Anda di halaman 1dari 5

Judul Penelitian: Formulasi Kebijakan Pemerintah Daerah Yang Harmonis

Tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga

STUDI PUSTAKA (Ulasan Bahan Bacaan)


Penelitian mengenai kebijakan yang berkaitan dengan kependudukan telah
banyak dilakukan. Namun sejauh penelusuran tim peneliti, belum ada penelitian
khusus mengenai formulasi kebijakan pemerintah daerah povinsi Kepulauan Riau
mengenai perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga.
Secara umum, penelitian kebijakan banyak dilakukan sebagaimana berikut:
Penelitian mengenai kebijakan pemerintah dalam menanggulangi
kemiskinan pernah dilakukan oleh Sujana Royat pada tahun 2008 dengan
simpulan bahwa kebijakan pemerintah dalam percepatan penanggulangan
kemiskinan dan pengangguran dilakukan dengan memfokuskan pada upaya: (1)
menaikkan anggaran yang berkaitan (langsung/tidak langsung) melalui
pendekatan pemberdayaan berbasis komunitas. (2) mendorong APBD Provinsi,
kota/kabupaten untuk program yang terkait, (3) melakukan akselerasi pertumuhan
ekonomi dan stabilitas harga. (Royat, 2008)
Penelitian mengenai Studi Indentifikasi Kelompok Kegiatan Bina Keluarga
Balita Era Otonomi Daerah pernah dilakukan oleh Syahmida S Arsyad pada tahun
2008 dengan hasil yang menunjukkan bahwa pelaksanaan Poktan BKB belum
mencapai tujuan yang diharapkan. Apabila ditelusuri lebih lanjut, terdapat
beberapa faktor penghambat, diamping ada faktor pendukung yang merupakan
potensi yang dapat dikembangkan. Model keterpaduan belum mendukung
tercapainya tujuan Poktan BKB, dalam arti belum sinergis, karena masing-masing
kegiatan yang dipadukan dengan BKB hanya fokus pada waktu pelaksa-naan
kegiatan, atau dengan kata lain: ha-nya mempertimbangkan efisiensi waktu.
Kebijakan ”BKB percontohan” dan ”pe-nyaluran dana APBN” ke Poktan ”BKB
percontohan” tidak mendukung tercapainya RKP, karena dana APBN tidak
disalurkan kepada semua Poktan BKB yang ada. (Arsyad, 2008)
Hasil studi efektifitas keterpaduan kegiatan BKB oleh Puslibang Keluarga
Sejahtera dan Peningkatan Kualitas Perempuan (Pusra), BKKBN Pusat
menunjukkan: a). Model pe-laksanaan BKB bervariasi yaitu: terpadu dengan
PAUD, posyandu, UPPKS, PMKS, dan tidak terpadu, namun tidak ada yang sama
dengan “pedoman” (fakta); b). Efek-tivitas pelaksanaan BKB yang diukur dengan
terjadinya penyuluhan pada orang tua balita/transfer pengetahuan dan
keterampilan nampaknya erat kaitan dengan pembinaan dan dukungan
PLKB/PKB, PKK, dana operasional, dan bentuk mekanisme pelak-sanaannya; c).
BKB ke depan tetap harus ada, namun nampaknya akan bervariasi, tidak se-suai
dengan pedoman BKKBN Pusat; d).PKK dilibatkan secara optimal sebagai
pembina; e).Pemahaman orang tua terhadap materi BKB lebih efektif jika
disampaikan terpisah dengan peman-tauan tumbuh kembang balita (kelas orang
tua terpisah) (Arsyad, 2007).
Hasil penelitian tentang kebijakan pemerintah sebagai pola pengendalian
sosial yang dilakukan oleh I Gusti Ngr Jayanti pada tahun 2008 menunjukkan
bahwa pola pengendalian sosial yang dituangkan dalam kebijakan pemerintah
membawa implikasi sosial yang mengarah pada disparitas atau kesenjangan
sosial, hal ini disebabkan perumusan kebijakan yang tidak mengakomodir
kepentingan masyarakat. (Jayanti, 2008)
Kajian yang pernah dilakukan oleh Direktorat Analisis dan Evaluasi
Program BKKBN pada tahun 2007 tentang Analisis dan Evaluasi Dampak
Program KB terhadap Fertilitas dan Aspek Kependudukan di Indonesia Tahun
2006 menunjukkan bahwa Jumlah penduduk secara nasional dari hasil pendataan
keluarga tahun 2006 secara keseluruhan sebanyak 213.081.811 jiwa, jika
