Anda di halaman 1dari 21

Kesehatan Jiwa Remaja/ Adolescent Mental Health

Kesehatan Jiwa Remaja


(Sumber/ source :Sukiat.1992.Kumpulan Materi Kesehatan Remaja (KRR). Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.)
(Rewritten by Dimas Erda Widyamarta: www.ithinkeducation.blogspot.com)
A.     Pendahuluan
Apabila kita berbicara tentang masa remaja atau adolesensi, maka biasanya setiap orang merasa
mampu ikut berbicara dan berpendapat dirinya kompeten untuk memberikan komentar terhadap masalah
ini. Memang setiap orang dewasa pernah mengalai masa remaja dan banyak orang tua mempunyai anak
remaja yang masih sedang dalam atau melampaui masa remaja.
Namun demikian, banyak pula orang merasakan bahwa mereka kurang mengerti akan perilaku anak remaja
masa kini. Orang dewasa sekarang biasanya berpendapat bahwa mereka mempunyai masa remaja yang
berlainan dengan remaja kini. Ini mengakibatkan terjadinya communication gap antara orang dewasa dan
anak remaja. Hal ini tidak perlu mengheranka, karena sejarah memperlihatkan bahwa keadaan demikian
acapkali terjadi, yaitu kurangnya ada pengertian antara orang dewasa dan remaja.
            Masa remaja adalah fase kehidupan mausia antara masa anak dan dewasa. Dalam periode hidup ini
terjadi perubahan anatomis dan biologis, disertai dengan perubahan dalam aspek mental. Terjadilah proses
maturasi biologik disertai proses maturasi psikologik. Pada umumnya proses maturasi biologik berjalan lebih
cepat daripada proses maturasi psikologik. Dengan demikian potensi terjadinya komplik dalam diri anak
remaja cukup besar. Berdasarkan kriteria biologik remaja dapat digolongkan dewasa, tetapi secara mental dia
sebenarnya masih sedang mencari diri.
            Menurut penelitian, hanya manusialah antara makhluk hidup yang memiliki masa remaja. Diduga
bahwa hal ini disebabkan oleh karena manusia mempunyai masa maturasi yang lama dibandingkan dengan
makhluk lainnya. Lagipul manusia mempunyai suatu kehidupan batin (inner life) yang tidak dimiliki oleh
makhluk atau hewan lain. Dengan demikian dapat dianggap bahwa masa remaja yang dialami oleh setiap
orang mengandung ciri yang lebih bersifat psikologik-kultural dari pada biologik.
Kita semua mengetahui bahwa agar seorang sehat, dia seharusnya sehat secara jasmaniah, mental
dan sosial. Biasanya perkembangan biologik antara anak remaja berjalan dengan cukup baik dan teratur.
Regulasi hormonal di dalam tubuh dengan peningkatan testoteron dan esterogen pada remaja laki dan
wanita, umumny tidak banyak mengalami kesukaran. Keadaan menjadi berlainan bila ditinjauh
perkembangan jiwa remaja dari anak ke orang dewasa. Masa remaja merupakan masa perkembangan jiwa
yang besar dan oleh karenanya termasuk masa yang rawan. Dalam masa perkembangan jiwa ini para remaja
sangat relan terhadap stres, frustasi dan konflik. Bahkan perkembangan disertai dengan banyak hambatan
pada anak remaja, agaknya lebih sering ditemukan dibandingkan dengan perkembangan yang lancar dan
tanpa hambatan. Stres, frustasi dan konflik bukan saja meliputi masalah internal( psikologi) tetapi jugam
asalah eksternal (sosial kultural).
            Walaupun remaja mengalami gejolak mental yang besar yang membuatnya mudah memperlihatkan
perilaku yang tampaknya menyimpang dari perilaku normal. Perilaku ini masih harus dikategorikan dalam
perilaku normal untuk para remaja. Acapkali kurang dapat dimengerti perilaku mana yang normal, yang mana
lagi yang abnormal pada remaja.perlu diingat bahwa masa remaja adalah kelanjutan dari proses maturasi
yang sudah dimulai pada waktu anak. Dapat dikatakan bahwa masa remaja adalah “kesempatan akhir” bagi
seorang untuk mencapai maturasi mental yang optimal. Dalam kesempatan akhir ini maturasi harus
diselesaikan dengan baik. Dalam proses dinamik ini beberapa ciri dapat dikemukakan sebagai ciri remaja yang
normal sebagai berikut:
a.       Tidak ada gangguan psikopatologi yang kuat, cacat fisik atau penyakit fisik yang parah
b.      Mampu untuk mengatasi “tugas” perkembangannya.
c.       Mampu untuk mengekspresi perasaannya dengan luwes serta mencari penyelesaian yang aktif dari
konfliknya.
d.      Dapat membina suatu hubungan yang baik dengan orang tua, saudara dan teman
e.       Merasa menjadi sebagian dari suatu lingkungan budaya tertentu serta sadar akan norma dan nilai dalam
lingkungan itu.
Jelaslah bahwa kriteria remaja yang sehat dan normal sebagaimana tertera di atas merupakan
kriteria berdasarkan konsep yang idealistik. Namun demikian, sebagai patokan yang praktis dapat dilihat
apakah perkembangan remaja berlalu dengan cukup 
“lancar” dan apakah ia dapat mengatasi hambatan dan frustasi dengan tanpa mengalami kesukaran banyak.

B.     Pembagian Masa Remaja


Menurut Setyanegara, 1978, dibagi dalam dua kelompok yaitu:
1.      Usia remaja Muda (12-15 tahun)
Ciri tertetnu terdapat pada kelompok usia remaja muda sebagai berikut:
a.       Protes terhadap orang tua. Remaja dalam usia ini cenderung tidak menyetujui nilai hidup orang tuanya.
Mereka berusaha mencari identitas diri dan sering disertai dengan menjauhkan diri dari orang tuanya. Dalam
upaya mencari identitas diri, remaja sering menoleh kepada tokoh di luar lingkungan keluarganya, yaitu guru,
figur ideal yang terdapat dalam layar perak atau tokoh publik lainnya. Namun dalam proses identifikasi diri
itu dia sering mengalami kekecewaan dan dia berganti figur ideal. Dalam masa ini dia mencari kelompok yang
senasib dan membentuk atau menjadi anggota suatu peer group.
b.      Preokupasi dengan badan sendiri. Karena tubuh seorang remaja dalam usia ini mengalami perubahan yang
cepat sekali maka dapat dimengerti bahwa perubahan pada dirinya menjadi perhatian khusus dari remaja.
Tidak jarang dapat dilihat bahwa remaja dalam usia ini berkaca berjam-jam lamanya atau sangat
memperhatikan dandanannya.
c.       Kesetiakawanan dengan kelompok seusia. Dalam upaya mencari kelompok usia senasib maka para remaja
dalam kelompok umur ini merasa adanya “keterikatan dan kebersamaan” dengan kelompok usia ini. Hal ini
menjelma dalam cara mereka berbicara, berpakaian, menggunakan bahasa sendiri, mempunyai hobi yang
sama dan sikap perilaku yang sama pula. Hal ini perlu dianggap sebagai eksternalisasi yang normal dari
kebutuhan akan ekspresi diri para remaja. Baru kalau “keterikatan dan kebersamaan” ini menjurus kepada
perilaku yang merugikan masyarakat atau merusak, perilaku ini dapat digolongkan dalam kateori patologik
atau menyimpang dari keadaan normal.
d.      Kemampuan untuk berpikir secara abstrak. Daya kemampuan ini mulai berkembang dan dimanifestasikan
dalam macam diskusi, deklamasi yang dapat mempertajam kepercayaan diri.
e.       Perilaku yang sangat labil dan berubah-ubah. Dalam masa ini remaja sering memperlihatkan perilaku yang
berubah. Pada waktu tertentu mereka tampak bertanggung jawab, pada waktu lain tampak masa bodoh dan
tidak bertanggung jawab. Perilaku yang demikian itu menunjuk bahwa dalam diri remaja terdapat kofil yang
mendalam dan yang memerlukan dan penanganan yang bijaksana.

