Anda di halaman 1dari 34

MENGENAL DIRI DI HADAPAN TUHAN NYA : Lir-ilir, Lir-ilir, Tandure wus sumilir, Tak ijo royo-

royo tak senggo temanten anyar, Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu
yo penekno kanggo mbasuh dodotiro, Dodotiro-dodotiro, kumitir bedhah ing pinggir,
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore, Mumpung padhang rembulane,
mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo. . .

Beranda ▼
Friday, February 8, 2013

At Thawasin Al Azal
‫و أﺷﻬﺪ أن ﻣﺤﻤﺪا رﺳﻮل ا‬ ‫أﺷﻬﺪ أن ﻻ اﻟﻪ اﻻ ا‬

At Thawasin Al Azal
Oleh Hussain bin Manshur Al-Hallaj

1. Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi


Muhammad S.A.W)
2. Thasin Al Fahm (Pemahaman)
3. Thasin Al Shafa (Kebeningan)
4. Thasin Al Dairah (Lingkaran)
5. Thasin Al Nuqthah (Titik)
6. Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan
dan Derita  
    Eterniti / Keabadian dan Kekeliruan
Pemahaman)
7. Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)
8. Thasin Al Tauhid (Keesaan)
9. Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri
Dalam Tauhid)
10. Thasin Al Tanzih (Kesucian, Keterbebasan)
11. Thasin Bustan Al Ma’rifah (Taman
Pengetahuan/Ma’rifat)

Thasin Al Siraj (Pelita Nubuwah Nabi


Muhammad SAW)

1.      Sang Pelita (As-Siraj) tampak dan tercerah dari Cahaya


Keghaiban,ia terpancar dan (tampak) kembali, dan
melampaui pelita-pelita lain.Ia rembulan yang cerlang, yang
menampakkan kecemerlangannya lebih dari bulan-bulan
lain. Ia bintang yang graha perbintangannya di
Langit ‘Azaly. Allah menyebutnya ‘ummi (awam) atas dasar
keterpusatan aspirasinya,juga harami (suci) disebabkan
kelimpahan syafa’atnya, dan makki (pusat) karena
kedekatannya di Hadirat-Nya.

2.      Dia (Allah) lapangkan dadanya, Dia tingkatkan


kekuatannya, dan mengangkatnya dari beban “yang
memberati punggungnya” (Q. 94: 2-3) serta Dia tetapkan
kewenangannya. Sebagaimana Allah membuat ‘Badr’-nya
terpancar, demikianlah purnamanya muncul dari awan
Yamamah, mentarinya terbit di bukit Tihamah [Makkah],dan
pelitanya bersinar gemerlap dari sumur Karamah (Zamzam).

3.      Ia tidak menyampaikan sesuatu kecuali yang menyangkut


pandangan (bashirah) batinnya, dan tidak mewajibkan
diikuti keteladanannya kecuali yang menyangkut
kebenaran Sunnah-nya. Ia berada di Hadirat Allah, dan ia
mengajukan yang lain ke Hadirat-Nya.Ia telah ‘melihat’
(Kebenaran), lalu ia sampaikan apa yang dilihatnya. Ia telah
diutus sebagai sang Pemberi Tunjuk, maka ia menggariskan
batas (halal-haram) perilaku.

4.      Tidak seorang pun mampu mengungkapkan kebenaran


maknanya kecuali sang Tulus Hati (Al-Amin) ini. Karena ia
menegaskan ke-syahid-annya, serta mengiringkannya, maka
tiada lagi tersisa perbedaan di antara kaumnya.

5.      Tiada seorang arif (‘irfan) pun yang merasa ‘kenal’


padanya, yang tidak keliru mengenali kebenaran
kualitasnya. Kualitasnya hanya jelas kepada seseorang yang
Allah bimbing
untuk menyingkap (kasyf) tabirnya, “Yaitu yang telah Kami
berikan kepadanya Kitab, mereka mengenalinya seperti
mengenali anak-anaknya. Namun, sebagian mereka
menyembunyikan kebenarannya, padahal mereka
mengetahui.” [Q. 2: 146]

6.      Segenap cahaya nubuwah berasal dari cahayanya, dan


cahayanya tercerahkan dari Cahaya yang Gaib.Di antara
cahaya-cahaya itu tidak ada yang lebih gemerlap, lebih nyata
atau lebih mutlak dari cahayanya sang Junjungan Semesta
Rahmat ini.

7.      Aspirasi (himmah)-nya mendahului segenap aspirasi lain,


adanya mendahului ‘Tiada’ (‘Adam), namanya mendahului
‘Pena’ (Qalam), sebab keberadaannya terdahulu ada sebelum
apa pun.
8.      Tidak pernah ada di atas semesta atau di luar semesta, tidak
juga di balik semesta, sesuatu yang lebih indah, lebih agung,
lebih bijak, lebih adil, lebih kasih, lebih taat atau lebih takwa,
yang lebih dari sang Tokoh Utama ini.Gelarnya adalah sang
Junjungan Makhluk, namanya adalah Ahmad, dan harkatnya
adalah Muhammad. Perintahnya penuh kepastian,
hikmahnya penuh kebaikan, sifatnya penuh kemuliaan, dan
aspirasinya penuh keunikan.

9.      Maha Suci Allah! Adakah yang lebih nyata, lebih tampak,
lebih agung, lebih masyhur, lebih kemilau, lebih perkasa
ataupun cendekia, yang lebih darinya? Ia – sungguh – telah
dikenal sebelum penciptaan sesuatu, yang ada, juga semesta.
Ia senantiasa diingat sebelum adanya ‘sebelum’ dan setelah
adanya ‘setelah’, juga sebelum ada substansi dan kualitas.
Substansinya adalah cahaya semata, ucapannya
adalah nubuwah, hikmahnya adalah wahyu, gaya bahasanya
adalah Arab, kesukuannya adalah “tiada Timur dan tiada
Barat” [Q. 24: 35], silsilahnya adalah garis kebapakan,
misinya adalah damai, dan sebutannya
adalah ‘ummi (awam).

10. Segenap mata terbuka dengan isyaratnya, segenap rahasia


dan segenap jiwa terasa dengan kehadirannya yang ada.
Adalah Allah yang membuatnya fasih menghafalkan
rangkaian Firman-Nya, dan menjadi Bukti (Al-Hujjah) yang
meneguhkannya. Juga Allah yang mengutusnya, dan ia
adalah Bukti – senyatanya Bukti. Adalah ia yang memuaskan
dahaga hati pedamba yang kehausan, yang tidak tersentuh
apa pun, tidak terkatakan lidah, tidak juga terekayasa, yang
‘menyatu’ dengan Allah tanpa terpisahkan, bahkan jauh di
luar jangkauan pikiran. Pokoknya ia yang mengabarkan
adanya akhir, dan akhirnya akhir, serta akhir-akhirnya
akhir.

11. Ia singkapkan awan, dan menunjuk ke Rumah Suci (Bayt al-


Haram). Ia adalah ‘pembeda’, bahkan ia adalah panglima
perang. Adalah ia yang diperintah untuk meluluhlantakkan
berhala-berhala, juga ia yang diutus kepada ummat manusia
untuk membasmi pemujaan.
12. Di atasnya awan bergemuruh menyambarkan kilat, dan di
bawahnya kilat menyambar gemuruh, berkilatan,
mencurahkan hujan, serta menyuburkan. Segenap
pengetahuan hanyalah setetes dari samuderanya, segenap
kearifan hanyalah secauk dari bengawannya, dan segenap
waktu hanyalah sesaat dari masanya.

13. Allah (‘ada’) bersamanya, dan bersamanya adalah hakikat.


Ia yang pertama dalam kesatuan (penciptaan) dan terakhir
yang diutus sebagai Rasul, yang hakikatnya bersifat batin,
dan ma’rifatnya bersifat lahir.

14. Tiada seorang pakar pun yang pernah mencapai hikmahnya,


bahkan para filsuf niscaya tersadar atas kearifannya.

15. Allah tidak menyerahkan [hakikat-Nya] itu kepada makhluk-


Nya, sebab ia adalah ‘ia’, dan ia adanya bersama Dia,
sedangkan Dia adalah ‘Dia’.

16. Tidak ada apa pun yang keluar dari ‘Mim’ (‫) م‬-nya


Muhammad (‫) ﻣﺤﻤﺪ‬, dan tidak ada yang masuk ke ‘Ha’ ( ‫)ح‬-
nya. Adapun ‘Ha’ (‫)ح‬-nya sebagaimana ‘Mim’ (‫)م‬-nya yang
kedua,  sedangkan ’Dal’ (‫)د‬-nya seperti ‘Mim’ (‫)م‬-nya yang
pertama. ‘Mim’ (‫)م‬-nya yang pertama adalah
peringkat (maqam)-nya, serta ‘Ha’ (‫)ح‬-nya adalah
keadaan (hal) spritualnya, sebagaimana ‘Mim’ (‫) م‬-nya yang
kedua.

