Anda di halaman 1dari 17

TRAUMA KEPALA

CLINICAL SCIENCE SESSION

Oleh :
Vicky M. Ramdhani C11050178
Ita Maftuhah C11050180

Preceptor Utama :
Irra Rubianti, dr., SpB., SpBP

Preceptor :
Ahmad Imron, dr., SpBS

SUB BAGIAN BEDAH SARAF


RS. DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2006
BAB I
PENDAHULUAN

Trauma kepala tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang


cukup serius, sekalipun dengan adanya sistem pengobatan modern pada abad
21. Kebanyakan pasien dengan trauma kepala (75-80 %) adalah trauma
kepala ringan, sementara sisanya terbagi secara merata antara sedang dan
berat.
Hampir 100% dari orang-orang dengan trauma kepala berat dan
sekitar dua per tiga dari orang-orang dengan trauma kepala sedang akan
mengalami disability yang permanen, dan tidak akan kembali ke keadaan
seperti sebelum terjadi trauma.
Insidensi terjadinya trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan
sekitar 180-220 kasus per 100.000 populasi (atau sekitar 600.000 kasus yang
terjadi setiap tahunnya), dan sekitar 10 % dari kasus-kasus tersebut adalah
fatal, dan memerlukan perawatan intensif di rumah sakit.
Banyak mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya trauma
kepala, dan penyebab yang paling sering adalah kecelakaan lalu lintas
(seperti tabrakan, pejalan kaki yang tertabrak motor, kecelakaan sepeda),
jatuh, trauma ketika berolahraga, dan trauma penetrasi. Pada daerah
pinggiran (suburban atau rural), kecelakaan kendaraan bermotor terjadi pada
lebih dari setengah kasus trauma kepala. Sementara untuk daerah dengan
populasi lebih dari 100.000 penduduk, jatuh dan luka penetrasi adalah
penyebab yang paling umum. Sedangkan rasio terjadinya trauma kepala
antara pria dan wanita adalah 2:1, dan prevalensi terbanyak ditemukan pada
usia < 35 tahun.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi
Trauma kepala mempunyai pengertian yang luas. Di dalam literatur
disebutkan ada beberapa pengertian tentang trauma kepala. Salah satunya
menurut Field (1976). Menyebutkan bahwa trauma kepala adalah trauma
yang menyebabkan beberapa resiko kerusakan otak. Klauber et al (1981)
mengartikan trauma kepala sebagai penderita yang mengalami trauma kepala
yang mengakibatkan fraktur tulang tengkorak, tidak sadar, amnesia, defisit
neurologis atau kejang.

2.2 Patofisiologi
Otak mempunyai beberapa hal yang membedakannya dengan sistem
organ lain. Perbedaan yang paling penting adalah bahwa otak dilapisi tulang
tengkorak, yang merupakan kontainer yang kaku dan tidak elastis. Karena
otak dilapisi oleh sebuah kontainer inelastis, hanya peningkatan yang kecil
dari volume kompartemen intrakranial yang masih dapat ditolerir sebelum
tekanan akhirnya meningkat secara dramatis. Konsep ini diperkenalkan oleh
Monro-Kellie, yang menyatakan bahwa volume intrakranial total adalah tetap
karena adanya struktur inelastik dari tulang tengkorak. Volume intrakranial
(Vi/c) adalah sam dengan jumlah dari seluruh komponennya, yaitu:
Vi/c = V (otak) +V (cairan serebrospinal) +V (darah)

Volume darah serebral intravaskuler adalah sekitar 10 %, dan cairan


serebrospinal adalah < 3 %. Ketika trauma kepala yang signifikan terjadi,
edema serebral seringkali muncul, yang akan meningkatkan volume relatif
dari otak. Karena volume intrakranial adalah tetap, tekanan dalam
kompartemen ini akan meningkat, kecuali terjadi beberapa mekanisme
kompensasi, seperti penurunan pada volume satu dari komponen intrakranial
yang lain. Hal ini berhubungan erat dengan konsep intracranial compliance,
yang diartikan sebagai perubahan dari tekanan karena perubahan volume.
Compliance = perubahan volume / perubahan tekanan

