DISUSUN OLEH :
NURNIATI (D1A117337)
RASMITA (D1A117342)
RONALDIYANSA (D1A117347)
SARLIN (D1A117352)
SUHARDIN (D1A117357)
A. Latar Belakang
Menurut International Cocoa Organization (2012), pada tahun 2011 Indonesia merupakan
produsen kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan
memproduksi sekitar 15% kakao dunia. Pantai Gading merupakan penyumbang terbesar
produksi kakao sebesar 34%, kemudian Ghana sebesar 18%.
Ditinjau dari perdagangan internasional, walaupun Indonesia merupakan salah
satu eksportir utama biji kakao di pasar internasional setelah Pantai Gading dan Ghana.
Pada tahun 2013, total ekspor kakao mencapai 414.092 ton, namun kakao Indonesia
sebagian besar masih diekspor dalam bentuk mentah yakni biji kakao. Dari total ekspor
kakao Indonesia, sebanyak 173.918 ton atau lebih dari 42% diekspor dalam bentuk biji,
baru sisanya diekspor dalam bentuk pasta, butter, bubuk, dan makanan yang mengandung
cokelat (ITC, 2012).
Sejalan dengan tujuan pengembangan kakao nasional yakni sebagai komoditas ekspor
unggulan, baik biji maupun olahan maka pemerintah mulai mengembangkan industri hilir
kakao. Untuk itu, pemerintah menetapkan bea keluar bagi biji kakao hingga 15% melalui
Peraturan Menteri Keuangan No 67/PMK.011/2010 yang diberlakukan sejak April 2010.
Peraturan ini bertujuan menumbuhkan industri pengolahan kakao di dalam negeri yang
akan meningkatkan ekspor produk olahan kakao yang berdaya saing.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
A. Kakao Di Indonesia
Beberapa permasalahan yang dihadapi komoditas ini antara lain masih rendahnya
produktivitas komoditas kakao yang disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut :
penggunaan benih asalan, belum banyak digunakan benih klonal, masih tingginya
serangan hama PBK (penggerek buah kakao), hingga saat ini belum ditemukan klon
kakao yang tahan terhadap hama PBK, sebagian besar perkebunan berupa perkebunan
rakyat yang dikelola masih dengan cara tradisional dan umur tanaman kakao sebagian
besar sudah tua, di atas 25 tahun jauh di atas usia paling produktif 13-19 tahun. (Dinie
Suryani & Zulfebriansyah,2007)
Disamping itu, perkebunan kakao juga menyumbang dalam penyediaan lapangan kerja
dan sumber pendapatan bagi sekitar 1,1 juta kepala keluarga petani yang kebanyakan
berada di Kawasan Indonesia Timur (KTI). Dengan areal luas lahan mencapai 1,473,259
Ha pada tahun 2008 dan dengan produktivitas 792,791 ton, (Departemen Pertanian)
hampir 92,8 % merupakan perkebunan rakyat sedangkan selebihnya dikelola oleh swasta
dan perkebunan negara. Hal ini sangat berbeda dengan pelaksaan perundangan Undang-
Undang No.9 Tahun 1999 yang menyatakan monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang
berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat
hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur
dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dan atau
badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh pemerintah. Badan usaha untuk
perkebunan kakao nasional adalah PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) yang tersebar di
seluruh wilayah Indonesia.
Masalah yang lainnya yaitu pengelolaan produk kakao masih tradisional (85% biji
kakao produksi nasional tidak difermentasi) sehingga mutu kakao Indonesia dikenal
sangat rendah (berada di kelas 3 dan 4). Akibat mutu rendah, harga biji dan produk kakao
Indonesia sangat rendah di pasar internasional (terkena diskon USD200/ton atau 10%-15%
dari harga pasar). Selama ini kurangnya ketertarikan serta minat para petani / produsen
untuk menghasilkan kakao fermentasi disebabkan karena kurangnya insentif yang
diberikan oleh pembeli terhadap biji kakao hasil fermentasi (Direktorat Jenderal
Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian,2009).
Selain itu, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10% untuk setiap penjualan
komoditas kakao di dalam negeri sedangkan ekspor kakao sama sekali tidak dikenai PPN
sehingga menjadikan petani kakao kita lebih senang mengekspor kakao ke luar negeri
seperti, Malaysia dan Singapura. Hal ini sangat merugikan industri pengolahan kakao
nasional. Terbukti dengan semakin turunnya jumlah perusahaan pengolahan kakao
nasional dari 14 perusahaan yang tersebar di seluruh Indonesia, sekarang hanya menjadi
4 perusahaan. Untuk mengatasi permasalahan PPN pemerintah menerapkan kebijakan
pajak ekspor kakao, dimana setiap penjualan kakao ke luar negeri akan dikenai pajak
ekspor sebesar 30%. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi industri kakao nasional dari
kekurangan pasokan kakao.
B. Kebijakan Komiditi Kakao Di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan kebijakan selama ini tentang sistem
kakao nasional masih belum efektif, ditinjau dari segi perolehan petani yang masih belum
maksimal karena masih terdapat permasalahan seperti kualitas kakao yang buruk, dan
produktivitas yang rendah. Peranan produk kakao masih belum maksimal terutama untuk
industri kakao olahan, akibat adanya penerapan kebijakan PPN bagi petani.
Skenario kebijakan yang efektif dan cukup mampu meningkatkan perolehan petani adalah
dengan meningkatkan produktivitas kakao yang antara lain pembiayaan untuk penangan
hama PBK, rehabilitasi tanaman tua, intensifikasi pertanian, penggunaan bibit unggul,
teknologi pertanian. Disamping itu pembiayaan perbaikan kualitas kakao yang
diantaranya fermentasi biji kakao dan pengembangan SDM juga efektif dalam
meningkatkan perolehan petani kakao. Hal ini terbukti dengan meningkatnya perolehan
petani yang mencapai lebih dari 50 juta rupiah.
Skenario dengan pembiayaan insentif bagi petani yang menjual produksi kakaonya ke
industri dalam negeri mampu meningkatkan kapasitas terpasang pabrik pengolahan kakao
dan ekspor kakao olahan menjadi 600 ribu ton pertahun. Dengan demikian Indonesia
mampu meningkatkan nilai tambah produk kakao 3 kali lipat dalam 10 tahun ke depan.
Sedangkan, olahan kakao nasional mendapatkan market share sebesar 12% dari
keseluruhan total produksi dunia.
DAFTAR PUSTAKA
Hutahean, Lintje, Conny N. Manopo, dan Syamsul Bachri. 2005. Perbaikan Budidaya
Tanaman Kakao dan Penguatan Kelembagaan Petani di Dataran Menengah Palopo.
Prosiding Seminar Nasioanal Pengembagan inovasi pertanian lahan marginal.
Nurasa, Tjetjep dan Chairul Muslim. Perkembangan kakao Indonesia dan dampak
eskalasi tarif dipasaran dunia: kasus Kabupaten Kolaka ,Provinsi Sulawesi selatan.
Tim Tanaman Perkebunan Besar. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis
Kakao di Indonesia. Badan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian.
Zulfebriansyah, Dinie Suryani. 2007. Komoditas Kakao: Potret Peluang dan Pembiayaan.