17. Allah membuat bicaranya jelas, menambah nilainya, dan


membuat bukti (hujjah)-nya dikenal. Dia menurunkan wahyu
Pembeda [Al-Furqan] kepadanya. Dia membuat lidahnya
fasih, dan Dia membuat hatinya terang. Dia membuat ummat
sezamannya tidak mampu [memalsu Al-Qur’an].Dia pun
mengakui kejelasannya, dan memuji kemuliaannya.

18. Andaikan kau melarikan diri dari kewenangan syari’at-nya,


adakah jalan (lain) yang dapat kau tempuh, tanpa adanya
pembimbing, hai orang yang malang? Ketahuilah, segenap
fatwa para filsuf berantakan, seperti gundukan pasir,
dibandingkan hikmahnya. 
__________________________________________________

Thasin Al Fahm (Pemahaman)

1.      Pemahaman tentang alam-makhluk tidak terkait dengan


hakikat, dan hakikat tidak juga terkait dengan alam-
makhluk. Pemikiran [yang asal-terima] adalah taqlid,
dan taqlid-nya alam-makhluk tidak ada keterkaitannya
dengan hakikat. Pengertian tentang hakikat itu sulit dicapai,
makanya betapa lebih sulit lagi mencapai pengertian tentang
hakikatnya-Hakikat (Allah). Apalagi, Allah itu di luar
hakikat, dan hakikat tidak dengan sendirinya
menyatakan 'ada'-Nya Allah.

2.      Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit


fajar. Lalu, ia kembali ke teman-temannya, dan
menceritakan keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan
yang penuh kesan. Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala
api dalam hasratnya untuk mencapai
Penyatuan (Tawhid) yang sempurna.

3.      Cahayanya nyala api adalah Pengetahuan ('llm) hakikat,


panasnya adalah Kenyataan ('Ayn) hakikat, dan Penyatuan
dengannya adalah Kebenaran (Haqq) hakikat.

4.      Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan


panasnya, sehingga ia melompat ke dalam nyala api
langsung. Sementara itu, teman-temannya menantikan
kedatangannya, supaya ia menceritakan kepada mereka
tentang 'penglihatan' aktualnya, karena ia merasa tidak
puas dengan kabar angin saja. Tetapi, ketika itu ia tengah
tuntas sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam serpihan-serpihan, yang tersisa
tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal. Jadi,
dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke teman-
temannya? Dan, keadaan (hal) spiritual apa yang tengah
dicapainya sekarang? Ia yang sampai pada
pandangan (bashirah) batin niscaya sanggup terlepas dari
pekabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin tidak lebih
prihatin tentang pandangan batinnya.

5.      Pemaknaan (masalah) ini tidak menyangkut manusia yang


alpa, tidak juga manusia yang maya, atau manusia yang
penuh dosa, ataupun manusia yang menuruti hawa-nafsunya
semata.

6.      Wahai kau yang ragu-ragu! Jangan


persamakan 'aku' (insani) dengan 'Aku' Ilahi -- janganlah
sekarang, janganlah di masa depan nanti, janganlah pula di
masa lampau dulu.
Bahkan, kendatipun 'aku' itu merupakan pencapaian
seorang 'Arif, kendatipun ini merupakan
keadaan (hal) spiritual, namun itu bukanlah kesempurnaan.
Kendatipun 'aku' adalah milik-Nya, namun 'aku' bukanlah
Dia.

7.      Bila kau memahami ini, maka pahamilah juga bahwa


pemaknaan (masalah) itu bukanlah kebenaran bagi siapa
pun kecuali (bagi) Muhammad (shalallahu 'alaihi wasallam),
dan "Muhammad bukanlah bapak dari salah seorang
kerabatmu" (Q. 33: 40) tapi Rasulullah (Utusan Allah) dan
penutup para nabi (khatam an-nabiyyin). Ia mem-fana'-kan
dirinya dari manusia dan jin, serta memejamkan matanya ke
(arah) 'mana' pun, hingga tidak lagi tersisa kepalsuan hati
ataupun kemunafikan.

8.          Ada suatu "jarak sepanjang dua busur" lebarnya (Q. 53: 9),
atau lebih dekat lagi, saat ia mencapai gurun Pengetahuan
hakikat, dan "ia beritahukan hal itu dari hati
lahirnya  (fu'ad)" (Q. 53: 10). Ketika sampai pada Kebenaran
hakikat, ia menanggalkan hasratnya  di situ, dan
mempersembahkan dirinya naik ke Hadirat Sang Pengasih.
Setelah mencapai Kebenaran (Allah), ia pun kembali sambil
berkata: "Hati-batinku bersujud kepada-Mu, dan hati-lahirku
beriman kepada-Mu." Ketika mencapai Pohon-Batas
Penghabisan, ia berkata: "Aku tidak dapat memuji-Mu
sebagaimana mestinya Engkau dipuji." Dan, ketika mencapai
Kenyataan hakikat, ia berkata: "Hanya Engkau  Sendiri  yang
dapat memuji Diri-Mu." Ia menanggalkan lagi hasratnya, dan
menuruti panggilan tugasnya, "hatinya tidak berdusta
tentang apa yang dilihatnya" (Q. 53:11) di  maqam  dekat
Pohon-Batas-Terjauh  (Sidrat al-Muntaha). (Q. 53:14) Ia tidak
berpaling ke kanan, ke arah hakikat sesuatu, tidak juga ke
kiri, ke arah Kenyataan hakikat. “Penglihatan (Nabi
Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan Dengan
tepat (akan pemandangan Yang indah di situ Yang diizinkan
melihatnya), dan tidak pula melampaui batas." (Q. 53: 17)

__________________________________________________

Thasin Al Shafa (Kebeningan)

1.      Hakikat itu adalah sesuatu yang sangat halus, dan sulit
menguraikannya. Jalan untuk menempuhnya sempit, dan tentang
jalannya itu, seorang penempuh (salik) harus mengarungi
'kobaran api' di tengah gurun yang dalam. Seorang
asing (gharib) telah mengikuti jalan ini, dan menyampaikan
bahwa apa yang dialaminya ada empat puluh Maqam, yaitu:
1. Kesopansantunan ['adab],
2. Kegentarhatian [rahab],
3. Kejerihpayahan [nashab],
4. Penuntutan-diri [thalab],
5. Ketakjuban ['ajab],
6. Peniadaan ['athab],
7. Pemujaan [tharab],
8. Pendambaan [syarah],
9. Penjernihan [nazah],
10. Kelurusan [shidq],
11. Persahabatan [rifq],
12. Persamaan [litq],
13. Keberangkatan [taswih],
14. Penghiburan [tarwih],
15. Ketajaman [tamyiz],
16. Penyaksian [syuhud],
17. Keberadaan [wujud],
18. Penghitungan ['add],
19. Pengupayaan [kadda],
20. Pemulihan [radda],
21. Perluasan [imtidad],
22. Pengolahan [i'dad],
23. Penyendirian [infirad],
24. Pengendalian [inqiyad],
25. Kemauan [murad],
26. Kehadiran [hudur],
27. Pelatihan [riyadhah],
28. Kehati-hatian [hiyathah],
29. Penyesalan [iftiqad],
30. Kedayatahanan [istilad],
31. Pengawasan [tadabbur],
32. Keterkejutan [tahayyur],
33. Perenungan [tafaqqur],
34. Kesabaran [tashabbur],
35. Penafsiran [ta'abbur],
36. Penolakan [rafdh],
37. Pengoreksian [naqd],
38. Pengamatan [ri'ayah],
39. Pembimbingan [hidayah],
40. Permulaan-jalan [bidayah].
Maqam terakhir ini adalah maqam-nya orang-orang yang
Hatinya tenang dan suci (shufi).

2.      Tiap maqam memiliki keadaan (hal) spiritualnya sendiri sebagai


pahalanya, yang sebagiannya mungkin diperoleh dan sebagian
lainnya tidak.

3.      Adapun sang Gharib yang telah mengharungi gurun (hakikat)


dan menyeberanginya, telah mencakupnya serta memahaminya
secara keseluruhan. Ia tidak memperoleh sesuatu yang lazim
ataupun biasa, tidak di gunung ataupun di darat.

4.      "Ketika Musa (as) menunaikan tugasnya", ia meninggalkan


ummatnya karena hakikat akan merengkuhnya sebagai 'milik'-
Nya. Tapi, masih juga ia berpuas dengan penerangan semu tanpa
pandangan (bashirah) batin langsung, sehingga ada perbedaan
antara ia dan sang Insan Kamil [Muhammad saw]. Karena itu ia
(Musa as) berkata: "Siapa tahu aku dapat membawa sedikit
penerangan untukmu." [Q. 20: 10]

5.      Andaikan sang Pembimbing Utama puas dengan penerangan


semu, bagaimana dapat seseorang yang menempuh
jalan (thariqah) tidak mencukupkan dirinya dengan jejak semu.

