Anda di halaman 1dari 6

Perkara Ngeloco Bikin Umur Panjang

Published on September 23, 2016 in Cerita Pendek by Gunawan Tri Atmodjo

/1/ Cinta Segi Empat

Ngeloco adalah ujud kasih sayang dan derma bakti yang agung kepada diri sendiri.

Setelah merapal mantra itu, kututup pintu kamar. Kukeluarkan gambar Kalis Mardiasih, artis
idolaku dalam pose yang bersahaja dari balik tumpukan baju di lemari lalu menatanya
sedemikian rupa di ranjang. Gambar itu kugunting dari kalender toko mas langganan ibuku.
Kutatap gambar itu sebagai pemanasan. Setelah merasa cukup, segera kulepas celanaku.
Kuambil losion beraroma kerang, mengeluarkan isinya, lalu mengoleskannya pelan-pelan. Aku
sangat suka aroma kerang dan segala yang berbau lautan, membuatku lebih terangsang, sama
halnya dengan aroma minyak ikan yang menjadi aroma parfum favoritku. Kemudian aku
memulai ritual senyap sembari mengimajinasikan gambar idolaku itu. Mataku akhirnya
terpejam….

Bajingan.

Yang terlintas saat aku klimaks justru wajah Trijoko, lelaki komunis yang pernah beruntung
memacari artis idolaku itu. Ia adalah noda bagi ritual ngelocoku barusan. Aku jadi makin benci
kepadanya. Tapi tak apa, yang penting beban berahi sudah keluar semua. Dunia jadi lebih cerah.
Tubuhku jadi lebih enteng. Segera kuberesi perkakas ngelocoku dan kubersihkan jejak yang
tersisa.

Aku agak kaget ketika dari kolong ranjang keluar kucingku. Sudah beberapa kali ia menjadi
saksi hidup ritual ngelocoku tapi aku selalu memaafkan perbuatannya yang tercela itu karena ia
selalu aman menyimpan rahasia. Kugendong kucing jantan berbelang kelabu itu lalu
menidurkannya di ranjangku. Andai saja kucing ini bisa ngeloco, tentu ia tak perlu repot-repot
berburu kucing betina. Tak akan ada persetubuhan liar di malam hari yang luar biasa gaduh,
yang membuat manusia naik darah dan berhasrat membunuh sepasang kucing yang sedang
diamuk berahi.

/2/ Perempuan Munafik

Ngeloco yang baik tidak melibatkan bayangan mantan.

Pantangan terbesarku saat menggelar ritual ngeloco adalah membayangkan sosok mantan.
Dengan kata lain, ngelocoku harus suci dari kenangan. Aku akan bercerita sedikit tentang sosok
mantanku, satu-satunya perempuan laknat yang menodai hidupku yang bahagia.

Aku benci mantanku yang sok suci itu. Dia tahu kebiasaanku ngeloco. Dia tidak suka. Dia
melarangku melakukannya tapi tidak memberiku kompensasi apa-apa. Misal, dibelikan
mendoan. Dia hanya ceramah dan terus ceramah. Dia mengatakan bahwa ngeloco itu perbuatan
setan dan memberiku doa-doa pendek yang harus kuhafal ketika keinginan untuk ngeloco sedang
menggebu-gebu. Aku menurutinya karena aku mencintainya meskipun dia tak pernah
mengizinkan aku menciumnya. Dia hanya memperbolehkanku menggenggam tangannya. Itu pun
saat suasana sepi. Sesungguhnya dengan menggenggam tangannya saja aku sudah senang dan
membuatku lumayan jenggirat.

Sering kubayangkan tubuh pacarku itu yang meski tidak bagus-bagus amat tapi cukup
menggairahkan. Dia adalah kombinasi maut antara sosok Ellya Khadam dan Ida Royani dalam
versi religius. Dia menawan dan melenakan seperti lagu dangdut tahun 80-an meskipun dia juga
tak terjamah dalam kesalihannya. Terkadang, saat dorongan berahiku memuncak, sedangkan
untuk menggenggam tangannya pun tak ada kesempatan, aku menuntaskannya dengan ngeloco
sembari membayangkannya. Celakanya, selalu saja, setelahnya, aku dihantui rasa bersalah
kepadanya. Aku seperti telah berkhianat dari wasiat takwanya. Aku merasa seperti berselingkuh
dengan diriku sendiri. Sebagai penebusnya, setelah bersuci, aku membaca doa-doa pendek yang
dicatatkannya. Ketika bertemu dengannya lagi, sembari membacakan satu doa pendek yang
sudah kuhafal, aku membatin maaf untuknya dan merasa kian dalam mencintainya.

