Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

PENCITRAAN RADIOLOGIS PADA PASIEN DENGAN


RETINOBLASTOMA

Disusun oleh:
Gilang Pramanayudha, S.Ked
I4061172059

Konsulen:
dr. M. Zainuddin, Sp.Rad
dr. Nurprasetyo, Sp.Rad

SMF RADIOLOGI
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
RSUD DR. SOEDARSO
PONTIANAK
2021

1
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui Laporan Kasus dengan judul :

PENCITRAAN RADIOLOGIS PADA PASIEN DENGAN


RETINOBLASTOMA
DI RSU SOEDARSO

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Stase Minor Ilmu Radiologi
Pembimbing Pembimbing

dr. H. Moh. Zainuddin, Sp. Rad dr. Nur Prasetyo, Sp. Rad

Penulis

Gilang Pramanayudha, S.Ked

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN................................................................................4

BAB II PENYAJIAN KASUS.........................................................................5

2.1........................................................................................................Identi
tas Pasien.......................................................................................5
2.2........................................................................................................Anam
nesis...............................................................................................5
2.3........................................................................................................Riwa
yat Penyakit Dahulu......................................................................5
2.4........................................................................................................Riwa
yat Pengobatan...............................................................................6
2.5........................................................................................................Riwa
yat Penyakit Keluarga....................................................................6
2.6........................................................................................................Riwa
yat Pribadi dan Sosial Ekonomi....................................................6
2.7........................................................................................................Peme
riksaan Fisik...................................................................................6
2.8........................................................................................................Hasil
Pemeriksaan Radiologi..................................................................6

BAB III TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................8

3.1. Retinoblastoma..............................................................................8
3.1.1. Definisi................................................................................8
3.1.2. Patofisiologi.........................................................................8
3.1.3. Klasifikasi............................................................................9
3.1.4. Gambaran Radiologis..........................................................11
3.2. Differensial Diagnosis...................................................................12
3.2.1. Coats Disease.......................................................................12

3
3.2.2. Persistent Hyperplastic Primary Vitreous (PHPV)..............13
3.2.3. Retinopathy of Prematurity (ROP)......................................13

BAB IV PEMBAHASAN................................................................................25

BAB V PENUTUP...........................................................................................27

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................28

BAB I
PENDAHULUAN

Retinoblastoma (RB) adalah tumor ganas primer pada bola mata yang
paling sering terjadi pada anak-anak. Frekuensi terjadinya RB 1:14.000-20.000
kelahiran hidup, berbeda di setiap negara. Dilaporkan angka kejadian tumor RB di
negara maju lebih rendah dibandingkan di negara berkembang. Tidak ditemukan
predileksi pada jenis kelamin maupun ras, dan diagnosis RB 90% pada usia < 3
tahun. Umur rata-rata terkena RB tergantung pada riwayat RB di keluarga dan

sisi yang terkena.1–3


RB adalah mutasi gen yang terjadi pada kromosom 13q14. Penyakit ini
dapat dikategorikan sebagai penyakit yang tidak diwariskan atau sporadik
sekitar 60% dan penyakit yang diwariskan sekitar 40%. Pada tipe sporadik
biasanya ditemukan pada usia kurang lebih 24 bulan, sisi mata yang terkena
unilateral tanpa disertai mutasi somatik gen protein RB (RB1). Sebaliknya pada
tipe yang diwariskan dengan mutasi germline lebih sering bilateral dan di temukan

pada usia kurang dari 12 bulan.3,4


Pawius adalah orang yang pertama yang menjelaskan tentang RB pada tahun
1597. Pemahaman tentang etiologi, patogenesis dan genetik penyakit ini telah
terbukti sejak saat itu. Diagnosis dini dan pengobatan RB saat ini mampu

membuktikan prognosis untuk bertahan hidup lebih dari 90%.3


Terdapat beberapa modalitas radiologi yang dapat digunakan untuk
menilai dan evaluasi RB. Ultrasonografi (USG) dapat digunakan sebagai

4
modalitas awal dalam diagnosis RB, namun bila ukuran tumor sangat besar
diperlukan modalitas lain seperti computed tomography (CT) atau magnetic

resonance imaging (MRI).1,2,4,5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. B
Usia : 4 tahun
No RM : 138832
Tanggal Pemeriksaan : 8 Januari 2020
Jenis Pemeriksaan : CT-Scan Kepala dengan kontras dengan potongan
transversal