6.      Dari Semak yang Terbakar, di Bukit Sinai, apa yang


kedengarannya difirmankan Semak
bukanlah dari Semak atau belukarnya, tetapi (firman) Allah.

7.      Dan peranan 'aku' adalah seperti 'Semak' itu.

8.      Jadi, hakikat adalah 'hakikat' dan makhluk adalah 'makhluk'.


Makanya buanglah sifat kemakhlukanmu, supaya kau sesuai
dengan-Nya, beserta Dia -- kau pun dalam liputan hakikat.

9.      'Aku' sejati adalah subyek, dan obyek yang terurai adalah subyek
dalam hakikatnya.
Soalnya adalah bagaimana itu terurai?

10. Allah berfirman kepada Musa (as): "Kau bimbinglah (ummatmu)


pada Bukti (al-Hujjah)," tapi bukan pada Obyeknya Bukti. Adapun
bagi-Ku, Aku adalah 'Bukti' dari setiap bukti.

11.  Allah membuatku melampaui apa adanya hakikat dengan


kesepakatan, perjanjian, dan persekutuan. Rahasiaku adalah
penyaksian (syahadah) langsung tanpa (keikutsertaan) pribadi
makhlukku. Itulah rahasiaku, dan inilah hakikat.

12. Allah memfirmankan pengetahuanku melalui  'aku'  dari hatiku.


Dia menarikku dekat pada-Nya setelah jauh dari-Nya. Dia
membuat aku menjadi Sahabat (Waly)-Nya, Dia memilih aku…
_________________________________________________
Thasin Al Dairah (Lingkaran)

1.      Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬pertama melambangkan seseorang yang


menjangkau lingkaran Kebenaran.
Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬kedua melambangkan orang yang
menjangkaunya, yang setelah memasukinya, sampailah ia ke
pintu yang tertutup. Pintu ‘ba’ (‫ )ب‬ketiga melambangkan
seseorang yang tersesat di gurun Sifatnya-Kebenaran.

2.      Ia yang memasuki lingkaran itu jauh dari Kebenaran, sebab


jalannya terjegal dan sang penempuh (salik) disuruh kembali.
Adapun noktah di atas melambangkan hasratnya. Noktah
yang lebih bawah melambangkan kembalinya ke titik-
tolaknya, dan noktah di tengah adalah kebingungannya.

3.      Lingkaran dalam tidak memiliki pintu ‘ba’ (‫)ب‬, dan ‘titik’ yang


ada di dalamnya adalah pusat Kebenaran.

4.      Makna tentang Kebenaran adalah yang darinya, baik lahir


maupun batin, tidak ada yang luput. Dan, ia pun tidak
direkayasa.

5.      Andaikan kau berhasrat memahami apa yang aku terangkan


ini.“ambillah empat ekor ‘burung’, cincanglah buatmu,” (QS.
2: 260) sebab Al-Haqq (Allah) ‘tak-terbang’.

6.      Adalah kecemburuan-Nya yang membuat ia tampak, setelah


Dia menyembunyikannya. Adalah keterpesonaan yang
menjaga keterpisahan kita. Adalah kebingungan yang
mencabut kita dari-Nya.

7.      Inilah makna tentang Kebenaran. Ia lebih licin dari lingkaran


Asal, ataupun rancangan Bidang. Dan, yang lebih licin lagi
adalah memfungsikan kearifan secara batin, karena
ketersembunyiannya (Kebenaran) dari khayalan.

8.      Ini karena sang pengkaji hanya mengkaji lingkaran dari


wilayah luar, bukannya dari wilayah dalam.

9.      Adapun tentang pengetahuannya-pengetahuan Kebenaran,


sang pengkaji tidak memahaminya, karena ia tidak mampu.
Pengetahuan menunjukkan tempat, sedang lingkaran
itu ‘tempat’ yang terlarang [haram].

10. Makanya mereka menamakan Sang Rasul (saw): Haramy,


sebab hanya ia seorang yang keluar dari Lingkarang Haram
itu.

11. Ia penuh kegentaran dan keterpesonaan, serta mengenakan


jubah Kebenaran. Ia keluar dan menyerukan “Ah!!!” (‫)اح‬
kepada segenap makhluk.

_________________________________________________

Thasin Al Nuqtah (Titik)


1.      Ada yang lebih halus dari itu, yakni penyebutan
tentang Titik ‘AzaliyAda yang lebih halus dari itu, yakni
penyebutan tentang Titik ‘Azaliy yang berupa Asal, dan yang
(keberadaannya) tidak bertambah ataupun berkurang, tidak
juga habis sirna dirinya.

2.      Orang yang mengangkal keadaan (hal) batinku telah


menyangkalnya, karena tidak mengetahui aku, malah
menyebutku bid’ah. Dituduhnya aku dengan sebutan Iblis,
serta dianggapnya kekeramatanku sebagai praktik
perdukunan, juga demikian terhadap lingkaran suci yang
berada di luarnya-luar jangkauan, yang dicemoohkannya.

3.      Orang yang menjangkau lingkaran kedua membayangkan


aku menjadi sang Pemangku Ilham.

4.      Orang yang menjangkau lingkaran ketiga mengira aku


berada di bawah pengaruh nafsu.

5.      Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran


melupakan aku, bahkan perhatiannya beralih dariku.

6.      “Tentu saja tidak! Tidak ada seorang pelindung pun. Pada
hari itu hanya Tuhan penolongmu untuk kembali. Juga pada
hari itu setiap manusia akan diberi tahu tentang perbuatan
yang didahulukannya dan yang dilalaikannya.” (QS. 75: 11-
13)

7.      Namun, umumnya manusia berpaling pada pernyataan


semu, melarikan diri pada sang pelindung, mengkhawatiri
pertanda-pertanda, tujuan hidupnya terpedaya, dan
akibatnya tersesat.

8.      Aku terisap ke kedalaman samudera kelanggengan (baqa’).


Dan, orang yang menjangkau lingkaran Kebenaran itu sibuk
di pantai samudera pengetahuan dengan pengetahuannya
sendiri, luput pandangan (bashirah) batinnya dariku.

9.      Aku melihat sejenis burung khasysy dari pribadi Shufi yang


terbang dengan dua sayap Tashawuf. Ia menyangkal
kekeramatanku, sebagaimana ia terus membumbung dalam
penerbangannya.

10. Ia menanyai aku tentang kesucian-batin, dan aku


menjawabnya: “Pangkaslah sayapmu dengan gunting
penyirnaan-diri (fana’). Kalau tidak, kau tidak dapat
mengikuti aku.”

11. Ia berkata kepadaku: “Aku terbang dengan sayapku menuju


Kekasihku.” Aku katakan kepadanya: “Hati-hati buat kau!
Sebab, tidak ada yang menyerupai-Nya. Hanya Dia sang
Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” Maka, seketika itu ia
jatuh ke samudera kearifan dan hilang tenggelam.

12. Orang dapat menggambarkan samudera kearifan sebagai


berikut:

Aku ‘melihat’ Tuhanku dengan mata hatiku, aku menyapa:


“Siapakah Engkau?” Dia menjawab: “Kau!” Namun, bagi-
Mu, ‘di mana’ tidak memiliki tempat. Dan, tidak ada ‘di
mana’ ketika perhatian hanya menyangkut-Mu. Akal pun
tidak punya bayangan tentang keberadaan-Mu dalam
(dimensi) waktu, yang memungkinkan akal mengetahui ‘di
mana’ adanya Engkau. Engkau adalah Sesuatu yang meliputi
setiap ‘di mana’, mengatasi ‘titik’ yang tak di mana-mana.
Jadi, ‘di mana’ Engkau adanya?

13. Sebuah titik-tunggal yang unik dari lingkaran (titik-titik),


menandakan beragamnya anggapan tentang kearifan.
Adalah sebuah titik-tunggal saja yang dirinya berupa
Kebenaran, sedangkan sisanya merupakan kekeliruan.

14.  Ia begitu dekat” saat kenaikannya (mi’raj) – “ia tampak


kembali” saat kemuncakannya (transenden). Karena
pencarian, ia begitu dekat. Karena kegairahan, ia tampak
kembali. Ia menanggalkan hatinya ‘di sana’, dan begitu
dekat kepada-Nya. Ia sirna (fana’) ketika ‘melihat’ Allah,
kendati demikian ia tidak sampai tuntas sirna (fana’ ul-
fana’). Bagaimana mungkin ia hadir sekaligus tak-hadir?
Bagaimana mungkin pula ia tampak dan sekaligus tak-
tampak?