dibandingkan dengan tahun 2001 sebesar 195.021.711 jiwa atau naik sebesar
18.060.100 jiwa yang berarti secara persentase naik sebesar 9,26%, atau rata-rata
setiap tahun naik 1,85%, kenaikan ini sudah tersebar diseluruh provinsi di
Indonesia (lihat tabel 1). Secara umum mulai dari tahun 2001 hingga 2006
menurut wilayah penggarapannya jumlah penduduk tertinggi terjadi di wilayah
Jawa Bali kemudian diikuti LJB I dan selanjutnya di wilayah LJB II. Namun
sebaliknya untuk persentase perkembangannya tahun 2001-2006 tertinggi terjadi
di wilayah LJB II sebesar 13,10% kemudian LJB I sebesar 9,40% dan diikuti
Jawa Bali sebesar 8,44%.
Secara nasional jumlah keluarga dari hasil pendataan keluarga tahun 2006
sebanyak 55.803.271 jiwa, jika dibandingkan dengan tahun 2001 sebesar
49.597.472 keluarga atau naik sebesar 6.205.799 keluarga yang berarti secara
persentase naik sebesar 12,51%, atau rata-rata setiap tahun naik 2,50%, kenaikan
ini sudah tersebar diseluruh provinsi di Indonesia. Menurut wilayahnya pada
tahun 2001 hingga 2006 perkembangan jumlah keluarga tertinggi terjadi di
wilayah LJB II sebesar 14,61% diikuti di wilayah LJB I sebesar 14,34% dan
selanjutnya Jawa Bali sebesar 11,42%. Sementara itu jumlah PUS secara absolut
seluruh Indonesia dari hasil pendataan keluarga tahun 2006 sebesar 40.120.916
pasangan. Seiring dengan meningkatnya jumlah keluarga sebesar 12,51% selama
kurun waktu 2001-2006 maka jumlah PUS juga mengalami kenaikan sebesar
4.106.396 pasangan atau 11,40%. Kenaikan PUS tersebut dimungkinkan karena
adanya pasangan muda yang baru membentuk keluarganya.
Pada tingkat kesertaan ber-KB diukur dari persentase pasangan usia subur
(PUS) yang sedang ber-KB. Hasil Pendataan tahun 2001 tercatat tingkat kesertaan
ber-KB secara nasional sebesar 68.21%. Hal itu berarti lebih dari separoh PUS
yang sedang menjadi peserta KB dan menunjukkan bahwa hasil program KB
selama ini cukup berhasil. Pencapaian pada tingkat nasional ini dari tahun ketahun
berfluktuatif hingga mencapai 69,53% pada tahun 2006.
Dalam tahun 2006, tingkat kesertaan ber-KB dilihat menurut provinsi
seluruh Indonesia menunjukkan sebagian besar provinsi (11 provinsi) telah
mencapai di atas 70% dan pencapaian tertinggi terjadi di provinsi Bengkulu
sebesar 83,80%. Di sisi lain sebanyak 2 provinsi dengan tingkat kesertaan KB nya
mencapai angka terendah yakni Papua dan Maluku masing-masing sebesar
39,56% dan 48,18%. Sedangkan tingkat kesertaan ber-KB periode 2001-2006
menurut provinsi seluruh Indonesia menunjukkan bahwa sebagian besar provinsi
(21 provinsi) telah terjadi kenaikan, sehingga sebanyak 9 provinsi mengalami
penurunan. Peningkatan tertinggi terjadi di provinsi Sumatera Barat diikuti
Maluku dan Bengkulu masingmasing peningkatannya diatas 5 poin. Sebaliknya
yang cukup memprihatinkan adalah provinsi Maluku Utara, NTT dan Kalimantan
Timur karena terjadi penurunan kesertaan KB yang cukup tinggi atau diatas 3
poin. (Direktorat Analisis dan Evaluasi Program BKKBN, 2007)
Penelitian mengenai evaluasi proses pembuatan kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia yang dilakukan oleh Achmad Gunawan pada tahun 2007
menunjukkan bahwa masih banyak pihak atau aktor penting yang tidak terlibat
dalam pembuatan kebijakan tersebut sehingga kebijakan yang dibuat tidak
mengakomodasi kepentingan yang seluas mungkin mewakili kelompok-kelompok
yang terlibat. Interaksi diantara pihak atau aktor berjalan dengan baik bahkan
karena adanya kedekatan hubungan diantara para pihak atau aktor tersebut sering
kali pertemuan atau rapat diadakan secara informal. (Gunawan, 2007)
Kajian yang dilakukan oleh Komisi Penanggulangan AIDS dalam rumusan
