Anda di halaman 1dari 24

TEKANAN TINGGI INTRAKRANIAL

PADA TRAUMA KEPALA

CLINICAL SCIENCE SESSION

Oleh :
Firman Setya Wardhana C1104002
Agus Junaidi C1104004
Novi Vicahyani Utami C1104006

Pembimbing :
Ahmad Adam, dr., Sp.BS

SUB BAGIAN BEDAH SARAF


RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJADJARAN
BANDUNG
2006
BAB I
PENDAHULUAN

Tulang tengkorak merupakan suatu struktur yang rigid, dan mencakup tiga
komponen utama yang terdiri dari: otak (mencakup elemen neuroglia dan cairan
interstisial), darah (arteri dan vena), serta likuor serebrospinalis. Pada keadaan
fisiologis normal volume intrakranial selalu dipertahankan konstan dengan tekanan
intrakranial sebesar 10 mmHg. Peningkatan salah satu komponen isinya (otak, darah
dan cairan cerebrospinal) atau adanya massa dalam tulang tengkorak ini menyebabkan
terjadinya tekanan tinggi intrakranial (TTIK).
Adanya suatu penambahan massa intrakranial akan menimbulkan kompensasi
melalui penurunan volume darah vena dan likuor secara resiprokal. Peristiwa ini
dikenal sebagai doktrin Monro-Kellie Burrows, yang telah dibuktikan melalui
berbagai penelitian eksperimental maupun klinis (hanya pada anak-anak saja yang
suturanya masih belum menutup dan tengkoraknya masih .dapat membesar, dapat
mengakomodasi penambahan volume intrakranial). Sistem vena akan segera
mengempis kolaps dan darah akan diperas keluar melalui vena jugularis atau vena-
vena emisaria dan kulit kepala. Likuor juga akan terdesak melalui foramen magnum
ke arah rongga subarakhnoid spinalis. Mekanisme kompensasi ini hanya berlangsung
sampai batas tertentu dan kemudian akan terjadi peningkatan tekanan intrakranial
secara tiba-tiba. Parenkim otak dan darah arteri tidak ikut serta dalam mekanisme
kompensasi tersebut di atas.
Tekanan tinggi intrakranial dapat terjadi oleh berbagai sebab, diantaranya: lesi
massa (hematoma, neoplasma, abses edema fokal), sumbatan saluran likuor, obstruksi
sinus vena yang besar, edema otak difus dan adapula yang idiopatik seperti pada
pseudotumor serebri. Penyebab tersering yang dijumpai sehari-hari adalah cedera otak
traumatika. Pada kasus-kasus cedera kepala berat (penderita tidak sadar dan tidak
mampu menurut perintah), 44%-nya mempunyai tekanan intrakranial >20mmHg dan
82% mempunyai tekanan intrakranial >10mmHg. Tingginya tekanan intrakranial
mempunyai korelasi dengan prognosis penderita yang buruk, atau dengan kata lain
penderita-penderita cedera kepala berat meninggal sebagai akibat hipertensi
intrakranial.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Tekanan Intrakranial

Tekanan intrakranial adalah tekanan di dalam rongga tengkorak relatif


terhadap tekanan atmosfer, dimana ia merupakan suatu daya dinamik yang
berfluktuasi secara ritmis seiring dengan irama jantung dan pernafasan, serta
dipengaruhi pula oleh proses fisiologis tertentu.
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan
tekanan intrakranial yang selanjutnya akan mengganggu fungsi otak yang akhirnya
berdampak buruk terhadap kesudahan penderita. Tekanan intrakranial yang tinggi
dapat menimbulkan konsekuensi yang mengganggu fungsi otak dan tentunya
mempengaruhi pula kesembuhan penderita. Jadi, kenaikan tekanan intrakranial (TIK)
tidak hanya merupakan indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi justru sering
menjadi masalah utamanya. TIK normal pada saat istirahat kira-kira 10 mmHg (136
mmH2O), TIK lebih tinggi dari 20 mmHg dianggap tidak normal dan TIK lebih dari
40 mmHg termasuk dalam kenaikan TIK berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera
kepala, semakin buruk prognosisnya.

