Anda di halaman 1dari 8

2.2.

Nyeri

1. Definisi

Nyeri merupakan pengalaman multidimensi yang tidak menyenangkan akibat

kerusakan jaringan. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial atau yang

digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut (Apriana, 2017).

Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat

sangat subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala ataupun

tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi

rasa nyeri yang dialaminya (Aisyah, 2017).

Nyeri merupakan fenomena multidimensional sehingga sulit untuk didefinisikan.

Nyeri merupakan pengaaman personal dan subjektif,dan tidak ada dua individu yang

merasakan nyeri dalam pola identik. Nyeri dapat didefinisikan dengan berbagai cara.

Nyeri biasanya dikaitkan dengan beberapa jenis kerusakan jaringan, yang merupakan

tanda peringatan, namun pengalaman nyeri lebih dari itu. International Association For

The Study Of Pain (IASP) memberikan definisi medis nyeri yang sudah diterima sebagai

“pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan

kerusakan jaringan, aktual ataupun potensial, atau digambarkan sebagai kerusakan yang

sama” (Black dan Hawks, 2014).

2. Patofisiologi Nyeri

Munculnya nyeri berkaitan erat dengan reseptor dan adanya rangsangan.

Reseptor nyeri tersebar pada kulit dan mukosa dimana reseptor nyeri memberikan

respon jika adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa zat
kimia seperti histamine, bradikinin, prostaglandin dan macam-macam asam yang

terlepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan akibat kekurangan oksigen.

Stimulasi yang lain dapat berupa termal, listrik, atau mekanis (Apriana, 2017). Nyeri

dapat dirasakan jika reseptor nyeri tersebut menginduksi serabut saraf perifer aferen

yaitu serabut A-delta dan serabut C. Serabut Adelta memiliki myelin, mengimpulskan

nyeri dengan cepat, sensasi yang tajam, jelas melokalisasi sumber nyeri dan

mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C tidak memiliki myelin, berukuran sangat kecil,

menyampaikan impuls yang terlokalisasi buruk, visceral dan terus-menerus (Potter &

Perry, 2015).

3. Klasifikasi Nyeri

Potter & Perry (2015)mengatakan bahwa berdasarkan lama keluhan atau waktu

kejadian, nyeri dibagi menjadi :

a. Nyeri Akut

Nyeri akut disebbabkan oleh aktivasi nosiseptor, biasanya berlangsung dalam

waktu yang singkat (kurang dari 6 bulan), dan memiliki onset yang tiba-tiba, seperti

nyeri insisi setelah operasi. Nyeri jenis ini juga dianggap memiliki durasi yang terbatas

dan bisa diduga, seperti nyeri pasca operasi, yang biasanya menghilang ketika luka

sembuh. Klien menggunakan kata-kata seperti “tajam”, “tertusuk”, dan “tertembak”

untuk mendiskripsikan nyeri akut.

b. Nyeri Kronik

Nyeri kronis biasanya dianggap sebagai nyeri yang berlngsung lebih dari 6 bulan

(atau 1 bulan lebih dari normal dimasa-masa akhir kondisi yang menyebabkan nyeri)

dan tidak diketahui kapan akan berakhir kecuali jika terjadi penyembuhan yang
lambat, seperti pada luka bakar. Nyeri kronis dapat dimulai sebagai nyeri akut atau

penyebabnya dapat sangat tersembunyi sehingga individu tidak mengetahui kapan

nyeri tersebut pertama kali muncul. Lamanya nyeri kronis dihitung berdasarkan nyeri

yang dirasakan dalam hitungan bulan atau tahun, bukan menit atau jam.

c. Nyeri kutaneus/superficial: Nyeri mudah dilokalisir, serta dapat dirasakan pada

seluruh permukaan tubuh klien

d. Nyeri somatis dalam: Nyeri biasanya bersifat menyebar.

e. Nyeri visceral: Nyeri pada bagian viscera abdomen. Penyebab nyeri viceral adalah

semua rangsangan yang dapat menstimulasi ujung saraf nyeri didaerah visceral.

4. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Abiyoga (2016) mengatakan bahwa reaksi kliaen terhadap nyeri sangat personal dan

memberikan variasi terhadap pengalaman nyeri terhadap individu, berikut faktor-

faktor yang mempengaruhi nyeri:

a. Persepsi nyeri

Persepsi nyeri, atau interpretasi nyeri merupakan komponen penting dalam

pengalaman nyeri.

b. Faktor sosialbudaya

Ras, budaya dan etnik merupakan faktor penting dalam respon individu terhadap

nyeri. Faktor-faktor ini memengaruhi seluruh respon sensori, termasuk respon

terhadap nyeri. Kita belajar bagaimana respon nyeri dan pengalaman lainnya dari

keluarga dan kelompok etnik. Respon terhadap nyeri cenderung merefleksikan moral

budaya kita masing-masing.

c. Usia
Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri. Terdapat beberapa variasi

dalam batas nyeri yang dikaitkan dengan kronologis uia, namun tidak ada bukti

terkini yang berkembang secara jelas. Individu dewasa mungkin tidak melaporkan

adanya nyeri karena takut bahwa hal tersebut mengindikasikan diagnosis yang buruk.

Nyeri juga dapat berarti kelelahan, kegagalan atau kehilangan kontrol bagi orang

dewasa.

d. Jenis kelamin

Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang signifikan dalam respon nyeri, pria lebih

jarang melaporkan nyeri dibandingkan wanita. Meskipun demikian, pemberi layanan

kesehatan yang memiliki nilai untuk bertahan dari nyeri tanpa mengeluh akan melihat

wanita sebagai “tukang mengeluh” dan mungkin mengabaikan atau menyepelekan

ekspresi nyeri mereka. Baik laki-laki maupun perempuan dapat merasakan

pengalaman nyeri yang tidak perlu jika perawat tidak menyadari adanya bias gender

dalam mengekspresikan nyeri.

e. Keletihan

Rasa kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan menurunkan

kemampuan koping. Hal ini dapat menjadikan masalah umum pada setiap individu

yang menderita penyakit dalam jangka lama. Apabila keletihan disertai kesulitan

tidur, maka persepsi nyeri bahkan dapat terasa lebih berat lagi. Nyeri seringkali lebih

berkurang setelah individu mengalami suatu periode tidur yang lelap di banding pada

akhir yang melelahkan.


5. Manajemen Nyeri

a. . Manajemen nyeri non farmakologis

Stimulasi pada area kulit cutaneus stimulation (counter stimulation)

merupakan istilah yang digunakan dalam manajemen nyeri secara non farmakologis

sebagai salah satu teknik yang dipercaya dapat meningkatkan opioid endogen,

sebuah sistem analgesik monoaminayang dapat menurunkan intensitas nyeri.

Berikut ini adalah beberapa teknik manajemen nyeri non farmakologi menurut

Zakiyah (2016), yaitu :

1) Pemberian kompres panas dan dingin

Terapi kompres dingin dan panas bekerja dengan stimulasi reseptor tidak nyeri

(non-nosiseptor) dalam reseptor yang sama seperti pada cedera.

2) Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS)

Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) adalah salah satu alat

yang digunakan untuk menurunkan nyeri dengan menggunakan gelombang

bifasik melalui elektroda pada kulit, umumnya berupa stimulator mesin kecil

yang dioperasikan dengan baterai arus keluaran 0-50 mA.

3) Masase

Masase adalah melakukan tekanan dengan menggunakan tangan pada jaringan

lunak, biasanya otot, tendon, atau ligamentum tanpa menyebabkan gerakan

atau perubahan posisi sendi yang ditunjukan untuk meredakan nyeri,

menghasilkan relaksasi, dan memperbaiki sirkulasi.


4) Acupressure

Acupressure adalah penekanan-penekanan pada titik pengaktif (trigger point),

dimana dalam hal nyeri titik pengaktif adalah sama dengan titik akupuntur.

