OLEH :
KELAS A
KELOMPOK 9
FAKULTAS PETERNAKAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
SUMEDANG
2018
i
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah swt, atas segala
nimat yang diberikanNya diantaranya adalah nimat kesehatan dan waktu luang
yang menjadi syari’at makalah ini bisa diselesaikan dengan tepat waktu, tak lupa
penyusun sampaikan salawat dan salam untuk suri tauladan yang terbaik bagi
Bulu Secara Kimia Dan Kualitasnya dengan berbagai aspek yang terkait di dalamnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para pembaca, dan bisa menambah wawasan bagi
Penyusun
ii
iii
DAFTAR ISI
Bab Halaman
KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR TABEL........................................................................................... iv
I PENDAHULUAN........................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang..................................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah............................................................................. 2
1.3 Maksud dan Tujuan.............................................................................. 2
II ISI..................................................................................................................... 3
2.1 Tepung Bulu........................................................................................ 3
2.2 Kualitas Tepung Bulu yang Baik......................................................... 4
2.3 Kandungan Nutrisi Tepung Bulu...................................................... 7
2.4 Pengolahan Tepung Bulu secara Kimia................................................ 9
III KESIMPULAN............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 13
iii
iv
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
iv
1
PENDAHULUAN
Selama ini banyak keluhan masyarakat atau dampak buruk bagi kegiatan
usaha RPA (Rumah Pemotongan Ayam) di pasar karena sebagian besar penjual/
pelaku usaha mengabaikan penanganan limbah dari usahanya, bahkan ada yang
sehingga terjadi pencemaran lingkungan pasar, baik berupa bau tidak enak dan
Berkenaan dengan hal tersebut, maka upaya untuk mengatasi limbah RPA
perlu ditangani dengan cara yang tepat sehingga dapat memberi manfaat lain
diperlukan bukan saja karena tuntutan akan lingkungan yang nyaman tetapi juga
keberadaan mereka dipasar tidak menjadi masalah bagi konsumen dan pedagang
sekitar RPA.
Bulu unggas termasuk salah satu dari limbah yang dihasilkan oleh RPA
unggas tersebut masih relatif sedikit dari jumlah limbah bulu unggas tersebut
makalah ini akan membahas mengenai pengolahan bulu unggas menjadi tepung
II
ISI
ruminansia belum banyak dilakukan. Hal ini disebabkan karena protein yang
terkandung didalamnya sulit dicerna. Protein kasar bulu ayam termasuk dalam
jenis protein serat, yaitu keratin yang sulit dicerna baik oleh mikroorganisme
pada saluran pencernaan pascarumen. Nilai RUP tersebut berkisar antara 53-88%,
ayam di pasar. Bulu ayam sampai saat ini belum banyak dimanfaatkan dan hanya
sebagian kecil saja yang dimanfaatkan sebagai bahan untuk membuat kemoceng,
pengisi jok, pupuk tanaman, kerajinan tangan/hiasan dan shuttle cock (Adiati
dkk., 2004)
Menurut Packham (1982) bahwa dari hasil pemotongan setiap ekor ternak
unggas akan diperoleh bulu sebanyak ± 6% dani bobot hidup (bobot potong ± 1,5
kg). Sebelum bulu ayam diberikan ke Ternak, bulu ayam diolah terlebih dahulu
menjadi tepung. Pemrosesan bulu ayam pada prinsipnya untuk melemahkan atau
4
rumen (rumen undegradable protein / RUP), tetapi mampu diurai secara enzimatis
pada saluran pencernaan pasca rumen. Nilai RUP tersebut berkisar 53-88 %,
sementara nilai kecernaan tepung bulu ayam dalam rumen hanya 12-46 %.
