Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN KASUS TINDAK KORUPSI

NAMA : IGNA ARYA ANGGA PUTRA. R

NPM : 18120057

SEMESTER : V

UNIVERSITAS DAYANU

IKHSANUDDIN

BAU – BAU

2020
BAB I

PENDAH

ULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Penyidikan tindak pidana merupakan serangkaian tindakan

penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-

undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan

guna menemukan tersangkanya. Penyidikan merupakan suatu

tahap terpenting dalam kerangka hukum acara pidana di Indonesia

karena dalam tahap ini pihak penyidik berupaya mengungkapkan

fakta-fakta dan bukti-bukti atas terjadinya suatu tindak pidana serta

menemukan tersangka pelaku tindak pidana tersebut.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

merumuskan yang dimaksud dengan penyidik adalah orang yang

melakukan penyidikan yang terdiri dari pejabat yaitu Pejabat Polisi

Negara Republik Indonesia (POLRI) yang terbagi menjadi Pejabat

penyidik penuh dan pejabat penyidik pembantu, serta Pejabat

Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh

undang- undang. Namun, dalam hal tertentu jaksa juga memiliki

kewenangan sebagai penyidik terhadap perkara / tindak pidana

khusus, seperti perkara Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana


Korupsi. Selain itu berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)

disebutkan bahwa penyidik tindak pidana korupsi adalah penyidik

pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan

diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sebelum

dimulainya suatu proses penyidikan, terlebih dahulu telah dilakukan

proses penyelidikan pada suatu perkara tindak pidana yang terjadi.

Dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan pengertian

penyelidikan adalah sebagai berikut :

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari

dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak

pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari pengertian

tersebut terlihat bahwa penyelidikan merupakan tindakan tahap

pertama permulaan penyidikan, namun pada tahap penyelidikan

penekanan diletakkan pada tindakan “ mencari dan menemukan”

suatu “peristiwa” yang dianggap atau diduga sebagai suatu tindak

pidana. Sedangkan pada penyidikan, titik berat tekanannya

diletakkan pada tindakan “mencari serta mengumpulkan bukti”

supaya tindak pidana yang ditemukan dapat menjadi terang serta

agar dapat menemukan dan menentukan pelakunya. Hampir tidak

ada perbedaan makna antara keduanya (penyelidikan dan


penyidikan), hanya bersifat gradual saja. Antara penyelidikan dan

penyidikan saling berkaitan dan isi mengisi guna dapat diselesaikan

pemeriksaan suatu peristiwa pidana.

Keberhasilan penyidikan suatu tindak pidana akan sangat

mempengaruhi berhasil tidaknya penuntutan Jaksa Penuntut

Umum pada tahap pemeriksaan sidang pengadilan nantinya.

Namun bagaimana halnya bila penyidikan berhenti ditengah jalan?

Undang-Undang memberikan wewenang penghentian penyidikan

kepada penyidik, yakni penyidik berwenang bertindak

menghentikan penyidikan yang telah dimulainya. Hal ini ditegaskan

Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang memberi wewenang kepada

penyidik untuk menghentikan penyidikan yang sedang berjalan.

Pasal 19 ayat (2) KUHAP menyatakan:

Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak


cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan
merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada
penuntut umum, tersangka atau keluarganya.

1. Dengan demikian dapat disimpulkan alasan-alasan penyidik


menghentikan penyidikan sesuai dengan Pasal 19 ayat (2)
KUHAP adalah sebagai berikut: Karena tidak terdapat cukup bukti;

2. Karena peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak


pidana;