B. ANAMNESIS
Pasien anak laki-laki berumur 4 tahun datang diantar oleh ayahnya ke
instalasi Radiologi untuk dilakukan pencitraan dengan CT-Scan di RSU
Soedarso setelah dilakukan perawatan di Bangsal Anak dengan keluhan
terdapat benjolan pada mata kanan. Keluhan pertama kali muncul pertama kali
pada saat usia 2 bulan dengan warna pupil yang berubah-ubah saat terkena
cahaya kamera, kemudian timbul benjolan yang semakin membesar sejak 2
tahun yang lalu hingga sekarang. Keluhan nyeri juga dirasakan terus menerus
pada benjolan tersebut hingga ke kepala. Keluhan mual (-), muntah (-).
Riwayat imunisasi tidak dilaksanakan. Status gizi baik

C. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU:

5
a. Riwayat keluhan serupa disangkal
b. Riwayat jatuh atau trauma disangkal
c. Riwayat operasi disangkal
d. Riwayat sakit ginjal disangkal
e. Riwayat batuk kronis disangkal
f. Riwayat diabetes disangkal
g. Riwayat hipertensi dan DM disangkal

D. RIWAYAT PENGOBATAN
Pasien belum pernah melakukan pengobatan apapun untuk nyeri yang
dirasakannya.

E. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA :


Riwayat penyakit serupa disangkal

F. RIWAYAT PRIBADI DAN SOSIAL EKONOMI :


Pasien merupakan anak tunggal, ayah pasien merupakan pekerja swasta dan
ibu pasien merupakan ibu rumah tangga.

G. PEMERIKSAAN FISIK :
a. Sistem Serebrospinal : Nyeri kepala (+), pusing berputar (-), riwayat
trauma kepala (-)
b. Sistem Kardiovaskuler : S1S2 reguler, m(-), g(-)
c. Sistem Respirasi : SND VES (+/+), Rh (-/-), Wh (-/-)
d. Sistem Gastrointestinal : NT (-), BU (+)
e. Sistem Muskuloskeletal : Tonus otot baik, kelemahan anggota gerak
sebelah (-)
f. Sistem Integumen : Tidak ada keluhan
g. Sistem Urogenital : sirkumsisi (-)

H. HASIL PEMERIKSAAN RADIOLOGI

6
Telah dilakukan pemeriksaan Foto CT-Scan Kepala dengan kontras
dengan potongan transversal dengan hasil:
 Prooptosis blbus orbita kanan, bulbus orbita kanan tampak membesar
disertai mass intraocculi dan kalsifikasi.
 Tampak mass di Nervus opticus kanan meluas ke intracranial –
chiasma opticus kanan yang pada pemberian kontras tampak
menyangat.
 Bulbus orbita kiri baik, Nervus opticus kiri baik, tak tampak lesi
intra/extraconal.
 Tak tampak midline shift.
 Sulci dan gyri baik, sistem ventrikel dan sisterna baik.
 Cerebellum, pons dan CPA baik.
 Tak tampak perdarahan intracerebri
 Mastoid air cell dan sinus paranasalis yang tervisualisasi baik
 Tulang-tulang baik, tak tampak fraktur/destruksi

Kesan:
Retinoblastoma OD dengan perluasan ke intracranial/chiasma opticus kanan

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Retinoblastoma
3.1.1 Definisi
Retinoblastoma (RB) adalah neoplasma yang berasal dari
neuroretina (sel batang dan kerucut) atau sel glia yang bersifat ganas. Kelainan
ini bersifat kongenital yang timbul pada anak-anak berumur 3 tahun yang
berbahaya, meskipun dapat di jumpai pada usia lebih lanjut (40 tahun).
Dapat mengenai kedua mata, yang merupakan kelainan yang diturunkan
secara autosomal dominant, dapat pula mengenai satu mata yang bersifat
mutasi somatik.2
Terminologi RB herediter adalah kelainan genetik yang bersifat mutasi
germline yakni abnormalitas genetik yang bisa ditemukan pada seluruh
tubuh, sedangkan RB sporadik (dapatan) bersifat mutasi non-germline
(somatik) yakni kelainan genetik terjadi hanya pada jaringan tersebut. RB
bilateral dan herediter merupakan mutasi germline dan dapat diwariskan,
berbeda dengan RB sporadik yang biasanya tidak diwariskan.3,6,7

