MENINGITIS TUBERKULOSA
PENYUSUN
Nahoya, S.Ked
K1A1 14 104
PEMBIMBING
1
2
HALAMAN PENGESAHAN
Telah menyelesaikan referat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu
Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo.
Mengetahui,
Pembimbing
MENINGITIS TUBERKULOSIS
Nahoya. Karman.
A. PENDAHULUAN
Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan anak di dunia.
Diperkirakan jumlah kasus TB anak per tahun 5% sampai 6% dari total kasus TB. 2Sekitar 9,6
juta kasus terjadi di seluruh dunia sepanjang tahun 2014, dengan angka kematian mencapai
1,5 juta jiwa.Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika
Latin.4,11Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB tertinggi kedua setelah India
dengan jumlah kasus 10% dari total kasus di seluruh dunia. Data dari World Health
Organization (WHO) menunjukkan angka insidensi TB di Indonesia pada tahun 2015
mencapai 395 kasus per 100.000 jiwa. Dari jumlah tersebut, sebanyak 10% kasus merupakan
infeksi oportunistik dari infeksi HIV. Tingkat kematian akibat penyakit ini sekitar 40 dari
100.000 jiwa.12
TB merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas yang sering pada
anak. Anak yang terinfeksi TB mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita sakit TB.
Anak dengan infeksi laten TB, jika tidak diobati dengan benar, dapat berkembang menjadi
kasus TB pada masa dewasanya dan menjadi sumber penularan di masyarakat. TB anak
mempunyai potensi menimbulkan berbagai persoalan mulai gagal tumbuh, infeksi di
berbagai organ tubuh seperti paru-paru, kelejar getah bening, hingga infeksi sumsum tulang
belakang dan radang selaput otak yang berpotensi menimbulkan kelainan syaraf, kecacatan
bahkan kematian.17
Infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis pada sistem saraf pusat meliputi
meningitis TB, tuberkuloma intracranial, arakhnoiditis tubercular spinal dan ensefalopati TB.
(Pemula)Meningitis tuberkulosismerupakan bentuk paling berat dan paling sering dari
tuberkulosis neurologis.1,8Di Indonesia, meningitis TB masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis pada anak masih tinggi.Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3%
anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada meningitis
tuberkulosis berkisar antara 10-20%.5
4
B. DEFINISI
Meningitis adalah suatu inflamasi menings pada membran araknoid, piamater,
dan cairan serebrospinal. Proses inflamasi terjadi dan menyebar melalui ruangan subaraknoid
di sekeliling otak dan medula spinalis serta ventrikel.Meningitis tuberkulosis adalah
peradangan selaput otak atau meningen yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium
tuberculosis.9,12
C. ETIOLOGI
Secara etimologi, tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan Mycobacterium bovis (sangat jarang disebabkan oleh
Mycobacterium avium). Mycobacterium tuberculosis ditemukan oleh Robert Koch pada
tahun 1882. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri aerobic, non-motil, tidak
membentuk spora dan acid-fast bacillus (AFB) yang terutama menginfeksi manusia. Waktu
memperbanyak tubuh (doubling time) M. tuberculosis sangat lambat (15-20 jam) dan
membutuhkan beberapa minggu untuk tumbuh parallel dan berkelompok (serpentine
cording) pada media Lowenstein-Jensen konvensional. Pemeriksaan biokimia dengan metode
berbasis DNA/RNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi M. tuberculosis dari AFB yang
lain. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh
lainnya. Basil tuberkulosis dapat hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan
kering, tetapi dalam cairan mati pada suhu 60°C dalam 15–20 menit. Fraksi protein basil
tuberkulosis menyebabkan nekrosis jaringan, sedangkan lemaknya menyebabkan sifat tahan
asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis dan terbentuknya sel epiteloid
dalam tuberkel. Basil tuberkulosis tidak membentuk toksin baik endotoksin maupun
eksotoksin. 4,6,14
D. EPIDEMIOLOGI
Meningitis tuberkulosis merupakan bentuk tuberkulosis ekstra paru dengan
adanya kelainan neurologis yang mencapai 70-80% dari seluruh kasus tuberkulosis
neurologis, 5,2% dari seluruh tuberculosis ekstrapulmoner dan 0,7% dari seluruh kasus
tuberkulosis. World Health Organization (WHO) pada tahun 2009 menyatakan meningitis
tuberkulosis terjadi pada 3,2% kasus komplikasi infeksi primer tuberkulosis, 83% disebabkan
5
oleh komplikasi infeksi primer pada paru. Walaupun telah diberikan terapi yang adekuat,
penyakit ini masih memiliki tingkat mortalitas yang tinggi hingga mencapai 50%, bahkan di
negara maju seperti Amerika Serikat sekalipun. Hal tersebut lima kali lebih besar
dibandingkan meningitis yang disebabkan infeksi oleh bakteri yang lain maupun virus
dengan tingkat mortalitas mencapai 10%.12
Meningitis TB merupakan salah satu komplikasi TB primer. Komplikasi
meningitis TB terjadi setiap 300 kasus TB primer yang tidak diobati. Risiko progresivitas TB
paru berkembang menjadi meningitis TB lebih besar pada anak-anak dibandingkan
dewasa.1Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari semua kasus TB
anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi 6%.12
E. FAKTOR RISIKO
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi
dan faktor risiko progresifitas infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).5
1. Faktor Risiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan dengan
orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif), daerah endemis, kemiskinan,
lingkungan yang tidak sehat (higiene dan sanitasi tidak baik) dan tempat penampungan
umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain). Sumber infeksi TB pada anak
yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius, terutama dengan
BTA positif. Kemungkinan seseorang terinfeksi tuberculosis dipengaruhi oleh beberapa
faktor seperti konsentrasi percik renik(droplet nuclei) di udara dan jumlah kuman yang
terhirup, ventilasi udara, serta lamanya pajanan. Makin dekat dengan sumber infeksi dan
makin lama waktu pajanan (dalam hari atau minggu) akan meningkatkan risiko seseorang
terinfeksi. Bayi dari seorang ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi
terinfeksi TB. Semakin erat kontak bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula
kemungkinan bayi tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei) yang infeksius.5Faktor
lain adalah jumlah orang serumah (kepadatan hunian), lamanya tinggal serumah dengan
pasien, pernah sakit TB, dan satu kamar dengan penderita TB di malam hari, terutama
bila satu tempat tidur.11
6
Risiko timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi
jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum positif, infiltrat luas atau kavitas
pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat, serta
terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang tidak baik.