2.2 Doktrin Monro-Kellie


Doktrin Monro-Kellie merupakan suatu konsep sederhana yang dapat
menerangkan pengertian dinamik TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume
intrakranial selalu konstan karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga
yang tidak mungkin mekar.

2
TIK yang normal tidak berarti tidak adanya lesi masa intrakranial karena TIK
umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita mencapai titik
dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume. Nilai TIK
sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar pada kurva berapa
banyak volume lesi masanya.

Pada gambar 1 dan gambar 2 tersebut dapat dipahami bagaimana kompensasi


intrakranial terhadap masa yang berkembang. Volume isi intrakranial akan selalu
konstan. Bila terdapat penambahan masa seperti adanya hematoma akan
menyebabkan tergesernya CSs dan darah vena keluar dari ruang intrakranial dengan
volume yang sama, TIK akan tetap normal. Namun bila mekanisme kompensasi ini
terlampaui maka kenaikan jumlah masa yang sedikit saja akan menyebabkan kenaikan
TIK yang tajam, seperti tampak pada gambar 2. Oleh karena itu, segala sesuatunya
diupayakan untuk menjaga agar TIK penderita tetap pada garis datar kurva volume-
tekanan, dan tidak membiarkannya sampai melewati titik dekompensasi.

2.3 Tekanan Perfusi Otak


Mempertahankan tekanan darah yang adekuat pada penderita cedera kepala
adalah sangat penting, dan ternyata dalam observasi selanjutnya tekanan perfusi otak
(TPO) adalah indikator yang sama pentingnya sengan TIK. Tekanan perfusi otak atau

3
cerebral perfussion pressure (CPP) diartikan sebagai perbedaan antara tekanan rata-
rata arterial (TAR/MAP) dan tekanan intrakranial (TIK/ICP).
Prakteknya, CPP adalah tekanan pada pengiriman darah ke otak. Secara matematis
dapat dituliskan sebagai berikut:
TPO = TAR – TIK
TPO kurang dari 70 mmHg umumnya berkaitan dengan kesudahan yang buruk pada
penderita cedera kepala. Pada keadaan TIK yang tinggi ternyata sangat penting untuk
tetap mempertahankan tekanan darah yang normal. Beberapa penderita tertentu
bahkan membutuhkan tekanan darah yang diatas normal untuk mempertahankan TPO
yang adekuat. Mempertahankan TPO adalah prioritas yang sangat penting dalam
penatalaksanaan penderita cedera kepala berat.

2.4 Aliran Darah Otak


Aliran darah otak atau Cerebral Blood Flow (CBF) normal ke dalam otak kira-
kira 55-60 ml/100gram jaringan otak/menit. Bila CBF menurun sampai 20-25
ml/100gram jaringan otak/menit maka aktivitas EEG akan hilang dan pada CBF 5
ml/100gram jaringan otak/menit sel-sek otak akan mengalami kematian dan terjadi
kerusakan menetap. Pada penderita non trauma, fenomena autoregulasi
mempertahankan CBF pada tingkat yang konstan apabila tekanan darah arteri rata-
rata 50-160 mmHg. Hal ini juga masih berlaku pada pasien yang menderita hipertensi
jangka panjang dengan otak yang tidak mengalami trauma, aliran darah serebral
(CBF) adalah konstan pada kisaran MAP 50-150 mmHg. Hal ini terjadi karena
autoregulasi dari arteriol, yang akan berkonstriksi atau berdilatasi sesuai dengan
kisaran tekanan darah untuk mempertahankan jumlah aliran darah ke otak yang
konstan.
Ketika MAP kurang dari 50 mmHg atau lebih dari 160 mmHg, arteriol tidak
sanggup untuk mengatur dan aliran darah menjadi sepenuhya bergantung pada
tekanan darah, disebut dengan pressure-passive flow. CBF tidak akan konstan lagi
tetapi bergantung dan proporsional terhadap CPP. Maka, ketika MAP turun hingga di
bawah 50 mmHg, otak beresiko untuk terjadi iskemi karena insufisiensi aliran darah,
sementara jika MAP lebih besar dari 160 mmHg akan menyebabkan peningkatan
CBF yang akan menghasilkan peningkatan ICP. Sistem autoregulasi bekerja dengan
baik pada otak yang tidak traumatik, sementara pada otak yang traumatik terjadi