2
Compliance ini didasarkan atas indeks tekanan volume (PVI) pada
kompartemen intrakranial. PVI menggambarkan perubahan pada tekanan
intrakranial yang terjadi ketika sejumlah kecil cairan masuk ke dalam
kompartemen intrakranial. Secara singkat, otak mempunyai compliance yang
sangat terbatas dan tidak bisa mentolerir peningkatan volume yang signifikan
yang dapat berasal dari difusi edema serebral atau dari suatu lesi luas seperti
hematoma. Setiap pengobatan yang rasional terhadap trauma kepala adalah
berdasarkan konsep doktrin Monro-Kellie dan bagaimana intervensi tertentu
mempengaruhi compliance intrakranial. Ketika volume dari setiap komponen
intrakranial menurun, maka tekanan intrakranial pun akan menurun.
Konsep lain yang penting pada patofisiologi trauma kepala adalah
konsep tekanan perfusi serebral (CPP). CPP diartikan sebagai perbedaan
antara tekanan rata-rata arterial (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP).
CPP = MAP – ICP
Pada prakteknya, CPP adalah tekanan pada pengiriman darah ke otak.
Pada individu yang menderita hipertensi jangka panjang dengan otak yang
tidak mengalami trauma, aliran darah serebral (CBF) adalah konstan pada
kisaran MAP 50-150 mmHg. Hal ini terjadi karena autoregulasi dari arteriol,
yang akan berkonstriksi atau berdilatasi sesuai dengan kisaran tekanan darah
untuk mempertahankan jumlah aliran darah ke otak yang konstan.
Ketika MAP kurang dari 50 mmHg atau lebih dari 150 mmHg, arteriol
tidak sanggup untuk mengatur dan aliran darah menjadi sepenuhya
bergantung pada tekanan darah, disebut dengan pressure-passive flow. CBF
tidak akan konstan lagi tetapi bergantung dan proporsional terhadap CPP.
Ketika MAP turun hingga di bawah 50 mmHg, otak beresiko untuk terjadi
iskemi karena insufisiensi aliran darah, sementara jika MAP lebih besar dari
160 mmHg akan menyebabkan peningkatan CBF yang akan menghasilkan
peningkatan ICP. Sistem autoregulasi bekerja dengan baik pada otak yang
tidak traumatik, sementara pada otak yang traumatik terjadi gangguan.
Sebagai hasilnya, pressure-passive flow terjadi pada dan di sekitar area yang
mengalami trauma, dan mungkin, meluas ke otak yang mengalami trauma.

3
Trauma kepala dibagi menjadi dua, trauma kepala primer dan trauma
kepala sekunder. Trauma kepala primer diartikan sebagai trauma awal pada
otak sebagai hasil langsung dari trauma. Hal ini merupakan trauma struktural
awal yang disebabkan oleh impact pada otak, dan seperti bentuk trauma
neural yang lain, pasien sembuh secara perlahan. Sedangkan trauma kepala
sekunder adalah trauma subsekuen apapun pada otak setelah terjadi
kerusakan awal. Trauma kepala sekunder ini dapat berasal dari hipotensi
sistemik, hipoksia, peningkatan ICP, atau sebagai hasil biokimia dari
perubahan fisiologi yang diawali oleh original traumanya. Pengobatan dari
trauma kepala secara langsung adalah untuk mencegah atau
meminimalisasikan trauma kepala sekunder.
Peningkatan ICP mungkin berasal dari trauma otak awal atau dari
trauma sekunder terhadap otak. Pada orang dewasa, ICP normal adalah
sekitar 0-15 mmHg. Sementara pada anak-anak, batas atas dari nilai normal
ICP adalah lebih rendah, sekitar 10 mmHg. Peningkatan ICP akan
menghasilkan penurunan CPP dan penurunan CBF, yang mana, jika cukup
berat, akan berakibat pada iskemi serebral. Peningkatan ICP yang berat
adalah berbahaya, karena akan meningkatkan resiko terhadap iskemi, dan
ICP yang tidak terkontrol akan menyebabkan herniasi. Herniasi melibatkan
pergerakan dari otak melewati struktur dural, yang akan berakibat pada
trauma serebral yang fatal dan ireversibel.

