Anda di halaman 1dari 7

LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK TUGAS

ILMU PENYAKIT SARAF SEPTEMBER 2020


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALUOLEO

TUGAS TAMBAHAN REFERAT MENINGITIS TUBERKULOSIS

PENYUSUN

Nahoya, S.Ked
K1A1 14 104

PEMBIMBING

dr. Karman, Sp.S., M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


LABORATORIUM KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
2020
TUGAS TAMBAHAN REFERAT MENINGITIS TUBERKULOSIS

A. Stadium Gejala Meningitis Tuberkulosis


Meningitis tuberkulosis diklasifikasikan menjadi tiga derajat oleh British
Medical Research Council seperti tampak pada tabel 2. Sistem klasifikasi ini
digunakan untuk memisahkan pasien dan juga untuk menentukan
prognosis.1,2

Tabel 1. Klasifikasi kriteria klinis berdasarkan tingkat keparahan meningitis


TB.1,2
Deraja Kriteria klasik Kriteria kontemporer
t
I Sadar penuh dan tanpa defisit Sadar, orientasi baik dan tanpa
neurologis. defisit neurologis (GCS 15).
II Sadar, atensi kurang, bingung, Glascow coma score (GCS) 14-
letargi dan terdapat defisit 11 atau GCS 15 dengan defisit
neurologis fokal neurologis fokal
III Stupor atau koma, multipel GCS ≤10, dengan atau tanpa
palsi nervus kranialis/ deficit neurologis fokal
hemiparesis komplit/ paralisis

Stadium meningitis tuberkulosis pada saat awal pasien datang ke rumah


sakit merupakan faktor penting penentu keluaran klinis pasien. The British
Medical Research Council (BMRC) telah membagi derajat beratnya
meningitis tuberkulosis menjadi 3 stadium, yaitu stadium I, II, dan III. Pasien
masuk dalam stadium I jika saat awal datang dalam keadaan sadar penuh dan
menunjukkan gejala yang tidak spesifik. Pasien masuk dalam stadium II jika
saat awal datang letargi atau didapatkan defisit saraf kranial. Pasien masuk
dalam stadium III jika saat awal datang stupor-koma dan mengalami
paresis/paralisis yang jelas. Stadium penyakit tersebut menentukan mortalitas
pasien. Pada pasien tanpa koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 20%,
stadium II memiliki mortalitas 30%, dan stadium III memiliki mortalitas
55%. Pada pasien dengan koinfeksi HIV, stadium I memiliki mortalitas 40%,
stadium II memiliki mortalitas 52%, dan stadium III memiliki mortalitas
75%. 3

B. Pemeriksaan Cairan Otak (Liquor Cerebro Spinalis)


Liquor Cerebrospinalis adalah cairan yang menyelimuti susunan syaraf
pusat. Fungsinya adalah sebagai pelindung terhadap otak maupun tulang
belakang. Selain itu juga berfungsi sebagai pengatur eksitabilitas dengan
mengatur komposisi ion, membawa keluar metabolit-metabolit (karena otak
tidak mempunyai pembuluh limpe) dan memberikan perlindungan terhadap
tekanan. 4
Pemeriksaan LCS ditujukan untuk mengetahui adanya kelainan pada
otak maupun sumsum tulang, meningitis, tumor, abses, enchefilitis maupun
infeksi virus pada daerah tersebut. Pemeriksaan terhadap protein dalam
cairan otak merupakan yang paling penting. Dalam keadaan norma, protein
yang terdapat pada cairan otak sangat sedikit. Jadi, tujuan dari pemeriksaan
ini yaitu untuk mengetahui jumlahnya dapat dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif. 4
1. Pemeriksaan Nonne – Apelt
Prinsip tes Nonne Apelt dengan menggunakan reagen Nonne
memberikan reaksi terhadap protein globulin dalam bentuk kekeruhan
yang berupa cincin. Ketebalan cincin berhubungan dengan kadar
globulin, makin tinggi kadarnya maka cincin yang terbentuk makin
tebal. Pemeriksaan Nonne – Apelt atau pemeriksaan Ross-Jones,
menggunakan larutan jenuh amoniumsulfat (85 gr (NH4)2SO4 netral
dilarutkan dalam 100 ml aquadest dipanaskan pada suhu 900C, disimpan
beberpa hari) sebagai reagent. Reagen Nonne memberikan reaksi
terhadap protein globulin dalam bentuk kekeruhan yag berupa cincin. 4
Cara melakukan tes ini yaitu dimulai dari tabung serologi diisi
dengan 1 ml larutan ammonium sulfat jenuh, kemudian dituang 0,5 ml
LCS dengan cara pelan-pelan lewat dinding tabung sehingga terbentuk 2
lapisan, di mana lapisan atas adalah LCS, kemudian diamkan selama 3
menit, kemudian dilihat pada perbatasan kedua lapisan dengan latar
belakang gelap. 4
Seperti juga test Pandy, test Nonne sering dilakukan seperti badside
test pada waktu mengambil cairan otak dengan pungsi. Sebenarnya test
Nonne ini sudah usang, dalam laboratorium klinik modern ia sudah tidak
digunakan lagi. Dalam keadaan normal hasil test ini negatif, artinya:
tidak terjadi kekeruhan pada perbatasan. Semakin tinggi kadar globulin
semakin tebal cincin keruh yang terjadi. Laporkan hasil test ini sebagai
negatif atau positif saja. Interpretasi tes Nonne Apelt dapat dilihat
sebagai berikut : 4
a. Negatif : tidak terbentuk cincin putih
b. +1 : terbentuk cincin putih sangat tipis, hanya dapat dilihat dengan
atar belakang hitam, bila dikocok akan kembali jernih
c. +2 : cincin putih tampak agak jelas, bila dikocok cairan jadi
opalescent
d. +3 : cincin putih tampak jelas, bila dikocok jadi keruh
e. +4 : cincin putih sangat jelas, bila dikocok cairan menjadi keruh
sekali