4
gangguan. Sebagai hasilnya, pressure-passive flow terjadi pada dan di sekitar area
yang mengalami trauma, dan mungkin, meluas ke otak yang mengalami trauma.
2.5 Definisi Trauma Kepala
Trauma kepala adalah gangguan pada otak yang bersifat non degeneratif dan
non kongenital yang disebabkan oleh kekuatan mekanik eksternal, yang
menyebabkan terjadinya kerusakan kognitif, fisikal, dan fungsi psikososial yang
permanen atau sementara, dengan disertai berkurangnya atau perubahan tingkat
kesadaran.
Akan tetapi, definisi dari trauma kepala adalah tidak selalu tetap dan
cenderung untuk bervariasi bergantung kepada spesialitas dan keadaan lingkungan.
Seringkali, trauma/cedera otak disamakan dengan trauma kepala.

2.6 Epidemiologi
Trauma kepala tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat yang cukup
serius, sekalipun dengan adanya sistem pengobatan modern pada abad 21.
Kebanyakan pasien dengan trauma kepala (75-80 %) adalah trauma kepala ringan,
sementara sisanya terbagi secara merata antara sedang dan berat.
Hampir 100% dari orang-orang dengan trauma kepala berat dan sekitar dua
per tiga dari orang-orang dengan trauma kepala sedang akan mengalami disability
yang permanen, dan tidak akan kembali ke keadaan seperti sebelum terjadi trauma.
Insidensi terjadinya trauma kepala di Amerika Serikat diperkirakan sekitar
180-220 kasus per 100.000 populasi (atau sekitar 600.000 kasus yang terjadi setiap
tahunnya), dan sekitar 10 % dari kasus-kasus tersebut adalah fatal, dan memerlukan
perawatan intensif di rumah sakit.
Banyak mekanisme yang dapat menyebabkan terjadinya trauma kepala, dan
penyebab yang paling sering adalah kecelakaan kendaraan bermotor (seperti tabrakan,
pejalan kaki yang tertabrak motor, kecelakaan sepeda), jatuh, trauma ketika
berolahraga, dan trauma penetrasi. Pada daerah pinggiran (suburban atau rural),
kecelakaan kendaraan bermotor terjadi pada lebih dari setengah kasus trauma kepala.
Sementara untuk daerah dengan populasi lebih dari 100.000 penduduk, jatuh dan luka
penetrasi adalah penyebab yang paling umum. Sedangkan rasio terjadinya trauma
kepala antara pria dan wanita adalah 2:1, dan prevalensi terbanyak ditemukan pada
usia < 35 tahun.