15. Dari ketakjuban ia melintas ke pencerahan, dan dari


pencerahan ke ketakjuban. Dengan kesaksian Allah,
ia ‘menyaksikan’ Allah. Ia sampai dan sekaligus pisah. Ia
mencapai Pujaan-Nya, dan terputus dari hatinya. “Hatinya
tidak berdusta tentang apa yang dilihatnya.” (QS. 53: 11)

16. Allah menyembunyikannya ketika membuatnya begitu


dekat. Dia mengangkatnya dan menyucikannya. Dia
membuatnya dahaga dan menyegarkannya. Dia
menyucikannya dan memilihnya. Dia menyerunya dan
memerintahkannya. Dia menimpainya Cobaan dan
menjenguknya untuk membantunya. Dia mempersenjatainya
dan mendudukkannya di atas pelana.
17. Ada sebuah jarak dari “satu rentangan busur”, dan ketika ia
kembali, ia pun mencapai sasarannya. Ketika diseru, ia
menjawabnya – merasa dilihat, ia rendahkan dirinya.
Karena minum, ia merasa puas. Karena mendekat, ia
dicekam keterpesonaan. Dan, karena keterpisahan dirinya
dari Kota serta para pembantunya, ia pun terpisah dari
bisikan nurani, dari pandangan, juga dari lamunan
makhluk.

18. “Sahabatmu tidak tersesat,” (QS. 53: 2) ia tidak lemah atau


bertambah sedih. Matanya tidak goyah atau lelah oleh
suatu ‘Saat’ dari sejatinya masa.

19. “Sahabatmu tidak tersesat” dalam tafakurnya mengenai


Kami. Ia tidak menyeberang dalam kunjungannya kepada
Kami, tidak juga melanggar terhadap Risalah Kami. Ia tidak
membandingkan Kami dengan yang lain kalau
membicarakan Kami. Ia tidak menyimpang di
taman zikir dalam tafakurnya mengenai Kami, tidak juga
tersesat dalam pengembaraan di alam fikir.

20. Cukuplah ia mengingat Allah (zikru’llah) dalam tarikan


nafasnya, dan kerdipan matanya. Bertawakkal kepada-Nya
dalam kesusahan, dan bersyukur atas nikmat-Nya.

21. “Ini tidak lain hanyalah wahyu yang diwahyukan,” (QS. 53:
4) dari Cahaya ke ‘Cahaya’.

22. Ubahlah bicaramu! Kosongkan dirimu dari khayalan,


angkatlah kakimu tinggi-tinggi dari manusia serta makhluk
lainnya. Bicaralah tentang Dia dengan selaras dan
sekadarnya! Jadilah berghairah, dan tenggelamlah dalam
keghairahanmu. Ketahuilah – bahwa kau akan terbang
melampaui gunung dan lembah, gunung kesadaran dan
lembah perlindungan, agar ‘melihat’ Dia yang kau puja-puja.
Dan, puasa wajib pun berakhir dengan datang ke Rumah
Suci (Ka’bah).

23. Maka, ia begitu dekatnya kepada Allah, seperti


seorang ’asyiq yang memasuki Ma’syuq. Selanjutnya ia
memaklumkan bahwa itu terlarang. Itu seperti sebuah
rintangan yang lebih dari cukup untuk melemahlunglaikan.
Ia melintas dari Maqam Pembersihan ke Maqam Pencelaan,
dan dari Maqam Pencelaan ke Maqam Kedekatan. Ia begitu
dekat sebagai pencari, dan ia kembali secara berlari. Ia
begitu dekat sebagai pendoa, dan ia kembali sebagai ‘Abdi. Ia
begitu dekatnya sebagai penyeru, dan kembali
dengan bai’at sebagai Qarib-Nya Ilahi. Ia begitu dekatnya
sebagai seorang saksi, dan kembalinya sebagai ahli tafakur.

24. Jarak di antara keduanya adalah “dua rentangan busur”. Ia


membidik tanda ‘di mana’ [‘ayna] dengan panah ‘di
antara’ [bayna]. Ia menyatakan bahwa ada dua rentangan
busur untuk menetapkan ketepatan tempat-nya, baik karena
tiada terlukiskannya sifat Zat, atau karena serasa lebih
akrab pada Zatnya-Zat.

25.  Sang Faqir yang Luar dari Biasa (Khariq ul-‘Addah) Al-


Husain ibn Manshur Al-Hallaj, berkata:

26. Aku tidak percaya bahwa ungkapan kita di sini dapat


dipahami, kecuali untuk orang yang sampai pada rentangan
busur kedua, yang adanya melampaui Lembaran yang
Terjaga [Lawh ul-Mahfudz].

27. Itulah suratan yang tidak mempergunakan huruf Arab


ataupun Persia.

28. Kecuali satu huruf saja, yaitu huruf ‘mim’  ( ‫ﻢ‬ ), yang


merupakan huruf pertanda “apa yang ia pancarkan.”

29. ‘Mim’ ( ‫ﻢ‬ ) yang menandakan “Yang Terakhir”.

30. ‘Mim’ ( ‫ﻢ‬ ) yang juga merupakan untaian “Yang Terawal”.


Rentangan busur pertamanya
adalah ‘Alam Kegagahan (Jabarut), dan yang keduanya
adalah ‘Alam Kerajaan (Malakut). Sedangkan Sifat-Nya
adalah untaian dua ‘Alam itu. Serta Zat-Nya yang Khusus
Beriluminasi (tajalliy khasysy) adalah panah yang Mutlak,
panahnya dua rentangan.

31. Panahnya itu dari Seseorang yang menyalakan api


Iluminasi (tajalliy).

32. Dia berfirman bahwa kepantasan dari pembicaraan adalah


yang pengertiannya merupakan gambaran kedekatan.
Adapun sang Firman dari pemaknaan ini adalah Kebenaran
Allah, bukan metode ciptaan-Nya. Dan, kedekatan ini juga
hanya berlaku dalam lingkaran ketepatan yang amat sangat
tepat.

33. Kebenaran dan Kebenarannya-Kebenaran (Allah) ini


terdapat dalam halusnya perbedaan, lewat pengalaman
sebelumnya, dengan memakai penangkal yang dibuat oleh
sang pecinta, untuk membalas keterputusannya dengan
segenap kecintaan (makhluk), di pelananya yang sampai
secara berbarengan, karena bahaya terus mengancam, serta
tajamnya perbedaan, yang diatasinya
dengan ayat pembebasan. Inilah jalan (shufi) yang terpilih
dalam memperhatikan Diri pribadi. Dan, kedekatannya
terlihat sebagai areal luas, agar sang arif (‘irfan) yang taat
mengikuti jalannya tradisi nubuwah ini dapat dipahami
adanya.

34. Sang Junjungan Yatsrib


(Muhammad), shalawat dan salam atasnya, memaklumkan
keagungan yang kerasukan jiwa anggun ini, yang tak-
tergugat, yang terawat dalam “Kitab Tersembunyi” (QS. 56:
78), sebagaimana Dia menyatakannya dalam Kitab (alam)
Terbuka, dalam “Kitab Tertulis” yang menerangkan makna
bahasa burung, ketika Dia mengangkatnya ‘ke sana’.

35. Apabila kau memahami ini, hai pecinta, pahamilah bahwa


Tuhan tidak berbicara kecuali dengan Diri-Nya, atau
dengan Sahabat-Nya (waly).

36. Untuk menjadi Sahabat-Nya, janganlah punya Guru


ataupun Murid. Jadilah tanpa pilihan, tanpa perbedaan,
tanpa kepura-puraan atau sok-nasihat, jangan mengakui
sesuatu itu “miliknya” atau “darinya”. Tapi, apa yang ada
padanya cukuplah sebagai “apa yang ada padanya”, tanpa
merasa adanya itu “padanya”, sebagaimana gurun tanpa air
di suatu “gurun tanpa air”, juga sebagaimana pertanda di
suatu “pertanda”.

37. Wacana umum mengalihartikan maknanya. Makna pun


mengalihartikan maksudnya, sedangkan maksudnya terlihat
dari kejauhan. Jalannya sulit, namanya agung, tampilannya
unik. Pengetahuannya adalah ketidaktahuan,
ketidaktahuannya adalah kebenaran tunggal, keawamannya
adalah sumber rahasianya. Namanya adalah Jalannya,
karakter-lahirnya adalah kehangatannya, dan perlambang-
batinnya adalah kegairahannya.

38. Hukum syari’at [syar’iy] adalah ciri-khasnya,


kebenaran [haqa’iq] adalah gelanggangnya dan
keagungannya. Jiwanya adalah serambinya, Syaitan adalah
pengajarnya, dan setiap musafir yang ada dijadikannya
sebagai kerabatnya. Keinsanan adalah nuraninya,
kerendahhatian adalah kemuliaannya, kefanaan adalah
subyek zikir-nya, istri adalah tamansarinya, dan fananya-
fana adalah singgasananya.

39. Pelindungnya adalah perlindunganku, prinsipnya adalah


peringatanku, syafa’atnya adalah permohonanku,
karunianya adalah persinggahanku, dan duka-citanya
adalah kesedihanku.