C.     Usia Remaja Penuh (16-19 tahun)


a.       Mencapai kebebasan dari orang tua. Dorongan ini menjauhkan diri dari orang tuanya kini menjadi realitas. Ini
berarti bahwa dia mulai merasakan senangnya kebebasan tetapi juga merasakan segi yang kurang
menyenangkan. Dalam masa ini pula timbul kebutuhan remaja untuk terikat pada orang lain melalui ikatan
cinta yang stabil.
b.      Ikatan terhadap pekerjaan atau tugas. Acap kali dalam tugas masa ini remaja merasakan minat pada suatu
tugas tertentu yang dia tekuni secara mendalam. Pada kesempatan ini dapat terjadi bahwa remaja mulai
mengembangkan cita-cita yang bagi kehidupan masa depannya, yaitu mulai padanya pikiran apakah
melanjutkan sekolah atau langsung bekerja untuk mencari nafkah. Pilihan sekolah ini juga dipengaruhi oleh
tokoh panutan yang ditemukannya dalam masa ini. Dalam keadaan fasilitas dan sistem pendidikan yang
tersedia sekarang, acapkali remaja yang telah memilih dalam hatinya suatu jurusan pendidikan tertentu tidak
dapat diterima pada jurusan itu, sehingga terjadi frustasi dan kekacauan dalam mengembangkan cita-citanya.
Bila dalam masa ini bimbingan yang baik tidak diberikan, maka gangguan jiwa pada remaja tersebut dapat
saja timbul.
c.       Pengembangan nilai moral dan etik yang mantap. Sesuai dengan cita-cita yang ingin dikembangkan, mulai
pula berkembang dalam diri remaja nilai moral etik.
d.      Pengembangan hubungan pribadi yang stabil. Dengan adanya tokoh panutan yang mantap atau hubungan
cinta yang stabil, terciptalah pula kestabilan dalam diri remaja.
e.       Kembali menghargai orang tuanya dalam kedudukan diadik yang sama tingkatnya. Sekarang remaja sudah
dapat menilai orang tuanya sebgai orang yang sama tarafnya dengan dirinya. Dia sudah dapat menerima
orang tuanya dengan kelebihan dan kekurangannya. Dia tidak lagi melihat orang tuanya sebagai otoritas yang
absolut, tetapi sebagai teman atau kawan yang mempunyai pengalaman yang lebih banyak dari padanya.

D.     Masalah Kesehatan Jiwa Remaja


Banyak penelitian telah dilakuakn tentang masalah kesehatan jiwa remaja di Indonesia. Penelitian ini
ada yang bersifat registrasi di rumah sakit jiwa, survai, studi klinik, kasuistik maupun penelitian dalam
kelompok sosial tertentu. Penelitian ini bukan hanya bersumber dari ilmu kedokteran jiwa, tetapi disiplin ilmu
lain giat melakukan penelitian ini. Namun penelitian di Indonesia pada umumnya sampai pada kesimpulan
yang tidak jauh berbeda satu dengan lain.
1.      Data ruma sakit jiwa.
 Sejak tahun 1972 seluruh rumah sakit di Indonesia telah ikut dalam suatu proyek pencatatan dan
pelaporan dari pasien mental yang dicatat secara individual yang kemudian diolah di Depkes Pusat. Proyek ini
diprakarsai oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Depkres RI. Dari data ini yang terpapar dalam laporan tahunan
tampak bahwa sekitar 15% dari mereka yan dirawat di dalam rumah sakit jiwa untuk tahun berjalan adalah
mereka yan berkisar antara 10-19 tahun, sedangkan 25% berkisar antara 2-24 tahun. Tampak di sini bahwa
populasi ruma hsakit jiwa adalah populasi yang relatif muda. Gambaran ini lain dibandingkan dengan
distribusi umur dari populasi rumah sakit jiwa dari negara yang berkembag. Di sini populasi terbanyak
terdapat pada usia lebih dari 50 tahun. Apabila diingat bahwa mereka yan dirawat di rumah sakit jiwa
termasuk pasien yang menderita penyakit yang relatif berat, maka dapat dibayangkan bahwa di dalam
masyarakat jumlah remaja dengan gangguan jiwa yang bersifat relatif ringan jauh lebih tinggi dari angka yang
telah diberikan di sini. Proyek pencatatan dan pelaporan pasien mental berjalan hingga tahun 1982 dan
gambaran selama 11 tahun tidak banyak berubah. Karena adanya kebijaksanaan sentralisasi laporan dan
pencatatan yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan, maka sejak 1982 tidak lagi diadakan pelaporan dan
pencatatan yang cukup terinci oleh Direktorat Kesehatan Jiwa sendiri dan sejak 1982 tidak tersedial agi data
semacam ini.
2.      Penyalahgunaan obat atau zat adiktif.
Dari data yang terdapat di rumah sakit ketergantungan obat (RSKO) dan rumah sakit jiwa lainnya
terdapat dapat menarik dari pasien yan dirawat untuk ketergantungan obat atau zat adiktif. Perlu diketahui
bahwa pada tahun 1972 telah dikeluarkan suatu instruksi kepada semua rumah sakit jiwa untuk menyediakan
10% tempa tidurnya untuk merawat pasien dengan ketergantungan obat atau zat adiktif. Walaupun semuah
rumah sakit jiwa memenuhi instruksi ini namun data menunjukkan perawatan pasien ketergantungan zat
atau obat adiktif terutama terdapat kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Manado dan Medan.
Rumah sakit jiwa yang terletak di daerah non urban hampir semuanya melaporkan tidak adanya atau
kurangnya pasien ktergantugann obat atau zat adiktif yang dirawat. Yangg sangat menarik adalah bahwa
sekitar 90% yang dirawat adalah lelaki dengan sekitar 35% dalam kategori umur 15-19 tahun dan 50%
kategori 20-24 tahun. Data bagi pasien untuk pertama kali di rawat (first admissions) tidak jauh berbeda bagi
umur 15-19 tahun tetapi agak kurang bagi kategori 20-24 tahun yaitu sekitar 34%. Sejak tahun 1972 sehingga
1989 gambaran relatif sama dengan kecenderungan abhwa mereka dengan ketergantungan zat atau obat
adiktif kategori umur agak lebih tua menaik yang berarti bahwa terdapat banyak penyalah gunaan obat atau
zat adiktif yang menahun (buku Laporan Statistik Pasien Mental di Rumah Sakit di Indonesia 1972 sampai
dengan 1981).
Masalah ketergantungan obat atau zat adiktif ini perlu mendapat perhatian, karena kita mengetahui
bahwa penyalah gunaan obat atau zat adiktif telah dikenal di Indonesia sejak jaman kolonial. Yang perlu
disorot disini adalah bahwa struktur umur dari penyalahgunaan obat atau zat adiktif zaman kolonial dan
sekarang sangat berbeda. Dahulu yang menyalahgunakan obat atau zat adiktif, terutama opium, adalah
mereka yang sudah tua umurnya dan terbatas pada kelompok etnis Cina yang sudah tua, arrive atau pekerja
kuli kasar. Penyalahgunaan mereka mempunyai dampak sosial yang relatif kecil. Kini yang
menyalahgunakan  obat atau zat adiktif adalah remaja dan remaja penuh terutaa lelaki yang masih
mempunyai potensi sosial yang besar di kemudian hari. Lagipula yang disalahgunakan adalah suatu sprektu
zat atau obat yang jauh berbahaya dari opium dan bervariasi dari obat yang sangat kuat, sintetis dan canggih
dari yang hanya diperoleh secara ilegal sampai kepada zat yang dapat dibeli di pasar bebas, seperti alkohol,
obat sakit kepala, obat penenang, obat tidur, rokok, kopi, tinner, bensin, spidol, lem dan sebagainya.
Perubahan situasi epidemologik ini tidak saja terjadi di Indonesia akan tetapi sudah merupakan
situasi epidemologik yang meliputi keadaan global. Tepatlah bahwa beberapa kalangan yang kompeten
menemukan keadaan ketergantungan zat atau obat adiktif zaman kini suatu epidemic. Jika kita membaca apa
yang ditulis di majalah, koran atau media masa lain, maka karakterisasi  keadaan ini ada benarnya. Kalau
dilihat angka absolut, penyalahgunaan obat atau zat aditif di Indonesia masih termasuk kecil, beberapa ribu
saja, bandongkan dengan negara tetangga seperti Thailan dan Malaysia yang sudah termasuk ratusan ribu.
Tetapi tidak ada alasan untuk mendata bahwa keadaan segawat negara tetangga tidak akan terjadi di
Indonesia di kemudian hari.
3.      Keadaan psikologik remaja
Beberapa penelitian telah berusaha mengungkapkan apa yang menyebabkan remaja sekarang
berperilaku begitu menyimpang yang kadang sudah menjadi sosial. Suatu studi komparatif antara 100
penyalahgunaan obat atau zat adiktif yang dibandingkan dengan remaja normal, memperlihatkan bahwa
sumbangan kontributif terhadap ketergantungan obat atau zat adiktif adalah 30% karena adanya
psikopatologi, 46% karena lingkunga dan pergaulan sekolah di luar keluarga dan 24% karena masalah dalam
keluarga (Al Wahdy, 1985). Penelitian ini mengkonfirmasikan penelitian sebelumnya yang menunjukkan
bahwa faktor yang meningkatkan penyalahgunaan obat atau zat adiktif adalah kurang akrabnya hubungan
keluargam kurangnya nilai agama dan pengaruh teman sebaya (Mansur, 1977). Ternyata gangguan depresi
merupakan faktor kontributif penting untuk terjadi ktergantungan obat atau zat adiktif (Supargo, 1984). Dari
penelitian di bidang psikologi diperoleh informasi bahwa para remaja yang menyalahgunaan obat atau zat
adiktif adalah mereka yang mempunyai kekuatan ego yang lemah, kurang bereaksi dengan lingkungannya
dan tidak dapat mengadakan hubungan empatis dengan orang lain. Mereka berasal dari keluarga yang tidak
memiliki nilai yang jelas, orang tua tidak dapat dijadikan tokoh panutan dan mereka tidak tahu tentang
manfaat hidup. Lagi pula dalam sejarah hidup mereka didapat pengalaman yang tidak menyenangkan dan
mereka erasa seakan ditolak oleh lingkungannya (Sanjaya, 1977)
Tentang psikopathologi oleh remaja oleh Prawirohardjo (1989) telah dilakukan penelitian pada
remaja SMA II Kotamadya Jogyakarta. Dari penelitian epidemologik ini didapatkan prevalensi gangguan
depresi 38,7%. Gangguan depresi ini ada kaitan yang kuat dengna stresor akut dan kepribadian yang kurang
mantap. Orang yang kepribadian tidak fleksibel dan memandang rendah dirinya lebih rawan terhadap
timbulnya depresi. Penelitian ini termasuk salah satu yang teliti dan komprehensif sehingga data ini termasuk
salah satu yang teliti dan komprehensif sehingga data ini cukup dapat dipercaya kebenarannya. Sebenarnya
gangguan depresif hanya merupakan satu kategori diagnostik dari berbagai kategori diagnostik dalam ilmu
psikiatrik. Jadi perkirakan bahwa sebenarnya gangguan psikiatrik pada remaja jauh lebih besar dari angka
yang ditemukan  untuk depresi saja. Penelitian ini mebenarkan peneliti yang mendahuluinya yaitu dari survei
pada mahasiswa diperoleh data bahwa 37,25% dari mahasiswa di Yogyakarta mengalami gangguan jiwa dan
golongan gangguan jiw yang terbanyak adalah depresi (Mutrasi dkk, 1986)