Sayang, usia asmara kami tak bertahan lama. Setelah rentetan kejanggalan yang kurasakan dan
kekerapan bertemu yang kian renggang, hubungan kami berakhir. Pacarku meminta putus. Tentu
saja aku tak terima tapi aku bisa apa. Aku patah hati dan kecewa serta dicekam tanda tanya
mengenai alasan keputusannya. Aku menderita sedih berkepanjangan. Aku kehilangan banyak
kantuk dan terancam menjadi penderita insomnia akut. Kadang, ayan. Aku kehilangan rasa lapar
dan memutuskan menjalankan puasa sunah berkepanjangan. Aku jadi lebih mendekatkan diri
kepada Ilahi.

Sebulan setelah putus, lewat kawan kami, aku memperoleh kabar bahwa mantan pacarku itu
akan segera melangsungkan pernikahan dengan guru ngajinya. Pernikahan ini tak terelakkan
karena mantan pacarku itu kadung mengandung benih guru ngajinya. Sontak aku meradang saat
mendengar berita ini, tapi aku bisa apa selain membakar semua doa-doa pendek yang pernah
dicatatkannya untukku. Aku mengumpat secara maraton selama hampir dua jam. Setiap
mengingat berbagai wasiat takwanya dan juga larangannya terhadap ritual ngelocoku, kebencian
dan kemarahanku jadi berlipat ganda. Kulanjutkan dengan mencaci-makinya beserta guru
ngajinya dalam hati selama dua puluh lima menit. Jadi, totalnya dua jam dua puluh lima menit.

Setelah puas berkata-kata kotor aku pun merasa lapar dan setelah makan kenyang aku merasa
mengantuk lalu tertidur pulas selama hampir empat jam. Kiranya segala umpatan dan caci maki
itu telah mengembalikan porsi lapar dan kantukku seperti sedia kala. Begitu bangun aku segera
mengambil perlengkapan ngelocoku: poster Kalis Mardiasih beserta losion beraroma teripang.
Aku segera ngeloco dan begitu klimaks datang, aku merasa dilahirkan kembali seperti orang suci
yang terberkati. Segala dendam dan kebencian pupus sudah.

Akan tetapi, rupanya perasaan penuh belas kasih itu tidaklah permanen. Dendam dan kebencian
kepada mantan itu tumbuh lagi setelah dua jam dan detik itu pula aku berjanji pada diriku sendiri
akan membersihkan sosoknya demi kesucian ritual ngelocoku.
Setelah kejadian itu, aku jadi merasa begitu akrab dengan kata munafik. Begitu terlintas
bayangan mantanku itu, secara spontan bibirku akan mendesis, “Perempuan munafik!”

Kebiasaan menyebalkan ini berlangsung sekitar tiga bulan dan baru sembuh setelah lima kali
kudengarkan lagu Ikke Nurjanah yang berjudul “Munafik”, yang di dalamnya terdapat lirik, “Itu
munafik namanya. Itu munafik namanya.”

/3/ Jodoh Berdasarkan Serat Gindus

Karena tak ada yang lebih setia daripada diriku sendiri, maka aku ngeloco.

Ketika patah hati aku sempat berkeyakinan bahwa aku tak akan jatuh cinta lagi. Cintaku sudah
habis digarong oleh mantan sialan itu. Aku akan mengingat baik-baik luka dan pedih ini. Lebih
baik aku sendiri dan bisa ngeloco sepuas hati. Aku sempat berpikiran untuk menjalani hidup
selibat. Akan tetapi, kenyataannya keyakinan itu hanyalah ilusi perasaan belaka. Waktu dengan
cekatan menyembuhkan segala luka dan membugarkan kembali diriku untuk sebuah petualangan
cinta yang baru.

Ilahi memberiku waktu patah hati selama dua tahun tiga bulan dan sebelas hari sebelum
memulihkannya kembali. Sosok perempuan yang dikirimkan-Nya itu bernama Mariati Sumeh.
Aku tak segan menyebut nama aslinya karena kelak perempuan ini akan menjadi istriku dan setia
mendampingi sepanjang hidup. Sesuai namanya, dia adalah sosok perempuan ceria. Sumeh
dalam bahasa Jawa berarti murah senyum. Sebuah wajah yang cocok dijadikan milik umum.
Dalam kondisi apa pun, dia senantiasa tampak girang. Wajah Mariati berandil besar dalam
meriangkan semesta di sekelilingnya. Senyum itu menular kepada kami, rekan-rekan kerjanya.
Jika ada ketegangan di lingkungan kerja, Mariati-lah yang berandil besar mencairkannya. Aku
sendiri tak pernah tahu apakah Mariati ini pernah sedih atau marah karena air mukanya selalu
stabil menghibur. Tetapi, satu hal yang pasti, keberadaan Mariati patut disyukuri. Terpujilah
kedua orang tua Mariati yang telah mensponsori kehadirannya di dunia ini.