40. Pewarisannya adalah kedai tempat minum-(ku), lengan


bajunya bukan apa-apa kecuali sekadar pengelap debu-(ku).
Ajarannya adalah dasar pijakan keadaan (hal) batinnya,
sedangkan keadaan batinnya adalah kefanaan. Kendati
demikian, sembarang keadaan (ahwal) lainnya dapat
menjadi obyek kemurkaan Allah. Makanya cukuplah ini,
semoga rahmat Allah besertamu.

Thasin Al Azal wa al Iltibas (Kebahagiaan dan


Derita Eterniti/Keabadian dan Kekeliruan
pemahaman)

[: Untuk ia yang 'arif, dalam ke'arifannya-ke'arif saat


berhubungan dengan wacana publik
           tentang apa yang logis dalam memperhatikan tujuan...]

1.      Sang Faqir, Abu Mughits (Al-Hallaj), semoga Allah merahmatinya,


berkata: "Tidak ada misi yang tangguh kecuali yang diemban Iblis
dan Muhammad, shalawat dan salam atasnya. Hanya, Iblis
terjatuh dari Zat, dan Muhammad merasakan Zatnya-Zat."

2.      Telah dikatakan kepada Iblis: "Sujudlah!" (QS. 2: 34) dan kepada
Muhammad: "Tengoklah!" (QS. 53: 13) Namun, Iblis tidak bersujud,
dan Muhammad pun tidak menengok. Ia tidak berpaling ke kanan
atau ke kiri, "Matanya tidak celingukan, tidak juga jelalatan." (QS.
53: 17)

3.      Sementara Iblis, setelah menyatakan misinya, ia tidak kembali ke


kemampuan awalnya.

4.      Sedangkan Muhammad, ketika menyatakan misinya, ia kembali


ke kemampuannya.

5.      Dengan pernyataan ini: "Bersama Engkau semata aku merasa


bahagia, dan kepada Engkau semata aku mengabdikan diriku."
Dan: "Wahai Engkau yang membolak-balik hati." Serta: "Aku tidak
tahu bagaimana memuji-Mu sebagaimana mestinya Engkau
dipuji."

6.      Di antara penghuni surga tidak ada pemuja sekaligus peng-


Esa (Tawhid) yang seperti Iblis.

7.      Karena Iblis 'di situ' telah 'melihat' penampakan Zat Ilahi. Ia pun


tercegah bahkan dari mengedipkan mata kesadarannya, dan
mulailah ia memuja Sang Esa Pujaan dalam pengasingan
khusyuknya.

8.      Ia dikutuk ketika menjangkau pengasingan ganda, dan ia


didakwa ketika menuntut kesendirian (Allah) mutlak.

9.      Allah berfirman kepadanya: "Sujudlah (kepada Adam as)!" Ia


menjawab: "Tidak, kepada yang selain Engkau." Dia berfirman
lagi kepadanya: "Bahkan, apabila kutuk-Ku jatuh menimpamu?"
Ia menjawab lagi: "Itu tidak akan mengazabku!"

10. "Pengingkaranku adalah untuk menegaskan Kesucian-Mu, dan


alasanku (ingkar) niscaya melanggar bagi-Mu. Tetapi, apalah
Adam dibandingkan dengan-Mu, dan siapalah aku -- Iblis, hingga
dibedakan dari-Mu!"

11. Ia jatuh ke Samudera Keluasan, ia menjadi 'buta', dan berkata:


"Tidak ada jalan bagiku kepada yang lain selain dari-Mu. Aku
pecinta yang 'buta'!" Dia berfirman kepadanya: "Kau telah
takabur!" Ia menjawab: "Apabila ada satu saja kilasan pandang
di antara kita, itu cukup membuatku sombong dan takabur.
Kendati begitu, aku adalah 'ia' yang mengenal-Mu sejak ke-baqa'-
an masa Terdahulu, dan "aku lebih baik daripadanya" (QS. 7: 12),
sebab aku lebih lama mengabdi kepada-Mu. Tidak ada satu pun, di
antara dua jenis makhluk (Adam dan Iblis) ini, yang mengenal-Mu
secara lebih baik daripadaku!" "Ada Kehendak-Mu bersamaku,
dan ada kehendakku bersama-Mu, sedangkan keduanya
mendahului Adam. Apabila aku bersujud kepada yang selain
Engkau, ataupun tidak bersujud, niscaya harus bagiku untuk
kembali ke asalku. Karena Engkau menciptakan aku dari api, dan
api kembali ke 'api', menuruti keseimbangan (sunnah) dan pilihan
yang adanya milik-Mu."

12. "Tidak ada jarak dari-Mu padaku, karena aku yakin bahwa jarak
dan kedekatan itu 'satu'!" "Bagiku, apabila aku dibiarkan,
pengabaian-Mu justru menjadi mitraku.
Jadi, seberapa pun jauhnya lagi, pengabaian dan cinta
tetap 'menyatu'!" "Terpujilah Engkau, dalam taufiq-Mu dan Zat-
Mu yang tiada terjangkau, bagi sang pemuja setia ini, yang tiada
bersujud ke yang selain Engkau!"

13. Musa (as) bertemu Iblis di lereng Bukit Sinai, dan bertanya


kepadanya: "Hai Iblis, apa yang mencegahmu dari bersujud?" Ia
(Iblis) menjawab: "Yang mencegahku adalah pernyataan ikrarku
mengenai Sang Pujaan yang Unik. Dan, jika aku bersujud, aku
akan menjadi sepertimu. Karena kau hanya perlu dipanggil sekali,
"Tengoklah ke gunung," kau langsung menengok. Sementara aku,
aku telah dipanggil ribuan kali untuk menyujudkan diriku kepada
Adam, aku tidak bersujud, karena aku bersiteguh
dengan 'Tujuan' Ikrarku."

14. Musa (as) bertanya: "Kau membangkangi perintah?" Iblis pun


menjawab: "Itu sebuah ujian, bukannya perintah." Musa bertanya
lagi: "Tanpa dosa? Kendati wajahmu berubah begitu?" Iblis
menyahut: "Hai Musa, keadaanku ini sekadar kemenduaan dari
penampilan-lahir, sementara keadaan (hal) spiritualku tidak
bergantung atasnya, bahkan tidak berubah. Ma'rifat tetaplah
benar sebagaimana pada awalnya, dan itu tidak berubah
kendatipun pribadinya berubah."

15. Musa (as) bertanya: "Adakah kau mengingat-


Nya (zikir) sekarang?" "Hai Musa, pikiran yang murni tidak
membutuhkan daya-ingat, -- dengan itu aku mengingat (Dia) dan
Dia mengingat (aku). Ingatan-Nya adalah ingatanku, dan
ingatanku adalah ingatan-Nya.
Bagaimana mungkin, ketika kami saling mengingat, kami berdua
berlainan satu sama lain?" "Pengabdianku sekarang lebih murni,
waktuku lebih lapang, ingatanku lebih agung, sebab aku mengabdi
kepada-Nya secara mutlak demi keberuntunganku, bahkan
sekarang aku mengabdi kepada-Nya demi Diri-Nya."

16. "Aku mencabut keserakahan dari segenap apa pun yang


mencegahku atau menahanku, baik demi kerugian ataupun
keuntungan. Dia mengasingkanku, membuatku mabuk-kepayang,
melinglungkanku, mengeluarkanku, sehingga aku tidak dapat
berpadu dengan para ruh suci. Dia menjauhkanku dari yang lain,
sebab kecemburuanku (kepada-Nya) supaya Dia Sendiri saja. Dia
mengubahku, sebab Dia mengagumiku. Dia mengagumiku, sebab
Dia membuangku. Dia membuangku, sebab aku pengabdi. Dan,
menempatkanku dalam ahwal terlarang disebabkan kemitraanku.
Dia mempertunjukkan kekurangan nilaiku disebabkan aku
memuji Keagungan-Nya. Dia menyederhanakanku dengan sehelai
kain ihram disebabkan kehajianku [hijya]. Dia membiarkanku
disebabkan 'penemuan'-ku atas-Nya dalam zikir. Dia
menyingkapkan (kasyf) hijabku disebabkaan penyatuanku.
Dia mempenyatukanku disebabkan Dia memencilkanku. Dan, Dia
memencilkanku disebabkan Dia mencegah hasratku."

17. "Dengan Kebenaran-Nya, maka aku tidak salah dalam


memperhatikan titah-Nya, bukannya aku menolak takdir. Aku
tidak peduli sama sekali tentang perubahan wajahku.
Aku hanya menjaga keseimbanganku (sunnah) melalui hukuman
ini."

18. "Kendatipun Dia mengazabku dengan api-Nya sepanjang masa,


aku tetap tidak akan bersujud kepada sesuatu (selain-Nya). Aku
tidak akan merundukkan diriku kepada pribadi atau jasad
(Adam as), sebab aku tidak mengaku berlawanan dengan-Nya!
Ikrarku khusyuk, dan aku memang seorang yang khusyuk
dalam 'cinta'!"