4.      Kenakalan remaja (delikuensi)


Kenakalan remaja atau delikuensi juga merupakan suatu masalah yang mendapat sorotan yang cukup luas
oleh masyarakat. Perkelahian antar sekolah, perilaku antisosial atau asosial, perusakan lingkungan dan milik
negara merupakan hal yang serin dilaporkan dalam media masa. Beberapa penelitian telah mencoba untuk
mencari informasi sosial psikologk tentang fenomena ini. Ternyata bahwa mereka yang melakukan tindakan
delikuen berasal dari lingkungan perumahan biasa, lingkungan MTH yang bising, berkeluarga besar,
mengalami pengangguran dan banyak di antara remaja adalah penyalahgunaan obat atau zat adiktif. Mereka
melakukan tindakan delikuen ini karena dipengaruhi oleh teman (Amaria, 1985). Dari penelitian lain
diperoleh informasi bahwa mereka berasal dari keluarga yang kurang komunikatif, kurang adanya
pengawasan dari orang tua atau guru terhadap pergaulan dan mereka melakukan tindakan asosial untuk
mendapatkan pengakuan identitas diri dan agar konformatif dengan kelompok sebayanya (Syureich, 1984).
Mereka juga untuk sebagian besar adalah anak putus sekolah (Lengkong, 1984). Sebagai sebab kenakalan
remaja juga dikemukakan perkembannga kepribadian yang kurang baik, sikap yang tidak konsisten dari orang
tua, mereka tidak mengontrol diri, mereka kurang mempunyai kontak dengan lingkungannya, semuanya
berakibat bahwa remaja mencari penampungan di luar rumah dan segala akibatnya (Masdani, 1979)

5.      Remaja dan seksualitas


Sebagaimana telah diketahui, masa remaja merupakan maturasi biologik maupun psikologik. Dapatlah
dimengerti bahwa dalam masa ini remaja mulai tertarik pada hal ikhwal (wanita) yang berbau seksual.
Mereka mulai memperhatikan masalah seksual yang lebih mendalam dan penuh ingin tahu. Membicarakan
masalah seksual secara terbuka di Indonesia masih merupakan sesuatu yang tabu, sehingga acapkali masalah
seksual bagi remaja diselubungi oleh misteri dan kerahasiaan, informasi hanya dapat diperoleh  secara bisik
dari sumber yang acapkali tidak kompeten. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan
seksual yang wajar dan sehat. Setiap penelitian yang menyangkut masalah seksual, merupakan subyek yang
menarik dan mendapat liputan yang luas sekali dalam media masa. Penelitian yang mempublikasi hasilnya
dalam sekejap menjadi sangat populer dan diminta untuk berbicara dalam macam forum. Ini bukan lagi
penelitian tetapi sensasi dan demikian belakangan ini dalam media masa dikemukakan banyak data tentang
penelitian yang menyangkut masalah seksual yang sebenarnya kurang yang dapat dipercaya hasilnya, karena
metodologi dan rancangan penelitian yang kurang mantap. Dikatakan bahwa hubungan sekskual premarital
banyak sekali terjadi pada orang laki maupun wanita, dewasa  maupun remaja. Sukar untuk mempercayai
“pernyataan ilmiah” yang didasarkan pada metodologi yang tidak karuan dan expertise ilmiah yang defek.
Perllu diketahi bahwa mengadakan penelitian masalah seksual relatif sulit. Tidak mudah memperoleh data
yang benar-benar dapat dipercaya. Belum lagi rencnangan penelitian yang cukup rumit. Kadang sukar
diketahui apa yang dicari penelitian yang demikian itu, popularitas atau kebenaran ilmiah.
      Dalam siatuasi demikian masih terdapat penelitian yang serius. Dari penelitian yang dilakukan oleh
Tuattinaja (1980) tampak bahwa wanita yang bersedia melakukan hubungan seksual premarital ada
hubungannya dengan relasi yang kurang baik dengna orang tua. Kesan para klinikus di bidang psikiatri adalah
bahwa kini masalah homoseksualitas dan macam deviasi seksual lebih banyak dibandingkan dengan dahulu.
Belum ada penelitian yang mengkonfirmasikan kesan anekdotik ini dan tidak diketahui apakah hal ini
disebabkan karena sekarang orang lebih mudah pergi ke psikiater atau psikolog untuk masalah seksual
diabdnginkan dahulu.

