Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA PADA KLIEN DENGAN RISIKO BUNUH DIRI

Disusun oleh :
VELANI ANALAN NAJAH
P.1337420919050

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG
2021
LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO BUNUH DIRI
1. PENGERTIAN RESIKO BUNUH DIRI
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat
mengancam kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena
merupakan perilaku untuk mengakhiri kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan
karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana individu gagal dalam
melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah. Beberapa
alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi, sehingga
tidak dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan
hubungan interpersonal/ gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/
bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan hukuman pada diri sendiri, cara untuk
mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri adalah
tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh
diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah
yang dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari
individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi.  (Budi Anna Kelihat, 2000).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan Jiwa”
dinyatakan sebagai suatu aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas ini dapat
mengarah pada kematian (2007). 
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4
pengertian, antara lain:
a. Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
b. Bunuh diri dilakukan dengan intensi
c. Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
d. Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif),
misalnya dengan tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau
secara sengaja berada di rel kereta api.
Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan
merupakan rentang adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat
diterima oleh norma-norma sosial dan kebudayaan yang secara umum berlaku,
sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang dilakukan individu dalam
menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma sosial dan
budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:
1. Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.
Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah,
karena merasa tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah
tidak berguna lagi, tidak mampu mengembangkan koping yang baru serta yakin
tidak ada yang membantu.
2. Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa
gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan
merasa gagal dan kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir dengan
bunuh diri.
a) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan
kesedihan dan rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke
luar dari keadaan depresi berat.
b) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk
mengkahiri kehidupan. Bunuh diri merupakan koping terakhir individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Laraia, 2005).

Respon Adaptif Respon


Mal-adaptif

Self Growth Indirect Self Self Suicide


Enchancement Promoting Destructive Injury
Risk Taking Behavior
2. KLASIFIKASI RESIKO BUNUH DIRI
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
a. Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang
tersebut mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri
mungkin mengungkapkan secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita
lebih lama lagi atau mengomunikasikan secara non verbal.
b. Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh
individu yang dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
c. Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau
diabaikan. Orang yang melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan
terjadi jika tidak ditemukan tepat pada waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri,
meliputi:
a. Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor
lingkungan yang penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk
bunuh diri.
b. Bunuh diri altruistik
Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan
kehormatan seseorang ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
c. Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri
seseorang seperti putus cinta atau putus harapan.

3. MANIFESTASI KLINIS RESIKO BUNUH DIRI


Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Impulsif
d. Menunjukan perilaku yang mencurigakan
e. Mendekati orang lain dengan ancaman
f. Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
g. Latar belakang keluarga
4. TAHAP-TAHAP RESIKO BUNUH DIRI
1) Suicidal Ideation
Sebuah metode yang digunakan tanpa melakukan aksi atau tindakan, bahkanklien
pada tahap ini tidak akan menungkapkan idenya apabila tidak di tekan.
2) Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berfikir dan sudah melakukan perencanaan yang konkrit
untuk melakukan bunuh diri
3) Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yangdalam
bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya.
4) Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada
dirisendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya, tetapi sudahoada
percobaan untuk melakukan bunuh diri.
5) Suicidal Attempt
Pada tahap ini perilaku destruktif klien mempunyai indikasi individu yangingin
mati dan tidak mau diselamatkan. Misalnya, minum ibat yangmematikan

5. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


1. Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam manusia bisa
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey
mengetahui faktor tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34
remaja yang 17 diantaranya meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa
tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada otak pelaku bunuh diri lebih rendah
dibanding mereka yang meninggal bukan karena bunuh diri.
Hj. Rooswita mengatakan, “depresi berat menjadi penyebab utama. Depresi
timbul karena pelaku tidak kuat menanggung beban permasalahan yang menimpa.
Karena terus menerus mendapat tekanan, permasalahan kian menumpuk dan pada
puncaknya memicu keinginan bunuh diri.”
2. Faktor riwayat gangguan mental
Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk pembuluh darah. Di
dalamnya juga terdapat serotonin, adrenalin, dan dopamin. Ketiga cairan dalam
otak itu bisa menjadi petunjuk dalam neurotransmiter(gelombang/gerakan dalam
otak) kejiwaan manusia. Karena itu, kita harus waspadai bila terjadi peningkatan
kadar ketiga cairan itu di dalam otak. Biasanya, bila kita lihat dari hasil otopsi
para korban kasus bunuh diri, cairan otak ini tinggi, terutama serotonin.
Apa penyebab umum yang meningkatkan kadar cairan otak itu? Sebagai contoh
adanya masalah yang membebani seseorang sehingga terjadi stress atau depresi.
Itulah yang sering membuat kadar cairan otak meningkat.
3. Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran. Para korban
memiliki pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri atau meninggal karena bunuh diri. Tidak hanya itu, bisa
juga terjadi pembelajaran dari pengetahuan lainnya. Proses pembelajran di sini
merupakan asupan yang masuk ke dalam memori seseorang. Memori itu bisa
menyebabkan perubahan kimia lewat pembentukan protein-protein yang erat
kaitannya dengan memori. Sering kali banyak yang idak menyadari Proses
Pembelajaran ini sebagai keadaan yang perlu diwaspadai. Bahkan, kita baru
paham kalau pasien sudah diperiksa psikiater/dokter. Kita perlu memperhatikan
bahwa orang yang pernah mencoba bunuh diri denngan cra yang halus, seperti
minum racun bisa melakukan cara lain yang lebih keras dari yang pertama bila
yang sebelumnya tidak berhasil.
4. Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat terjadi di
lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam masyarakat, dan
sebagainya. Demikian pula bila seseorang merasa terisolasi, kehilangan hubungan
atau terputusnya hubungan dengan orang lain yang disayangi. Padahal hubungan
interpersonal merupakan sifat alami manusia. Bahkan keputusan bunuh diri juga
bisa dilakukan karena perasaan bersalah. Suami membunuh istri, kemudian
dilanjutkan membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh kasus.
5. Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman
merupakan penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh diri di Jakarta dan sekitarnya
akhir-akhir ini. tidak adanya rasa aman untuk menjalankan usaha bagi warga serta
ancaman terhadap tempat tinggal mereka berpotensi kuat memunculkan gangguan
kejiwaan seseorang hingga tahap bunuh diri.
Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku
resiko bunuh diri meliputi:
a. Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu
gangguan alam perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
b. Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri
adalah rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.
c. Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini,
dan berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan
dengan bunuh diri.
d. Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko
untuk perilaku resiko bunuh diri
e. Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan
perilaku resiko bunuh diri. L

6. STRESSOR PENCETUS
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan,
seperti masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan,
atau ancaman pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau
melakukan bunuh diri atau terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat
individu semakin rentan untuk melakukan perilaku bunuh diri.

7. PENILAIAN STRESSOR
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh karena itu,
perawat harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien.

8. SUMBER KOPING
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara sadar memilih
untuk bunuh diri.
9. MEKANISME KOPING
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang
berhubungan dengan perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan,
rasionalisasi, intelektualisasi, dan regresi.

10. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS


Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan satu tugas
yang penting namun sulit dilaksanakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
resiko bunuh diri yang berhasil akan meningkat pada jenis pria, berkulit putih, umur
lanjut, dan isolasi sosial. Pasien dengan riwayat keluarga percobaan bunuh diri atau
bunuh diri yang berhasil membuat resiko makin tinggi juga, demikian pula pasien
dengan nyeri kronik, pembedahan yang baru terjadi, atau mengidap penyakit fisik
kronik. Demikian pula pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, tinggal sendiri, yang
mengatur masalah– masalahnya secara teratur, dan hari ulang tahun dari kematian
anggota keluarga.
Delapan puluh persen pasien yang melaksanakan bunuh diri dan berhasil,
biasanya mengidap gangguan afetif dan 25% biasanya bergantung pada alkohol.
Bunuh diri merupakan 15% sebab kematian pada kedua kelompok orang diatas.
Sedangkan resiko tinggi untuk peminum alkohol dalam kurun waktu 6 bulan setelah
suatu kehilangan anggota keluarga. Skizofrenia merupakan gangguan yang jarang,
oleh sebab itu menjadi faktor pengurangan angka bunuh diri pada kasus ini, namun
10% dari para pasien skizofrenik meninggal akibat bunuh diri.
Harapan yang terbaik bagi upaya pencegahan bunuh diri terletak pada
penemuan dan terapi sedini mungkin dari gangguan psikiatri yang menyebabkannya.
Peran dari upaya bunuh diri yang terdahulu dalam menilai resiko bunuh diri
saat mendatang amat kompleks, kebanyakan dari para korban bunuh diri yang berhasil
tidak pernah mencoba pada masa sebelumnya, biasanya mereka akan berhasil pada
percobaan pertama. Walaupun para pelaku yang mencoba bunuh diri masa lampau
menunjukkan perilaku yang mampu merusak diri, hanya 10% para pelaku percobaan
bunuh diri yang berhasil dalam 10 tahun.
Sejumlah cukup besar orang yang secara sengaja melakukan tindak merusak
diri seperti memotong nadi atau membakar diri dengan cara yang jelas tidak
mematikan tanpa keinginan sungguh untuk membunuh diri. Berbagai motif mungkin
berada dibelakang ini, termasuk manipulasi secara sengaja dan amarah yang tak sadar
terhadap orang lain yang berarti dalam hidupnya. Secara diagnostik, pasien dapat
memenuhi kriteria untuk gangguan anti sosial atau ambang, atau perilaku itu dapat
berada bersama dengan gagasan aneh yang lain dan perilaku skizofrenik.
Yang paling merisaukan dan menantang secara medikolegal ialah peristiwa
parasuisida (usaha percobaan bunuh diri) berulang, dan biasanya berperilaku bunuh
diri yang mendekati letal sedangkaan ia menyangkal adanya gagasan bunuh diri itu.
Varian yang paling sering dijumpai ialah pasien yang minum obat overdosis secara
berulang dan tidak bertujuan. Pasien macam ini biasanya mempunyai gangguan
kepribadian tanpa gejala psikiatrik gawat. Mereka sering meminta dipulangkan dari
rumah sakit secepatnya setelah pulih dari intosikasi akutnya, kadang lebih cepat lebih
senang, dan ternyata sulit untuk menentukan perawatan dengan agak paksa. Namun
demikian, lebih bijaksana untuk menahan orang semacam ini secara paksa atau
involunter bila frekuensi perilaku parasuisidanya meningkat.

11. PEDOMAN WAWANCARA DAN PSIKOTERAPI


Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah merasa ingin
menyerah saja terhadapa hidup ini? atau mereka merasa lebih baik mati. Pendekatan
seperti ini membewa stigma kecil saja dan dapa diterima oleh kebanyakan orang. Lalu
bicaralah soal tepatnya apa yang dipikirkan oleh pasien? Dan catatlah semua pikiran
itu. Begitu masalahnya telah mulai diperbincangkan, gunakan kata seperti “bunuh
diri” dan mati daripada “cidera” atau “melukai” karena beberapa pasien bingung
dengan kata-kata itu dan kebanyakan mereka tidak mau mencederai dirinya, walaupun
bila mereka ingin membunuh dirinya.
Ajukan pertanyaan seperti : berapa sering pikiran bunuh diri anda? Apakah pikiran
bunuh diri anda makin meningkat? Apakah anda hanya punya pikiran yang kurang
baik saja atau pernahkah anda merencanakan cara bunuh dirinya? Apakah pikiran
bunuh diri anda hanya sepintas saja atau benar-benar serius? Pertimbangkan umur
pasien dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh dirinya. Cocokkan ucapan
dan rencana dari cara yang akan dilakukan itu.
12. PENATALAKSANAAN
Terapi obat
Pasien dalam krisis karena kematian orang terdekat atau peristiwa lain dengan
perjalanan waktu yang terbatas akan berfungsi lebih baik setelah menerima sedasi
ringan seperlunya, terutama bila sebelum itu tidurnya terganggu. Benzodiazepin
merupakan obat terpilih dan ramuan yang khas ialah Lorazepam (Ativan) 1 mg 1-3x
sehari untuk 2 minggu. Iritabilitas pasien mungkin meningkat dengan penggunaan
teratur Benzodiazepin dan iritabilitas ini merupakan satu resiko untuk bunuh diri,
maka Benzodiazepin harus digunakan secara hati-hati pada pasien yang bersikap
keras dan bermusuhan. Hanya sejumlah kecil dari medikasi itu harus disediakan, dan
pasien harus diikuti dalam beberapa hari.
Antidepresiva merupakan terapi yang pasti bagi semua pasien yang
menampilkan diri dengan gagasan bunuh diri, tetapi tidak biasanya untuk mulai
memberikan antidepresiva di UGD. Bila diberi resep, harus diadakan perjanjian untuk
pemeriksaan lanjutan, sebaiknya keesokan harinya.
Rujukan-Silang :
Putus alkohol, depresi, hospitalisasi, mutilasi-diri