Pasien TB anak jarang menularkan kuman pada anak lain atau orang dewasa di
sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut. Pertama,
jumlah kuman pada TB anak pada umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena
imunitas anak masih lemah, jumlah yang sedikit tersebut sudah mampu menyebabkan
sakit. Kedua, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer
biasanya terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi
produksi sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya
reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB
anak.5Tetapi pasien TB anak dapat menularkan pada orang di sekitarnya, jika anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB. Tingkat penularan pasien TB BTA
positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto toraks positif adalah 17%.11
b. Infeksi TB baru yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif
menjadi positif) dalam satu tahun terakhir.
c. Status imunisasi BCG
d. Gizi buruk dan keadaan imunokompromais (misalnya pada infeksi HIV, keganasan,
transplantasi organ, dan pengobatan imunosupresi). TB ekstrapulmoner sering
ditemukan pada ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) dengan hitung CD4 yang lebih
rendah. Pada infeksi HIV, terjadi kerusakan sistem imun sehingga kuman TB yang
dorman mengalami aktivasi dan menyebar ke organ lain.
e. Penyakit kronik (seperti diabetes melitus dan gagal ginjal kronik) dan trauma kepala.
f. Status sosioekonomi yang rendah (penghasilan yang kurang, kepadatan hunian,
pengangguran, pendidikan yang rendah)
F. PATOFISIOLOGI
Patogenesis penyakit meningitis tuberkulosis diduga terjadi dalam dua tahap.
Pada tahap pertama, penularan Mycobacterium tuberculosis terjadi melalui udara (airborne)
yang menyebar melalui partikel percik renik (droplet nuclei) saat seseorang batuk, bersin,
berbicara, berteriak atau bernyanyi. Percik renik ini berukuran sangat kecil (<5μm) dan
dapat bertahan di udara selama beberapa jam. Infeksi terjadi bila seseorang menghirup percik
renik yang mengandung M.tuberculosis dan akhirnya sampai di alveoli menyebabkan infeksi
fokal di paru. Umumnya respons imun terbentuk 2–10 minggu setelah infeksi. Sejumlah
kuman tetap dorman bertahun-tahun yang disebut infeksi laten. Jika sistem imunitas tubuh
lemah, kuman menjadi aktif dan dapat menyebarsecara hematogen dan limfogen. Hal
tersebut menyebabkan bakteremia dan basil M. tuberculosis dapat masuk ke jaringan
meningen atau parenkim otak melalui sirkulasi serebral membentuk lesi metastatik kaseosa
foci subependimal yang disebut focus tuberkuloma (Rich foci). Akibat ukuran yang besar,
tuberkuloma dapat menimbulkan gejala yang menyerupai tumor ganas.1,11,12
Pada tahap kedua, meningitis tuberkulosis terjadi akibat bertambahnya ukuran
fokus tuberkulomasubependimal atau subpial sampai kemudian pecah ke dalam rongga yang
mengelilingi otak (ruang subarachnoid) atau sumsum tulang belakang dan menimbulkan
inflamasi pada meningen sehingga disebut meningitis.Respon jaringan terhadap inflamasi
pada meningitis tuberkulosis adalah eksudat inflamasi mendorong struktur pada bagian dasar
8
otak, nervus dan pembuluh darah di otak. Vaskulopati mempengaruhi sirkulus Willisi, sistem
vertebrobasiler, dan cabang kecil dari arteri serebri media menyebabkan infark. Selanjutnya,
eksudat di basal menghambat aliran cairan serebrospinal setinggi tentorium menyebabkan
peningkatan tekanan intrakranial dan hidrosefalus.8,11Proses patologi yang menyebabkan
defisit neurologis pada meningitis tuberkulosis adalah (1) eksudat dapat menyebabkan
obstruksi aliran CSS sehingga terjadi hidrosefalus, (2) granuloma dapat bergabung
membentuk tuberkuloma atau abses sehingga terjadi defisit neurologis fokal, dan (3)
vaskulitis obliteratif yang dapat menyebabkan infark dan sindrom stroke.12
G. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis meningitis tuberkulosis sama dengan meningitis subakut
lainnya. Pasien dengan meningitis tuberculosis akan mengalami tanda dan gejala meningitis
yang khas, seperti nyeri kepala, demam dan kaku kuduk, walaupun tanda rangsang
meningeal mungkin tidak ditemukan pada tahap awal penyakit. Durasi gejala sebelum
ditemukannya tanda meningeal bervariasi dari beberapa hari hingga beberapa
bulan.12Sebagian besar pasien meningitis tuberkulosis memiliki riwayat sakit kepala dengan
keluhan tidak khas selama 2-8 minggu sebelum timbulnya gejala iritasi meningeal. Gejala
9
nonspesifik ini meliputi malaise, anoreksia, rasa lelah, demam, mialgia dan sakit kepala.