6.      Stres dan para remaja


Beberapa penelitian yang dikutif di sini tampak bahwa stres merupakan hal yang sangat penting dalam
timbulnya gangguan jiwa pada remaja. Di sini akan dikemukakan suatu kerangka tentang stres yang
diharapkan dapat mempermudah pengertian dan penanggulangannya. Stres yang dialami anak dan remaja
dapat dibagi sebagai berikut (Hamris Pleyte, 1986):
a.       Stres disebabkan karena faktor keluarga sendiri,  antara lain:
                                  i.            Faktor orang tua sendiri

                                ii.            Hubungan buruk antara ibu dan bapak

                              iii.            Orang tidak ada atau jarang ada di rumah

                              iv.            Masalah idiosinkratis

                                v.            Keluarga menghadapi peralihan

b.      Stres berasal dari luar keluarga


                                  i.            Hanya terhadap salah satu orang anggota
                                ii.            Terhadap seluruh keluarga

E.      Kesimpulan
Pada umumnya tampak bahwa dengan adanya peralihan nilai budaya maupun pribadi terdapat kesenjangan
antara remaja dan orang tuanya. Kesenjangan ini pada hakekatnya tidak perlu merupakan hal yang abnornal.
Akan tetapi kesenjangan ini dapat menjadi titik tolah dari gangguan jiwa pada anak dan remaja bila tidak
dikenal dan diatasi dengan baik. Salah satu faktor yang banyak menyumbang terjadinya gangguan jiwa pada
remaja adalah stres yang tidak dikendalikan dengan baik, khususnya stresor akut.

F.      Rujukan

Al Wahdy, Abdul Rachman (1985): Studi tentang Psikopatologi dan lingkungan sosial dan pasien
ketergantungan obat di RSKO Jakarta, Skripsi Pasca Sarjana, Fakultas Kedokteran Masyarakat, UI.

Amaria, Justi (1985): Hubunnga Suasana kota Jakarda dengan Kenakalan Remaja, Skripsi Sarjana, Fakultas
Psikologi, UI, Jakarta
Buku Laporan Statistik Pasien Mental di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia, Vol 1972 s/d 1981, Direktorat
Kesehatan Jiwa, Depkes RI Jakarta
Humris Pleyte, Edith (1986): Berbagai tantangan bagi Anak dan Remaja, Jiwa XIX, No. 4 Yayasan
Dharmawangsa, Jakarta
Lengkong, Yahya (1984): Putus Sekolah dan Kenakalan Remaja serta Masalah Emosionalnya pada Remaja laki-
laki di RW 013 Kelurahan Tomang, Jakarta, Skripsi Pasca Sarjana, Fakultas Kedokteran UI, Bagian Psikiatri,
Jakarta.

7 Masalah Kesehatan Mental Remaja  Yang Harus Diketahui Orangtua


Sebanyak 29% penduduk dunia terdiri dari remaja, dan 80% diantaranya tinggal di negara
berkembang. Berdasarkan sensus di Indonesia pada tahun 2005, jumlah remaja yang berusia 10
– 19 tahun adalah sekitar 41 juta orang (20% dari jumlah total penduduk Indonesia dalam tahun
yang sama). Dalam era globalisasi ini banyak tantangan yang harus dihadapi oleh para remaja
yang tinggal di kota besar di Indonesia, tidak terkecuali yang tinggal di daerah perdesaan
seperti, tuntutan sekolah yang bertambah tinggi, akses komunikasi/internet yang bebas, dan
juga siaran media baik tulis maupun elektronik. Mereka dituntut untuk menghadapi berbagai
kondisi tersebut baik yang positif maupun yang negatif, baik yang datang dari dalam diri mereka
sendiri maupun yang datang dari lingkungannya. Dengan demikian, remaja harus mempunyai
berbagai keterampilan dalam hidup mereka sehingga mereka dapat sukses melalui fase ini
dengan optimal.
Dalam psikologi perkembangan remaja dikenal sedang dalam fase pencarian jati
diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan. Fase perkembangan remaja ini
berlangsung cukup lama kurang lebih 11 tahun, mulai usia 11-19 tahun pada wanita
dan 12-20 tahun pada pria. Fase perkebangan remaja ini dikatakan fase pencarian
jati diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan adalah karena dalam fase ini
remaja sedang berada di antara dua persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia
orang-orang dewasa.

Kesulitan dan persoalan yang muncul pada fase remaja ini bukan hanya muncul pada
diri remaja itu sendiri melainkan juga pada orangtua, guru dan masyarakat.
Dimana dapat kita lihat seringkali terjadi pertentangan antara remaja dengan
orangtua, remaja dengan guru bahkan dikalangan remaja itu sendiri.

Keberadaan remaja  yang ada di antara dua persimpangan fase perkembanganlah (fase interim)
yang  membuat fase remaja penuh dengan kesukaran dan persoalan. Dapat dipastikan bahwa 
seseorang yang sedang dalam keadaan transisi atau peralihan dari suatu keadaan  ke keadaan
yang lain seringkali mengalami gejolak dan goncangan yang terkadang  dapat berakibat buruk
bahkan fatal bahkan dapat menyebabkan kematian

Masa remaja merupakan masa yang penuh gejolak. Pada masa ini mood (suasana hati) bisa
berubah dengan sangat cepat. Perubahan mood (swing) yang drastis pada para remaja ini
seringkali dikarenakan beban pekerjaan rumah, pekerjaan sekolah, atau kegiatan sehari-hari di
rumah. Meski mood remaja yang mudah berubah-ubah dengan cepat, hal tersebut belum tentu
merupakan gejala atau masalah psikologis. Dalam hal kesadaran diri, pada masa remaja para
remaja mengalami perubahan yang dramatis dalam kesadaran diri mereka (self-awareness).
Mereka sangat rentan terhadap pendapat orang lain karena mereka menganggap bahwa orang
lain sangat mengagumi atau selalu mengkritik mereka seperti mereka mengagumi atau
mengkritik diri mereka sendiri. Anggapan itu membuat remaja sangat memperhatikan diri
mereka dan citra yang direfleksikan (self-image). Remaja cenderung untuk menganggap diri
mereka sangat unik dan bahkan percaya keunikan mereka akan berakhir dengan kesuksesan
dan ketenaran.