5
2.7 Patofisiologi
Penanganan yang tepat dari trauma kepala membutuhkan pemahaman akan
patofisiologi dari trauma kepala. Otak mempunyai beberapa hal yang
membedakannya dengan sistem organ lain. Perbedaan yang paling penting adalah
bahwa otak dilapisi tulang tengkorak, yang merupakan kontainer yang kaku dan tidak
elastis. Karena otak dilapisi oleh sebuah kontainer inelastis, hanya peningkatan yang
kecil dari volume kompartemen intrakranial yang masih dapat ditolerir sebelum
tekanan akhirnya meningkat secara dramatis. Konsep ini diperkenalkan oleh Monro-
Kellie, yang menyatakan bahwa volume intrakranial total adalah tetap karena adanya
struktur inelastik dari tulang tengkorak. Volume intrakranial (V i/c) adalah sama
dengan jumlah dari seluruh komponennya, yaitu:
Vi/c = V (otak) + V (cairan serebrospinal) + V (darah)
Volume darah serebral intravaskuler adalah sekitar 10 %, dan cairan
serebrospinal adalah < 3 %. Ketika trauma kepala yang signifikan terjadi, edema
serebral seringkali muncul, yang akan meningkatkan volume relatif dari otak. Karena
volume intrakranial adalah tetap, tekanan dalam kompartemen ini akan meningkat,
kecuali terjadi beberapa mekanisme kompensasi, seperti penurunan pada volume satu
dari komponen intrakranial yang lain. Hal ini berhubungan erat dengan konsep
intracranial compliance, yang diartikan sebagai perubahan dari tekanan karena
perubahan volume.
Compliance = perubahan volume / perubahan tekanan
Compliance ini didasarkan atas indeks tekanan volume (PVI) pada
kompartemen intrakranial. PVI menggambarkan perubahan pada tekanan intrakranial
yang terjadi ketika sejumlah kecil cairan masuk ke dalam kompartemen intrakranial.
Secara singkat, otak mempunyai compliance yang sangat terbatas dan tidak bisa
mentolerir peningkatan volume yang signifikan yang dapat berasal dari difusi edema
serebral atau dari suatu lesi luas seperti hematoma. Setiap pengobatan yang rasional
terhadap trauma kepala adalah berdasarkan konsep doktrin Monro-Kellie dan
bagaimana intervensi tertentu mempengaruhi compliance intrakranial. Ketika volume
dari setiap komponen intrakranial menurun, maka tekanan intrakranial pun akan
menurun.
Konsep lain yang penting pada patofisiologi trauma kepala adalah konsep
tekanan perfusi serebral (CPP). CPP diartikan sebagai perbedaan antara tekanan rata-
rata arterial (MAP) dan tekanan intrakranial (ICP).

6
CPP = MAP – ICP
Pada prakteknya, CPP adalah tekanan pada pengiriman darah ke otak. Pada
individu yang menderita hipertensi jangka panjang dengan otak yang tidak mengalami
trauma, aliran darah serebral (CBF) adalah konstan pada kisaran MAP 50-150 mmHg.
Hal ini terjadi karena autoregulasi dari arteriol, yang akan berkonstriksi atau
berdilatasi sesuai dengan kisaran tekanan darah untuk mempertahankan jumlah aliran
darah ke otak yang konstan.
Ketika MAP kurang dari 50 mmHg atau lebih dari 150 mmHg, arteriol tidak
sanggup untuk mengatur dan aliran darah menjadi sepenuhya bergantung pada
tekanan darah, disebut dengan pressure-passive flow. CBF tidak akan konstan lagi
tetapi bergantung dan proporsional terhadap CPP. Maka, ketika MAP turun hingga di
bawah 50 mmHg, otak beresiko untuk terjadi iskemi karena insufisiensi aliran darah,
sementara jika MAP lebih besar dari 160 mmHg akan menyebabkan peningkatan
CBF yang akan menghasilkan peningkatan ICP. Sistem autoregulasi bekerja dengan
baik pada otak yang tidak traumatik, sementara pada otak yang traumatik terjadi
gangguan. Sebagai hasilnya, pressure-passive flow terjadi pada dan di sekitar area
yang mengalami trauma, dan mungkin, meluas ke otak yang mengalami trauma.
Trauma kepala dibagi menjadi dua, trauma kepala primer dan trauma kepala
sekunder. Trauma kepala primer diartikan sebagai trauma awal pada otak sebagai
hasil langsung dari trauma. Hal ini merupakan trauma struktural awal yang
disebabkan oleh impact pada otak, dan seperti bentuk trauma neural yang lain, pasien
sembuh secara perlahan. Sedangkan trauma kepala sekunder adalah trauma subsekuen
apapun pada otak setelah terjadi kerusakan awal. Trauma kepala sekunder ini dapat
berasal dari hipotensi sistemik, hipoksia, peningkatan ICP, atau sebagai hasil biokimia
dari perubahan fisiologi yang diawali oleh original traumanya. Pengobatan dari
trauma kepala secara langsung adalah untuk mencegah atau meminimalisasikan
trauma kepala sekunder.
Peningkatan ICP mungkin berasal dari trauma otak awal atau dari trauma
sekunder terhadap otak. Pada orang dewasa, ICP normal adalah sekitar 0-15 mmHg.
Sementara pada anak-anak, batas atas dari nilai normal ICP adalah lebih rendah,
sekitar 10 mmHg. Peningkatan ICP akan menghasilkan penurunan CPP dan
penurunan CBF, yang mana, jika cukup berat, akan berakibat pada iskemi serebral.
Peningkatan ICP yang berat adalah berbahaya, karena akan meningkatkan resiko
terhadap iskemi, dan ICP yang tidak terkontrol akan menyebabkan herniasi. Herniasi

7
melibatkan pergerakan dari otak melewati struktur dural, yang akan berakibat pada
trauma serebral yang fatal dan ireversibel.