Namun pada beberapa kondisi, meningitis tuberkulosis dapat muncul sebagai penyakit yang
berat, dengan disertai defisit neurologis fokal (palsi nervus kranial, parese, kejang),
perubahan perilaku dan penurunan kesadaran.7
Tabel 1. Manifestasi klinis meningitis tuberculosis pada anak dan dewasa16,1
Gejala Klinis Tanda Klinis Pemeriksaan CSS
Anak Gejal awal tidak Apatis atau irritable, Xantocrom, jumlah
spesifik: demam, batuk, tanda meningeal, sel darah putih
muntah (tanpa diare), penurunan kesadaran meningkat (0,5-
malaise dan penurunan Tanda-tanda 9
1x10 /L) dengan
peningkatan tekanan
berat badan limfosit dan neutrofil
intrakranial (ubun-
Durasi gejala >6 hari ubun besar Peningkatan
Kejang lebih sering membumbung pada konsentrasi protein
ditemukan pada anak bayi), palsi nervus (0,5-2,5g/L)
dibanding pasien dewasa kranialis VI, atrofi Rasio glukosa CSS
optic dengan plasma <0,5
Pergerakan abnormal pada 95% kasus
dan tanda-tanda
defisit neurologis
(paling sering
hemiplegia)
Dewasa Periode prodormal non- Kaku kuduk, palsi High opening
spesifik: malaise,demam nervus kranialis pressure >25 cm
(suhu tubuh tidak terlalu (VI>III>IV>VII) Biasanya jernih dan
tinggi), penurunan berat Typical meningeal tidak berwarna,
badan diikuti dengan signs jumlah sel darah
sakit kepala onset Confusion, koma, putih meingkat
gradual (1-2 minggu) anda-tanda defisit 9
(0,05-1x10 /L)
Sakit kepala yang neurologis, seperti dengan limfosit dan
semakin memburuk, monoplegia, hemi neutrofil
muntah, confusion, plagia atau paraplegia Peningkatan
koma (pada sekitar 20% konsentrasi protein
Durasi gejala ≥6 hari kasus) (0,5-2,5g/L)
Retensi urin Rasio glukosa CSS
dengan plasma <0,5
pada 95% kasus
10
Stadium meningitis tuberkulosis pada saat awal pasien datang ke rumah sakit merupakan
faktor penting penentu keluaran klinis pasien. The British Medical Research Council
(BMRC) telah membagi derajat beratnya meningitis tuberkulosis menjadi 3 stadium, yaitu
stadium I, II, dan III. Pasien masuk dalam stadium I jika saat awal datang dalam keadaan
sadar penuh dan menunjukkan gejala yang tidak spesifik. Pasien masuk dalam stadium II
jika saat awal datang letargi atau didapatkan defisit saraf kranial. Pasien masuk dalam
stadium III jika saat awal datang stupor-koma dan mengalami paresis/paralisis yang jelas.
Stadium penyakit tersebut menentukan mortalitas pasien. Pada pasien tanpa koinfeksi HIV,
stadium I memiliki mortalitas 20%, stadium II memiliki mortalitas 30%, dan stadium III
memiliki mortalitas 55%. Pada pasien dengan koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas
40%, stadium II memiliki mortalitas 52%, dan stadium III memiliki mortalitas 75%. 19
H. DIAGNOSIS
11
TB menular merupakan salah satu informasi penting untuk mengetahui adanya sumber
penularan. Apabila ditemukan gejala-gejala tersebut, harus segera dirujuk ke fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan. Pada keadaan ini, diagnosis dengan sistem skoring tidak
direkomendasikan. Di rumah sakit rujukan, akan dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan dilengkapi dengan uji tuberkulin, laboratorium darah serta pengambilan cairan
serebrospinal untuk dianalisis. Diagnosis ataupun suspek meningitis TB memerlukan
gejala dan tanda meningitis yang disertai klinis yang mengarahkan ke infeksi tuberkulosa
dan pada hasil foto rontgen toraks serta cairan serebrospinalis menunjukkan infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Pada anak, sulit untuk mendapatkan spesimen diagnostik
yang representatif dan berkualitas baik. Seringkali, walaupun spesimen berhasil
diperoleh, M. tuberculosis jarang ditemukan pada sediaan langsung maupun biakan.11
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Mantoux/Tuberkulin
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada
anak adalah membuktikan adanya infeksiTB yaitu dengan melakukan uji tuberkulin.