Inilah Masalah kesehatan mental remaja


1. Perubahan psikoseksual Produksi hormon testosteron dan hormon estrogen mempengaruhi
fungsi otak, emosi, dorongan seks dan perilaku remaja. Selain timbulnya dorongan seksual yang
merupakan manifestasi langsung dari pengaruh hormon tersebut, dapat juga terjadi modifikasi dari
dorongan seksual itu dan menjelma dalam bentuk pemujaan terhadap tokoh-tokoh olah raga,
musik, penyanyi, bintang film, pahlawan, dan lainnya. Remaja sangat sensitif terhadap pandangan
teman sebaya sehingga ia seringkali membandingkan dirinya dengan remaja lain yang sebaya, bila
dirinya secara jasmani berbeda dengan teman sebayanya maka hal ini dapat memicu terjadinya
perasaan malu atau rendah diri.
2. Pengaruh teman sebaya Kelompok teman sebaya mempunyai peran dan pengaruh yang besar
terhadap kehidupan seorang remaja. Interaksi sosial dan afiliasi teman sebaya mempunyai peranan
yang besar dalam mendorong terbentuknya berbagai keterampilan sosial. Bagi remaja, rumah
adalah landasan dasar sedangkan ‘dunianya’ adalah sekolah. Pada fase perkembangan remaja, anak
tidak saja mengagumi orangtuanya, tetapi juga mengagumi figur-figur di luar lingkungan rumah,
seperti teman sebaya, guru, orangtua temanya, olahragawan, dan lainnya. Dengan demikian, bagi
remaja hubungan yang terpenting bagi diri mereka selain orangtua adalah teman-teman sebaya dan
seminatnya. Remaja mencoba untuk bersikap independent dari keluarganya akibat peran teman
sebayanya. Di lain pihak, pengaruh dan interaksi teman sebaya juga dapat memicu timbulnya
perilaku antisosial, seperti mencuri, melanggar hak orang lain, serta membolos, dan lainnya.
3. Stres di masa remaja Banyak hal dan kondisi yang dapat menimbulkan tekanan (stres) dalam
masa remaja. Mereka berhadapkan dengan berbagai perubahan yang sedang terjadi dalam dirinya
maupun target perkembangan yang harus dicapai sesuai dengan usianya. Di pihak lain, mereka juga
berhadapan dengan berbagai tantangan yang berkaitan dengan pubertas, perubahan peran sosial,
dan lingkungan dalam usaha untuk mencapai kemandirian. Tantangan ini tentunya berpotensi untuk
menimbulkan masalah perilaku dan memicu timbulnya tekanan yang nyata dalam kehidupan remaja
jika mereka tidak mampu mengatasi kondisi tantangan tersebut.
4. Perilaku berisiko tinggi Remaja kerap berhubungan berbagai perilaku berisiko tinggi sebagai
bentuk dari identitas diri. 80% dari remaja berusia 11-15 tahun dikatakan pernah menunjukkan
perilaku berisiko tinggi minimal satu kali dalam periode tersebut, seperti berkelakuan buruk di
sekolah, penyalahgunaan zat, serta perilaku antisosial (mencuri, berkelahi, atau bolos) dan 50%
remaja tersebut juga menunjukkan adanya perilaku berisiko tinggi lainnya seperti mengemudi dalam
keadaan mabuk, melakukan hubungan seksual tanpa kontrasepsi, dan perilaku criminal yang bersifat
minor. Dalam suatu penelitian menunjukkan bahwa 50% remaja pernah menggunakan marijuana,
65% remaja merokok, dan 82% pernah mencoba menggunakan alkohol. Dengan melakukan
perbuatan tersebut, mereka mengatakan bahwa mereka merasa lebih dapat diterima, menjadi
pusat perhatian oleh kelompok sebayanya, dan mengatakan bahwa melakukan perilaku berisiko
tinggi merupakan kondisi yang mendatangkan rasa kenikmatan (‘fun’). Walaupun demikian,
sebagian remaja juga menyatakan bahwa melakukan perbuatan yang berisiko sebenarnya
merupakan cara mereka untuk mengurangi perasaan tidak nyaman dalam diri mereka atau
mengurangi rasa ketegangan. Dalam beberapa kasus perilaku berisiko tinggi ini berlanjut hingga
individu mencapai usia dewasa.
5. Kegagalan pembentukan identitas diri Menurut J. Piaget, awal masa remaja terjadi transformasi
kognitif yang besar menuju cara berpikir yang lebih abstrak, konseptual, dan berorientasi ke masa
depan (future oriented). Remaja mulai menunjukkan minat dan kemampuan di bidang tulisan, seni,
musik, olah raga, dan keagamaan. E. Erikson dalam teori perkembangan psikososialnya menyatakan
bahwa tugas utama di masa remaja adalah membentuk identitas diri yang mantap yang
didefinisikan sebagai kesadaran akan diri sendiri serta tujuan hidup yang lebih terarah. Mereka
mulai belajar dan menyerap semua masalah yang ada dalam lingkungannya dan mulai menentukan
pilihan yang terbaik untuk mereka seperti teman, minat, atau pun sekolah. Di lain pihak, kondisi ini
justru seringkali memicu perseteruan dengan orangtua atau lingkungan yang tidak mengerti makna
perkembangan di masa remaja dan tetap merasa bahwa mereka belum mampu serta
memperlakukan mereka seperti anak yang lebih kecil. Secara perlahan, remaja mulai
mencampurkan nilai-nilai moral yang beragam yang berasal dari berbagai sumber ke dalam nilai
moral yang mereka anut, dengan demikian terbentuklah superego yang khas yang merupakan ciri
khas bagi remaja tersebut sehingga terjawab pertanyaan ’siapakah aku?’ dan ’kemanakah tujuan
hidup saya?’ Bila terjadi kegagalan atau gangguan proses identitas diri ini maka terbentuk kondisi
kebingungan peran (role confusion). Role confusion ini sering dinyatakan dalam bentuk negativisme
seperti, menentang dan perasaan tidak percaya akan kemampuan diri sendiri. Negativisme ini
merupakan suatu cara untuk mengekspresikan kemarahan akibat perasaan diri yang tidak adekuat
akibat dari gangguan dalam proses pembentukan identitas diri di masa remaja ini.
6. Gangguan perkembangan moral Moralitas adalah suatu konformitas terhadap standar, hak, dan
kewajiban yang diterima secara bersama, apabila ads dua standar yang secara sosial diterima
bersama tetapi saling konflik maka umumnya remaja mengambil keputusan untuk memilih apa yang
sesuai berdasarkan hati nuraninya. Dalam pembentukan moralitasnya, remaja mengambil nilai etika
dari orangtua dan agama dalam upaya mengendalikan perilakunya. Selain itu, mereka juga
mengambil nilai apa yang terbaik bagi masyarakat pada umumnya. Dengan demikian, penting bagi
orangtua untuk memberi suri teladan yang baik dan bukan hanya menuntut remaja berperilaku baik,
tetapi orangtua sendiri tidak berbuat demikian. Secara moral, seseorang wajib menuruti standar
moral yang ada namun sebatas bila hal itu tidak mebahayakan kesehatan, bersifat manusiawi, serta
berlandaskan hak asasi manusia. Dengan berakhirnya masa remaja dan memasuki usia dewasa,
terbentuklah suatu konsep moralitas yang mantap dalam diri remaja. Jika pembentukan ini
terganggu maka remaja dapat menunjukkan berbagai pola perilaku antisosial dan perilaku
menentang yang tentunya mengganggu interaksi remaja tersebut dengan lingkungannya, serta
dapat memicu berbagai konflik.
7. Tidak Realistis dan Tidak betanggung Jawab  Remaja yang salah penyesuaian dirinya terkadang
melakukan tindakan-tindakan yang tidak realistis, bahkan cenderung melarikan diri dari tanggung
jawabnya. Perilaku mengalihkan masalah yang dihadapi dengan mengkonsumsi minuman beralkohol
banyak dilakukan oleh kelompok remaja, bahkan sampai mencapai tingkat ketergantungan
penyalahgunaan obat terlarang dan zat adiktif. Berkaitan dengan pelepasan tangung jawab,
dikalangan remaja juga sering dijumpai banyak usaha untuk bunuh diri. di Negara-negara maju,
seperti Amerika, Jepang, Selandia Baru, masalah bunuh diri dikalangan remaja berada pada tingkat
yang memprihatinkan. Sedangkan dinegara berkembang seperti Indonesia, perilaku tidak sehat
remaja yang beresiko kecelakaan juga banyak dilakukan remaja, seperti berkendaraan secara ugal-
ugalan. Hal lain yang menjadi persoalan penting dikalangan remaja disemua negara adalah,
meningkatnya angka delinkuensi. Perilaku tersebut misalnya keterlibatan remaja dalam perkelahian
antar sesame, kabur dari rumah, melakukan tindakan kekerasan, dan berbagai pelanggaran hukum,
adalah umum dilakukan oleh remaja.