13. POHON MASALAH

Resiko perilaku kekerasan Akibat

Resiko Bunuh Diri Core Problem

Isolasi Sosial
Penyebab

Harga Diri Rendah Penyebab

14. ASUHAN KEPERAWATAN


Pengkajian
1. Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji peristiwa yang
menghina atau menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal, catatan, lukisan,
memberikan benda yang berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
2. Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri,
perasaan gagal dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi gelisah,
insomnia menetap, berat badan menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.
3. Penyakit psikiatrik : uoaya bunuh diri sebelumnya, kelainan, afektif, zat adiktif,
depresi remaja, gangguan mental lansia
4. Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan, stress
multiple (pindah, kehilangan,putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin),
penyakit kronik.
5. Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan kaku,
putus asa, harga diri rendah, antisocial
6. Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.
Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan takut
terhadap penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan
mengungkapkan perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu, kehilangan
pekerjaan dan sebagainya.
1. Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin
mencederai diri.
2. Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri
Intervensi dan Rasional
1. Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari
kesan pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi ketat dibutuhkan supaya
intervensi dapat terjadi jika dibutuhkan untuk memastikan keamanan klien).
2. Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika
keinginan untuk bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri
dengan orang yang dipercaya memberikan derajat keringanan untuk klien, sikap
penerimaan klien sebagai individu dapat dirasakan)
3. Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya
jangan berikan reinforcement positif untuk perilaku tersebut (kurangnya perhatian
untuk perilaku maladaptive dalat menurunkan pengulangan mutilasi).
4. Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum perilaku
ini terjadi (agar memecahkan masalah dan memahami faktor pencetus).
5. Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat (perilaku
bunuh diri dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri)
6. Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien
merupakan prioritas keperawatan)
7. Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik
merupakan cara yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam)
8. Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien(bukti control
terhadap situasi dan memberikan kemanan fisik serta semangat hidup)
9. Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek samping
(obat penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat memberikan efek
menenangkan pada klien dan mencegah perilaku agresif)
10. Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap (bila
klien menolak obat-obatan dan situasi darurat, restrain diperlukan pada jam-jam
tertentu)
11. Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap dengan
mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien
merupakan prioritas keperawatan)

Intervensi Klien Bunuh Diri


1. Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika ia mau
berbicara dan mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak ada
alasan melalui kesulitan sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain itu, bila
mendapati ada orang yang hendak melakukan bunuh diri, sebaiknya dengarkan
apa yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar dia tabah dan tetap
berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat lingkungan tempat dia tinggal
aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri.
“Kalau perlu buatlah semacam ‘kontrak’ pada dia untuk tidak melakukan bunuh
diri, meski tingkat keberhasilan ini sangat kecil. “Kesulitan utama yang dihadapi
apabila orang yang akan melakukan bunuh diri itu tidak menunjukkan gejala-
gejala tersebut. Pada tingkat permukaan dia tampak mengerti dan memahami
arti hidup, serta terkesan tidak akan melakukan bunuh diri, tetapi tiba-tiba dia
sudah mati bunuh diri. Lingkungan sosial, termasuk keluarga, juga menjadi
sarana yang baik untuk membantu mengurangi atau menghilangkan keinginan
orang untuk bunuh diri.
2. Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri,
perlu sikap menerima, sabar dan empati. Perawat berupaya agar tidak bersikap
memvonis, memojokkan, apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh
diri atau gagal melakukan bunuh diri. “Kalau mereka merasa dipojokkan
kemungkinan bunuh diri akan semakin cepat”. Yang paling penting disini
adalah mencoba menampung segala keluhannya dan menjadi pendengar yang
baik. Hindari argumentasi dan nasihat-nasihat. Jangan harap kata-kata anda bisa
menjadi senjata ajaib untuk menyadarkannya. Pada dasarnya dalam diri orang
yang ingin bunuh diri tersimpan sikap mendua atau ambivalen. Sebagian dari
dirinya ingin tetap hidup, tapi sebagian lagi ingin segera mati untuk mengakhiri
penderitaannya. Karena sedang menderita itulah, sebenarnya ia sangat
membutuhkan orang lain. Ia butuh ventilasi untuk mengalirkan masalah dan
perasaannya. Namun, orang yang berniat bunuh diri biasanya takut untuk
mencoba mencari pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan menambah beban
penderitaannya karena bisa saja ia akan dibilang bodoh, sinting, berdosa, atau
diberi cap negatif lainnya.
3. Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi karena
bisa sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak stigma atau penilaian negatif di
masyarakat kepada klien gangguan kejiwaan. Namun, bila dibandingkan dulu,
stigma sekarang sudah menurun. Bahkan stigma membuat pihak keluarga klien
juga tidak memahami karakter anggota keluarganya yang menderita gangguan
jiwa. Keluarga jadi bersikap apatis dan sering mengelak bila diajak konsultasi
ke psikiater.Padahal, dukungan keluarga sangat penting untuk upaya
penyembuhan klien gangguan kejiwaan. Keluarga perlu didukung masyarakat
sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap sama dengan penyakit-penyakit
fisik lain seperti Decomp, DM,hepatitis, dan sebagainya. Yang membutuhkan
perawatan dan tenaga ahli serta dianggap sebagai cobaan yang bisa menimpa
siapa saja.
4. Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing atau curhat,
sehingga membantu meringankan beban yang menerpa. Salah satu solusi yang
ditawarkan selain mengontrol emosi, lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha
Kuasa. Express feeling sangat penting agar masalah yang menekan semakin
ringan.
5. Lakukan Implementasi khusus
- Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal harus ditanggap
serius oleh perawat, Laporkan sesegera mungkin dan lakukan tindakan
pengamatan
- Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
- Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara ketat meskipun di
tempat tidur/kamar mandi.
- Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa mulut, pastikan
bahwa obat telah ditelan, berikan obat dalam bentuk cair bila memungkinkan.
- Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien, komunikasikan perhatian
dan kepedulian perawat
- Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia telah selesai
merencanakan bunuh diri

