Anda di halaman 1dari 10

,.

DAMPAK PERLUASAN LAHAN SAWIT TERHADAP KERUSAKAN

LINGKUNGAN HIDUP : Tinjauan Pengaruh Kebijakan Renewable Energy

Terhadap Lingkungan Hidup di Kalimantan Tengah

(Tugas ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Globalisasi)

Oleh kelompok 2 :

Setya Waryuningsih ( B72218085)

KELAS C2

PROGRAM STUDI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

2020
Abstrak: Dalam rangka memenuhi kebutuhan energi terbarukan (renewable energy),

permintaan dunia terhadap CPO (Crude Palm Oil) meningkat. Imbas kebijakan

renewable energy directive dan kebijakan turunannya dari pemerintah Indonesia,

membuat perluasan lahan sawit digencarkan agar produktivitas komoditas CPO

meningkat. Tahapan yang dilakukan adalah dengan membakar lahan gambut dan

menanaminya dengan pohon sawit. Dampak dari perluasan lahan sawit dengan

pembakaran lahan gambut adalah polusi asap, peningkatan gas emisi rumah kaca,

punahnya Orangutan, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Kata Kunci: Konversi, Sawit, Lingkungan, Kebijakan, Kalimantan Tengah

Pendahuluan

Populasi manusia yang tiap tahun makin meningkat, bahkan menurut PBB diprediksi

pada tahun 2050 populasi manusia menjadi 9,3 miliar jiwa menyebabkan kebutuhan

hidup manusia menjadi semakin beragam. Sedangkan umur bumi semakin tua dan

sumber daya alam yang tersedia juga semakin menipis. Ketergantungan manusia

terhadap alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya menyebabkan manusia terus

mengeksploitasi apa yang bisa diolah untuk memenuhi kebutuhannya.

Industri-industri yang berdiri adalah jawaban untuk memenuhi kebutuhan hidup

manusia yang beragam. Industri yang semakin berkembang dan maju tentu

membutuhkan energi. Energi ini didapat dari Bahan Bakar Minyak (BBM) yang

sifatnya tidak dapat diperbarui. Industri besar umumnya menggunakan komoditi BBM

jenis Minyak Bakar (MFO) dan Minyak Diesel (MDF) untuk menggerakkan mesin-

mesinnya. Untuk industri transportasi menggunakan komoditi BBM jenis Avgas

(Aviation Gasoline), Avtur (Aviation Turbine), bensin, Premium (RON 88), Pertamax

(RON 92), Pertamax Plus (RON 95), Minyak Solar (HSD). Sedangkan untuk usaha
kecil dan pemakaian domestik biasanya menggunakna Minyak Tanah (Kerosene)

(BPPP Tegal)

Penggunaan BBM dalam porsi yang besar menimbulkan terjadinya global

warming.1 Dampaknya akan terjadi perubahan iklim, pola cuaca, rusaknya lingkungan

dan keseimbangan antara manusia dengan lingkungan hidupnya akan terganggu.

Menyikapi hal ini dibuatlah kebijakan yang dinamai Protokol Kyoto yang dibuat pada

tahun 1977 yang memuat aturan tentang pengurangan dan pencegahan lebih lanjut

dampak dari global warming. Kemudian ditindaklanjuti dengan Konferensi

Perubahan Iklim atau Conference of the Parties (COP) yang digagas oleh organisasi

internasional, United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)

menghasilkan kesepakatan yang ditandatangi oleh 190 negara.2

Dari dua kebijakan tadi, didapat kesepakatan untuk mencari energi alternatif

menggantikan ketergantungan dari energi yang berasal dari fosil seperti BBM menjadi

energi yang dapat diperbarui. Salah satunya adalah biofuel.3 Pengaruh dari kebijakan

pengurangan penggunaan energi fossil tadi atau kebijakan renewable energy

directive, dan tingginya harga minyak mentah dunia membuat semua negara di dunia

mulai mencari energi alternatif yang dapat diperbarui dan ramah lingkungan Membuat

permintaan-permintaan akan energi terbarukan meningkat di banyak negara. Negara-

negara industri sebagai penyumbang gas emisi terbesar mulai beralih ke penggunaan

Bahan Bakar Nabati (BBN). Bahan Bakar Nabati salah satunya dapat diperoleh dari

minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil).