Caranya adalah dengan menginjeksikan 0,1 mL derivat protein yang dimurnikan
(purified protein derivative) yang mengandung 5 unit tuberkulin dan distabilkan
dengan Tween 80 secara intradermal. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini
adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute Denmark dan PPD (Purified
Protein Derivative) yang sama dari Staten yang dikemas ulang oleh Biofarma.11Uji
tuberkulin relatif mudah dan murah. Selain itu, tuberkulin tetap konstan setelah vial
dibuka selama 1 bulan. Pembacaan hasil uji tuberkulin yang dilakukan dengan cara
Mantoux (intrakutan) dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan dengan mengukur
diameter transversal. Kadang-kadang indurasi akan muncul lebih dari 72 jam sesudah
perlakuan uji; ini adalah hasil positif. Uji tuberkulin dinyatakan positif yaitu:7
1.) Pada kelompok anak dengan imunokompeten termasuk anak dengan riwayat
imunisasi BCG diameter indurasinya > 10mm.
16
2.) Pada kelompok anak dengan imunokompromais (HIV, gizi buruk, keganasan dan
lainnya) diameter indurasinya > 5mm
Uji tuberkulin positif dapat ditemui pada keadaan sebagai berikut, infeksi
tuberkulosis alamiah (infeksi tuberkulosis tanpa sakit, infeksi tuberkulosis dan sakit
tuberkulosis, pasca pengobatan tuberkulosis), imunisasi BCG (infeksi tuberkulosis
buatan), infeksi Mycobacterium atipic/M. Leprae. Uji tuberkulin yang positif
menandakan adanya reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang
diberikan. Hal ini secara tidak langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang
masuk ke dalam tubuh anak atau anak sudah terinfeksi.7,17
Test tuberkulin negatif dapat ditemui pada keadaan sebagai berikut, penyuntikan
yang salah, tidak ada infeksi tuberkulosis, dalam masa inkubasi infeksi tuberkulosis
dan anergi (anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan
sehingga tubuh tidak memberikan reaksi terhadap test tuberculin padahal sebenarnya
sudah terinfeksi tuberkulosis).17
Karakteristik klasik CSS pada meningitis tuberkulosis adalah sebagai berikut: (1)
peningkatan jumlah hitung leukosit (pleiocytosis) antara 100-500 sel/mm3 dengan
dominan limfosit; (2) peningkatan tekanan lumbal dengan warna xantocrom; (3)
peningkatan konsentrasi protein berkisar 100-500 mg/dl; (4) penurunan konsentrasi
glukosa (konsentrasi glukosa rata-rata sekitar 45 mg/dl); dan (5) kultur positif
Mycobacterium tuberculosis pada 75% pasien setelah 3-6 minggu biakan.Peningkatan
protein maupun penurunan glukosa (sering <5 mg/dl) CSS bisa disebabkan oleh
infeksi bacterial, fungal, maupun TB. Pleositosis dengan sel mononuclear
predominan merupakan patognomonis untuk meningitis TB.8,12
Hasil pewarnaan ZN dari material CSS seringkali memberikan hasil negatif palsu,
disebabkan karena sedikitnya konsentrasi bakteri di dalam CSS, sedangkan kultur TB
membutuhkan waktu yang lama sekitar 5-8 minggu. Konsentrasi bakteri dalam CSS
pada kasus infeksi susunan saraf pusat (SSP) biasanya <10 3/ml dengansensitivitas
hanya sekitar 25%, sedangkan bila konsentrasi bakteri didalam CSS>105/ml,
sensitivitas bisa mencapai 97%.9
Tabel 4. Estimasi produksi CSS, volume dan jumlah yang aman untuk pungsi
lumbal7
Usia Produksi CSS Volume CSS Jumlah CSS yang aman diambil
(ml/jam (ml) untuk lumbal pungsi (ml)
Dewasa 22 150-170 15-17
Remaja 18 120-170 12-17
Anak 12 100-150 10-15
Bayi 10 60-90 6-9
Neonatus 1 20-40 2-4
Untuk meyakinkan diagnosis meningitis TB, tes cairan serebrospinalis lain baru-
baru ini telah dikembangkan. Diantaranya adalah evaluasi adenosine deaminase
activity (ADA) dan pengukuran interferon-gamma (IFN-ɣ) yang dikeluarkan oleh
limfosit. Tes aktivitas ADA merupakan rapid test yang menampilkan proliferasi dan
diferensiasi limfosit sebagai hasil dari aktivasi imunitas yang diperantarai sel (cell-
mediated immunity) terhadap infeksi bakteri M.tuberculosis. Aktivitas ADA dapat
menjadi informasi tambahan yang berguna untuk menyingkirkan diagnosis meningitis
yang diakibatkan selain bakteri. Nilai ADA dari 1 sampai 4 U/L (sensitivitas >93%
18
dan spesifitas <80%) dapat membantu eksklusi diagnosis meningitis TB. Nilai >8
U/L (sensitivitas 59% dan spesifitas >96%) dapat membantu menegakkan diagnosis
meningitis TB (p<0.001). Namun, nilai diantara 4 dan 8 U/L insufisien untuk
mengonfirmasi atau mengeksklusi diagnosis meningitis TB (p=0.07). Hasil positif
palsu juga bisa ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV.6
Pemeriksaan Interferon-gamma release assay (IGRA) dapat membedakan infeksi
TB alamiah dengan BCG, tetapi tidak dapat membedakan antara sakit TB atau hanya
terinfeksi TB. Pemeriksaan IGRA pada anak tidak menunjukkan keunggulan