2.3 Keadaan Klinis


Trauma kepala bisa dibedakan menjadi 2 kategori besar, trauma
kepala tertutup dan trauma kepala penetrasi. Keadaan klinis dari pasien
dengan trauma kepala sangatlah bervariasi. Glasgow Coma Scale (GCS) yang
dikembangkan oleh Jennet dan Teasdale sering digunakan untuk
menggambarkan tingkat kesadaran pasien trauma kepala. GCS dibagi menjadi
3 kategori, pembukaan mata (E), respon motorik (M), dan respon Verbal (V).
Skor adalah merupakan hasil penjumlahan dari ketiga kategori tersebut,
dengan skor maksimum 15 dan skor minimum 3.
Skor GCS = E + M + V

4
Glasgow Coma Scale
Eye Opening

Score ≥ 1 Year 0-1 Year

4 Spontaneously Spontaneously

3 To verbal command To shout

2 To pain To pain

1 No response No response

Best Motor Response

Score ≥ 1 Year 0-1 Year

6 Obeys command

5 Localizes pain Localizes pain

4 Flexion withdrawal Flexion withdrawal

Flexion abnormal
3 Flexion abnormal (decorticate)
(decorticate)

2 Extension (decerebrate) Extension (decerebrate)

1 No response No response

Best Verbal Response

Score > 5 Years 2-5 Years 0-2 Years

Appropriate
5 Oriented and converses Cries appropriately
words

Inappropriate
4 Disoriented and converses Cries
words

Inappropriate
3 Inappropriate words; cries Screams
crying/screaming

2 Incomprehensible sounds Grunts Grunts

1 No response No response No response

5
2.4 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
2.4.1 Anamnesis
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
- Penurunan kesadaran
- Nyeri kepala
III.Anamnesis tambahan :
- Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
- Bagaimana mekanisme kejadian, bagian tubuh apa saja yang
terkena, dan tingkat keparahan yang mungkin terjadi)
Berdasarkan mekanismenya, trauma dibagi menjadi :
a. Cedera tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan)
- kecepatan rendah (terjatuh atau terpukul)
b. Cedera tembus (luka tembus peluru atau tusukan) adanya penetrasi
selaput dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera
tembus atau cedera tumpul.
Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9. Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita
sudah mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.

6
2.4.2 Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan
adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur
tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
 Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara - jalan
nafas bebas.
 Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau
berkumur - ada obstruksi parsial.
Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
 Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan
tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.
 Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi
atau rotasi pada leher.
 Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang
dengan multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi
pada leher, sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat
disingkirkan.
B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
 Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang
baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.
 Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan
dan jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada
sama kiri dan kanan.
 Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam
rongga pleura.
 Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam
paru-paru
 Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail
chest, dengan kontusio paru, dan open pneumothorasks harus

7
ditemukan pada primary survey.
 Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan
kontusio paru harus dikenali pada secondary survey
Keterangan tambahan :
Gejala tension pneumothoraks :
 Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan.
takikardi, hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara
nafas pada satu sisi, dan distensi vena leher, hipersonor, sianosis
(manifestasi lanjut).
Gejala Flail Chest :
 Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan
pernafasan abnormal, dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.
Gejala Open pneumothorax:
 Hipoksia dan hiperkapnia
Gejala hematothorax:
 Nyeri dan sesak nafas
 Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena
perdarahan. Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.
 Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak
terdengar atau menghilang.
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
 Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti
sebaliknya.
 Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga
dapat mengakibatkan penurunan kesadaran.
 Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-
abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda hipovolemik.
 Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia

8
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara
penekanan pada luka
D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah
tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya
parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
 A : sadar (Alert)
 V : respon terhadap suara (Verbal)
 P : respon terhadap nyeri (Pain)
 U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan
pada primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
- Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konklusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah

9
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
c. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
- Skor GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak
atau trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu
tingkat kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah
disingkirkan, maka trauma kepala dapat dianggap sebagai penyebab
penurunan kesadaran, bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.
E. Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan
evaluasi terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe,
examination), termasuk reevaluasi tanda vital. Pada bagian ini dilakukan
pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika belum dilakukan pada primary
survey. Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat
ada jejas.