3.1.2 Patofisiologi
RB adalah penyakit genetik; merupakan inaktifasi kedua alel gen RB
(RB1). Penyakit ini di kategorikan dalam hereditary dan non-hereditary
(sporadik). RB hereditary adalah penyakit autosomal dominant dengan

8
mutasi germline, terhitung sekitar 6% pada penderita baru yang
terdiagnosis RB. Pada tipe hereditary, 85% tumor terdeteksi pada onset
awal, bilateral, dan multi- fokal. Pada RB inhereditary atau sporadik kedua
alel gen RB1 tidak aktif secara somatik pada sel-sel retina. RB sporadik
terdeteksi pada onset yang lambat, unilateral, dan unifokal. Knudson
membuat dua pernyataan tentang penjelasan perkembangan tumor RB.
Knudson menyatakan bahwa untuk menjadi RB, diperlukan dua kromosom
yang mengalami mutasi.3
Pada beberapa dekade lalu, para ilmuwan telah mempelajari
perubahan-perubahan DNA seseorang yang dapat menyebabkan sel-sel di
retina berubah menjadi tumor. Setiap DNA pada tiap-tiap sel membentuk
gen, yang menentukan fungsi dari sel-sel tubuh. Setiap kita mirip seperti
orangtua kita karena mereka adalah sumber dari DNA tubuh kita. Pengaruh
DNA yang banyak mempengaruhi bagaimana tampilan seseorang.

Beberapa gen terkontrol saat masa pertumbuhan, membelah menjadi sel


baru, dan mati pada saatnya. Gen-gen tertentu yang membantu
pertumbuhan sel, membelah, atau tetap hidup disebut oncogen. Gen-gen yang
menghambat sel membelah atau menyebabkan sel mati pada saatnya
disebut gen tumor supressor. Tumor dapat disebabkan oleh perubahan
DNA yang mengaktifkan oncogen atau menekan gen tumor supressor.
Gen yang paling penting pada RB adalah gen tumor supressor RB1.
Gen ini membentuk protein (pRB) yang dapat membantu menghentikan
pertumbuhan sel-sel yang terlalu cepat. Setiap sel normalnya memiliki 2 gen
RB1. Selama sel-sel retina masih memiliki salah satu gen RB1 maka sel-
sel dapat tumbuh sebagaimana mestinya, tidak menyebabkan RB. Tapi
pada saat kedua gen RB1 mengalami mutasi atau kehilangan, pertumbuhan
sel dapat tidak terkontrol. Hal ini dapat menyebabkan perubahan-
perubahan gen, yang akhirnya dapat berubah menjadi tumor.3,6,8

3.1.3 Klasifikasi

9
Sistem klasifikasi yang ideal untuk retinoblastoma harus mancakup
dua komponen yaitu pengelompokan dan staging. Pengelompokan
bertujuan untuk mengetahui prognosis terhadap keselamatan organ.
Klasifikasi yang digunakan untuk retinoblastoma adalah klasifikasi
internasional retinoblastoma intraokular (International Classification of
Retinoblastoma/ICRB).1,7,10

Klasifikasi internasional retinoblastoma (Shields)


Tumor kecil
Grup A
 Retinoblastoma dengan ketebalan ≤ 3 mm
Tumor besar
 Retinoblastoma dengan ketebalan > 3 mm
Grup B  Lokasi di makula (≤ 3 mm dari foveola)
 Lokasi di jukstapapilari (≤ 1,5 mm dari diskus optikus)
 Cairan subretina jernih ≤ 3 mm dari margin
Focal seed
Grup C  C1 : Subretinal seed ≤ 3 mm dari retinoblastoma
 C2 : Vitreus seed ≤ 3 mm dari retinoblastoma
 C3 : Kedua subretina dan vitreus seed ≤ 3 mm dari retinoblastoma
Diffuse seed
Grup D  D1 : Subretinal seed > 3 mm dari retinoblastoma
 D2 : Vitreus seed > 3 mm dari retinoblastoma
 D3 : Kedua subretina dan vitreus seed > 3 mm dari retinoblastoma