Menurut pengalaman Thomas dan Beeson penggunaan tepung bulu ayam dalam
bulu dapat digunakan pada level tidak lebih dari 4 % dari total formula ransum
semakin baik pula hasilnya. Semakin banyak digunakan tepung ini justru akan
menekan prestasi unggas, produksi telur berkurang dan pertambahan berat badan
memutuskan ikatan sulfur dari sistin di dalam bulu ayam tersebut (Adiati et al
2004). Pemutusan ikatan keratin tersebut, bulu ayam dapat diolah dengan
menggunakan empat metode, antara lain fisik, kimiawi dan fisik, kimiawi, dan
mikrobiologis. Bulu ayam yang telah terhidrolisis dinamakan hidrolisat bulu ayam
(HBA).
yaitu tidak bersaing dengan manusia dan harga relatif lebih murah. Hal ini
menggunakan bahan dasar bungkil kedelai. Menurut Achmad (2001) HBA yang
5
dan suhu tinggi selama 8 jam meningkatkan kecernaan kadar protein sebesar 76%
(Adiati dkk., 2004). Pemrosesan kimiawi dan asam menggunakan HCl 12%
dengan lama hidrolisis 4 hari menghasilkan nilai kecernaan bahan kering sebesar
59,83%. Nilai kecernaan bahan kering dapat ditingkatkan menjadi 82,99% dengan
HBA dapat menyebabkan denaturasi protein, sehingga kualitas protein bulu ayam
Zerdani et al (2004)
menghidrolisis bulu ayam. Bakteri ini akan menghasilkan enzim keratinase yang
akan mendegradasi protein yang terdapat di bulu ayam. Hasil dari teknik
7,68% dan tingkat kecernaan berat kering 25,92%. Trichoderma sp. memiliki
tingkat kecernaan protein 16,40% dan kecernaan berat kering sebesar 30,15%.
Tingkat kecernaan protein yang dihasilkan oleh Penicillium sp. sebesar 28,89%
6
dan kecernaan berat kering sebesar 31,84%. Dilihat dari hasil tersebut
menunjukkan bahwa Penicillium sp. memiliki daya kerja yang lebih baik, hal ini
karena dalam fermentasi tepung bulu ayam isolat jamur ini menghasilkan zat
meningkatkan nilai gizi HBA dan membantu proses pencernaan HBA dalam
tubuh. Tingkat kecernaan berat kering pun disebabkan karena Penicillium sp.
2008).
respon yang positif terhadap kecernaan bahan kering dan protein. HBA yang
terbentuk dari semua proses memiliki kelebihan asam amino dalam jumlah asam
amino leusin, isoleusin, dan valin yang bermanfaat dalam membantu sintesis
protein mikroba rumen. Taraf penggunaan HBA untuk pakan ternak memiliki
batasan antara 2%-3%. Taraf ini merupakan taraf yang paling maksimal dalam
Mathius 2007). Bulu ayam memiliki potensi sebagai pakan ternak ruminansia,
ternak. Pemakaian protein (keratin) pada bulu ayam harus melalui proses terlebih
dahulu. Proses yang dapat digunakan ada beberapa cara yakni secara fisik,
kimiawi dan asam, kimiawi dan basa, serta mikrobiologi. Teknik fisik
meningkatkan kecernaan bahan kering sebesar 59,83%. Teknik kimia dengan basa
bahan pakan adalah limbah peternakan berupa bulu. Setiap tahun rata-rata berat
ayam yang dipotong secara nasional adalah 800-900 ribu ton. Secara teknis, berat
bulu adalah 6,5% bobot hidup, maka setiap tahun akan didapat limbah bulu sekitar
52 ribu ton. Potensi bulu yang sedemikian besar tersebut sayang jika tidak
dimanfaatkan mengingat kandungan protein kasar bulu yang cukup tinggi yaitu
sistin, ikan ether, ikatan garam dan ikatan hidrogen yang menyebabkan daya cerna
rendahnya kandungan asam amino methionin. Akan tetapi hal itu bisa diatasi
dengan suplementasi bahan pakan sumber methionin ke dalam ransum. Berikut ini
bulu ayam, yaitu: (1) Penambahan asam dan basa; (2) Menggunakan bantuan
Penggunaan tepung bulu unggas sebagai bahan pakan sumber protein ternak
merupakan salah satu pilihan yang perlu mendapat pertimbangan. Dari hasil
pertambahan bobot hidup maupun produksi susu. Respons yang cukup baik
Kendala utama penggunaan tepung bulu ayam dalam ransum untuk ternak
adalah rendahnya daya cerna protein bulu. Hal tersebut disebabkan sebagian besar
kandungan protein kasar berbentuk keratin (Sri Indah, 1993). Dalam saluran
pencernaan, keratin tidak dapat dirombak menjadi protein tercerna sehingga tidak
dapat dimanfaatkan oleh ternak. Agar dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan,
bulu ayam harus beri perlakuan, dengan memecah ikatan sulfur dari sistin dalam
Diketahui ada empat metode pemrosesan bulu ayam, yaitu secara fisik dengan
tekanan dan temperatur tinggi, secara kimiawi dengan asam, basa atau karbonasi
protein.