2.8 Keadaan Klinis


Trauma kepala bisa dibedakan menjadi 2 kategori besar, trauma kepala
tertutup dan trauma kepala penetrasi. Keadaan klinis dari pasien dengan trauma
kepala sangatlah bervariasi. Glasgow Coma Scale (GCS) yang dikembangkan oleh
Jennet dan Teasdale sering digunakan untuk menggambarkan tingkat kesadaran
pasien trauma kepala. GCS dibagi menjadi 3 kategori, pembukaan mata (E), respon
motorik (M), dan respon Verbal (V). Skor adalah merupakan hasil penjumlahan dari
ketiga kategori tersebut, dengan skor maksimum 15 dan skor minimum 3.
Skor GCS = E + M + V

Glasgow Coma Scale

Eye Opening

Score ≥ 1 Year 0-1 Year

4 Spontaneously Spontaneously

3 To verbal command To shout

2 To pain To pain

1 No response No response

Best Motor Response

Score ≥ 1 Year 0-1 Year

6 Obeys command

5 Localizes pain Localizes pain

4 Flexion withdrawal Flexion withdrawal

Flexion abnormal
3 Flexion abnormal (decorticate)
(decorticate)

Extension
2 Extension (decerebrate)
(decerebrate)

1 No response No response

8
Best Verbal Response

Score > 5 Years 2-5 Years 0-2 Years

Oriented and Appropriate


5 Cries appropriately
converses words

Disoriented and Inappropriate


4 Cries
converses words

Inappropriate Inappropriate
3 Screams
words; cries crying/screaming

Incomprehensible
2 Grunts Grunts
sounds

1 No response No response No response

2.9 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Pada Trauma Kepala


2.9.1 Anamnesis Pada Trauma Kepala
I. Identifikasi pasien (nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan)
II. Keluhan utama, dapat berupa :
- Penurunan kesadaran
- Nyeri kepala
III.Anamnesis tambahan :
- Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
- Bagaimana mekanisme kejadian, bagian tubuh apa saja yang terkena, dan
tingkat keparahan yang mungkin terjadi)
Berdasarkan mekanismenya, trauma dibagi menjadi :
a. Cedera tumpul : - kecepatan tinggi (tabrakan)
- kecepatan rendah (terjatuh atau terpukul)
b. Cedera tembus (luka tembus peluru atau tusukan) adanya penetrasi selaput
dura menentukan apakah suatu cedera termasuk cedera tembus atau cedera
tumpul.
- Komplikasi / Penyulit
1. Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
2. Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
3. Ada sesak nafas, batuk-batuk

9
4. Muntah atau tidak
5. Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
6. Adanya kejang atau tidak
7. Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
8. Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
9.Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
- Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah
mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk
menentukan penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.

2.9.2 Pemeriksaan Fisik Pada Trauma Kepala


1. Primary Survey
A. Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
- Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara : jalan nafas
bebas.
- Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur:
ada obstruksi parsial.
- Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas : obstruksi total.
 Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan tersebut
definitif memerlukan pemasangan selang udara.
 Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi pada leher.
 Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan
multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher, sampai
kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.

B. Breathing, dengan ventilasi yang adekuat


 Pertukaran gas yang terjadi saat bernafas mutlak untuk pertukaran oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi
yang baik dari paru, dinding dada, dan diafragma.