Retinoblastoma ekstensif
 Melibatkan > 50% bola mata
 Glaukoma neovaskular
Grup E  Media keruh karena perdarahan di bilik mata depan, vitreus atau
ruang subretina
 Invasi nervus optikus poslaminar, koroid (>2 mm), sklera, orbita, bilik

mata depan

Table Staging internasional retinoblastoma

Stage 0 Tanpa enukleasi (satu atau kedua mata memiliki tumor intraokular)
Stage I Enukleasi, tumor telah terangkat sepenuhnya
Stage II Enukleasi dengan sisa tumor mikroskopik
Ekstensi regional
Stage III A. Tumor orbita terbuka
B. Kelenjar getah bening preaurikular atau cervical
Metastasis
A. Metastasis hematogen

10
1. Lesi single
2. Lesi multipel
Stage IV
B. Keterlibatan sistem saraf pusat
1. Lesi prekiasma
2. Massa di sistem saraf pusat
3. Penyakit leptomeningeal

3.1.3 Gambaran Radiologis


Meskipun RB dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan
funduskopi, modalitas radiologi sangat membantu untuk konfirmasi
diagnosis dan perluasan penyakit tersebut, termasuk keterlibatan ke
retrobulbar atau intrakranial. Modalitas radiologi dapat digunakan untuk
kofirmasi dan menentukan staging. Secara umum tipe RB non-diffuse
terlihat sebagai nodul dengan kalsifikasi, dan adanya kalsifikasi ini dapat
membedakannya dengan lesi intra-okuler lain pada retina.6
USG dapat membantu menegakkan diagnosis RB dengan kalsifikasi
di dalam tumor. Kalsifikasi ini juga dapat dilihat pada pemeriksaan CT, MRI
saat ini menjadi modalitas diagnostik yang lebih disukai untuk evaluasi
keterlibatan saraf optik, bola mata dan otak. MRI tidak hanya menawarkan
resolusi jaringan lunak yang lebih baik, tapi juga menghindari paparan
radiasi yang berpotensi membahayakan.2,5,6
CT adalah modalitas pilihan, dengan menggunakan bahan kontras,
dapat menilai keterlibatan intrakranial untuk tujuan staging. Pada CT pre-
kontras, RB tampak sebagai tumor jaringan lunak intra-okuler dengan
kalsifikasi lebih dari 95% kasus. Kalsifikasi bisa soliter atau multipel,
dengan berbagai ukuran. Bola mata bisa memiliki ukuran normal atau
membesar. Keterlibatan ekstra-okuler dapat di deteksi pada CT. Tumor dapat
tumbuh exophytic, endophytic, atau diffuse. Setelah pemberian kontras, lesi
kalsifikasi pada tumor mengalami penyengatan. Infiltrasi yang meluas pada
RB dapat ditandai dengan densitas yang lebih tinggi daripada vitreous.1,5,6
Pada MRI, RB tampak isointens hingga relatif sedikit hiperintens
daripada vitreous pada T1 dan menengah hingga sangat hipointens pada T2.
Kalsifikasi padat dapat dilihat sebagai bintik sinyal rendah pada gambar T2
dan tampak nyata sebagai daerah hipointensepada gambar gradient-echo,

11
meskipun MRI kurang sensitif dalam mendeteksi kalsifikasi dibandingkan
CT. Setelah pemberian bahan kontras gadolinium, lesi tumor mengalami
penyengatan yang nyata. MRI juga dapat menunjukkan ablasi retina,
tampak hiperintens pada T1 dan T2.1,6

Gambaran MRI Gambaran CT-Scan


Retinoblastoma Retinoblastoma

3.2 Differential Diagnostic


3.2.1 Coats Disease
Penyakit Coats secara klinis terjadi pada dekade pertama kehidupan
dan lebih sering terjadi pada anak laki-laki. Lesi biasanya ditandai dengan
permeabilitas pembuluhdarahretinayangabnormaldantelangiektasis, unilateral
dengan eksudasi intra-retinal, bisa terjadi ablasi retina dan glaukoma
neovaskuler. Pada stadium awal tampak normal. Pada pemeriksaan USG
dapat menunjukkan tumor retina dan konveksi kolesterol dalam cairan sub-
retinal. Angiografi fluorosensi menunjukkan telangiektasis klasik
pembuluh darah. Pada CT menunjukkan lesi hiperdens wing-shaped atau
hiperdensitas yang diffuse pada vitreous. Pada MRI, cairan sub-retinal
tampak hiperintens pada T1 dan T2. Tampak heterogen disebabkan
kolesterol, perdarahan dan jaringan parut. Setelah pemberian gadolinium,
tampak linear enhancement pada bagian sub-retinal.1,2