strategi nasional penanggulangan HIV dan AIDS 2007-2010 menunjukkan bahwa
Jumlah pengguna obat-obat terlarang di Indonesia terus meningkat terutama di
kalangan remaja dan kelompok dewasa muda. Walaupun sebagian besar dari
sekitar 1,3 – 2 juta pengguna NAPZA tidak menggunakan heroin atau suntikan,
namun sebagian kecil melakukannya. Menurut estimasi Departemen Kesehatan
pada tahun 2006 terdapat antara 191.000 sampai 248.000 penasun di Indonesia.
Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjuk kepada angka 508.000 pada tahun
yang sama. Penasun masih terkonsentrasi di daerah perkotaan di Jawa dan kota-
kota provinsi di luar Jawa. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena penularan HIV
di subpopulasi ini tinggi dan terus meningkat. Masalah menjadi semakin sulit
karena ketidak pedulian akan bahaya tertular seperti ditunjukkan hasil survei
perilaku tahun 2002 sekitar dua per tiga penasun yang menyatakan bahwa mereka
tidak memiliki resiko terinfeksi juga menyatakan bahwa mereka telah
menggunakan peralatan secara bersama-sama dalam minggu sebelumnya pada
survei yang sama.
Pembangunan fisik yang dilakukan di daerah urban dan lapangan kerja
yang sempit di daerah pedesaan,menyebabkan arus urbanisasi ke kota-kota besar
Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pekerja di daerah industri dan proyek
pembangunan fisik didominasi oleh laki-laki, sedangkan kelompok perempuan
mendominasi pekerjaan domestik. Dominasi dari satu jenis kelamin di setiap jalur
urbanisasi menunjukkan bahwa para pendatang ini hidup membujang dan
berpotensi untuk berperilaku risiko tinggi. Membaiknya sarana transportasi juga
berdampak terhadap peningkatan mobilitas penduduk. Migrasi antar negara juga
perlu diperhitunkan diperhitungkan sebagai potensi masuknya HIV ke suatu
negara. Jumlah tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri bertambah dari
tahun ketahun. Sebagian besar berusia muda, dengan pengetahuan yang sangat
minim tentang HIV dan AIDS. (KPA, 2007)
Kajian mengenai Kelembagaan Kependudukan Era Otonomi Daerah yang
dilakukan oleh Prijono Tjiptoherijanto menunjukkan hasil bahwa bentuk
kelembagaan yang menangani masalah kependudukan di daerah tergantung pada
aspek pembangunan kependudukan itu sendiri serta pembangunan berwawsan
kependudukan, dan juga tergantung pada kondisi dan kemampuan masing-masing
daerah. Namun yang pasti adalah ketidak pedulian kita pada aspek ini akan
berdampak buruk pada pembangunan nasional dimasa mendatang dan kehidupan
generasi mendatang. (Tjiptoherijanto, 2004)
Direktorat remaja BKKBN bekerjasama dengan beberapa lembaga
swadaya masyarakat yang fokus pada permasalahan kehidupan penduduk remaja
pernah melakukan penelitian tentang pola perilaku sehat remaja, khususnya yang
berhubungan dengan resiko TRIAD KRR (seksualitas, NAPZA, HIV dan AIDS)
yang menunjukkan bahwa sebagian remaja Indonesia berperilaku tidak sehat.
Menurut survei di 33 provinsi yang dilakukan sejak januari sampai dengan juni
2008 menunjukkan bahwa 97% remaja SMP dan SMA pernah menonton film
porno, 93,7% remaja SMP dan SMA pernah ciuman, genital stimulation (meraba
alat kelamin) dan oral seks (seks melalui mulut), 62,7% remaja SMP tidak
perawan, 21,2% remaja mengaku pernah aborsi. (BKKBN, 2010)
Dari semua kajian dan penelitian yang telah dilakukan sebagaimana
diuraikan di atas menunjukkan jenis kajian yang bersifat evaluasi kebijakan dan
perumusan kebijakan namun tidak diarahkan pada harmonisasi. Yang menjadi
beda dari penelitian ini denga penelitian sebelumnya adalah bahwa penelitian
kebijakan dalam penelitian ini lebih mengarah pada perumusan dan harmonisasi
kebijakan.

Anda mungkin juga menyukai