Di Indonesia sendiri, penggunaan CPO diperuntukkan untuk keperluan non migas

1
Karena proses pembakaran BBM akan menghasilkan gas emisi berupa CO2 yang merupakan salah satu
komponen gas rumah kaca yang efeknya dapat menyebabkan pemanasan global (global warming). Lebih lanjut
dalam : Sulistyono, “Pemanasan Global (Global Warming) dan Hubungannya dengan Penggunaan Bahan Bakar
Fosil”. Forum Teknologi. Vol. 02 No. 2, 48.
2
Juliati Supraniningsih, “Pengembangan Kelapa Sawit sebagai Biofuel dan Produksi Minyak Sawit serta
Hambatannya”. Jurnal Ekonomi. Vol 29. No. 321 Juli-Agustus 2012, 10.
3
Biofuel adalah bahan bakar yang sumbernya berasal dari proses-proses biologi (terbarui). Bahan bakar ini dapat
diambil dari tetumbuhan, hewan, ataupun sisa-sisa pertanian.
seperti bahan baku pembuatan minyak goreng, sabun, mentega, detergen dan lain-lain.

Tapi dengan adanya kebijakan tadi membuat pemerintah harus mengembangkan

industri CPO lebih besar agar dapat memenuhi kebutuhan CPO. Apalagi Indonesia

tidak hanya harus memenuhi kebutuhan CPO untuk keperluan domestik dan konsumsi

tapi juga bisa menyediakan CPO untuk kebutuhan ekspor.4 Melihat prospek kelapa

sawit di atas, produksi CPO meningkat untuk memasok pasar-pasar utama dari uni

Eropa, Cina, Pakistan dan India. Hal ini membuat pemerintah harus menciptakan

iklim yang baik agar industri-industri CPO dapat meningkatkan produktivitasnya.

Paket-paket kebijakan dibuat agar memudahkan investasi masuk dalam rangka

peninngkatan komoditas CPO. Apalagi Indonesia ingin menjadi eksportir terbesar

komoditi CPO mengalahkan Malaysia.

Di Indonesia kebijakan ini diturunkan menjadi kebijakan energi terbarukan

(Bahan Bakar Nabati) melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 yang mengatur

tentang kebijakan energi nasional. Kebijakan ini juga diikuti dengan instruksi

Presiden No. 1 tahun 2006, yang kemudian disusul dengan Keputusan Presiden No.

10 tahun 2006 tentang Pembentukan Tim Nasional Pembangunan Biofuel. Beberapa

kebijakan ini dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 30 tahun

2007 tentang Diversifikasi Energi dan Konversi Energi. Disamping itu Pemerintah

mencanangkan Indonesia Green Energy Action Plan dalam rangka pengembangan

green energy atau energi yang berbahan baku nabati.5 Untuk mendukung kebijakan

dan cita-cita Indonesia tersebut, dibuat program pembukaan lahan-lahan hutan sebagai