Gambar 1. Interpretasi tes Nonne-Apelt


2. Pemeriksaan Pandy
Prinsip tes Pandy adalah reagen pandy memberikan reaksi terhadap
protein (albumin dan globulin) dalam bentuk kekeruhan. Pada keadaan
normal tidak terjadi kekeruhan atau kekeruhan yang ringan seperti kabut.
Pemeriksaan Pandy menggunakan reagen pandy (phenolum liquefactum
10 ml : aquadest 90 ml, disimpan pada suhu 37 oC selama beberapa
hari, reagen harus sering dikocok-kocok). Reagen pandy memberikan
reaksi terhadap protein (albumin dan globulin) dalam bentuk kekeruhan.
Cara melakukan tes ini yaitu dengan cara mengambil gelas arloji diisi
dengan 1 ml reagen Pandy Ditetesi dengan 1 tetes LCS, Kemudian
dilihat segera ada tidaknya kekeruhan. 4

Gambar 2. Pemeriksaan Tes Pandy LCS


Test pandy ini mudah dapat dilakukan pada waktu melakukan fungsi
dan memang sering dijalakan demikian sebagai bedside test. Itulah
sebabnya maka test Pandy masih juga dipertahankan dalam penuntun ini,
meskipun pada waktu ini dikenal test-test terhadap protein yang lebih
spesifik dan lebih bermanfaat bagi klinik. 4
Dalam keadaan normal tidak akan terjadi kekeruhan atau kekeruhan
yang sangat ringan berupa kabut halus. Semakin tinggi kadar protein
(albumin dan globulin), semakin keruh hasil reaksi. Tak ada kekeruhan
atau kekeruhan yang sangat halus berupa kabut menandakan hasil reaksi
yang negatif. Kekeruhan yang lebih berat berarti test Pandy ini menjadi
lebih positif. Pada keadaan normal tidak terjadi kekeruhan atau
kekeruhan yang ringan seperti kabut. Interpretasi tes Pandy dapat dilihat
sebagai berikut : 4
a. Negatif : bila tidak terjadi kekeruhan (berkabut/ opalescent)
b. +1 : opalescent (kadar protein 50-100 mg%)
c. +2 : keruh (kadar protein 100-300 mg%)
d. +3 : sangat keruh (kadar protein 300-500 mg%)
e. +4 : Keruh seperti susu (kadar protein > 500 mg%)

Gambar 3. Interpretasi Tes Pandy

DAFTAR PUSTAKA
1. Rock R.B., Olin M., Baker C.A., Molitor T.W. dan Peterson P.K. 2008.
Central Nervous System Tuberculosis: Pathogenesis and Clinical Aspects.
Clinical Microbiology Reviews 21(2): 243-261.
2. Torok M.E. 2015. Tuberculous Meningitis: Advances in Diagnosis and
Treatment. British Medical Bulletin 113: 117-131.
3. Harahap HS. Munir B. Profil Penegakan Diagnosis dan Stadium Penyakit
Pasien Meningitis Tuberkulosis yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Saiful
Anwar Malang. Jurnal Kedokteran. 2016. 5(2) : 15-19.
4. Santhi D. Aan Rd. Santa Ap. Penuntun Praktikum Kimia Klinik Urinalisis
Dan Cairan Tubuh. Bagian Patologi Klinik Program Studi Pendidikan Dokter
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. 2016 : Denpasar.

Anda mungkin juga menyukai