mengingat harganya yang mahal dan masih rendahnya bukti akurasi pada bayi dan
anak. Pengukuran IFN-ɣ yang dikeluarkan oleh limfosit yang terstimulasi oleh
antigen bakteri M.tuberculosis telah diakui lebih akurat dibandingkan dengan skin-
testing untuk mendiagnosis infeksi TB laten dan sangat berguna untuk mendiagnosis
TB ekstrapulmoner. Namun, sensitivitas dan spesifitas tes bervariasi menurut asal
atau sumber infeksi primernya. Telah dilaporkan kegagalan tes pengukuran IFN-ɣ ini
diakibatkan oleh kematian limfosit yang cepat ketika distimulasi dengan antigen
M.tuberculosis ex vivo sehingga hasil tes dapat ditemukan negatif meskipun
sesungguhnya telah terdapat infeksi TB.7
Tabel 5. Perbandingan karakteristik CSS normal dan jenis meningitis yang berbeda10
Karakteristik Normal Bakterial Viral TB Fungi
Makroskopik Jernih, tak Keruh Jernih/ Xantocrom Jernih
berwarna opalescent
Tekanan N ↑ N/↑ ↑ N/↑
Sel 0-5/mm3 100- 5-100/mm3 5-1000/mm3 20-
60.000/mm3 500/mm3
Neutrofil Tak ada >80% <50% <50% <50%
Glukosa 75% ↓ N ↓ ↓
glukosa (<40% (<50% (<80%
darah glukosa darah) glukosa glukosa
darah) darah)
Protein <0,4 g/L 1-5g/L >0,4-0,9 g/L 1-5 g/L 0,5-5 g/L
Lainnya Gram positif PCR kultur Kultur Gram
<90%; kultur positif positif 50- negatif;
positif <80%; <50% 80% kultur
19
Uji
Prinsip tes Keunggulan Kekurangan
diagnostic
Apusan Sampel CSS (10 ml) Cepat, murah dan Kurang sensitif
CSS disentrifugasi kemudian secara umum tersedia digunakan sebagai uji
dilakukan pewarnaan ZN di laboratorium diagnostik laboratorium
atau fluorescent pada pelayanan kesehatan rutin
endapannya dan diamati
dibawah mikroskop
Kultur CSS CSS diinokulasi pada Lebih cepat dan Hanya tersedia pada
media kultur cair (seperti sensitif dibandingkan laboratorium dengan
Mycobacterial Grwoth kultur pada media sarana yang memadai.
Tube, Becton Dickinson) padat—median time Perlu fasilitas kontainer
dan diikubasi selama 42 10-14 hari; dapat level 3 dan petugas
hari.pertumbuhan bakteri digunakan untuk uji laboratorium yang ahli
dideteksi menggunakan susceptibility obat lini
florescent pertama
Kultur Endapan CSS diinokasi Lebih sensitif Perlu fasilitas kontainer
MODS pada microtitre plate dibandingkan apusan level 3 dan petugas
kemudian diinkubasi. CSS, lebih cepat laboratorium yang ahli
Pertumbuhan bakteri dibandingkan kultur
diperiksa menggunakan dibandingkan kultur
mikroskop inverted pada media padat/
cair, dapat digunakan
untuk uji susceptibility
obat lini pertama
1) Pemeriksaan Nonne – Apelt
Prinsip tes Nonne Apelt dengan menggunakan reagen Nonne memberikan reaksi
terhadap protein globulin dalam bentuk kekeruhan yang berupa cincin. Ketebalan
cincin berhubungan dengan kadar globulin, makin tinggi kadarnya maka cincin yang
terbentuk makin tebal. Pemeriksaan Nonne – Apelt atau pemeriksaan Ross-Jones,
menggunakan larutan jenuh amoniumsulfat (85 gr (NH4)2SO4 netral dilarutkan dalam
100 ml aquadest dipanaskan pada suhu 900C, disimpan beberpa hari) sebagai reagent.
20
Reagen Nonne memberikan reaksi terhadap protein globulin dalam bentuk kekeruhan
yag berupa cincin. 18
Cara melakukan tes ini yaitu dimulai dari tabung serologi diisi dengan 1 ml larutan
ammonium sulfat jenuh, kemudian dituang 0,5 ml LCS dengan cara pelan-pelan lewat
dinding tabung sehingga terbentuk 2 lapisan, di mana lapisan atas adalah LCS,
kemudian diamkan selama 3 menit, kemudian dilihat pada perbatasan kedua lapisan
dengan latar belakang gelap. 18
Seperti juga test Pandy, test Nonne sering dilakukan seperti badside test pada waktu
mengambil cairan otak dengan pungsi. Sebenarnya test Nonne ini sudah usang, dalam
laboratorium klinik modern ia sudah tidak digunakan lagi. Dalam keadaan normal hasil
test ini negatif, artinya: tidak terjadi kekeruhan pada perbatasan. Semakin tinggi kadar
globulin semakin tebal cincin keruh yang terjadi. Laporkan hasil test ini sebagai negatif
atau positif saja. Interpretasi tes Nonne Apelt dapat dilihat sebagai berikut : 18
a) Negatif : tidak terbentuk cincin putih
b) +1 : terbentuk cincin putih sangat tipis, hanya dapat dilihat dengan atar belakang
hitam, bila dikocok akan kembali jernih
c) +2 : cincin putih tampak agak jelas, bila dikocok cairan jadi opalescent
d) +3 : cincin putih tampak jelas, bila dikocok jadi keruh
e) +4 : cincin putih sangat jelas, bila dikocok cairan menjadi keruh sekali
Uji
diagnosti Prinsip tes Keunggulan Kekurangan
k
Line DNA strip test dapat Mampu mendeteksi M. Mahal. Perlu petugas
probe mendeteksi adanya M. tuberculosis dan laboratorium yang ahli dan
assays tuberculosis dan mutasi resistensi obat pada fasilitas kontainer level 3,
genetik yang umum spesimen sputum atau termasuk PCR.