3. Penyidikan dihentikan demi hukum.

Ketika penyidik memulai tindakan penyidikan, kepadanya

dibebani kewajiban untuk memberitahukan hal dimulainya


penyidikan tersebut kepada penuntut umum. Akan tetapi masalah

kewajiban pemberitahuan itu bukan hanya pada permulaan

tindakan penyidikan, melainkan juga pada tindakan penghentian

penyidikan. Untuk itu, setiap penghentian penyidikan yang

dilakukan pihak penyidik secara resmi harus menerbitkan suatu

Surat perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Pemberian SP3

yang akan dibahas dalam penelitian ini bukanlah pemberian SP3

terhadap tindak pidana biasa/umum, seperti pembunuhan,

penganiayaan, dan sebagainya, melainkan hanyalah dikhususkan

pada pemberian SP3 terhadap tindak pidana khusus yaitu tindak

pidana korupsi yang dalam beberapa waktu belakangan ini

mengundang kontroversi dan perdebatan serta menciptakan

persepsi yang cenderung negatif terhadap kinerja dan citra aparat

penegak hukum, khususnya penyidik tindak pidana korupsi yang

seringkali mengeluarkan SP3. Dikeluarkannya SP3 selalu menjadi

bahan tudingan dari masyarakat bahwa penegak hukum tidak

serius dalam menyelesaikan berbagai kasus tindak pidana korupsi

yang terjadi di negara ini. Di mata masyarakat yang mengehendaki

agar pelaku tindak pidana korupsi diproses secara hukum dan

dikenai hukuman yang seadil-adilnya, pemberian SP3 dianggap

sebagai tindakan yang merusak harapan masyarakat dalam upaya

pemberantasan korupsi. Dari ketiga alasan penghentian penyidikan

berdasarkan Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang telah disebutkan


diatas, alasan pertama yaitu karena tidak terdapat cukup bukti

merupakan alasan yang paling sering digunakan oleh penyidik

tindak pidana korupsi. Hal ini Penulis amati dari berbagai contoh

perkara korupsi yang terjadi, di mana dilakukan penghentian

penyidikan oleh penyidik dalam beberapa perkara tindak pidana

korupsi yang dapat dikatakan besar. Berdasarkan data yang

dihimpun Indonesian Corruption Watch (ICW), hingga saat ini,

tercatat ada 25 tersangka kasus korupsi besar yang dihentikan

penyidikannya, baik oleh Kejaksaan Agung maupun Kejaksaan

Tinggi di daerah. Data tersebut diperoleh berdasarkan laporan

media massa yang berhasil dihimpun selama 5 (lima) tahun terakhir

( 1999-2005). Pihak Kejaksaan selaku institusi yang melakukan

penghentian penyidikan tidak mempunyai data-data yang akurat

mengenai nama dan jumlah pelaku korupsi yang menerima SP3.

Terdapat suatu kejanggalan apabila kita menilik kembali ke tahapan

awal dari proses pemeriksaan suatu perkara pidana kemudian

menghubungkannya dengan alasan dikeluarkannya SP3.

Pnyelidikan merupakan suatu tindakan penyelidik yang bertujuan

mengumpulkan bukti permulaan atau bukti yang cukup agar dapat

dilakukan tindakan lanjutan penyidikan. Sehingga dengan adanya

tahapan penyelidikan diharapkan tumbuh sikap hati-hati rasa

tanggung jawab hukum yang bersifat manusiawi dalam

melaksanakan tugas penegakan hukum sebelum dilanjutkan


dengan tindakan penyidikan agar tidak terjadi tindakan yang

melanggar hak asasi yang merendahkan harkat dan martabat

manusia.

Jadi pada intinya sebelum dilakukan proses penyidikan,

penyelidik harus lebih dahulu berusaha mengumpulkan fakta dan

bukti yang ada sebagai landasan tindak lanjut penyidikan.

Sedangkan penyidikan merupakan serangkaian tindakan yang

dilakukan oleh penyidik dalam mencari dan mengumpulkan bukti,

dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang tindak pidana

yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku

tindak pidananya. Dari kedua rangkaian proses ini terdapat

semacam graduasi antara tahap penyelidikan menuju ke tahap

penyidikan , karena itu dibutuhkan kehati-hatian yang amat besar

serta alasan yang jelas, meyakinkan dan relevan ketika aparat

penegak hukum meningkatkan tahap penyelidikan ke tahap

penyidikan. Hal ini tentu saja bertujuan untuk menjaga kredibilitas

dan kewibawaan dari aparat penegak hukum itu sendiri agar tidak

dinilai tergesa-gesa dalam melakukan rangkaian pemeriksaan

terhadap suatu tindak pidana. Dari berbagai contoh kasus yang

ada, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat beberapa

kasus tindak pidana korupsi yang dalam pemeriksaan di tahap

penyidikan kemudian diterbitkan SP3 oleh penyidik yang adalah

pihak kejaksaan dengan alasan yang dinilai kurang transparan dan


tidak jelas. Dengan demikian yang menjadi persoalan adalah

pemberian SP3 oleh kejaksaan terhadap perkara tindak pidana

korupsi dimana dasar pemberian SP3 itu dinilai kurang transparan

dan tidak bisa dipertanggungjawabkan terhadap ketentuan-

ketentuan hukum acara yang berlaku.