4
Peluang pasar BBN terbuka karena pemerintah melalui kebijakan PerMen ESDM no. 32 Tahun 2008 mewajibkan
BBN di dalam negeri. Produksi BBN di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan domestik saja diperkirakan harus
meningkat dari nihil di tahun 2006 menjadi 24 juta m₃ di tahun 2025 ( 18 juta m₃ biodiesel + PPO, 6 juta m₃
bioetanol). Peluang pasar ekspor juga terbuga akrena berbagai negara mauju terutama Uni Eropa menargetkan
peningkatan BBN tetapi kemampuan produksinya terbatas. Lihat di Tatang Hernas Soerawidjaja, “Peluang,
Potensi dan Rintangan Pengembangan Industri bahan Bakar Nabati di Indonesia” pada Kongres Ilmu
Pengetahuan Nasional (KIPNAS) 8-10 November 2011.
5
Agus Sugiyono, “Pengembangan Bahan Bakar Nabati untuk Mengurangi Dampak Pemanasan Global”.
dipresentasikan pada Seminar Nasional Kebijakan Pemanfaatan Lahan dalam Menanggulangi Dampak
Pemanasan Global, Keluarga Mahasiswa Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, UGM, Jogjakarta 10 Mei 2008
lahan sawit yang terkonsentrasi di daerah Kalimantan dan Sumatra.

Mengingat isu perluasan lahan sawit karena adanya pengaruh kebijakan global

dan nasional tentang renewable energy, kami tertarik untuk mengangkat judul

mengenai “DAMPAK PERLUASAN LAHAN SAWIT TERHADAP KERUSAKAN

LINGKUNGAN HIDUP : Tinjauan Pengaruh Kebijakan Renewable Energy Terhadap

Lingkungan Hidup di Kalimantan Tengah”.

Metode Analisis

Fokus isu dari analisis ini adalah dampak perluasan lahan sawit terhadap lingkungan

hidup dalam hubungannya dengan kebijakan global yang disepakati tentang

renewable energy. Fokus wilayah dari analisis ini adalah wilayah Kalimantan Tengah.

Metode analisisnya dengan cara mengkaji berbagai penelitian yang telah dilakukan

peneliti sebelumnya tentang isu terkait.

Analisis Pembahasan

Perluasan Lahan Sawit di Kalimantan Tengah

Perluasan lahan sawit di Kalimantan Tengah dilakukan dengan cara membuka lahan-

lahan gambut. Lahan gambut menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

dalam Wahyunto (2015) mendefinisikan sebagai lahan dengan tanah jenuh air, yang

terbentuk dari endapan yang berasal dari penumpukan sisa-sisa tumbuhan yang

sebagian belum melapuk sempurna dengan ketebalan 50 cm atau lebih, dan

kandungan karcon organik sekurang-kurangnya 12%.

Di Kalimantan Tengah perluasan lahan sawit pada tahun 2019 sudah sebanyak

1,5 juta ha lebih lahan digunakan (sumber: pertanian.go.id) padahal pada tahun 2000

luas perkebunan sawit hanya 216.121 Ha (sumber: Draft Naskah Akademis


Pengelolaan Perkebunan Sawit Berkelanjutan di Kalimantan tengah tahun 2008).

Konversi lahan besar-besaran ini tentu menimbulkan kerusakan lingkungan hidup di

Kalimantan Tengah. Lingkungan hidup sendiri didefinisikan sebagai kesatuan ruang

dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia dan

perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan

kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. (UU No. 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). Jadi apabila terjadi kerusakan

lingkungan yang terdampak bukan hanya dari aspek ekologinya saja tetapi juga

makhluk hidup yang berada di dalamnya yakni manusia, hewan, tumbuhan dan

makhluk hidup lainnya.

Dampak Perluasan Lahan Sawit Terhadap Kerusakan Lingkungan Hidup di

Kalimantan Tengah

Ambisi pemerintah dan pemodal untuk menjadikan Indonesia sebagai eksportir

terbesar CPO dan mengalahkan Malaysia membuat perluasan lahan sawit semakin

digalangkan dengan mengundang investor baik dalam negeri maupun luar negeri

(Zunariyah: 2012). Konversi lahan gambut besar-besaran di Kalimantan Tengah

merupakan cara untuk memulai perluasan lahan sawit. Paling banyak konversi

kawasan hutan dialokasikan untuk perkebunan sawit. Salah satu provinsi yang

terbanyak perkebunan sawit secara tidak prosedural serta memiliki laju pertumbuhan

perkebunan terbesar sekaligus menduduki tingkat deforestasi paling tinggi di

Indonesia adalah Provinsi Kalimantan Tengah (Kemenhut, 2012c) disisi lain

Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang memiliki gambut seluas  3

juta Ha (Wahyunto et al: 2004 dalam Setiawan et al: 2017 ).