Gambaran MRI Gambaran CT-Scan


Coats Disease Coats Disease
3.2.2 Persistent Hyperplastic Primary Vitreous (PHPV)

12
Persistent hyperplastic primary vitreous saat ini dikenal dengan
persistent fetal vasculature (PFA), dapat diidentifikasi dalam beberapa hari
atau beberapa minggu setelah kelahiran. Biasanya unilateral pada dua per tiga
kasus dan berkaitan dengan mikroftalmus, hipoplastik pada iris dan
pembuluh darah yang prominen. Bola mata tampak kecil. Sisa pembuluh
darah hyaloid tampak sebagai struktur linier hipointens yang meluas ke arah
saraf optik, yang mengalami enhance setelah pemberian kontras. Pada
pemeriksaan USG menunjukkan hyaloid yang persisten, tidak adanya
kalsifikasi diyakini sebagai panduan untuk mendiagnosis PHPV.1,2
Pada pemerikasaan CT dapat ditemukan beberapa variasi dan deskripsi
seperti soft-tissue replacement dari badan vitreous, tidak ditemukannya
kalsifikasi yang abnormal didalam orbita, mikroftalmus, retrohyaloid yang
diselubungi oleh darah, hipervaskularisasi pada vitreous humor, retinal
detachment dapat ditemukan hiperdensitas pada CT. Pada pemeriksaan MRI
karakteristik jaringan retrolenticular berbentuk triangular shape, seperti
Martini glass yang muncul pada low T2 signal berlawanan dengan normal
high T2 signal dari globe

Gambaran MRI Gambaran CT-Scan


PHPV PHPV

3.2.3 Retinopathy of Prematurity (ROP)


Retinopathy of prematurity lebih sering dikenal dengan retrolental
fibroplasia, adalah gangguan vaskuloproliferatif yang terjadi pada bayi
preterm dengan berat lahir rendah. Komplikasi dari penyakit ini bervariasi
mulai dari ringan sampai kehilangan penglihatan yang berat. Penyebabnya

13
masih belum jelas. Kemungkinan disebabkan mekanisme insufisiensi
vaskularisasi pada perkembangan retina yang menyebabkan hipoksia, hal
ini mencetuskan faktor- faktor stimulasi baru dan pertumbuhan pembuluh
darah yang abnormal. Bayi prematur yang menderita ROP diketahui
memiliki nilai serum insulin-like growth factor-I (IGF-I). Di samping berat
badan lahir yang rendah, apnea, penggunaan ventilator yang lama, terapi
surfaktan, penurunan level vitamin E merupakan faktor- faktor resiko
terjadinya ROP.1,2
Biasanya bilateral, asimetris, dan bola mata kecil. Pada pemeriksaan
CT tidak ditemukan kalsifikasi. Pada MRI tampak cairan sub-retinal
hiperintens pada T2 dan hipointens setelah pemberian kontras pada T1.1,2

Gambaran MRI Gambaran CT-Scan


ROP ROP

3.3 Tatalaksana
Tujuan utama dalam tatalaksana retinoblastoma adalah untuk
menyelamatkan kehidupan. Mempertahankan organ dan fungsi
penglihatan merupakan tujuan sekunder dan tersier. Penatalaksanaan
retinoblastoma bergantung pada stadium penyakit. Terdapat beberapa
metode dalam tatalaksana retinoblastoma intraokular, yaitu terapi fokal,
kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan.1,10,14

14
3.3.1 Terapi Fokal
Terapi fokal merupakan modalitas terapi bekerja lokal pada area
tumor tanpa efek regional atau sistemik. Terapi fokal terdiri dari
krioterapi, fotokoagulasi laser dan termoterapi. Terapi fokal digunakan
pada tumor berukuran kecil atau kombinasi dengan kemoterapi pada tumor
berukuran besar.7,9

3.3.1.1 Krioterapi
Krioterapi merupakan modalitas terapi lokal retinoblastoma yang
bekerja merusak membran sel tumor secara mekanik dengan kristal es
melalui siklus beku cair (freeze-thaw cycle). Krioterapi digunakan untuk
tumor yang berada di anterior, media refraksi jernih dan tumor tanpa
vitreous seeding. Tumor yang berada di posterior ekuator dapat dilakukan
krioterapi dengan membuat insisi kecil pada konjungtiva forniks diantara
otot rektus untuk memasukkan probe (cutdown cryotherapy).2,9,10
Tatalaksana Retinoblastoma