19. Al-Hallaj berkata: "Ada beragam teori yang berkenaan dengan


keadaan (hal) spiritualnya 'Azazyl (‫)ﻋﺰازﻳﻞ‬ [sebutan Iblis sebelum
kejatuhannya]. Seseorang mengatakan bahwa ia ditugaskan
dengan misi di surga, serta dengan suatu misi (lainnya) di bumi.
Di surga ia berkhutbah kepada malaikat, menunjukinya tentang
amalan yang baik.
Dan, di bumi ia berkhutbah kepada manusia dan jin,
menunjukinya tentang perbuatan yang jahat."

20. "Sebab, seseorang tidak akan mengenali sesuatu kecuali dengan


(mengenali) yang sebaliknya. Sebagaimana dengan sutera putih
halus, yang hanya dapat ditenun
dengan menggunakan lakan hitam di belakangnya -- makanya,
malaikat mempertunjukkan amalan baiknya, dan berkata
simbolis, "Jika kau beramal, kau akan mandapat pahala." Namun,
ia yang tidak mengenal kejahatan sebelumnya, niscaya tidak
dapat mengenali kebaikan."

21. Sang Faqir, Abu Umar Al-Hallaj, berkata: "Aku bersoal dengan
Iblis dan Fir'aun tentang kehormatan Sang Pemurah." Kata Iblis:
"Jika aku bersujud, aku niscaya kehilangan gelar kehormatanku."
Dan, kata Fir'aun: "Jika aku beriman kepada Rasul (Musa as) itu,
aku niscaya terjatuh dari harkat kehormatanku."

22. Al-Hallaj pun berkata: "Jika aku memungkiri pengajaranku dan


pernyataanku,
aku juga niscaya jatuh dari altar kehormatanku."
23. Tatkala Iblis berkata: "Aku lebih baik daripada ia (Adam as),"
maka ia tidak melihat sesuatu pun selain dirinya. Tatkala Fir'aun
berkata: "Aku tahu pun tidak bahwa kau (Musa as) mempunyai
Tuhan yang selain aku," ia tidak mengetahui bahwa sembarang
rakyatnya dapat membedakan antara kebenaran dan kepalsuan.

24. Jadi, aku (Al-Hallaj) berkata: "Andaipun kau tidak mengenal-Nya,


maka kenalilah pertanda-Nya. Akulah pertanda-Nya [tajally], dan
akulah Sang Kebenaran (anal'-Haqq)!
Hal ini disebabkan aku tiada henti menyadari 'ada'-Nya Sang
Kebenaran!"

25. Temanku adalah Iblis, dan guruku adalah Fir'aun. Iblis diancam
dengan api dan tidak mencabut pernyataannya. Fir'aun
ditenggelamkan di Laut Merah tanpa mencabut pernyataannya
ataupun mengakui sembarang perantara (rasul). kendatipun
begitu ia berkata: "Aku beriman bahwa tiada Tuhan kecuali Dia
yang diimani oleh Bani Isra'il." (QS. 10: 90) Dan, bukankah kau
melihat bahwa Allah pun menentang Jibril dalam Keagungan-Nya?
Dia berfirman: "Mengapa kau penuhi mulutmu dengan 'pasir'?"

26. Jadi, aku (akhirnya) dibunuh, digantung, tangan dan kakiku


dipotong, tanpa aku mencabut pernyataan tegasku!

27. Istilah Iblis diperoleh dari 'mutasi' nama


pertamanya, 'Azazyl (‫)ﻋﺰازﻳﻞ‬.
'Ain'-nya (‫ )ع‬menunjukkan keluasan ikhtiarnya,
'zay'-nya (‫ )ز‬adalah bertambah kerapnya kunjungan (kepada-
Nya),
'alif'-nya (‫ )ا‬sebagai jalan hidupnya dalam harkat-Nya,
'zay'-nya (‫ )ز‬yang kedua keasketisannya dalam derajat-Nya,
'ya'-nya (‫ )ي‬langkah pengembaraannya ke penderitaannya, dan
'lam'-nya (‫ )ل‬ketegarannya dalam kesakitannya.

28. Dia (Allah) berfirman kepadanya: "Kau tidak bersujud, hai yang
nista!" Ia menjawab: "Sebutlah lebih baik -- 'pecinta'!" Karena
pecinta dianggap rendah, maka Engkau menyebutku nista. Aku
telah membaca dalam Kitab yang Nyata, wahai Sang Kuasa dan
Setia, bahwa hal ini akan terjadi padaku. Jadi, bagaimana
mungkin aku menistakan diriku kepada Adam, padahal Engkau
menciptakannya dari tanah, sedangkan aku dari api? Dua hal
yang berlawanan tidak dapat diakurkan. Dan, aku telah
mengabdi-Mu lebih lama, juga memiliki kebajikan yang lebih
luhur, pengetahuan yang lebih luas, serta aktivitas yang lebih
sempurna."
29. Allah, yang senantiasa terpujilah Dia, berfirman kepadanya:
"Pilihan adalah milik-Ku, bukannya milikmu." Ia menjawab:
"Segenap pilihan, bahkan pilihan diriku, adalah milik-Mu. Karena
Engkau telah terpilih untukku, wahai Sang Khaliq. Jika Engkau
mencegahku dari bersujud kepadaanya (Adam as), Engkau
adalah 'Sebab' pencegahan itu.
Jika aku khilaf berbicara, Engkau tidak membiarkanku, karena
Engkau Sang Maha Mendengar. Jika Engkau berkehendak aku
bersujud kepadanya, aku niscaya taat. Aku tidak mengetahui
seorang pun di antara (makhluk) yang 'Arif, yang mengenal-Mu
secara lebih baik daripada aku."

30. Jangan persalahkan aku, ide kecaman jauh dariku, anugerahilah


aku, wahai Penguasaku, demi aku sendiri. Kalaupun dalam hal
janji, janji-Mu itu sejatinya Kebenaran prinsip, tentunya prinsip
ikhtiarku juga kuat. Ia yang berhasrat menulis ikrarku ini, atau
membacanya, akan mengetahui bahwa aku (akhirnya) menjadi
seorang Syahid!

31. Hai saudaraku! Ia (Iblis) disebut 'Azazyl karena ia


dibebastugaskan ('uzyla), dibebastugaskan dari kesucian
purbanya. Ia tidak kembali dari asalnya ke akhirnya, sebab ia
tidak keluar dari akhirnya. Ia dibiarkan, dikutuk dari asalnya.

32. Upayanya untuk keluar pun gagal, disebabkan perasaan iba-


dirinya. Ia mendapatkan dirinya antara api tempat
peristirahatannya dan cahaya posisi ketinggiannya.

33. Sumber air di darat adalah telaga yang rendah. Ia (Iblis) terazab
kehausan di tempat yang (airnya) berlimpah-ruah. Ia menangisi
kesakitannya, karena api telah membakarnya. Kekhawatirannya
tidak lain hanyalah kepura-puraan, dan ke-'buta'-annya adalah
kesia-siaan -- itulah ia adanya!

34. Hai saudaraku! Andaikan kau mengerti, kau telah


mempertimbangkan jalan sempit di kesempitannya yang teramat
sangat. Kau telah menunjukkan khayalan itu kepadamu dalam
kemusykilannya yang teramat sangat. Dan, kau akan menderita
serta penuh kegelisahan.

35. Kaum shufi yang paling terjaga pun tetap bungkam tentang Iblis,
dan para 'arifin tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan
apa yang telah dipelajarinya (tentang Iblis).
Iblis lebih kuat daripada mereka dalam hal pemujaan, dan lebih
dekat daripada mereka kepada Sang Zat Wujud. Ia (Iblis)
mengerahkan dirinya lebih dan 'lebih' setia pada perjanjian, serta
lebih dekat daripada mereka kepada Sang Pujaan.

36. Malaikat lain bersujud kepada Adam (as) karena dukungan


(Allah), sedangkan Iblis menolak (bersujud) karena ia
telah 'tafakur' sekian lamanya.

37. Kendati begitu, keadaannya menjadi membingungkan, dan


pikirannya kesasar, sehingga ia berkata: "Aku lebih baik daripada
ia (Adam as)." (QS. 7: 12) Ia tetap di balik tabir, tidak
menghargai 'debu' (asal kejadian Adam as), dan mengusung
kutukan di atas pundaknya hingga Akhir Ke-'baqa'-an Masanya-
Masa Ke-'baqa'-an nanti... 

_________________________________________________

Thasin Al Masyi-ah (Kehendak)

1.      Inilah penggambaran tentang Taqdir Ilahi. Lingkaran ( o )


pertama adalah Kehendak [masyi’ah] Allah, dan ( o ) kedua
adalah Hikmah-Nya, serta ( o ) ketiga adalah Kuasa-Nya,
sedangkan ( o ) keempat adalah  Ilmu-Nya yang ‘Azaliy.

2.      Iblis berkata: “Bila aku memasuki lingkaran pertama, aku akan
menempuh ujian dari (lingkaran) yang kedua. Dan, bila aku
melintas ke yang kedua, aku harus menempuh ujian dari
(lingkaran) yang ketiga. Bahkan, bila aku menyeberang ke yang
ketiga, aku mesti menempuh ujian dari (lingkaran) yang
keempat.”