Kesehatan Mental
Tidak seorangpun yang tidak ingin menikmati ketenangan hidup, dan semua orang akan
berusaha mencarinya, meskipun tidak semuanya dapat mencapai yang diinginkannya itu.
Bermacam sebab dan rintangan yang mungkin terjadi sehingga banyak orang yang mengalami
kegelisahan, kecemasan dan ketidak puasan.
Keadaan yang tidak menyenangkan itu tidak terbatas kepada golongan tertentu saja,
tetapi tergantung pada cara orang menghadapi sesuatu persoalan. Misalnya ada orang miskin
yang gelisah karena banyak keinginannya yang tidak tercapai, bahkan orang kaya  yang juga
gelisah, cemas dan merasa tidak tentram dalam hidupnya yang diakibatkan faktor lain seperti
kebosanan atau ingin menambah hartanya lebih banyak lagi.
Setiap orang, baik yang berpangkat tinggi atau tidak berpangkat bahkan seorang
pesuruh, menemui kesukaran dalam berbagai bentuk.Hanya satu hal yang sama-sama
dirasakan yaitu ketidaktenangan jiwa. Sesungguhnya ketenangan hidup, ketentraman jiwa atau
kebahagiaan batin, tidak tergantung kepada faktor-faktor luar seperti keadaan sosial, ekonomi,
politik, adat kebiasaan dsb. Akan tetapi lebih tergantung dari cara dan sikap menghadapi faktor-
faktor tersebut.
Jadi yang menentukan ketenangan dan kebahagiaan hidup adalah kesehatan mental.
Kesehatan mental itulah yang menentukan tanggapan seseorang terhadap suatu persoalan, dan
kemampuannya menyesuaikan diri. Kesehatan mental pulalah yang  yang menentukan apakah
orang akan menpunyai kegairahan untuk hidup, atau akan pasif atau tidak bersemangat.
Orang yang sehat mentalnya tidak akan lekas merasa putus asa, pesimis atau apatis,
karena ia dapat mengahadapi semua rintangan  atau kegagalan hidupnya dengan tenang.
Apabila kegagalan itu dihadapi dengan tenang, akan dapatlah dianalisa, dicari sebab-sebab yang
dimenimbulkannya, atau ditemukan faktor-faktor yang tidak pada tempatnya. Dengan demikian
akan dapat dijadikan pelajaran yaitu menghindari semua hal-hal yang membawa kegagalan
pada waktu yang lain.
Untuk mengetahui apakah seseorang sehat atau terganggu mentalnya, tidaklah mudah.
Biasanya yang dijadikan bahan penyelidikan atau tanda-tanda dari kesehatan mental adalah
tindakan, tingkah laku atau perasaan. Karenanya seseorang yang terganggu kesehatan
mentalnya bila terjadi kegoncangan emosi, kelainan tingkah laku atau tindakannya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pasien-pasien yang terganggu kesehatan
mentalnya, dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental yang terganggu dapat mempengaruhi
keseluruhan hidup seseorang. Pengaruh itu dibagi dalam empat kelompok yaitu ; perasaan,
pikiran/kecerdasan, kelakuan dan kesehatan badan. Hal ini semua tergolong kepada gangguan
jiwa, sedangkan sakit jiwa adalah jauh lebih berat.
Perasaan
Diantara gangguan perasaan yang disebabkan oleh kesehatan mental ialah rasa cemas, iri hati,
sedih, merasa rendah diri, pemarah, ragu dsb. Untuk jelasnya marilah kita tinjau tiap-tiap
persoalan dengan contohnya.
Rasa Cemas
Perasaan tidak menentu, panik, takut tanpa mengetahui ada yang ditakutkan dan tidak dapat
menghilangkan perasan gelisah dan mencemaskan itu.  Terlalu banyak hal-hal yang banyak
menyebabkan gelisah yang tidak pada tempatnya.
Iri Hati
Seringkali orang mrrasa iri hati atas kebahagiaan orang lain. Perasan ini bukan karena
kebusukan hatinya seprti biasa di sangka orang, akan tetapi karena ia sendiri tidak merasakan
bahagia dalam hidupnya.
Rasa Sedih
Rasa sedih yang tidak beralasan, atau terlalu banyak hal-hal yang menyedihkannya sehingga air
mukannya selalu membanyangkan kesedihan, kendatipun ia seorang yang mampu, berpangkat,
dihargai orang dan sebagainya. Sesungguhnya perasaan sedih ini banyak sekali terjadi. Banyak
kita melihat orang yang tidak pernah gembira dalam hidupnya. Sebabnya bermacam-macam,
ada ibu yang merasa kesepian karena anak-anaknya sudah, tidak memerlukannya lagi, sedang
bapak tidak lagi seperti dulu. Sebaliknya ada bapak yang merasa sedih karena istrinya yang dulu
selalu memperhatikan makanan dan minumannya, sekarang telah sibuk mengurus rumah
tangga dan anaknya. Kesedihan-kesedihan seperti itu, tidak disebabkan oleh sesuatu hal atau
persoalan secara langsung, akan tetapi oleh kesehatan mental yang terganggu.
Rasa rendah Diri
Rasa rendah diri dan tidak percaya diri banyak sekali terjadi pada remaja. Hal ini disebabkan
oleh banyaknya problem yang mereka hadapi dan tidak mendapat penyelesaian dan pengertian
dari orang tua. Disamping itu mungkin pula akibat pengaruh pendidikan dan perlakuan yang
diterimanya waktu masih kecil. Rasa rendah diri ini menyebabkan orang lekas tersinggung.
Karena itu ia mungkin akan menjauhi pergaulan dengan orang banyak, menyendiri, tidak berani
mengemukakan pendapat (karena takut salah), tidak berani bertindak atau mengambil suatu
inisiatif (takut tidak diterima orang). Lama kelamaan akan hilang kepercayaan pada dirinya, dan
selanjutnya ia juga kurnag percaya kepada orang. Ia akan lekas marah atau sedih hati, menjadi
apatis dan pesimis. Bahkan rasa rendah diri itu mungkin akan menyebabkan ia suka mengeritik
orang lain, dan tingkah lakunya mungkin akan terlihat sombong. Dalam pergaulan ia menjadi
kaku, kurang disenangi oleh kawan-kawannya, karena mudah tersinggung dan tidak banyak ikut
aktif dalam pergaulan atau pekerjaan.
Pemarah
Sesungguhnya orang dalam suasana tertentu kadang-kadang perlu marah, akan tetapi kalau ia
sering-sering marah yang tidak pada tempatnya atau tidak seimbang dengan sebab yang
menimbulkan marah itu, maka yang demikian ada hubungannya dengan kesehatan mental.
Marah sebenarnya adalah ungkapan dari perasan hati yang tidak enak, biasanya akibat
kekecewaan, ketidakpuasan, tidak tercapai yang diinginkannya. Apabila orang yang sedang
merasa tidak enak, tidak puas terhadap dirinya, maka sedikit saja suasana luar mengganggu ia
akan menjadi marah. Mungkin anak, istri atau siapapun akan menjadi sasaran kemarahannya
yang telah lama ditumpuknya itu.
Sumber : http://www.saberiroy.com