Berbeda dengan Kejaksaan dan POLRI sebagai penyidik

suatu tindak pidana, lembaga Komisi pemberantasan Korupsi

(KPK) yang merupakan sebuah institusi atau lembaga negara yang

dibentuk dari Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berwenang

mengeluarkan SP3 dalam setiap penyidikan yang dilakukannya.

Hal ini ditegaskan dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang berbunyi,

” Komisi pemberantasan korupsi tidak berwenang mengeluarkan

surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan dalam

perkara tindak pidana korupsi.” Pernyataan dalam pasal tersebut

dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yang pertama

ditinjau dari sudut pandang hak-hak yang dimiliki oleh seorang

tersangka pada tindak pidana korupsi. Sekilas, ketentuan dalam

pasal tersebut tentu saja dinilai mengebiri hak asasi tersangka yang

juga merupakanwarga negara, sebab tanpa adanya SP3 , maka

seseorang yang sudah dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK

seolah-olah tidak lagi memiliki kemungkinan untuk dipulihkan


kehormatan dan martabatnya, padahal filosofi adanya SP3 adalah

sebagai sebuah mekanisme koreksi dan instrumen untuk

memulihkan martabat tersangka bila penyidik ternyata tidak

memiliki cukup bukti untuk meneruskan kasus ke tingkat

penuntutan. Maka tanpa adanya mekanisme SP3, KPK akan

memaksakan setiap kasus yang ditanganinya untuk diteruskan ke

level yang lebih tinggi yaitu penuntutan dan pengadilan.19 Adanya

Pasal 40 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK ini juga

berarti seorang yang disangka melakukan tindak pidana korupsi,

maka bagaimanapun juga kasusnya harus sampai ke pengadilan.

Orang-orang KPK membenarkan hal ini dengan alasan untuk

mencegah KPK menangkap orang secara sembarangan. Kalau

benar seperti itu,maka maksud tersebut sungguh mulia sekali. Akan

tetapi selain itu masih ada pembenaran lain yang tidak kalah

mulianya, yaitu asas praduga tidak bersalah. Makna asas ini yang

boleh menyatakan seseorang itu bersalah atau tidak adalah

pengadilan. Sebelum pengadilan memutuskan seseorang itu

bersalah atau tidak, bukanlah satu atau dua orang penyidik KPK

yang penguasaan hukumnya sekuat majelis hakim. Dengan tidak

dimilikinya wewenang pemberian SP3 itu oleh KPK, maka timbulah

diskriminasi hukum terhadap warga negara. Disamping itu,

terjadilah pula dualisme dalam sistem peradilan. Dalam hal ini,

apabila ada dua orang yang disangka melakukan korupsi, maka


mereka diadili dengan undang- undang yang sama, yaitu Undang-

Undang No. 20 Tahun 2001. Tetapi lembaga yang mengadilinya

berbeda. Yang satu diadili oleh Peradilan Umum, sedangkan yang

lain diadili oleh Pengadilan Tipikor. Tersangka yang diadili oleh

Peradilan Umum dapat menikmati SP3, wujudnya adalah si

tersangka bisa tidak ditahan. Kalau sudah ditahan pun masih

mungkin dikenakan tahanan luar. Akan tetapi tersangka yang

diadaili oleh pengadilan Tipikor, tidak akan diberikan SP3, sekaipun

dia belum terbukti bersalah. Apakah UUD 1945 membolehkan

negara melakukan diskriminasi terhadap warga negara?

Jawabannya terang benderang ’tidak boleh’. Hal ini tercantum

dalam Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 dimana dinyatakan bahwa

”Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum

dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya”. Begitu juga dengan Pasal 28 I

ayat 2 yang menyatakan bahwa ”Setiap orang berhak bebas dari

perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak

mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat

diskriminatif itu”. Akan tetapi berbeda halnya jika kita melihat dari

sudut pandang lain, yaitu dari susut pandang latar belakang

dibentuknya KPK yang berperan sebagai salah satu tonggak

penegakan hukum dinegara Indonesia dalam usaha

pemberantasan korupsi. Undang-Undang telah menggariskan KPK


untuk selalu berada di luar cara-cara konvensional penegakan

hukum karena tindak pidana korupsi merupakan salah satu tindak

pidana khusus yang sering disebut dengan extra ordinary crime,

dan oleh karena itulah dibutuhkan cara-cara khusus pula untuk

mengananinya. Hal ini tercermin dalam wewenang yang dimiliki

KPK yang berada diluar sistem hukum material dan formal undang-

undang hukum pidana yang konvensional. Contoh tindakan yang

tergolong non-konvensional adalah penyadapan atau merekam

pembicaraan dalam rangka penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tindak pidana korupsi. Berbagai usaha telah dilakukan