3.      Maka – tidak (la), tidak (la), tidak (la), tidak (la), dan tidak (la)!


Bahkan, bila aku istirah di ‘tidak’ pertamaku, aku pasti dikutuk
sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang kedua, dan dibuang
sampai aku mengucapkan (‘tidak’) yang ketiga. Jadi, apakah yang
keempat berarti bagiku?

4.      Kalaulah aku tahu bahwa bersujud (kepada Adam as) pasti


menyelamatkan aku, aku niscaya bersujud. Kendati demikian, aku
tahu bahwa setelah lingkaran (pertama) itu ada lingkaran-
lingkaran (kedua, ketiga, dan keempat) lainnya. Dengan
pemikiran begitu, maka kukatakan kepada diriku: Kalaupun aku
selamat dari lingkaran (pertama) ini, bagaimana dapat aku
keluar dari (lingkaran) yang kedua, yang ketiga, dan yang
keempat?

5.      Adapun ‘Alif’ ( ‫ا‬ ) dari ‘La’ ( ‫ﻻ‬ ) yang kelima adalah “Dia – Tuhan,


Sang Hidup.” (QS. 2: 255)

_________________________________________________

Thasin Al Tauhid (Keesaan)

1.      Dia – Allah, Sang Maha Hidup (Al-Hayy).

2.      Allah adalah Sang Esa, Unik, Sendiri, dan ‘saksi’ sebagai
yang Satu.

3.      Sekaligus, Sang Esa dan kesaksian atas


Penyatuan (Tawhid) yang Satu, Adalah ‘di Dia’ dan ‘dari Dia’.

4.      Dari-Nya datang jarak pemisah (makhluk) yang lain dari


Penyatuan-Nya, dan itu dapat dilambangkan demikian ini:

[Tauhid terpisah dari Allah, dan simbol ‘wahdaniyah’ ini


dilambangkan oleh ‘Alif’ ( ‫ا‬ ) panjang, dengan sejumlah ‘dal’ ( ‫د‬ ) di
dalamnya. Adapun ‘Alif’-nya ( ‫ا‬ ) merupakan Zat, dan ‘dal’-
nya ( ‫د‬ ) sebagai Sifat.]

5.      Pengetahuan Tauhid adalah sebuah ikhtisar kesadaran yang


mandiri, dan perlambangnya demikian ini:

[Inilah ‘Alif’ ( ‫ا‬ ) purba-Nya Zat (’Alif’ panjang) dengan ‘alif-


alif’ ( ‫ا‬ ‫ا‬ ) lainnya, yang merupakan wujud-wujud makhluk, dan
yang hidup di atas ‘Alif’ ( ‫ا‬ ) utama.]

6.      Tauhid adalah sifat subyek makhluk yang melafalkan


ketauhidannya, dan bukan sifat sang Obyek yang
tersaksikan Satu.

7.       Apabila aku yang makhluk mengatakan “aku”, dapatkah aku


membuat-Nya juga mengatakan “Aku”? Tauhidku datang dariku,
dan bukan dari-Nya. Dia suci [munazzah] dariku dan Tauhidku.

8.      Bila aku mengatakan: “Tauhid kembali  ke ‘ia’ yang


mengatakannya,” maka aku membuatnya (Tauhid) sebagai suatu
makhluk.

9.      Jika aku mengatakan: “Tidak, Tauhid itu datang dari sang Obyek
yang tersaksikan,” maka adakah hubungan yang mengaitkan
seorang peng-Esa (Tauhid) ke pernyataannya tentang Penyatuan
itu?

10. Andai kukatakan: “Memang, Tauhid adalah hubungan yang


mengaitkan sang Obyek  ke subyeknya,” maka aku telah
mengarahkan hal ini ke sebuah ketentuan nalar!
____________________________________________

Thasin Al Asrar fi al Tauhid (Kesadaran Diri


Dalam Tauhid)

1.      Adapun perlambang “Thasin Al Asrar fi al Tauhid : Kesadaran-


Diri dalam Tauhid” adalah demikian ini:

[‘Alif’ ( ‫ا‬ ) panjang – Penyatuan; Tauhid. ‘Hamzah’ ( ‫)ء‬ – kesadaran-


diri, beberapa di satu sisi dan beberapa lagi di sisi lainnya.
‘Ain’ ( ‫)ع‬ di awal dan akhir – Zat.]

Kesadaran-diri itu berproses dari-Nya, kembali pada-Nya, dan


beredar di dalam-Nya. Kendati demikian, secara nalar semuanya
tidak penting (bagi-Nya).
2.      Subyek sejatinya Tauhid berbolak-balik melintasi keragaman
subyek, sebab Dia tidak tercakup dalam subyek atau dalam obyek
ataupun dalam kata-ganti lainnya. Akhiran kata-bendanya juga
tidak terliput pada Obyeknya. Kata-kepunyaan ‘ha’-nya ( ‫)ح‬
adalah milik ‘Ah’-nya ( ‫)حا‬, dan bukan ‘Ha’ ( ‫ )ﻫ‬lain, yang tidak
membuat kita bertauhid.

3.      Bila kukatakan tentang ‘Ha’ ( ‫ )ﻫ‬ini ‘Wa-Ha’ (‫)ﻮﻫ‬, yang lainnya


akan berseru padaku, “Malangnya!”

4.      Itulah julukan, sebutan dan kiasan demonstrative yang


menembus (Tauhid) ini, sehingga kita dapat ‘melihat’ Allah
melalui keadaan (hal) senyatanya.

5.      Segenap peribadi insan seperti “sebuah bangunan yang tersusun


rapi”. Inilah ketentuannya, dan Penyatuan Allah (Tauhid) tidak
terkecuali bagi ketentuan ini. Kendati demikian, setiap ketentuan
adalah batasan, dan sifat batasan hanya berlaku bagi obyek-
terbatas. Sebaliknya, obyek Tauhid tidak mengakui pembatasan
tersebut.

6.      Kebenaran [al-Haqq] itu sendiri tidak lain dari singgasana Allah,


bukannya Zat Allah.

7.      Dikatakan, Tauhid tidak mencapai (Kebenaran) itu, karena peran


kebahasaan dari suatu istilah dan pengertiannya yang pas, tidak
berpadu satu sama lain, ketika menyangkut sebuah imbuhan.
Kalau begitu, bagaimana dapat semua berpadu, ketika
menyangkut Allah?

8.      Kalau kukatakan: “Tauhid terpancar dari-Nya,” maka aku


menggandakan Zat Ilahi, dan membuat pancaran dari Dirinya
sendiri, ada bersama dengan-Nya, ‘ada’ ataupun ‘tiada’ Zatnya
secara bersamaan.

9.      Andai kukatakan bahwa ‘ada’-nya tersembunyi ‘di dalam’ Allah,


dan Dia mengejawantahkannya. Bagaimana itu tersembunyinya,
sedangkan di (Allah) sana tidak ada ‘bagaimana’ atau ‘apa’
ataupun ‘ini-itu’, dan di sana juga tidak ada tempat [‘dimana’]
yang memuat Dia.
10. Sebab, ‘di dalam ini-itu’ adalah ciptaan Allah, sebagaimana
adanya ‘di mana’.

11. Adapun yang mendukung suatu aksi (aksiden) bukannya tanpa


substansi. Dan, yang tidak terpisahkan dari jasad bukannya
tanpa unsur jasad. Juga yang tidak terpisahkan dari ruh
bukannya tanpa unsur ruh. Karena itu, Tauhid merupakan
sebuah perpaduan (spiritual).

12.  Kita kembali dulu, di luar semua itu, ke pokok masalah [Obyek
kita] dan memisahkannya dari kalimat tambahan, pemaduan,
penghitungan, peleburan dan penyifatan.

13. Lingkaran pertama [pada diagram berikutnya] terdiri


atas tindakan Allah, yang kedua terdiri
atas tiruannya (tindakan). Dan, inilah dua lingkaran (makhluk)
ciptaan.

14. Sedangkan (lingkaran) titik-pusat melambangkan Tauhid, tetapi


bukan (sebenarnya) Tauhid. Kalau tidak, bagaimana mungkin itu
terpisahkan dari lingkaran?

____________________________________________

Thasin al Tanzih (Kesucian, keterbebasan)


1.      Inilah lingkaran qiyas (alegori) Tauhid, dan inilah sosok
perlambangnya:
2.      Inilah kesemestaan yang dapat
memperlihatkan kepada kita
mengenai fatwa dan hukum (Tauhid),
juga buat para pakar,
ahli ‘ibadah dan ahli madzhab,
ahli fiqih dan ahli kalam.

3.      Lingkaran pertama adalah ‘perasaan’ harfiah, yang kedua


adalah ‘rasa’ batin, dan yang ketiga adalah kias ‘ruh’ (yang tidak
terkiaskan).