Sejarah mencatat awal hubunganku dengan Mariati Sumeh terjadi di toilet kantor. Ada dua toilet
di kantor itu, satu untuk cowok dan satu untuk cewek, letaknya berdekatan. Aku menggunakan
toilet cowok dan ngeloco di sana di sela-sela jam kerja bila suntuk menghadapi beban kerja yang
menumpuk. Biasanya, setelah ngeloco aku merasa lebih segar, kinerjaku jadi lebih cepat dalam
merampungkan berkas-berkas pengiriman cumi-cumi ke pelosok negeri yang menjadi bidang
usaha perusahaan ini. Jadi, ngeloco merupakan bagian dari kinerjaku.

Aku keluar kamar mandi dengan wajah berseri-seri. Dari samping kudengar panggilan Mariati.
Rupanya dia sudah tidak kuat menahan air seni sedangkan kamar mandi cewek antre. Dia masih
sempat berseloroh bahwa mungkin ada yang sedang krimbat di kamar mandi cewek sebelum
memintaku menungguinya di luar. Aku berjaga sembari menyimak baik-baik segala aktivitasnya
di kamar mandi. Begitu keluar, wajah Mariati tampak lebih sumringah dari sebelumnya. Kukira
ini karena hajat kecilnya telah tuntas. Ternyata aku keliru. Dia mendekatiku dan berbisik, “Anak-
anakmu belum berenang semua. Ada yang masih mangkrak di samping pispot. Tapi tenang saja,
aku sudah menyentornya. Kini mereka sedang otewe menuju samudra raya.”
Dia pergi dan aku tersipu malu. Aku menyesali keteledoranku. Di tengah penyesalan, tiba-tiba
aku teringat salah satu kalimat dalam Serat Gindus anggitan Gusti Raden Ayu Turuk Kinasih
yang terjemahannya kira-kira berbunyi: perempuan baik-baik yang telah melihat air manimu
akan menjadi jodohmu. Serat itu adalah bagian dari koleksi buku-buku langka bapakku. Aku
mencuri-curi baca serat itu karena bapakku memasukkannya ke kategori buku terlarang. Pada
saat itulah kiranya aku merasakan keterhubungan gaib dalam takdir hidup kami. Mariati Sumeh
adalah patahan tulang rusukku yang ketlingsut.

Ketika aku mengungkapkan penerawanganku ini, Mariati hanya tersenyum. Ketika aku
menyatakan perasaanku kepadanya, dia hanya tersenyum. Ketika aku berniat mendatangi
rumahnya di malam Minggu, dia hanya tertawa. Duniaku berjalan semanis senyumnya. Aku tak
tahu pasti apakah kami sudah resmi menjadi sepasang kekasih atau belum. Ada masa di mana
segalanya mengambang. Aku mencintainya dengan hanya berpegang pada senyumnya yang
kadang misterius.

Setelah melewati fase abu-abu sekitar sepuluh pekan, akhirnya kepastian itu datang juga. Di pagi
hari yang akan kukenang sepanjang hidup, Mariati memberiku dua keping DVD bajakan berisi
film “Don Jon” dan “Malena”. Dia memintaku menonton kedua film itu. Sepulang kerja aku
buru-buru memutar kedua film itu, tetapi belum juga memasukkannya ke pemutar DVD Mariati
meneleponku dan memintaku membawa kedua film itu ke rumahnya.

Aku bergegas ke rumahnya. Di depan pintu, Mariati telah menungguku. Dandanannya bersahaja
tapi menggoda iman. Rupanya rumah itu sepi. Kedua orang tua Mariati pergi ke Trenggalek
untuk mengikuti turnamen lovebird tingkat nasional. Kami jadi leluasa menonton film bersama
di ruang tamu. Kami menonton “Malena” pada kesempatan pertama. Aku langsung jatuh hati
pada film ini, terutama pada adegan saat si tokoh utama, seorang remaja pria ngeloco dengan
berkerudungkan sempak Malena, perempuan dewasa yang dipujanya secara diam-diam. Saking
menghayati ritual ngeloconya, remaja pria itu terlalu semangat mengocok sehingga ranjangnya di
lantai atas berkereotan dan membangunkan ayahnya di lantai bawah. Kedua lantai itu hanya
dipisahkan papan kayu. Sontak sang ayah meradang lalu menghajarnya, serta mendakwanya
sedang kesurupan setan sembari mengatakan bahwa kebanyakan ngeloco akan membuat matanya
buta.

“Don Jon” ternyata juga film tentang kebiasaan ngeloco. Film ini makin memanas ketika Mariati
merapatkan tubuhnya kepadaku dan dengan sepenuh perasaan menggerayangiku. Aku menerima
segala perlakuannya itu dengan tidak merasa terpaksa sama sekali. Aneh! Puncaknya adalah
ketika Mariati melocokan aku. Aku pasrah dalam haribaan kebahagiaan. Dan, ketika aku hendak
melakukan hal serupa kepadanya, Mariati menolak.