A Tumor intraokular, grup A hingga C, unilateral atau bilateral


1. Terapi fokal (krioterapi atau termoterapi traspupil) untuk tumor kecil (diameter
dan ketebalan ≤3 mm), lokasi tidak berada di area krusial.
2. Kemoreduksi 6 siklus dan terapi agresif fokal sekuensial untuk tumor yang
lebih besar dan berada di area krusial
3. Menunda terapi fokal hingga 6 siklus untuk tumor yang berada di makula dan >
6 siklus untuk area juxtapapillary
4. Terapi fokal untuk residu tumor kecil dan plaque brachytherapy/external
beam radiotherapy (usia > 12 bulan) untuk residu tumor bilateral yang besar,
dan
enukleasi untuk unilateral
B Tumor intraokular, grup D, unilateral atau bilateral
1. Kemoterapi dosis tinggi dan terapi fokal gresif sekuensial
2. Carboplatin periokular untuk vitreous seeds
3. Enukleasi primer jika unilateral, khususnya pada mata dengan prognosis visual
buruk
C Tumor intraokular, Grup E, unilateral atau bilateral
1. Enukleasi primer
2. Evaluasi histopatologi untuk faktor risiko tinggi
D Faktor risiko tinggi pada histopatologi, Stage 2
1. Evaluasi sistemik untuk menilai metastasis
2. Kemoterapi adjuvant 6 siklus standar
3. Kemoterapi adjuvant dosis tinggi dan orbital external beam radiotherapy pada
pasien dengan infiltrasi sklera, perluasan ekstraokular dan perluasan ke batas
potongan nervus optikus
E Tumor ekstraokular, Stage 3A
1. Evaluasi sistemik untuk menilai metastasis
2. Kemoterapi dosis tinggi 3-6 siklus, dilanjutkan dengan enukleasi atau enukleasi

15
luas, external beam radiotherapy dan dilajutkan kemoterapi dosis tinggi 12
siklus
F Metastasis kelenjar getah bening regional, Stage 3B
1. Evaluasi sistemik untuk menilai metastasis
2. Diseksi leher, kemoterapi dosis tinggi 6 siklus, diikuti external beam radiotherapy,
dan dilanjutkan kemoterapi dosis tinggi 12 siklus

G Hematogen atau metastasis sistem saraf pusat, Stage 4


1. Diskusikan terapi paliatif dengan keluarga
2. Kemoterapi dosis tinggi dengan penyelamatan sumsum tulang belakang
untuk metastasis hematogen
3. Kemoterapi intratekal dosis tinggi untuk metastasis sistem saraf pusat

Krioterapi dimulai dengan memposiskan prob tepat pada sklera


dibawa tumor, posisinya dievaluasi menggunakan oftalmoskop indirek.
Prob krioterapi digunanakan untuk melokalisir dan elevasi tumor dengan
melakukan indentasi sklera. Ketika probe sudah berada dibawah tumor,
pembekuan dimulai dan bola es dipertahankan hingga menutupi seluruh
masa tumor. Setelah es menutupi apeks tumor setinggi 2 mm, bola es
kemudian dicairkan dan siklus beku cair diulang 2 hingga 3 kali. Penting
untuk menjaga probe tetap pada tempatnya hingga es benar benar mencair
untuk mencegah cedera pada bola mata. Komplikasi yang dapat terjadi
adalah perdarahan vitreous, terbentuk cairan subretina, robekan retina,
lubang pada retina, ablasio retina, dan atropi sklera.1,9,15

3.3.1.2 Fotokoagulasi Laser


Prinsip kerja fotokoagulasi laser adalah menghasilkan skar akibat energi
panas yang bersumber dari sinar laser. Tumor dilapisi dengan skar berlapis
untuk membatasi aliran darahnya. Indikasi fotokoagulasi laser adalah
tumor besar yang telah dilakukan kemoterapi sistemik (kemoreduksi),
modalitas tunggal pada tumor perifer kecil atau tumor posterior dan
mengurangi rekurensi tumor kecil pada skar atau sekitar skar setelah
kemoterapi atau radioterapi. Laser fotokoagulasi efektif digunakan pada
tumor yang terletak di posterior, media refraksi jernih, diameter tumor
kurang dari 3 mm dan ketebalan tumor kurang dari 2 mm tanpa seeding ke
vitreous sekitarnya. Kontraidikasi fotokoagulasi laser adalah pada pasien
yang sedang dilakukan protokol kemoreduksi karena akan menghambat