Proses kimiawi dilakukan dengan penambahan HCl 12%, dengan ratio 2:1
pada bulu ayam yang sudah bersih, lalu disimpan dalam wadah tertutup selama
empat hari. Sampel yang telah direndam oleh HCl 12% kemudian dikeringkan dan
pemrosesan bulu ayam dengan asam HCl 3% dan HCl 12% selama 3 hari
45,5%. Hasil yang lebih tinggi dilaporkan oleh Puastuti, dkk (2004) bahwa
pemrosesan bulu ayam menggunakan asam HCl 12% dengan lama hidrolisis 4
hari tanpa pemanasan dan tekanan mampu meningkatkan kecernaan bahan kering
in vitro sebesar 59,83% dan kecernaan protein in sacco dalam rumen selama 24
jam sebesar 53,34%. Hasil ini merupakan kecernaan terbaik sebagai sumber
protein bypass untuk ruminansia (Puastuti dkk, 2004). Nilai kecernaan BK bulu
ayam dapat ditingkatkan hingga 82,99% pada penggunaan HCl 24% dengan lama
hidrolisis 6 hari, tetapi protein bulu ayam menjadi rusak. Kerusakan HBA
10
(Hidrolisis Bulu Ayam) tersebut ditunjukkan dengan perubahan warna dari putih
menjadi coklat akibat terjadinya reaksi browning dan secara kimia ditunjukkan
dengan tingginya kadar amonia yang dihasilkan (> 30 mM). Dari hasil penelitian
tersebut tampak bahwa bahan kimia dan konsentrasinya serta lama waktu
autoklaf. Bulu ayam yang sudah siap kemudian dikeringkan dan digiling (Puastuti
Lama pemanasan juga dapat meningkatkan kecernaan pepsin tepung bulu ayam
hingga 62,9 %. Namun, pemanasan yang terlampau lama dapat merusak asam
amino lisin, histidin dan sistin serta menyebabkan terjadinya reaksi kecoklatan
hasil pemrosesan bulu ayam dengan tekanan uap 1,06 kg/cm2 dan suhu 121°C
menggunakan NaOH 0,25% selama 0,5 jam dan H3PO4 0,25% selama 4 jam
III
KESIMPULAN
12
(1) Bulu ayam merupakan limbah dari rumah pemotongan ayam (RPA)
(2) Kualitas tepung bulu untuk ruminansia yang baik adalah tepung
(3) Kandungan nutrisi tepung bulu yaitu Protein Kasar (81,91%), Lemak
autoklaf. Bulu ayam yang sudah siap kemudian dikeringkan dan digiling.
DAFTAR PUSTAKA
13
Adiati, U., W. Puastuti dan I-W. Mathius. 2004. Peluang Pemanfaatan Tepung
Bulu Ayam Sebagai Bahan Pakan Ternak Ruminansia. Wartazoa. 14(1):
39 – 44.
Puastuti, W dan U. Adiati. 2003. Bulu Unggas untuk Pakan Ruminansia. Balai
Penelitian Ternak. Bogor.
Sri Indah Z. 1993. Pengaruh Lama Pengolahan dan Tingkat Pemberian Tepung
Bulu Terhadap Performans Ayam Jantan Broiler. Skripsi. Fakultas
Peternakan IPB. Bogor.
Steiner, R.J., R.O. Kellems and D.C. Church. 1983. Feather and Hair Meals for
Ruminant. IV. Effects of Chemical Treatments of Feathers and Processing
Time on Digestibility. J. Anim. Sci. 57: 495 – 502.