4.      Itulah keseluruhan segala sesuatu, yang dicipta ataupun


digubah, yang dipakai, ditapis, disaring, disangkal, yang dibuai
ataupun dibius.

5.      Ia beredar dalam kata-ganti ‘kami’ subyek-subyek pribadi. Seperti


sebatang panah, ia menembusi sekujur mereka, melengkapinya,
mengejutkannya, dan membalikkannya. Ia juga menakjubkan
mereka, meneranginya, dan ia mempesonakannya saat ‘menemui’
mereka.

6.      Itulah keseluruhan substansi dan kualitas makhluk. Adapun


Allah tidak berhubungan dengan perumpamaan ini.

7.      Kalau kukatakan: “Ia adalah Dia,” pernyataan itu bukanlah


(refleksi) Tauhid.

8.      Bila kukatakan bahwa Tauhid Allah itu shahih, orang akan


menjawabku – “Tidak sangsi lagi!’

9.      Andai kukatakan “tanpa waktu,” orang akan bertanya: “Adakah


maknanya Tauhid itu tamsil?” Padahal, tidak ada perbandingan
saat menggambarkan Allah. Tauhidmu itu tidak ada
hubungannya dengan Allah ataupun makhluk, sebab faktanya
mengungkapkan bahwa sejumlah waktu itu mengintrodusir
kondisi terbatas. Dalam hal ini, kau telah menambahkan
pengertian pada Tauhid, seolah (Tauhid) itu bergantung.
Bagaimanapun, kebergantungan bukanlah sifat Allah. Zat-Nya itu
Unik. Dan, sekaligus, baik Kebenaran maupun apa yang gaib, tidak
mungkin terpancar (keluar) dari Zat-Nya Zat.
10. Jika kukatakan: “Tauhid adalah Firman itu sendiri,”
‘Firman’ adalah sifatnya Zat, bukan Zat itu sendiri.

11. Jika kukatakan: “Tauhid maknanya Allah berhasrat sebagai


yang Satu,’ ‘Kehendak’ Ilahi adalah sifatnya Zat, sedangkan
hasrat adalah makhluk.

12. Jika kukatakan: “Allah adalah Tauhidnya Zat yang dinyatakan


pada dirinya sendiri,” maka aku membuat Zat bertauhid, yang
bisa menjadi pergunjingan kita.

13. Jika kukatakan: “Tidak, ’ia’ (Tauhid) bukan Zat,” lalu dapatkah


aku menyatakan bahwa Tauhid adalah makhluk?

14. Jika kukatakan: “Nama dan obyek yang dinamai itu Satu,” maka
apakah pengertian (nama) yang dikandung Tauhid?

15. Jika kukatakan:” Allah adalah Allah, maka adakah aku


mengatakan bahwa Allah adalah zatnya-Zat, dan ‘ia’ (Tauhid)
adalah Dia?

16. Inilah “Tha-Sin” yang membicarakan tentang penyangkalan atas


alasan-alasan sekunder, dan inilah lingkaran-lingkarannya,
dengan ‘La’ ( ‫ )ﻻ‬yang tertulis di sini sebagai sosoknya:

17. Lingkaran pertama adalah pra-


Kelanggengan, yang kedua
Keterangjelasannya, yang ketiga Dimensinya, dan yang keempat
Berpengetahuannya.

18. Adapun Zat bukannya tanpa sifat.

19. Sang penempuh (lingkaran) pertama membuka Gerbang


Pengetahuan, dan tidak bertemu. Yang kedua membuka Gerbang
Penyucian, dan tidak bertemu. Yang ketiga membuka Gerbang
Pemahaman, dan tidak bertemu. Yang keempat membuka Gerbang
Pemaknaan, dan tidak bertemu. Tidak seorang pun ‘ketemu’ Allah
dalam Zat-nya atau dalam Kehendak-Nya, tidak dalam
pembicaraan, apalagi dalam Dia-nya ‘Dia’ Sejati.

20. Maha Besar Allah, yang Maha Suci, yang dengan kesucian-Nya
tidaklah Dia terjangkau oleh segenap cara (thariqah) sang arif,
apalagi oleh segenap intuisi orang kebatinan.

21.  Inilah “Tha-Sin” tentang Nafi’-Itsbat (Penyangkalan dan


Penegasan) dan inilah penjabarannya:

22. Rumus pertama membicarakan pikiran orang


kebanyakan (‘amm), yang kedua pemikiran orang
terpilih (khasysy). Dan, lingkaran yang
menggambarkan ‘Ilmu Allah ada di antara keduanya.
Adapun ‘La’ (‫ )ﻻ‬yang tertutup lingkaran adalah penyangkalan
atas segenap dimensi. Dua ‘ha’-nya (‫ )ح‬adalah perangkatnya,
seperti pilar dua sisinya Tauhid, yang menopangnya ke atas. Di
luar itu berawal ketergantungan (makhluk).

23. Pikiran orang kebanyakan tercebur ke samudera khayal, dan


pemikiran orang terpilih (tercebur) ke samudera kearifan. Tetapi,
dua samudera itu akan mengering, dan jalan yang mereka tandai
akan terhapus. Pikiran dan pemikiran itu akan lenyap, dua
pilarnya akan runtuh, dua alam maujudnya akan hancur, juga
pembuktiannya serta pengetahuannya akan musnah.

24. Sedangkan di hadirat Keilahian Allah, Dia tetap ‘Ada’, mengatasi


sekalian makhluk yang bergantung. Segenap puji bagi Allah, yang
tidak terjangkau oleh alasan sekunder. Bukti-nya sangat kuat, dan
kuasa-Nya sangat agung. Dia, Tuhan Sang Kemegahan dan
Keagungan serta Kemuliaan. Maha Satu yang ‘Tiada-Terbilang’
dengan kesatuan aritmetis. Tiada patokan, hitungan, awalan atau
akhiran yang menjangkau-Nya. Wujud-Nya ‘Tiada-Terbayang’
karena Dia bebas dari maujud. Dia Sendiri saja yang
mengetahui Diri-Nya, Penguasa Keluasan dan Keluhuran (QS. 55:
27), Pencipta (Al-Khaliq) ruh dan jasad.

____________________________________________

"THASIN": Pencapaian Sang Laron

Sang laron terbang di sekeliling nyala api hingga terbit fajar.


Lalu ia kembali ke rekan-rekannya, dan menceritakan
keadaan (hal) spiritualnya dengan ungkapan yang penuh kesan.
Ia berpadu (hulul) dengan geliatnya nyala api
dalam hasratnya untuk mencapai Penyatuan (Tawhid) yang
sempurna.

Cahayanya nyala api itu adalah Pengetahuan hakikat,


panasnya adalah Kenyataan hakikat,
dan Penyatuan dengannya adalah Kebenaran hakikat.

Ia merasa tidak puas dengan cahayanya ataupun dengan


panasnya,
sehingga ia melompat ke dalam nyala api langsung.
Sementara itu rekan-rekannya menantikan kedatangannya,
supaya ia menceritakan kepada mereka tentang 'penglihatan'
aktualnya,
karena ia merasa tidak puas dengan kabar angin saja.
Tetapi, ketika itu ia tengah tuntas sirna (fana'),
musnah dan buyar ke dalam kepingan-kepingan,
yang tersisa tanpa wujud, tanpa jasad ataupun tanda pengenal!
Jadi, dalam peringkat (maqam) apa ia dapat kembali ke rekan-
rekannya?
Dan keadaan (hal) spiritual apa yang tengah dicapainya
sekarang?
Ia yang sampai pada pandangan (bashirah) batin,
niscaya sanggup terlepas dari perkabaran saja.
Juga ia yang sampai pada inti pandangan batin,
tidak lebih prihatin tentang pandangan batinnya...

(: Dari Fragmen "THAWASIN" Al-Hallaj...)

"THASIN TITIK 'AZALI"


(Sebuah Fragmen dalam "THAWASIN" Al-Hallaj)

... aku 'melihat' Tuhanku dengan mata hatiku,


aku menyapa: "Siapakah Engkau?"
Dia menjawab: "Kau!"
namun, bagiku, 'di mana' tak memiliki tempat,
dan tak ada 'di mana' ketika perhatian menyangkut-Mu,
akal pun tak punya bayangan
tentang keberadaan-Mu dalam (dimensi) waktu,
yang mengizinkan akal mengetahui 'di mana' Engkau adanya...
Engkau adalah 'Sesuatu' yang meliputi setiap 'di mana',
mengatasi 'Titik' yang 'tak-di mana-mana'.
jadi, 'di mana'-kah Engkau adanya...?
Alif braja at 2:18 AM

Share

No comments:

Post a Comment
AkvvfKEyCzFtfheJCWaEteNVKP0

‹ Home ›
View web version

About Me
Alif braja

SALAM PRAMUKA
View my complete profile

Powered by Blogger.

Anda mungkin juga menyukai