oleh banyak pihak yang merasa dirugikan oleh penerapan Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ini, diantaranya

mengajukan judicial review atau pengujian materil mengenai

klausula apakah undang-undang tersebut bertentang dengan

Undang-Undang Dasar 1945 atau tidak. Adapun pihak-pihak

tersebut antara lain terpidana kasus korupsi Prof. Nazaruddin

Syamsudin untuk perkara No. 016/PUU-IV/2006, serta Mulyana W.

Kusumah dan Captain Tarcisius Walla untuk perkara No.012 dan

019/PUU- IV/2006. Para pihak yang mengajukan judicial review

tersebut berpendapat bahwa dengan adanya beberapa pengaturan

kewenangan yang dimiliki KPK, seperti Pasal 40 dan Pasal 12

Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK, telah terjadi

pelanggaran Hak Asasi Manusia. Sebelumnya, terhadap masalah


ini juga pernah diajukan judicial review oleh Komisi Pemeriksa

Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), namun MK menolak

permohonan tersebut karena berpendirian bahwa pasal itu tidak

bertentangan dengan konstitusi. Justru keberadaan pasal itu untuk

menegakkan pesan konstitusi yaitu memberantas korupsi. Oleh

karena itu, semuanya dikembalikan pada landasan sosiologis,

yuridis dan filosofis undang-undang korupsi dan KPK itu sendiri

yang berusaha mewujudkan clean government dan tegaknya

keadilan bagi mereka yang melakukan perbuatan menyimpang.

Dengan adanya Pasal 40 Undang-Undang No.30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diharapkan

dapat memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum di

Indonesia sehingga dapat mendukung pemberantasan korupsi di

Indonesia.

Maka berdasarkan latar belakang permasalahan yang

diuraikan di atas, Penulis bermaksud menulis skripsi dengan judul

”ANALISIS YURIDIS TERHADAP KEWENANGAN PENYIDIK

MENGELUARKAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN

PENYIDIKAN (SP3) PADA PERKARA TINDAK PIDANA

KORUPSI (STUDI KASUS JUDICIAL REVIEW PASAL 40

UNDANG-UNDANG NO.30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)”


B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah

diuraikan diatas, maka disusun pokok-pokok permasalahan yang

akan dibahas dalam skripsi ini, yaitu:

1. Bagaimana kewenangan Penyidik mengeluarkan SP3 pada

perkara tindak pidana korupsi ?

2. Apakah latar belakang penetapan Pasal 40 Undang-Undang

No. 30 Tahun2002 tentang KPK ?

3. Bagaimana penerapan Pasal 40 Undang-Undang No. 30

Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (KPK) terhadap penanganan perkara tindak pidana

korupsi ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan,

maka tujuan yang hendak dicapai di dalam penulisan skripsi ini

adalah :

1. Untuk mengetahui kewenangan penyidik dalam

mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan

(SP3) pada perkara tindak pidana korupsi.

2. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang

dalam penetapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30


Tahun 2002 tentang KPK.

3. Untuk mengetahui penerapan Pasal 40 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap

penanganan perkara tindak pidana korupsi.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan,

maka tujuan yang hendak dicapai di dalam penulisan skripsi ini

adalah :

4. Untuk mengetahui kewenangan penyidik dalam

mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan

(SP3) pada perkara tindak pidana korupsi.

5. Untuk mengetahui apa yang menjadi latar belakang

dalam penetapan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2002 tentang KPK.

6. Untuk mengetahui penerapan Pasal 40 Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK terhadap

penanganan perkara tindak pidana korupsi.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari penulusuran studi

literature dan bahan-bahan kepustakaan lainnya, belum terdapat

judul yang sama dengan skripsi yang diangkat pada judul skripsi ini.

Judul – judul yang ada tentang korupsi tidak ada yang


menyentuh materi pokok dalam bahasan skripsi yaitu tentang

“Analisis Yuridis Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan

Surat Penghentian Penyidikan (Tinjauan Pasal 40 Undang-Undang

No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi)” oleh sebab itu judul pada skripsi ini dapat

dipertanggungjawabkan sesuai dengan aturan-aturan ilmiah. Bila

ternyata terdapat judul dan penambahan yang sama dengan skripsi

ini sebelum skripsi ini dibuat, maka Penulis bertanggung jawab

sepenuhnya.

