parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat

dalam selubung karotis, inisisi dilanjutkan vertical dari

pertengahan insisi horizontal ke bawah di deoan m.

sternokleidomastoideus. Insisi abses yang kecil, terbatas, atau

uniloculated dapat dibantu dengan menggunakan image.

14
Gambar 6. Insisi abses parafaring
a. Standar insisi pada saat eksplorasi di daerah
parafaring
b. Pendekatan yang dilakukan di daerah parafaring
bagian posterior

c. Aspirasi jarum besar

Aspirasi dengan jarum dapat dilakukan pada keadaan

ukuran abses yang kecil dan letak abses parafaring yang mudah

untuk dicapai atau bila keadaan umum pasien tidak mendukung

untuk dilakukan anestesi umum. Dalam melakukan aspirasi dengan

jarum besar dapat dipakai CT-scan ataupun USG sebagai

penuntun. Aspirasi dengan jarum juga dipakai sebagai langkah

awal sebelum dilakukan pembedahan, terutama untuk pengambila

kultur kuman.

J. Komplikasi

Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau

langsung (perikontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran keatas dapat

mengakibatkan peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung

karotis mencapai mediastinum, sehinga terjadi mediastinitis dan bisa

15
berlanjut menjadi sepsis. Komplikasi lain yang dapat terjadi berupa

sumbatan jalan nafas akibat pendesakan dari trakea, aspirasi dari pus, bisa

secara spontan maupun pada saat memasukkan pipa endotrakea,

komplikasi pembuluh arah mislanya thrombosis vena intra jugularis,

rupture arteri karotis, dan osteomielitis.

Sumbatan jalan nafas kriteria Jackson :

Gradasi Kriteria
1 Retraksi suprasteral ringan, tanda-

tanda kecemasan (-)


2 Retraksi suprasternal (++),

epigastial (+), cemas(+)


3 Retraksi suprasternal (+), klavikuler

(+), Interkostal (+), epigastrial (+),

usaha menarik nafas (+), kelelahan

(+)
4 Retraksi (+++), cemas, sianosis,

menolak makan/minum

K. Prognosis

Pasien yang mendapat penanganan yang cepat dan tepat akan

memperoleh kesembuhan yang lebih cepat dan berhasil baik, sedangkan

pasien yang terlambat mendapatkan penanganan dapat mengalami

komplikasi yang lebih berat dan waktu penembuhan yang lama.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. Amar Y dan Manoukian J. Intraoral drainage: Recommended as the initial


approach for the treatment of parapharyngeal abscesses. Canada: Department
of ENT McGill University, 2003
2. Arliando M. Arvin, Adelien. Prevalensi abses leher dalam di RSUP dr.
Mohammad Hoesin Palembang Periode 1 Januari 2012- 31 Desember
2015. Majala kedokteran Sriwijaya, Th 49 no. 3, juli 2017
3. Ballenger JJ. Leher, orofaring dan nasofaring. Dalam: Ballenger JJ, ed.
Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher. Jilid 1. Edisi 13.
Alih bahasa: Staf Ahli Bag THT RSCM-FKUI. Jakarta: Binarupa Aksara;
1994: 295-304.
4. Dr. Ian Bickle, Dr. David Cuete, et al. Parapharyngeal abscess. Radiopedia
5. Erdgoliza M, Sotirovic J, dan Grgurevic U. A severe case of
pharapharyngeal abscess treated as a spastic torticollis. Dalam Fadillah
Muhammad. Abses Parafaring. Bagian Ilmu Penyakit Telinga, Hidung dan
Tenggorok Rumah Sakit Umum Provinsi NTB. Mataram, 2013
6. Fachruddin, Darnila. Abses leher dalam. Dalam : Soepardi EA, Iskandar
N, Ed. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher.
Edisi keenam. Jakarta: FKUI, 2007, h. 226 - 230.
7. Novialdi dan Triana, Wahyu. Abses leher dalam multipel dengan kesulitan
intubasi dan komplikasi fistula faringokutan. Padang: Bagian THT-KL FK
UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2011, h. 1 - 7.
8. Novialdi dan Asyari, Ade. Penatalaksanaan abses mandibula dengan
penyulit uremia dan infark miokardium lama. Padang: Bagian THT-KL
FK UNAND/RSUP dr.M.Jamil, 2010, h. 1 - 7.
9. Probost RGrevers G dan Iro H. Basic otorhinolaryngology a step by step
learning guide. New York; thieme, 2006.
10. Rigante D, Spanu T, Nanni L, Tornesello A, Sanguineti M. Deep neck
infection complicating lymphadenitis caused by Streptococcus

17
intermedius in an immunocompetent chil. Dalam Diagnosis dan
Penatalaksanaan Abses Parafaring. Departemen Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan Leher. Universitas Airlangga.
Surabaya
11. Tom, Lawrence. Disease of oral cavity, Oropharynx and Nasopharynx.
Dalam: Snow J dan Ballenger J. Ballenger”s otorhinolaryngology. Edisi
enam belas. Ontario: Bedecker. 2003,
12. Widodo Ario Kentjono, Sri Herawati Juniati, Achmad C. Romdhoni.
Pendidikan kedokteran Berkelanjutan XIII Ilmu kedokteran Telinga
Hidung Tenggorokan Bedah Keoala dan Leher. Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga. Surabaya. 2015

18

Anda mungkin juga menyukai