Begitulah, setelah kejadian itu kami resmi berpacaran. Kenangan akan ciuman pertama raib
disapu ingatan akan ngeloco bersama pertama. Mulai saat itu agenda ngelocoku sering kali
mengandalkan jasa ketelatenan tangan Mariati. Aku mensyukuri kenyataan bahwa Mariati sama
sekali tak keberatan dengan ritual ngelocoku. Dia selalu ada dan tak jemu menawarkan diri.
Tepatnya, tangan. Meskipun berada di puncak gairah, kami tetap tahu batas. Keperawanan
Mariati resmi kurenggut setelah dia resmi menjadi istriku. Dan keperjakaanku, selain kuserahkan
kepada losion beraroma lautan dan tanganku sendiri, hanya kupasrahkan kepadanya.
/4/ Menulis Epitaf

Ngeloco itu abadi.

Ternyata kebiasaan ngelocoku ini tak berhenti meski aku sudah menikah dan punya anak. Dan,
Mariati masih seperti dulu. Baginya, perkara seks dan pemuasannya adalah pilihan. Dia selalu
memberi penawaran kepadaku, apakah ingin menuntaskan hasrat dengannya atau lewat tanganku
sendiri. Aku melakukan keduanya secara bergantian. Biar adil. Bukankah sebagai lelaki aku
harus bisa adil? Ketika sedang menstruasi, Mariati jadi lebih perhatian. Dialah yang memberiku
losion beraroma rumput laut dan mengeluarkan kembali poster lawas Kalis Mardiasih dari
persembunyiannya. Setelah itu dia kembali menawarkan bantuan tetapi jika aku ingin
menuntaskan hasratku sendirian, dia akan memberiku kesempatan. Dia menemanimu sembari
tersenyum manis. Betapa bahagianya memiliki istri sepertinya.

Bagi Mariati, hal ini tentu lebih baik ketimbang aku harus jajan lonte atau berselingkuh. Dia
pernah mengatakannya. Dengan memberi kebebasan ngeloco kepadaku dan menyediakan
perlengkapannya, dia menggaransi kesetiaanku. Aku meneken perjanjian batin ini dan
bersumpah bahwa seumur hidupku hanya akan penetrasi di gua garba satu wanita ini.

Kupikir aku akan lebih sering ngeloco di masa tua karena Mariati akan tiba ke masa menopause
tapi ternyata aku keliru. Aku divonis dokter menderita penyakit jantung di usia yang relatif
muda, yakni paruh empat puluhan. Kedua anakku baru sekolah di tingkat SMP dan SMA.
Kemungkinan besar aku akan berpulang lebih cepat ketimbang mereka. Aku senantiasa terteror
dengan keadaan ini dan berusaha kuredakan dengan mempergencar ritual bercinta dan ngeloco
dengan Mariati.

Mariati tahu betul apa yang aku pikirkan. Dia juga merasakan kecemasanku. Dan, di suatu
malam setelah bercinta dia membisikkanku sebuah cara yang dipercayanya dapat mengusir rasa
takut kepada kematian. Kami sepakat untuk menertawakan kematian.

Keesokan harinya, kami sepakat mengambil cuti kerja dan pergi ke toko perlengkapan
pemakaman. Kami melihat-lihat batu nisan. Aku menyentuh tekstur nisan yang terbuat dari batu
kali, keramik, dan marmer, lalu duduk-duduk di atasnya dan Mariati menjejeriku. Tak ada
kesedihan. Aku merasa sangat dekat sekaligus merasakan hangatnya kematian. Kubisikkan nisan
yang kupilih kepada Mariati dan Mariati juga melakukan hal serupa. Sebelum pulang, kami
membeli kayu penanda pusara beserta cat untuk menulisinya.

Sesampai di rumah, Mariati menyerahkan cat dan kayu penanda pusara itu kepadaku. Dia
memintaku memulai terlebih dahulu menulis apa saja di kayu itu dan akan dia tancapkan di
pusaraku kelak. Jika pusara itu diganti nisan, tulisan pada kayu itu akan disalin ke batu nisan.

Dengan gemetar kutulis epitafku sendiri pada kayu penanda pusara itu beserta nama lengkapku:

telah ngeloco dengan tenang di alam baka

Rudolf Lakang
Mariati tersenyum seperti biasa tetapi matanya basah dan air matanya meleleh di pipi saat
membaca epitafku itu. Aku memeluknya erat dan berbisik ke telinganya dengan penuh
keyakinan bahwa hidupku masih akan lama. Rajin ngeloco akan membuatku panjang umur.

Solo, 2016

http://basabasi.co/perkara-ngeloco-bikin-umur-panjang/

Anda mungkin juga menyukai