KONSEP DASAR KESEHATAN JIWA

A.   PENDAHULUAN

Kehidupan manusia dewasa ini semakin sulit dan komplek. Kondisi tersebut diperparah
dengan bertambahnya stressor psikososial akibat budaya masyarakat modern yang
cenderung sekuler. Hal tersebut menyebabkan manusia tidak dapat menghindari tekanan-
tekanan hidup yang dialami. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan
kualitas dan kuantitas penyakit mental-emosional manusia

Kondisi diatas dapat menimbulkan gangguan jiwa dalam tingkat ringan amaupun berat yang
memerlukan penanganan di rumah sakit, baik itu di rumahs akit jiwa atau di unit pelayanan
keperawatan jiwa di rumah sakit umum dan unit pelayanan lainnya.

Pelayanan di rumah sakit tidak mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa adanya
pelayanan keperawatan. Pelayanan Keperawatan sangat diperlukan karena merupakan
bagian integral dari proses penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Untuk
merawat klien/pasien dengan baik seorang perawat harus mengetahui konsep dasar
keperawatan dan juga harus memahami serta mengaplikasikan proses keperawatan.

B.   KONSEP DASAR KESEHATAN DAN KEPERAWATAN JIWA


1.   Pengertian Sehat 
a.    Menurut WHO (Notosoedirjo,2005):

“Keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun social, tidak hanya terbebas dari
penyakit/cacat”

Pengertian sehat menurut WHO tersebut merupakan kondisi ideal dari sisi biologis,
psikologis dan social. Apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara
biopsikososial?  Memang sulit untuk mendapatkan seseorang yang berada dalam kondisi
kesehatan yang sempurna, namun yang mendekati pada kondisi ideal dapat didapatkan.

b.    UU. No 23, 1992 tentang kesehatan

Sehat: keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yg memungkinkan setiap orang hidup
produktif secara sosial dan ekonomis

Sehubungan dengan pentingnya dimensi agama dalam kesehatan, maka pada tahun 1984,
WHO menambahkan dimensi agama sebagai salah satu pilar kesehatan. Sehingga menjadi
4 pilar kesehatan yaitu: 1)  sehat sevara jasmani/fisik (biologis); 2) sehat secara kejiwaan
(psikologis/psikiatric); 3) sehat secara social dan 4) sehat secara spiritual (agama). Yang
digambarkan dalam sebuah skema (Hawari, 1992)

                Agama/                                                          
Organo-

                Spiritual                                                          
biologic

                                                 ANAK

                                              (MANUSIA)

                                   

            Psiko-                                                               Sosial-

            edukatif                                                           Budaya

                                    Skema 4 Dimensi Sehat

                                            (Hawari, 1993)


Dari skema tersebut dapat dijelaskan bahwa manusia, hidup dalam 4 dimensi:

a.   Agama/spiritual

Fitrah manusia, kebutuhan dasar manusia yang mengandung nilai-nilai moral, etika dan
hukum. Seorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seorang yang
bermoral dan beretika berarti ia beragama.

b.   Organo-Biologik

Fisik/tubuh/jasmani, termasuk perkembangan susunan saraf pusat (otak), yang


perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit yang
kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi
dan seterusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut.

c.    Psiko-edukatif

Pendidikan yang diberikan prangtua termasuk pendidikan agama. Orangtua merupakan


tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orangtuanya> Perkembangan kepribadian anak
melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti pada usia 18 tahun

d.   Sosial-Budaya

Kepribadian manusia juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan social, dimana
manusia dibesarkan

2.     Pengertian Kesehatan Jiwa

Menurut UU No.. 3, 1966:

“Kesehatan Jiwa adalah suatu kondisi yg memungkinkan perkembangan fisik, intelektual


dan emosional yg optimal dari seseorang dan perkembangan itu berjalan selaras dengan
orang lain”

Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat yang harmonis (serasi)  dan memperhatikan
semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan dalam hubungannya dengan orang lain
(social)
Kesehatan jiwa : Kemampuan menyesuaikan diri dg diri sendiri, orang lain, masyarakat
dan lingkungan. Terwujudnya keharmonisan fungsi jiwa dan sanggup menghadapi problema
yang biasa terjadi dan merasa bahagia dan mampu diri

 
Gangguan Jiwa: Sindroma atau pola perilaku atau psikologik seseorang yg secara klinis
cukup bermakna dan scr khas berkaitan dg suatu gejala “penderitaan” (distress) dan atau
hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi manusia

3.   Ciri Sehat Jiwa

a.   Ciri Sehat Jiwa Menurut WHO (Hawari, 2002)

1)     Dapat menyesuaikan diri secara konstruktif pada kenyataan, meskipun kenyataan itu buruk
baginya

2)     Memeperoleh kepuasan dari hasil jerih payah usahanya

3)     Merasa lebih puas memberi daripada menerima

4)     Secara relative bebas dari rasa tegang (stress)

5)     Berhubungan dengan orang lain secara tolong menolong dan saling memuaskan

6)     Menerima kekecewaan untuk dipakainya sebagai pelajaran di kemudian hari

7)     Mengarahkan rasa permusuhan pada penyelesaian yang kreatif dan konstruktif

8)     Mempunyai rasa kasih sayang yang besar

Bila dicermati secara seksama masing-masing butir kriteria sehat tersebut diatas bernuansa
pesan-pesan moral etik-religius.

b.   Ciri Sehat Jiwa Menurut Maslow-Mittlemenn (Notosoedirdjo, 2005):

1)     Rasa aman yang memadai

perasaan aman dalam hubungannya dengan pekerjaan, social dan keluarganya


mpuan menilai diri sendiri yang memadai

yang mencakup:1) harga diri yang memadai, ada nilai yang sebanding pada diri sendiri dan
prestasinya; 2) memiliki perasaan yang berguna;

3)     Memiliki spontanitas dan perasaan yang memadai dengan orang lain

seperti hubungan persahabatan, cinta, berekspresi yang cukup pada ketidaksukaan tanpa
kehilangan control, kemampuan memahami dan membagi rasa kepada orang lain,
kemampuan menyenangi diri sendiri dan tertawa

4)     Mempunyai kontak yang efisien dengan realitas

sedikitnya mencakup 3 aspek: fisik, social dan diri sendiri/internal. Ditandai dengan: 1)
tiadanya fantasi yang belebihan; b) mempunyai pandangan yang realistis dan pandangan
yang luas: 3) kemampuan untuk berubah jika situasi eksternal tidak dapat dimodifikasi

5)     Keinginan-keinginan jasmani yang memadai dan kemampuan untuk memuaskannya

ditandai dengan: 1) sikap yang sehat terhadap fungsi jasmani: 2) kemampuan meperoleh
kenikmatan kebahagiaan dari dunia fisik dalam kehidupan: 3) kehidupan seksual yang
wajar: 4) kemampuan bekerja: 5) tidak adanya kebutuhan yang berlebihan.