16
asupan pembuluh darah ke tumor dan mengurangi konsentrasi obat
kemoterapi yang berada pada tumor tersebut.9,10,15
Penggunaan energi yang berlebih dapat mengakibatkan perdarahan vitreus
dan perdarahan subhyaloid. Jika dilakukan fotokoagulasi laser pada tumor
berada di area juxtapapil, dapat terjadi komplikasi berupa defek lapang
pandang yang besar. Komplikasi lain pada terapi laser adalah ablasio
retina serosa, oklusi pembuluh darah retina, traksi retina, lubang retina,
fibrosis preretina, luka bakar iris pada margin pupil dan kekeruhan lensa.
Tumor yang aktif dan menunjukkan pertumbuhan setelah satu sesi terapi
laser akan membutuhkan energi yang lebih besar pada terapi kedua.
Pertumbuhan tumor yang terus terjadi setelah terapi kedua,
mengindikasikan bahwa dibutuhkan modalitas lain untuk menekan
pertumbuhan tumor.9,10,15

3.3.1.3 Termoterapi
Prinsip kerja termoterapi adalah menghasilkan panas dari sinar
infra merah sehingga memicu apoptosis sel tumor. Termoterapi
menggunakan panas dengan suhu 400C hingga 600. Termoterapi
diaplikasikan melewati pupil, menggunakan radiasi infra merah yang
dipancarkan dari diode laser pada oftalmoskop indirek. Termoterapi juga
dapat diaplikasikan transsklera menggunakan mikroskop operasi. Tumor
dipanaskan hingga berubah warna menjadi abu-abu. Regresi tumor sebesar
85% didapatkan setelah 3 hingga 4 sesi termoterapi. Komplikasi yang
sering terjadi adalah atrofi iris, kekeruhan lensa paraksial, traksi retina,
ablasio retina serosa.7,10

3.3.2 Radioterapi
Radioterapi merupakan salah satu modalitas penting dalam tatalaksana
retinoblastoma. Radioterapi terdiri dari plaque brachytherapy dan external
beam radiotherapy (EBRT). Radioterapi digunakan pada tumor yang telah
regresi oleh kemoterapi sistemik atau muncul kembali setelah
kemoterapi.7,9

17
3.3.2.1 Plaque Brachytherapy
Plaque Brachytherapy merupakan terapi menggunakan implant
radioaktif yang diletakkan pada sklera yang melapisi tumor untuk
meradiasi tumor secara transsklera. Bahan radio aktif yang sering
digunakan adalah Ruthenium 106 dan Iodine 125. Sumber radioaktif ini
ditanamkan ke dalam bentuk plak yang dibuat sesuai dengan bentuk dan
ukuran tumor. Lokasi tumor ditentukan, kemudian plak difiksasi pada
sklera dengan penjahitan. Plak akan disimpan pada posisi tersebut selama
durasi paparan terapi yaitu 36 hingga 72 jam.7,9,10
Plaque Brachytherapy digunakan sebagai terapi sekunder pada
mata yang tidak respon terhadap kemoterapi dan EBRT atau tumor
rekuren dan tumor fokal yang terlalu besar untuk dilakukan krioterapi atau
laser. Paparan radiasi yang digunakan pada brachytherapy terbatas pada
struktur okular sehingga tidak meningkatkan risiko terjadinya keganasan
sekunder okular ataupun non okular. Komplikasi brachytherapy adalah
retinopati, papilopati, katarak, glaukoma, perdarahan intraokular.10,15

3.3.2.2 External Beam Radiotherapy (EBRT)


Prinsip kerja EBRT adalah menggunakan Cobalt 60 (sinar gamma)
dan akselerator linear (X-Ray). EBRT digunakan pada mata yang
mengalami kegagalan pada kemoterapi primer atau terapi lokal. EBRT
jarang digunakan sejak protokol kemoterapi terbaru telah ditemukan.
Komplikasi yang dapat timbul akibat terapi ini adalah hambatan
pertumbuhan orbita, mata kering, katarak, retinopati radiasi dan neuropati
optik. EBRT juga dapat mengakibatkan keganasan sekunder khususnya
pada pasien dengan retinoblastoma herediter.7,10