terjadi pada resistensi isolat kultur
OAT tertentu
Gene Menggunakan Mampu mendeteksi M. Mahal. Banyak terjadi hasil
Xpert automated cartridge- tuberculosis dan positif palsu pada daerah
RIF/TB based system untuk resistensi obat pada dengan prevalensi resistensi
memproses sputum, specimen sputum dan rifampisin yang rendah
ekstraksi dan amplifikasi lainnya
DNA serta pendeteksian
M. tuberculosis dan
resistensi rifampisin
Interferon Menggunakan whole-Dapat digunakan untuk Tidak direkomendasikan
-gamma blood test untuk
mendeteksi TB laten, untuk mendiagnosis TB
release mendeteksi respon imun hasil dapat diketahui aktif. Membutuhkan volume
assay terhadap antigen M. dalam 24 jam, tidak CSS yang banyak untuk
(IGRA) tuberculosis dipengaruhi vaksinasi mendiagnosis meningitis TB
BCG dan sensitivitasnya bervariasi
Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk meningkatkan
ketepatan diagnosis TB Anak, diantaranya pemeriksaan biakan dengan metode cepat
yaitu penggunaan Nucleic Acid Amplification Test misalnya Xpert MTB/RIF. Xpert
assay dapat mengidentifikasi M. tuberculosis dan mendeteksi resisten rifampisin dari
dahak yang diperoleh dalam beberapa jam.Akan tetapi konfirmasi TB resisten obat
dengan uji kepekaan obat konvensional masih digunakan sebagai baku emas (gold
standard). Penggunaan Xpert MTB/RIF tidak menyingkirkan kebutuhan metode
biakan dan uji resistensi obat konvensional yang penting untuk menegakkan diagnosis
definitif TB pada pasien dengan apusan BTA negatif dan uji resistensi obat untuk
menentukan kepekaan OAT lainnya selain rifampisin. Saat ini data tentang
penggunaan Xpert MTB/RIF masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik
dari pemeriksaan mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari
25
pemeriksaan biakan dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif
tidak selalu menunjukkan anak tidak sakit TB. Pada pasien anak penggunaan cara ini
terbentur masalah klasik yaitu kesulitan mendapatkan spesimen bakteriologis.7
I. PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Tuberkulosis meningitis merupakan kegawatan medis, keterlambatan penanganan
sangat berhubungan dengan mortalitas. Terapi obat anti tuberculosis (OAT) empiris harus
segera diberikan pada pasien yang diduga TB meningitis. Pemberian terapi tidak perlu
menunggu hasil pemeriksaan basil tahan asam melalui apusan atau kultur, baik dari
sputum, darah maupun CSS. Hal ini karena bahkan pemeriksaan terbaik sekalipun
mungkin tidak dapat menemukan basil tuberkulosis pada pasien meningitis tuberkulosis,
infeksi HIV dan anak kecil. Oleh karena itu, pada kondisi seperti ini atau pada pasien
dengan sakit berat dimana dicurigai tuberkulosis, maka penilaian klinis dapat digunakan
untuk memulai pemberian terapi empiris sembari menunggu hasil akhir pemeriksaan
seperti kultur yang membutuhkan waktu lama atau bahkan ketika hasil pemeriksaan
negatif. Usia muda mempengaruhi kecepatan metabolisme obat sehingga anak terutama
usia kurang dari 5 tahun memerlukan dosis yang lebih tinggi (mg/kgBB) dibandingkan
anak besar atau dewasa.12
Tabel 8. Standar rekomendasi regimen obat untuk meningitis TB pada anak8,16
OAT dan Dosis Dosis
Durasi
fase rekomendasi maksismum Efek samping potensial
pengobatan
pengobatan (mg/kg/hari) (mg/hari)
Isoniazid 10-20 500 Hepatotoksik, neuropati 12 bulan
perifer (dosis tinggi), (min. 9
neuropati optikus, gejala bulan)
gastrointestinal
Rifampisin 10-20 600 Hepatotoksik, rash, flu-like 12 bulan
syndrome, multiple drug (min. 9
interactions, sakit kepala, bulan)
drowsiness, orange
discolouration of bodily
26
Penatalaksanaan TB sistem saraf pusat harus terdiri dari 4 obat yaitu isoniazid,
rifampisin, etambutol dan pirazinamid pada 2 bulan pertama dan dilanjutkan dengan 2
obat yaitu isoniazid dan rifampisin selama minimal 10 bulan. 7,8Para ahli
merekomendasikan pemberian terapi OAT pada meningitis TB selama 9-12 bulan.