5) Distraksi

Distraksi merupakan strategi pengalihan nyeri yang memfokuskan perhatian

klien ke stimulus yang lain daripada terhadap rasa nyeri dan emosi negatif.

6) Relaksasi

Teknik relaksasi merupakan metode yang dapat digunakan untuk menurunkan

kecemasan dan ketegangan otot (muscle tension)

7) Reframing

Reframing merupakan teknik yang mengajarkan tentang cara memonitor atau

mengawasi pikiran negatif dan menggantinya dengan salah satu pikiran yang

lebih positif.

b. Manajemen nyeri farmakologis

Semua obat yang mempunyai efek analgesik biasanya efektif untuk mengatasi

nyeri. Hal tersebut dimungkinkan karena nyeri akan mereda atau hilang seiring dengan

laju penyumbatan jaringan yang rusak atau sakit. Penatalaksanaan nyeri secara

farmakologi melibatkan penggunaan opiat (narkotik), nonopiat/obat anti-inflamasi

non-steroid (AINS), obat-obat adjuvant atau ko-analgetik. Secara garis besar strategi

farmakologi dalam pemberian terapi analgesik. Secara garis besar strategi farmakologi

dalam pemberian terapi analgesik mengikuti WHO Pain Relief Ladder.

Berdasarkan aksinya, obat-obat analgesik dibagi menjadi dua golongan :


1) Analgesik non-opioid

Obat-obatan dalam kelompok ini memiliki target aksi pada enzim, yaitu enzim

siklooksigenase (COX). Enzim COX berperan dalam sintesis mediator nyeri,

salah satunya adalah prostaglandin. Mekanisme umum dari analgesik jenis ini

adalah memblokir pembentukan prostaglandin dengan jalan menginhibisi enzim

COX pada daerah yang terluka, shingga mengurangi pembentukan mediator

nyeri. Macam-macam obat analgesik non-opioid diantara lain : asetamiinofen,

aspirin, celecoxib, diclofenac, etodolac, fenoprofen, flurbiprofen, ibuprofen,

indomethacin, ketoprofen, meclofenamate, mefanamic acid, nabumetone,

napraxone, oxaprozine, oxyphenbutazone, phenylbutazone, piroxicam, rofeco

xib, sulindac, tolmetin.

2) Analgesik opioid

Analgesik opioid ini merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat efektif

untuk mengatasi nyeri yang hebat. Anakgesik mempunyai daya penghalang

nyeri yang sangat kuat dengan titik kerja yang terletak disusunan saraf pusat

(SSP). Umumnya dapat mengurangi kesadaran dan menimbulkan perasaan

nyaman (euforia). Macam-macam obat analgesik opioid diantara lain :

alfentanil, benzonatate, buprenorphine, butorphanol, codeine,

dextramethorphan, dezocine, difenoxin, dihydrocodeine, diphenoxylate, fentanyl,

heroin hydrocodone, hydromorphone, LAAM, levopropoxyphene, levorphanol

loperamide, meperidine, methadone, morphine, nalbuphine, nalmefere,

naloxone, naltrexone, noscapine, oxycodone, oxymorphone, pentazocine,

propoxyphene, sufentanil (Abbaszadeh, 2017).


2. Intensitas Nyeri

Skala intensitas nyeri dan tipe nyeri menurut Potter & Perry (2015):

0 : Tidak nyeri.

1-3 : Nyeri ringan (klien dapat berkomunikasi dengan baik)

4-6 : Nyeri sedang (klien mendesis, menyeringai, dapat mendeskripsikan nyeri, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, serta dapat mengikuti perintah dengan baik).

7-9 : Nyeri berat (klien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih respon

terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikan,

serta tidak dapat diatasi dengan nafas panjang atau distraksi).

10 : Nyeri sangat berat (Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi dan hanya

menggunakan gerakan memukul.

Anda mungkin juga menyukai