Perluasan lahan sawit biasanya dilakukan dengan cara pembakaran lahan gambut.

Padahal pembakaran lahan gambut menimbulkan asap yang sangat banyak. Sifat dan

karakteristik dari lahan gambut adalah kemampuannya dalam menyerap air sangat

besar. Karena itu meski tanah di bagian atasnya sudah kering, dibagian bawahnya

tetap lembap dan bahkan basah karena mengandung air. Ketika terbakar kobaran api

pada lahan gambut bercampur dengan uap air menghasilkan asap yang sangat banyak.

Pembakaran lahan dilakukan dengan secara tidak terencana dan terkendali sehingga

kobaran api kemana-mana.6

Dampak yang paling nyata adalah asap yang ditimbulkannya. Polusi asap

menyebabkan banyak orang menderita infeksi saluran pernapasan bahkan kematian.

Dampak lebih luasnya lagi, pembakaran lahan gambut menyebabkan lepasnya

sejumlah besar kabon ke udara. Ini berarti sama saja dengan lepasnya gas karbon

(emisi) karena pembakaran bahan bakar fosil. Diperparah dengan hilangnya lahan-

lahan gambut yang berfungsi sebagai penyimpan karbon terpenting di dunia. Apabila

lahan gambut dikeringkan atau dialihfungsikan maka cadangan karbon akan terlepas

ke udara. Ini semakin memperparah global warming. Analisis WRI menunjukkan

bahwa membakar satu hektar lahan gambut di wilayah tropis akan melepaskan rata-

rata 55 metrik ton Co2 setiap tahun atau setara dengan membakar lebih dari 6000

galon bensin.7

Meningginya permintaan dunia terhadap CPO maka akan meningkatkan produksi

minyak sawit (CPO) disisi penawaran dan akan meningkatkan luas tanaman kelapa

sawit dan produksi minyak sawit di Indonesia (Erwinsyah: 2018). Semakin luas lahan

sawit dan semakin besar produksi sawit maka semakin banyak limbah sawit yang

dihasilkan. Limbah yang dihasilkannya berupa limbah cair POME (Palm Oil Mill
6
Maya Rahmayanti, “Kontribusi Kebakaran Lahan Gambut Terhadap Pemanasan Global”. Kaunia. Vol. 3. No. 2.
Oktober 2007, 107.
7
https://pantaugambut.id/pelajari/peran-penting-lahan-gambut/lahan-gambut-menjaga-perubahan-iklim
Effluent) dimana menthan yang terkandung merupakan salah satu sumber gas rumah

kaca. Maka semakin banyak lahan sawit semakin besar pula sumbangannya terhadap

kenaikan suhu iklim dunia.

Perluasan lahan sawit berarti melakukan deforestasi hutan. Deforestasi adalah

perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang

diakibatkan oleh kegiatan manusia. (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia

No. P30/Menhut II/2009). Deforestasi hutan akan berpengaruh pada rusaknya

lingkungan baik skala lokal maupun dunia. Kalimantan Tengah di tahun 2012 pernah

menempati posisi paling atas dalam dalam tingkat deforestasi. Deforestasi hutan

berdampak pada hilangnya habitat flora dan fauna yang ada. Di Kalimantan Tengah

perluasan lahan sawit telah menyebabkan habitat Orangutan terancam punah. Hal ini

tidak hanya merusak hutan sebagai habitatnya, akan tetapi juga menyebabkan

populasi Orangutan punah. Perusahaan sawit memandang Orangutan sebagai hama

karena mengganggu perkebunan sawit. (Silvana, et al: 2017)

Disamping itu, konversi lahan gambut menurunkan kualitas lingkungan, bahkan

menyebabkan banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Karena

lahan gambut yang berubah menjadi lahan sawit akan merusak tanah. Unsur hara dan

air dalam tanah akan hilang karena sifat tanaman sawit yang menyerap banyak unsur

hara dan air dalam tanah.