Pemberian rifampisin dan isoniazid pada fase lanjutan dalam kasus meningitis TB
umumnya diperpanjang hingga 7-10 bulan. Ethambutol susah masuk ke dalam
CSSsehingga untuk regimen meningitis TB biasanya diganti dengan ethionamid atau
streptomicin. Pada TB dengan kondisi berat atau mengancam nyawa dapat diberikan
streptomisin. Apabila keadaan anak dengan TB meningitis sudah melewati masa kritis,
maka pemberian OAT dapat dilanjutkan dan dipantau di fasilitas pelayanan kesehatan
primer.12
2. Non Medikamentosa
Indikasi bedah dilakukan pada pasien meningitis TB dengan komplikasi seperti
hidrosefalus, abses serebral tuberkulosis dan tuberkulosis vertebra dengan kompresi pada
medulla spinalis. Dekompresi bedah segera harus dipertimbangkan pada lesi ekstradural
yang menyebabkan paraparesis. Tujuan tatalaksana bedah adalah untuk mengurangi
ukuran space-occupying lesion dan mengurangi tekanan intrakranial.6 Hidrosefalus
communicating pada tahap awal dapat diterapi dengan furosemide (40 mg/24 jam) dan
acetazolamide (10-20 mg/kgBB) atau dengan pungsi lumbal berulang.7
J. PROGNOSIS
Risiko morbiditas dan mortalitas tertinggi adalah pada bayi dan anak kurang dari
2 tahun, yaitu kelompok usia yang tersering mengalami TB diseminata. Makin muda usia
anak, makin tinggi risiko morbiditas dan mortalitas TB. Mortalitas pada pasien meningitis
tuberkulosis terkait dengan hidrosefalus, resistensi obat, gagal terapi, lanjut usia, infeksi
HIV.Prognosis meningitis TB secara umum ditentukan oleh status neurologis pasien dan
waktu insiasi terapi (time to treatment-initiation). Apabila gejala kelainan neurologis berat
telah ditemukan (misalnya, koma, kejang, peningkatan tekanan intrakranial dan hemiparese),
maka prognosisnya buruk.12Tingkat mortalitas sangat tinggi jika pasien terlambat menerima
terapi, yaitu pada derajat III. Jika pasien meningitis TB tidak menerima terapi, maka pasien
akan mengalami koma dan kematian.6,8
K. KOMPLIKASI
Meningitis tuberkulosis merupakan penyakit yang mengancam jiwa dan
memerlukan penanganan tepat dengan tingkat mortalitas mencapai 30%.Pasien meningitis
TB yang bertahan hidup sebagian besar mengalami sekuele neurologis (50%). 8 Sekuele
neurologis pada 1 tahun follow up diketahui berhubungan dengan defisit saat pasien masuk
rumah sakit. Sekuele neurologis yang dapat terjadi antara lain retardasi mental pada anak, tuli
sensorineural, hidrosefalus, palsi nervus kranialis, stroke, kejang dan koma.12
Stroke terjadi pada 30-45% pasien meningitis tuberkulosis. Stroke pada
meningitis dapat terjadi karena gangguan aliran darah akibat inflamasi pada pembuluh darah
29
yang meninggalkan meningen untuk masuk ke otak. Sekitar 10% pasien TB meningitis juga
mengalami TB tulang belakang. Apabila TB meningitis tidak diobati maka dapat
menyebabkan kerusakan otak seperti gangguan mental, paralisis motorik, kejang serta
perilaku abnormal.Sekitar 10% pasien meningitis TB juga mengalami TB tulang belakang.
Apabila meningitis TB tidk diobati maka dapat menyebabkan kerusakan otak seperti
gangguan mental, paralisis motorik, kejang serta perilaku abnormal.7
L. PENCEGAHAN
1. Vaksinasi Bacillus Calmette et Guerin (BCG)
Risiko tuberkulosis pada anak dapat dikurangi dengan pemberian vaksinasi BCG.
Pemberian vaksinasi BCG pada bayi baru lahir sampai usia 2 bulan sudah merupakan
kesepakatan dalam program imunisasi nasional di Indonesia, dengan cakupan imunisasi
yang terus meningkat setiap tahunnya. Keberhasilan imunisasi ditentukan oleh beberapa
faktor, yaitu status imun pejamu, faktor genetik pejamu serta kualitas dan kuantitas
vaksin.2
Vaksin BCG merupakan vaksin yang berisi M. bovis hidup yang dilemahkan.