10
 Pada inspeksi, baju harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan dan
jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan
kanan.
 Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.
 Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru
 Gangguan ventilasi yang berat seperti tension pneumothoraks, flail chest,
dengan kontusio paru, dan open pneumothorasks harus ditemukan pada
primary survey.
 Hematothorax, simple pneumothorax, patahnya tulang iga dan kontusio paru
harus dikenali pada secondary survey
Keterangan tambahan :
Gejala tension pneumothoraks :
 Nyeri dada dan sesak nafas yang progresif, distress pernafasan. takikardi,
hipotensi, deviasi trakea ke arah yang sehat, hilang suara nafas pada satu
sisi, dan distensi vena leher, hipersonor, sianosis (manifestasi lanjut).
Gejala Flail Chest :
 Gerak thorax asimetris (tidak terkoordinasi), palpasi gerakan pernafasan
abnormal, dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan.
Gejala Open pneumothorax:
 Hipoksia dan hiperkapnia
Gejala hematothorax:
 Nyeri dan sesak nafas
 Pada inspeksi mungkin gerak nafas tertinggal atau pucat karena
perdarahan. Fremikus sisi yang terkena lebih keras dari sisi yang lain.
 Pada perkusi, didapatkan pekak dengan batas dan bunyi nafas tidak
terdengar atau menghilang.
C. Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
 Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolumik sampai terbukti
sebaliknya.
 Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran.

11
 Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-
abuan dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda hipovolemik.
 Nadi
- Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
- Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
- Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
- Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
- Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara
penekanan pada luka

D. Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah
tingkat kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya
parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
 A : sadar (Alert)
 V : respon terhadap suara (Verbal)
 P : respon terhadap nyeri (Pain)
 U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan
pada primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary survey.

12
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
a. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
- Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
- Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing
- Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang-berat
b. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
- Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konklusi
- Amnesia pasca trauma
- muntah
- Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun, hemotimpanum,
otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
- Kejang
c. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
- Skor GCS 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak atau
trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu tingkat
kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan, maka
trauma kepala dapat dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran, bukan
alkohol sampai terbukti sebaliknya.

E. Exposure
• Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi
terhadap jejas dan luka.

2. Secondary Survey
Adalah pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination),
termasuk reevaluasi tanda vital.

13
• Pada bagian ini dilakukan pemeriksaan neurologis lengkap yaitu GCS jika
belum dilakukan pada primary survey
• Dilakukan X-ray foto pada bagian vang terkena trauma dan terlihat ada
jejas.

2.10 Penanganan Pada Tauma Kepala

Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan: (1)


Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; (2) Memperbaiki
keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel
otak yang sakit.

Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman.
Pendekatan ‘tunggu dulu’ pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena
diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering
diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder. Penderita cedera kepala dengan
hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi.
Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen.
Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan
secepatnya.

Faktor-faktor yang memperjelek prognosis: (1) Terlambat penanganan


awal/resusitasi; (2) Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; (3) Dikirim ke RS
yang tidak adekuat; (4) Terlambat dilakukan tindakan bedah; (5) Disertai cedera
multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian

Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan
sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok,
hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway,
breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat
memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan
pelvis.

14
Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain
shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang
sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot
flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan
bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi
vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga
perlu segera bantuan pernapasan.

Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika
penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam keadaan
adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang
dapat disebabkan oleh benda asing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat
fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi,
fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan
chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara membersihkan
dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya
dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu
bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat
(breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada
penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat
memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan
intubasi endotrakheal.

Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran
dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada
tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur
tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya
menunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan
cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg
untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan
secara kasar untuk memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang

15
dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila
ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya dengan dua
jalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena cedera sekunder akibat
hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam
posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat
menyebabkan bendungan vena di kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

2.11 Tanda-Tanda Klinis TTIK


Suatu peningkatan tekanan intrakranial akan menimbulkan gejala sebagai
berikut:
a. Sakit kepala
 memburuk pada paagi hari, diperburuk dengan posisi membungkuk
b. Muntah
 terjadi pada peningkatan tekanan intrakranial yang akut
c. Papil edema
 hal ini berkaitan dengan obstruksi cairan serebrospinal