F. Tinjauan Kepustakaan

Pada penelitian ini dalam membahas permasalahannya akan

diberikan batasan-batasan pengertian atau istilah. Pembatasan

tersebut dilakukan untuk menghindari terjadinya multi tafsir maupun

kerancuan definisi dan diharapkan akan dapat membantu dalam

menjawab pokok permasalahan usulan penelitian ini. Beberapa

pembatasan tersebut adalah sebagai berikut :

1. Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik

untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang

diduga sebagaitindak pidana guna menentukan dapat

atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara

yang diatur dalam undang-undang.

2. Penyidikan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik

dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam

undang-undang ini untuk mencari serta

mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat

terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

3. Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara republik

Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu

yang diberi kewenangan khusus oleh undang-undang

untuk melakukan penyidikan.

Menurut penjelasan Undang-Undang No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia, Kejaksaan berwenang melakukan

penyidikan pada tindak pidana tertentu, seperti tindak pidana

terhadap Hak Asasi Manusia dan Tindak Pidana Korupsi. Selain itu

berdasarkan pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 2002 tentang

KPK dinyatakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan

penyidik dalam perkara tindak pidana korupsi. Jadi dalam penelitian

ini, penyidik adalah POLRI, Kejaksaan, dan KPK.

4. Tindak Pidana Korupsi.

Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana korupsi

yang sebagaimana dimaksudkan Undang-Undang

No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak


Pidana Korupsi, Bab II tentang Tindak Pidana

Korupsi, pasal 2-pasal 20 jo. Undang-Undang No. 20

tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi.

5. Penghentian Penyidikan

Meskipun KUHAP tidak merumuskan apa yang

dimaksud dengan penghentian penyidikan, namun

dapat dirumuskan bahwa penghentian penyidikan

merupkan tindakan penyidik menghentikan penyidikan

dengan berdasar pada alasan-alasan sebagai berikut

1) Tidak terdapat cukup bukti

2) Peristiwa yang disangkakan bukan merupakan tindak


pidana

3) Penyidikan dihentikan demi hukum

6. Surat Perintah Penghentian Penyidikan ( SP3 )

Surat Perintah Penghentian penyidikan adalah surat

perintah yang dikeluarkan oleh Penyidik sebagai bukti

telah dihentikannya penyidikan suatu tindak pidana.

7. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)


KPK adalah lembaga negara yang dibentuk

berdasarkan Undang- Undang No. 30 tahun 2002

tentang KPK yang dalam melaksanakan tugas dan


wewenangnya bersifat independen dan bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun sehingga

pembentukan komisi itu bertujaun meningkatkan daya

guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan

tindak pidana korupsi.

8. Extra Ordinary Crime

G. Istilah extra ordinary crime berarti kejahatan luar biasa yang


memerlukan penanganan yang laur biasa pula. Istilah ini muncul
untuk menggambarkan kejahatan terhadap hak asasi manusia,
seperti genosida. Karena tindak pidana korupsi di Indonesia
sudah begitu meluas dalam masyarakat, perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang
terjadi, kerugian keuangan negara, dan kualitas tindak pidananya,
maka tindak pidana korupsi dapat diigolongkan sebagai extra
ordinary crime. Bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini
terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara,
tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial
dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana
korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa. Metode
Penelitian

Dalam penelitian ini, Penulis menggunakan metode

penelitian kepustakaan ( library research) yang bersifat yuridis

normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang yang

terdapat dalam pearturan perundang-undangan, yurisprudensi serta

kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Norma hukum

yang menjadi acuan adalah ketentuan-ketentuan dalam Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP) yang mengatur mengenai proses pemeriksaan perkara

pidana miulai dari penyelidikan hiingga dikeluarkannya Surat


Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Selain itu juga digunakan

norma hukum lain yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang Komisi Pemberantasan Korupsi serta undang-undang dan

peraturan lainyang mengatur mengenai masalah kewenangan

penyidik dalam proses penghentian penyidikan.