Efek proteksi sangat bervariasi mulai dari 0-80% bahkan di wilayah endemis TB
diragukan efek proteksinya. Namun demikian, vaksin BCG memberikan proteksi yang
cukup baik terhadap terjadinya TB berat (TB milier dan meningitis TB). Daya proteksi
BCG terhadap meningitis TB 64%, pada anak yang mendapat vaksinasi.7
World Health Organization menetapkan bahwa vaksinasi BCG merupakan
kontraindikasi pada anak terinfeksi HIV yang bergejala. Pada anak terinfeksi HIV, vaksin
BCG tidak banyak memberikan efek menguntungkan dan dikhawatirkan dapat
menimbulkan BCG-itis diseminata, yaitu penyakit TB aktif akibat pemberian BCG pada
pasien imunokompromais. Hal ini sering menjadi dilema bila bayi mendapat BCG segera
setelah lahir pada saat status HIV-nya belum diketahui. Bila status HIV ibu telah
diketahui dan Preventing Mother to Child Transmission of HIV (PMTCT) telah
dilakukan maka vaksinasi BCG dapat diberikan pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif,
kecuali jika ada konfirmasi bayi telah terinfeksi HIV.7
2. Pemberian INH profilaksis
30
Sekitar 50-60% anak kecil yang tinggal dengan pasien TB paru dewasa dengan
BTA sputum positif, akan terinfeksi TB. Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan
mengalami sakit TB. Infeksi TB pada anak kecil berisiko tinggi menjadi TB diseminata
yang berat (misalnya TB meningitis atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian
kemoprofilaksis untuk mencegah sakit TB.Profilaksis primer diberikan pada balita sehat
yang memiliki kontak dengan pasien TB dewasa dengan BTA sputum positif (+), namun
pada evaluasi dengan tidak didapatkan indikasi gejala dan tanda klinis TB. Obat yang
diberikan adalah INH dengan dosis 10 mg/kgBB/hari selama 6 bulan (rentang dosis 7-
15mg/kgBB),dengan pemantauan dan evaluasi minimal satu kali per bulan. Bila anak
tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah
pengobatan profilaksis dengan INH selesai dan anak belum atau tidak terinfeksi (uji
tuberkulin negatif). Pada anak dengan kontak erat TB yang imunokompromais seperti
pada HIV, keganasan, gizi buruk dan lainnya, profilaksis INH tetap diberikan meskipun
usia di atas 5 tahun. Profilaksis sekunder diberikan kepada anak-anak dengan bukti
infeksi TB (uji tuberkulin atau IGRA positif) namun tidak terdapat gejala dan tanda klinis
TB. Dosis dan lama pemberian INH sama dengan pencegahan primer.7
DAFTAR PUSTAKA
1. Andreas M.M., Austine U.J. dan Reyes-Paguia M.P. 2016. Tuberculosis Meningitis: Basal
Cistern Enhacement Pattern on CT Imaging. TB Corner 2(5): 1-9.
31
2. Basir D., Yani F.F. dan Triyanto. 2007. Uji Tuberkulin pada Bayi BBLR yang Mendapat
BCG Segera Setelah Lahir dan yang Menunggu Berat Badan ≥2500 Gram. Sari Pediatri
9(4):293-298.
3. Be N.A., Kim K.S., Bishai W.R. dan Jain S.K. 2009. Pathogenesis of Central Nervous
System Tuberculosis. Bentham Science Publishers: Current Molecular Medicine 9(2): 94-99.
4. Chin J.H. 2014. Tuberculous Meningitis Diagnostic and Therapeutic Challenges. American
Academy of Neurology, Neurology Clinical Practice: 199-205.
5. Kartasasmita C.B. 2009. Epidemiologi Tuberkulosis. Sari Pediatri 11(2): 124-128.
6. Kechagia M., Mamoucha S., Adamou D., Kanterakis G., Velentza A., Skarmoutsou N.,
Stamoulos K. dan Fakiri E. 2012. Tuberculous Meningitis. Prof. George Wireko-Brobby
(Ed.). InTech
7. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2013. Pedoman Nasional Pelayanan
Kedokteran Tata Laksana Tuberkulosis. Jakarta.
8. Marx G.E. dan Chan E.D. 2011. Tuberculous Meningitis: Diagnosis and Treatment
Overview. Hindawi Publishing Corporation: Tuberculous Research and Treatment: 1-9.
9. Masfiyah, Bintoro A.C. dan Hadi P. 2013. Gambaran Definitif Meningitis Tuberkulosa di
RSUP dr. Kariadi Semarang Studi Deskriptid pada Pasien Dewasa dengan Menggunakan
Real Time PCR dengan Target Amplifikasi pada IS6110 Mycobaterium tuberculosis
complex. Sains Medika 5(2): 62-67.
10. Meisadona G., Soebroto A.D., Estiasari R. 2015. Diagnosis dan Tatalaksana Meningitis
Bakterialis. Cermin Dunia Kedokteran-224 42(1):15-19.
11. Nursyamsi dan Rasjid HS Mariani. 2011. TBC dengan Tes Mantoux di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Rsu Prof. Dr.R.D.Kandou Manado Periode 2001 – 2006. Inspirasi 14.
12. Pemula G. dan Apriliana E. 2016. Penatalaksanaan yang Tepat pada Meningitis Tuberkulosa.
Jurnal Medula Unila 6(1): 50-54.
13. Principi N. dan Esposito S. 2012. Diagnosis and Therapy of Tuberculous Meningitis in
Children. Elsevier: Tuberculosis 92: 377-383.
14. Rock R.B., Olin M., Baker C.A., Molitor T.W. dan Peterson P.K. 2008. Central Nervous
System Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects. Clinical Microbiology Reviews
21(2): 243-261.
32
15. Saberi A. dan Syed S.A. 1999. Meningeal Signs: Kernig’s Sign and Brudzinski’s Sign.
Hospital Physician: 23-24.
16. Torok M.E. 2015. Tuberculous Meningitis: Advances in Diagnosis and Treatment. British
Medical Bulletin 113: 117-131.
17. Triharinni T. dan Isvandiari M.A. 2014.Analisis Faktor yang Terkait Test Tuberculin pada
Anak dengan Riwayat Kontak TB. Jurnal Berkala Epidemiologi 2(2): 151-160.
18. Santhi D. Aan Rd. Santa Ap. Penuntun Praktikum Kimia Klinik Urinalisis Dan Cairan
Tubuh. Bagian Patologi Klinik Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana. 2016 : Denpasar.
19. Harahap HS. Munir B. Profil Penegakan Diagnosis dan Stadium Penyakit Pasien Meningitis
Tuberkulosis yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Saiful Anwar Malang. Jurnal Kedokteran.
2016. 5(2) : 15-19.