2.12 Penanganan TTIK


Tujuan utama dan terapi TTIK adalah:
a. Mengupayakan suply oksigen dan nutrien serebral yang adekuat dengan cara
memelihara tekanan perfusi serebral dan oksigenasi arterial yang adekuat serta
menghindari hipoglikemia serta hiperglikemia
b. Menjaga peningkatan metabolisme serebral yang berlebihan (sepeti demam,
kejang) yang dapat memacu TTIK
Upaya strategis klinis yang diterapkan sehubungan dengan tujuan di atas
adalah:
a. Menghindari atau mencegah timbulnya faktor-faktor pencetus TTIK seperti
demam, kejang, nyeri, penggunaan obat stimulan SSP seperti ketamin,
hiperkapnia dan hipoksemia, batuk, muntah, mengedan, hipotensi atau
hipertensi, hipogliikemia atau hiperglikemia, hiponatremia

16
b. Mengobati penyakit atau penyebab primer misalnya evakuasi masa
intrakranial, memberikan obat-obatan atau upaya mengatasi edema serebral,
mengatasi dilatasi serebrovaskuler
c. Menurunkan tekanan intrakranial dengan upaya-upaya atau obat antara lain:
glukokortikoid, diuretika dan pembatasan cairan, posisi kepala yang
ditinggikan, barbiturat, lidokain, drainase likuor, operasi dekompresi, dan
hipotermia

Beberapa upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan:

Mannitol
Mannitol yang bekerja pada sawar darah otak dapat mengurangi volume intrakranial
secara keseluruhan. Dengan demikian, efek klinis segera dapat diperoleh dalam waktu
15 menit dan berakhir setelah satu sampai beberapa jam. Pada kondisi TTIK yang
gawat, terapi mannitol per infus dengan dosis 0.25-0.50 gr/kgBB diberikan dengan
guyur, dan kemudian dilanjutkan dengan dosis 0.25-0.50 gr/kgBB tiap 4-6 jam untuk
memelihara tekanan intrakranial di dalam rentang yang aman.

Hiperventilasi
Hiperventilasi diberikan pada awalnya secara manual sambil mengatur ventilator
untuk mencapai PaCO2 25-35mmHg. Tindakan ini dapat cepat menurunkan aliran
dan volume darah serebral, sehingga otomatis juga akan menurunkan tekanan
intrakranial. Aliran darah akan kembali normal dalam waktu 1-2 jam. Disamping itu
hiperventilasi juga menurunkan produksi likuor. Pemberian hiperventilasi sangat
efektif pada pasien-pasien yang terpasang intubasi dan memerlukan tindakan
penurunan segera dari TTIK.

Kortikosteroid
Biasanya deksametason diberikan 4-20mg i.v. setiap 6 jam untuk mengatasi edema
vasogenik (akibat tumaor) yang menyebabkan TTIK. Peranannya masih kontroversial
dalam terapi TTIK pada kasus-kasus trauma.

Furosemide
Furosemide 10-20 mg i.v. dan obat diuretika lainnya dapat menurunkan TTIK dengan

17
mengurangi edema dan produksi likuor; ia hanya efektif untuk TTIK yang akut.

Posisikan Kepala
Posisi kepala dielevasi 30-45 derajat untuk melancarkan drainage vena serebral,
sehingga dapat diharapkan meminimalkan kontribusi tekanan vena serebral terhadap
TTIK.

Restriksi Cairan
Pembatasan pemberian cairan diharapkan dapat mempertahankan osmolaritas serum

yang tinggi dan menurunkan keseluruhan cairan tubuh, sehingga cairan intrakranial

pun akan menurun. Pembatasan cairan ini diterapkan dengan cara pemberian cairan

intravena separuh sampai dua pertiga kebutuhan yang biasa.

Barbiturat

Barbiturat dapat menurunkan TTIK melalui cara penurunan aliran darah serebral,

penurunan metabolisme serebral dan aktivitas kejang. Pada keadaan akut biasanya

digunakan obat tiopental 1-4 mg/kgBB atau metoheksital yang diberikan secara bolus

intravena dan selanjutnya dapat diberikan berulang pada pasien yang terpasang

intubasi.