2.5 Penanganan
Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1)
Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2)
Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu
penyembuhan sel-sel otak yang sakit.
Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan
aman. Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat
berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting.

10
Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita
cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak
daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan
mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa
stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya.
Faktor-faktor yang memperburuk prognosis antara lain :
- Terlambat penanganan awal/resusitasi
- Pengangkutan/transport yang tidak adekuat
- Dikirim ke RS yang tidak adekuat
- Terlambat dilakukan tindakan bedah
- Disertai cedera multipel yang lain

Penanganan di Tempat Kejadian


Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang
perawatan sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering
adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip
penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan
manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain,
seperti leher, tulang punggung, dada dan pelvis.
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam
brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai
dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal,
nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis.
Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam
waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup
menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantua
pernafasan.
Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway).
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang
tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya
pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan

11
jalan napas harus melindungi vertebra servikalis ( cervical spine control), yaitu
tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.
Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan
hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat
dihilangkan dengan cara membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia.
Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa
orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan
napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat ( breathing). Apabila
tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita
dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya
dilakukan intubasi endotrakheal.
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi
ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk
memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50
mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan
pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl
0,9%, sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-
ragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap
cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang
berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah
head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan
bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

12
2.6 Trauma Kepala Khusus
a. Patah Tulang Tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang
tengkorak. Patah tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang
kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak.
Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek meningens (selaput otak).
Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan meningens) bisa
merembes ke hidung atau telinga. bakteri kadang memasuki tulang tengkorak
melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan
hebat pada otak. sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan
pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya
bergeser.

b. Gegar otak dan robekan otak


Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang
biasanya disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan
otak adalah robekan pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di
kepala yang nyata dan patah tulang tengkorak. Gegar otak dan robekan otak
lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak
yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh
yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.
Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada
jaringan otak, pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi
otak. Pengobatan akan lebih rumit jika cedera otak disertai oleh cedera
lainnya,terutamacederadada.

13
c. Perdarahan Intrakranial
Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan
darah di dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma
intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera
biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma
subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan tulang
tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa
terlihat pada CT SCAN atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan
cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.
Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia
lanjut dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah
beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan menekan otak,
menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan jaringan
otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi
penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua
sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan
kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada
usia lanjut.
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak
diantara meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang
tengkorak telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih
tinggi sehingga lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa
segera timbul tetapi bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit
kepala kadang menghilang, tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan
lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya bisa terjadi peningkatan
kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini
sangat penting dan biasanya tergantung kepada ct scan darurat. Hematoma
epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam tulang
tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan
penyumbatan sumber perdarahan.

14
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling
otak. Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat
atau beberapa saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih
ringan. Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling
sering terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik.
Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya ringan, selama beberapa minggu
gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan ct scan dan mri bisa
menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada bayi bisa
menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih
lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali
diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan
gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.
Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:
- sakit kepala yang menetap
- rasa mengantuk yang hilang-timbul
- linglung
- perubahan ingatan
- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

15
DAFTAR PUSTAKA

National Institute for Clinical Excellence. 2003. Head Injury. London. Oaktree
Press.

Reilly, P., Bullock, R. 1997. Head Injury : Pathophysiology and Management


of Severe Closed Injury. Chapman & Hall Medical.

Saul, T.G. 1998. Management of Head Injury. American College of Surgeons


Committee on Trauma.

Sjamsuhidayat, R., de Jong, W. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi.
Jakarta : EGC

16

Anda mungkin juga menyukai