Kesimpulan

Pengaruh kebijakan global yang digagas oleh United Nation Framework Convention

on Climate Change (UNFCCC) dalam bentuk kesepakatan untuk mengurangi dampak


dari global warming yakni dengan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil menjadi

energi terbarukan (renewable energy) membuat Indonesia meratifikasinya menjadi

kebijakan dalam rangka mendukung kebijakan dari UNFCCC.

CPO (Crude Palm Oil) sebagai salah satu bahan dari Bahan Bakar Nabati (BBN)

memiliki prospek yang besar sebagai renewable energy. Ini membuat pemerintah

untuk membuka seluas-luasnya investasi dalam rangka peningkatan produktivitas

CPO. Tahapan pertamanya adalah dengan memperluas lahan sawit. Di Kalimantan

Tengah perluasan lahan sawit dengan pembakaran lahan gambut menyebabkan

kerusakan lingkungan. Seperti polusi asap, peningkatan gas emisi rumah kaca,

punahnya Orangutan, banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau.

Rekomendasi

Perluasan lahan sawit dengan mengorbankan lahan gambut sebaiknya dihentikan.

Karena akan semakin mengurangi jumlah lahan gambut yang ada. Melihat kerusakan

lingkungan hidup yang terjadi ada baiknya lahan sawit yang sudah ada

dimaksimalkan produktivitasnya dengan penggunaan teknologi berkelanjutan.

Peningkatan produktivitas sawit difokuskan pada kualitas pohonnya saja tidak hanya

dengan menambah kuantitas pohon sawit.

Selain itu pemerintah harus membuat regulasi yang jelas dan tegas tentang

perijinan pembangunan lahan sawit. Dalam pembangunannya setiap perusahaan sawit

harus memperhatikan kaidah-kaidah yang berwawasan lingkungan.

https://www.un.org/development/desa/en/news/population/world-population-prospect-2017-
html

http://www.bppp-tegal.com/web/index.php/artikel/187-penggunaan-bahan-bakar-minyak

Setiawan, Eko N., Maryudi, Ahmad., Purwanto, Ris H.., Lele, Gabriel Konflik Tata Ruang
Kehutanan dengan Tata Ruang Wilayah (Studi Kasus Penggunaan Kawasan Hutan Tidak
Prosedural untuk Perkebunan Sawit Provinsi Kalimantan Tengah). Bhumi Vol. 3 No 1 Mei
2017. 52
Ardhana, I Putu Gede., Dampak Laju Deforestasi terhadap Hilangnya Keanekaragaman
Hayati di Indonesia. Jurnal Metamorfosa. Vol. 3 No.2. 2016
Silnava, Arum., Masduki., Sulistyaningsih, Tri. Gerakan Sosial Yayasan Borneo Orangutan
Survival Foundation (BOS) Berbasis Komunitas dalam Penyelamatan Orangutan di
Kalimantan Tengah. SENASPRO 2 UMM. Oktober 2017
Zunariyah, Siti. Dilema Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia: Sebuah Tinjauan
Sosiologi Kritis. 2012
Erwinsyah. Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Dampaknya terhadap Lingkungan. Prosiding
Dosen Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat UNINDRA 2018.
Widyati, Enny. Kajian Optimalisasi Pengelolaan Lahan Gambut dan Isu Perubahan Iklim.
Tekno Hutan Tanaman. Vol. 4 No. 2. Agusts 2011.

Anda mungkin juga menyukai