Lidokain

Pemberian lidokain 0.5-1.5 mg/kgBB intravena dapat menurunkan TTIK melalui

penurunan aliran darah dan penurunan metabolisme serebral. Penggunaannya

ditujukan untuk mengatasi kasus TTIK akut yang disertai gangguan hemodinamik dan

resiko tinggi untuk pemberian barbiturat. Pada pemberian dosis tinggi dapat

menimbulkan kejang atau reksi psikosis.

18
Operasi Dekompresi

Kraniektomi dekompresi merupakan tindakan operasi membuka durameter sehingga

tengkorak tidak lagi merupakan suatu ruangan tertutup, terjadi dekompresi dan

menciptakan perfusi serebral yang adekuat. Alternatif lain adalah tindakan operasi

reseksi jaringan otak yang mengalami edema (dekompresi internal) dimana dalam hal

ini tulang dapat ditutup kembali. Operasi dekompresi merupakan tindakan yang

dipilih untuk kasus-kasus yang tidak berespon terhadap terapi lain.

19
2.12 Trauma Kepala Khusus

a. Patah Tulang Tengkorak

Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Patah

tulang tengkorak bisa melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya

ke dalam rongga di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa

merobek meningens (selaput otak). Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara

otak dan meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga. bakteri kadang memasuki

tulang tengkorak melalui patah tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta

kerusakan hebat pada otak. sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan

pembedahan, kecuali jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.

b. Gegar otak dan robekan otak

Gegar otak (kontusio serebri) merupakan memar pada otak, yang biasanya

disebabkan oleh pukulan langsung dan kuat ke kepala. Robekan otak adalah robekan

pada jaringan otak, yang seringkali disertai oleh luka di kepala yang nyata dan patah

tulang tengkorak. Gegar otak dan robekan otak lebih serius daripada konkusio. MRI

menunjukkan kerusakan fisik pada otak yang bisa ringan atau bisa menyebabkan

kelemahan pada satu sisi tubuh yang diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.

Jika otak membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan

20
otak, pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Pengobatan

akan lebih rumit jika cedera otak disertai oleh cedera lainnya, terutama cedera dada.

c. Perdarahan Intrakranial

Perdarahan intrakranial (hematoma intrakranial) adalah penimbunan darah di

dalam otak atau diantara otak dengan tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa

terjadi karena cedera atau stroke. Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di

dalam pembungkus otak sebelah luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus

otak sebelah luar dengan tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis

perdarahan diatas biasanya bisa terlihat pada CT SCAN atau MRI. Sebagian besar

perdarahan terjadi dengan cepat dan menimbulkan gejala dalam beberapa menit.

Perdarahan menahun (hematoma kronis) lebih sering terjadi pada usia lanjut

dan membesar secara perlahan serta menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau

hari. Hematoma yang luas akan menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan

pada akhirnya menghancurkan jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan

menyebabkan otak bagian atas atau batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan

intrakranial bisa terjadi penurunan kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah

satu atau kedua sisi tubuh, gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan

kematian. Bisa juga terjadi kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.

Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara

meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak telah

merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga lebih

cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi bisa juga

baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang, tetapi

beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari sebelumnya. Selanjutnya

21
bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk, kelumpuhan, pingsan dan koma.

Diagnosis dini sangat penting dan biasanya tergantung kepada ct scan darurat.

Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin dengan membuat lubang di dalam

tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan darah, juga dilakukan pencarian dan

penyumbatan sumber perdarahan.

Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.

Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa

saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma subdural

yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia lanjut (karena

venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera tampaknya

ringan, selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil pemeriksaan ct

scan dan mri bisa menunjukkan adanya genangan darah. Hematoma subdural pada

bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang tengkoraknya masih

lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil pada dewasa seringkali diserap

secara spontan. Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala

neurologis biasanya dikeluarkan melalui pembedahan.

Petunjuk dilakukannya pengaliran perdarahan ini adalah:

- sakit kepala yang menetap

- rasa mengantuk yang hilang-timbul

- linglung

- perubahan ingatan

- kelumpuhan ringan pada sisi tubuh yang berlawanan.

22
23

Anda mungkin juga menyukai