6)     Mempunyai pengetahuan yang wajar

termasuk didalamnya: 1) cukup mengetahui tentang: motif, keinginan, tujuan, ambisi,


hambatan, kompensasi, perasaan rendah diri: 2) penilaian yang realistis terhadap milik dan
kekuarangan;

7)     Kepribadian yang utuh dan konsisten

maknanya: 1) cukup baik perkembangannya, kepandaiannya, berminat dalam berbagai


aktifitas; 2) memiliki prinsip moral dan kata hati yang tidak berbeda dengan pandangan
kelompok;3) mampu berkonsentrasi: 4) tidak ada konflik besar dalam kepribadiannya

8)     Memiliki tujuan hidup yang wajar

Hal ini berarti: 1) memiliki tujuan yang sesuai dan dapat dicapai; 2) mempunyai usaha yang
cukup dan tekun mencapai tujuan; 3) tujuan bersifat baik untuk diri sendiri dan
masyarakat.

9)     Kemampuan untuk belajar dari pengalaman

Tidak hanya mengumpulkan pengetahuan dan kemahiran ketrampilan, tetapi juga kemauan
menerima hal baru yang baik

10) Kemampuan memuaskan tuntutan kelompik


Individu harus: 1) tidak terlalu menyerupai anggota kelompok yang lain; 2) terinformasi
secara memadai, menerima cara yang berlaku dikelompoknya; 3) kemauan dan dapat
menghambat dorongan dan hasrat yang dilarang kelompoknya.

11. Mempunyai emansipasi yang memadai dari kelompok atau budaya

    Hal ini mencakup: 1) kemampuan menganggap sesuatu itu baik dan yang lain jelek; 2)
dalam beberapa hal tergantung dari pandangan kelompok; 3) menghargai perbedaan
budaya

c.   Ciri Sehat menurut JAHODA:

1)         Sikap positif terhadap diri:

a)   Menerima diri

b)   Sadar diri

c)   Obyektif

d)   Merasa berarti

2)         Tumbuh kembang dan aktualisasi

a)   Berfungsi optimal

b)   Adaptif

3)         Integrasi ;

a)   Ekspresi dan represi

b)   Ego yang kuat (stres dan koping)

c)   Luar dan dalam (konflik dan dorongan)

4)         Otonomi

a)   Tergantung dan mandiri seimbang

b)   Tanggungjawab terhadap diri sendiri

c)   Menghargai otonomi orang lain

5)         Persepsi realitas

a)   Mau berubah sesuai pengetahuan baru

b)   Empati dan menghargai sikap dan perasaan orang lain

6)         Environmental mastery (menguasai lingkungan)


a)   Sukses

b)   Adaptif terhadap lingkungan

c)   Dapat mengatasi : kesepian, agresif, frustasi

4.   Upaya Kesehatan Jiwa (Dir. Bina Pelayanan Keperawatan Depkes RI)

1.   Ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat,
bebas dari ketakutan, tekanan dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa

2.   Terdiri atas peningkatan, pencegahan, pengobatan dan pemulihan pasien gangguan jiwa dan
masalah psikososial

3.   Menjadi tanggungjawab bersama pemerintah dan masyarakat

4.   Pemerintah dan masyarakat bertanggungjawab menciptakan kondisi kesehatan jiwa yang


optimal dan menjamin ketersediaan, aksesibilitas, mutu dan pemerataan upaya kesehatan
jiwa

5.   Pemerintah berkewajiban untuk mengembangkan upaya kesehatan jiwa keseluruhan,


termasuk akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

5.   Keperawatan Jiwa

Keperawatan sebagai bentuk pelayanan professional merupakan bagian integral yang tidak
dapat dipisahkan dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Hal ini ditekankan dalam
Undang-Undang RI No.23 tahun 1992 tentang kesehatan yang dilakukan dengan
pengobatan dan atau perawatan.

Pelayanan keperawatan yang diberikan adalah upaya mencapai derajad kesehatan


semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam menjalankan kegiatan
dalam bidang promotif, prefentif, kuratif dan rehabilitative dengan menggunakan proses
keperawatan.

Penerapan asuhan keperawatan di rumah sakit jiwa memang sedikit berbeda dengan RSU.
Perbedaan tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penderita yang dilayani
yaitu pasien di RSJ merupakan orang yang sedang mengalami gangguan jiwa. Proses
pengobatan gangguan jiwa memerlukan waktu yang lama, disamping itu asuhan
keperawatan yang dilakukan sangat menetukan keberhasilan pengobatan (Keliat, 1998)
Hasil evaluasi terhadap dokumentasi di 2 RSJ yang besar, ditemukan kurang dari 40%
pelaksanaan asuhan keperawatan belum memenuhi kriteria sesuai standar asuhan yang
baik. Kondisi ini tentunya tidak boleh memupuskan motivasi dalam merawat pasien dengan
gangguan jiwa (Keliat, 1998).

Motivasi untuk merawat klien dengan masalah kesehatan jiwa adalah:

1.   Gangguan jiwa tidak merusak seluruh kepribadian dan perilaku manusia

2.   Perilaku manusia selalu dapat diarahkan pada respon yang baru

3.   Perilaku manusia selalu dipengaruhi faktor yang menimbulkan tekanan sosial, dikuatkan
atau dilemahkan

6.   Peran Perawat dalam Kesehatan Jiwa

1.   Mekanisme utama yang mendorong sistem social (Parson, 1951, dalam The Bride to
Profesional Nursing Practice, Cresia, 2001)

2.   Set perilaku unik menggambarkan posisi yang merefleksikan domain personal, social ayau
okupasi

3.   Pola perilaku tersebut dimanifestasikan ke dalam penampilan melaksanakan tugas dan


kewajiban

4.   Pembentukan peran perawat dipengaruhi oleh karakteristik organisasi, individu perawat dan
interaksi perawat dengan yang terlibat dalam set peran tersebut

5.   Peran professional unik karena dipengaruhi oleh kode etik yang membantu memperlihatkan
secara tajam perilaku professional dan sebagai kerangka dari harapan peran tersebut.

Semua peran perawat tersebut dapat dilaksanakan dalam memberikan pelayanan


keperawatan jiwa, baik pada institusi sarana kesehatan RS, Puskesmas maupun praktik
mandiri/swasta. Untuk melaksanakan perasn tersebut dipersiapkan perawat yang memiliki
kompetensi dan kewenangan untuk melaksanakannya (registrasi, sertifikasi dan lisensi).

C.   Pemeliharaan Kesehatan Jiwa Diri Sendiri


1.   Solitude (nyepi)

  Perlu waktu utk diri sendiri utk memahami apa yang terjadi waktu bersama orang lain

  Bukan fisikal, sama dengan “time out”

  Menghindari dituntut dan menuntut orang lain

2.   Kesehatan diri sendiri (Personal Physical Health)

  Makanan yang sehat

  Istirahat yang cukup

  Olahraga

3.   Solitude (nyepi)

  Perlu waktu utk diri sendiri utk memahami apa yang terjadi waktu bersama orang lain

  Bukan fisikal, sama dengan “time out”

  Menghindari dituntut dan menuntut orang lain

4.   Kesehatan diri sendiri (Personal Physical Health)

  Makanan yang sehat

  Istirahat yang cukup

  Olahraga

5.   Merawat dengan memperhatikan tanda-tanda stres internal (ettending to internal stress


signals)

  Setiap orang pernah marah, karena hal yang kecil

  Penting bagi perawat untuk mengenal dan berespon pada tanda-tanda stresnya

Anda mungkin juga menyukai