Evaluasi dan Pengelolaan


1. Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan tinggalkan mereka
sendiri, singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
2. Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah apakah
usaha itu telah direncanakan atau impulsif saja sambil menentukan derajat
letalitasnya, kemungkinan pasien pulih kembali.
3. Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien dengan depresi
berat dapat diobati sebagai pasien berobat jalan bila keluarganya dapat
mengawasi mereka dengan seksama dan terapi dapat dimulai dengan segera. Bila
tidak, perawatan inap di rumah sakit diperlukan.
4. Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa
hari dengan abstinensi. Kebanyakan tidak ada terapi spesifik yang perlu
diberikan. Bila depresi tetap bertahan setelah gejala abstinensi mereda, dugaan
besar adalah gangguan depresi berat. Semua pasien yang cenderung bunuh diri
yang mengalami intoksikasi alkohol atau obat harus dinilai ulang saat mereka
lepas pengaruh alkoholnya.
5. Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan secara serius
karena mereka cenderung mempergunakan cara yang keras dan aneh dengan
derajat letalitas tinggi.
6. Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari bantuan dan
konfrotasi empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional,
bertanggung jawab pada masalah yang mencetuskan dan menyebabkan krisis
tersebut. Keikutsertaan keluarga atau teman dan manipulasi lingkungan dapat
membantu untuk menyelesaikan krisis yang membawa pasien untuk bunuh diri.
7. Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi kasus dengan
kecenderungan mutilasi diri, namun perawatan inap jangka pendek tidak akan
mempengaruhi perilaku yang berulang ini. Parasuisida juga mungkin akan
mendapatkan manfaat yang baik dari rehabilitasi jangka panjang, dan stabilisasi
jangka pendek juga diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi terapi jangka pendek
tidak akan dapat mempengaruhi secara berarti perjalanan gangguan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Strategi Pelaksanaan Resiko Bunuh Diri. Diunduh pada tanggal 18 Maret
2015 dari alamat web: http://ahlinyajiwa.blogspot.com/2013/02/strategi-pelaksanaan-
resiko-bunuh-diri.html
Captain, C. (2008). Assessing suicide risk, Nursing made incredibly
easy, Volume 6(3).
Fitria,Nita.2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP & SP) untuk 7 Diagnosis Keperawatan
Jiwa Berat bagi Program S1 Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Keliat A. Budi, Akemat. 2009. Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC.
Stuart, G. W. 2006. Buku Saku Keperawatan Jiwa. Jakarta: EG
Yosep, I. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama

Anda mungkin juga menyukai