Jenis data yang diperoleh adalah data sekunder, yaitu data yang

diperoleh dari bahan pustaka. Data sekunder ini berasal dari bahan

hukum primer dan bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tertier. Bahan hukum primer adalah bahan- bahan hukum yang

mengikat sehubungan dengan masalah. Bahan hukum primer dari

seluruh peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang

mengatur masalah kewenangan penyidik dalam mengeluarkan SP3

serta kewenangan khusus yang dimiliki oleh KPK. Bahan hukum

sekunder adalah bahan hukum yang memberi penjelasan

mengenai bahan hukum primer. Dalam hal ini, bahan hukum

sekunder yang diperoleh berasal dari buku, jurnal, artikel, skripsi,

dokumen yang diperoleh dari internet, serta hasil-hasil penelitian

dan tulisan-tulisan dari kalangan ahli hukum. Selain itu, untuk

bahan hukum tertier digunakan ensiklopedia dan kamus hukum

(black laws dictionary).

Metode penelitian yang digunakan dalam mengumpulkan

data dan bahan bagi penelitian ini adalah bersifat empiris yuridis.

Oleh karena itu, dengan perkataan lain penelitian ini bertitik tolak
dari peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya yang

ada kaitannya dengan pokok permasalahan penelitian ini.

Alat pengumpulan data yang digunakan dalam memperoleh

data sekunder adaalh dengan wawancara narasumber,

penggunaan studi dokumen atau bahan pustaka, serta media

elektronik (internet).

Adapun metode analisis data yang dilakukan adalah metode

kualitatif. Metode kualitatif lebih menekankan kepada kebenaran

berdasarkan sumber- sumber hukum serta doktrin yang ada bukan

dari segi kuantitas kesamaan data yang diteliti.

Penelitian ini dilakukan untuk menjawab permasalahan dengan

melakukan penelitian yang bersifat deskriptif analitis yaitu dengan

memberikan penjelasan mengenai proses penyidikan, penghentian

penyidikan oleh penyidik, serta pemaparan yang jelas mengenai

ketentuan yang mengatur bahwa KPK tidak berwenang

mengeluarkan SP3. Kemudian dianalisis untuk menemukan

permasalahan hukumnya serta jawaban dari permasalahan tesebut.

H. Sistematika Penulisan

Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima Bab

dengan beberapa sub-bab, dengan uraian singkat sistem penulisan

sebagai berikut:

BAB 1 : PENDAHULUAN
Dalam bab pertama ini akan diuraikan

mengenai latar belakang permasalahan, pokok

permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,

keaslian penelitian, tinjauan kepustakaan,

metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB 2 : KEWENANGAN PENYIDIK

MENGELUARKAN SURAT PERINTAH

PENGEHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) PADA

PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam bab ini akan diuraikan secara teoritis

mengenai pengertian tindak pidana korupsi,

peraturan perundang- undangan mengenai

korupsi setelah era reformasi yang berlaku di

Indonesia berdasarkan undang-Undang No.30

tahun 2002 tentang KPK, sejarah singkat,

tugas dan kewenangan KPK, khususnya dalam

proses penyidikan, proses pemeriksaan

perkara dari mulai penyelidikan,

penyidikan,alasan-alasan yang menjadi dasar

penerbitan

SP3 tersebut, serta instansi yang berwenang

dan tidak berwenang mengeluarkan SP3.

BAB 3 : LATAR BELAKANG TERHADAP


PENETAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG

NO. 30 TAHUN 2002 TENTANG KOMISI

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

KORUPSI

Dalam bab ini Penulis akan menguraikan

mengenai Judicial Review terhadap Pasal 40

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002

tentang KPK serta analisis hukumnya dan latar

belakang penetapan pasal 40 Undang-Undang

No. 30 Tahun 2002 tentang KPK

BAB 4 : PENERAPAN PASAL 40 UNDANG-UNDANG

NO.30 TAHUN 2002 TENTANG

KOMISI PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

Bab ini membahas penerapannya dalam

proses penyelidikan tindak pidana korupsi,

serta kaitannya dengan asas praduga tak

bersalah dalam hukum acara pidana di

Indonesia.

BAB 5 : PENUTUP

Bab ini adalah penutup dari penulisan

penelitian yang menguraikan secara singkat

mengenai kesimpulan dari keseluruhan


penulisan serta saran yang Penulis anggap

perlu untuk disampaikan agar dapat

bermanfaat bagi para

pembacadalam memahami topik yang telah

dibahas yaitu mengenai Analisis Yuridis

Terhadap Kewenangan Penyidik Mengeluarkan

Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3)

pada perkara Tindak Pidana Korupsi (Studi

Kasus Judicial Review Pasal 40 Undang-

Undang No. 30 tahun 2002 tentang KPK).

Anda mungkin juga menyukai