3.3.3 Enukleasi

18
Enukleasi merupakan metode yang paling sering digunakan untuk
tatalaksana retinoblastoma tahap lanjut. Pasien yang dipertimbangkan
untuk enukleasi adalah pasien dengan retinoblastoma grup D unilateral,

grup E unilateral atau bilateral, dan pasien dengan tumor aktif pada mata
dengan fungsi penglihatan buruk yang telah menyelesaikan terapi primer.
Enukleasi juga dapat dipertimbangkan pada pasien dengan kecurigaan
tumor aktif dan tidak dapat dilakukan pemeriksaan funduskopi karena
media keruh.1,2

Pembesaran nervus optikus dan tumor ekstrasklera

Hal penting yang harus diperhatikan saat melakukan enukleasi


adalah mencegah terjadinya perforasi bola mata dan mendapatkan
potongan nervus optikus dengan panjang minimal 15 mm. Inspeksi secara
makrokopis dilakukan pada bola mata yang telah dienukleasi untuk
mengidentifikasi adanya perluasan tumor ke ekstraokular dan keterlibatan
nervus optikus. Adanya area yang mencurigakan seperti sklera yang tipis,
indurasi, perubahan warna, perubahan vaksular, nodul dan pelebaran vena
vortex merupakan penanda untuk menilai perluasan tumor ke sklera atau
ektrasklera secara histopatologis.7,9,10
Penggunaan implan orbital mendukung perkembangan rongga
orbita, menghasilkan tampilan yang lebih baik secara kosmetik dan
menunjang pergerakan protesa. Penggunaan teknik operasi dan protesa
yang disesuaikan dengan kebutuhan pasien akan mengoptimalkan
mobilitas protesa dan memberikan tampilan yang lebih baik. Pemasangan
protesa dilakukan pada 4 minggu pasca operasi. Pemantauan berkala

19
dilakukan setelah operasi untuk mengevaluasi rekurensi tumor orbita pada
soket.7,9,15

Retinoblastoma yang telah dienukleasi dan terpasang protesa mata

3.3.4 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi standar utama pada retinoblastoma.
Kemoterapi kemudian dikembangkan untuk meningkatkan efektivitas dan
mengurangi efek samping yang ditimbulkan. Kemoterapi terdiri dari
kemoterapi intravena, intraarteri, dan periokular. Kemoterapi digunakan
sebagai terapi pada tumor yang terlalu besar atau luas untuk dilakukan
terapi fokal.1,7,8

3.3.4.1 Kemoterapi Sistemik


Kemoterapi mulai banyak digunakan sejak awal tahun 1990an
bersama dengan terapi fokal menggantikan EBRT. Kemoterapi intravena
kemudian berkembang menjadi terapi terpenting untuk menyelamatkan
bola mata pasien dengan retinoblastoma. Sebagian besar institusi
menggunakan carboplatine, vincristine dan etoposide dalam 3 hingga 6
siklus sebagai regimen terapi. Kombinasi kemoterapi dan terapi fokal
menghasilkan luaran yang lebih baik dalam mengontrol pertumbuhan
tumor. Komplikasi kemoterapi intravena yang dapat mengancam jiwa
adalah munculnya keganasan sekunder non okular seperti leukemia. 7,9,15
Terdapat beberapa istilah dalam kemoterapi sistemik, yaitu
kemoreduksi, kemoterapi adjuvan dan kemoterapi neoadjuvan.
Kemoreduksi adalah proses reduksi volume tumor dengan kemoterapi.

20
Kemoterapi sendiri tidak dapat menyembuhkan, sehingga harus
dikombinasikan dengan terapi fokal lainnya. Kemoreduksi yang
dikombinasi dengan terapi fokal dapat meminimalkan kebutuhan enukleasi
atau EBRT tanpa mengakibatkan efek toksis sistemik yang berlebihan. Hal
ini memungkinkan terapi dengan mempertahankan bola mata dan
memaksimalkan sisa penglihatan yang ada. Kemoreduksi sangat baik
dilakukan pada tumor tanpa caira subretina atau vireous seeding.1,9,10
Kemoterapi adjuvan adalah kemoterapi yang berperan sebagai
terapi profilaksis pada pasien tanpa metastasis. Terapi adjuvan bertujuan
untuk mengurangi risiko metastasis. Regimen kemoterapi adjuvan berupa
6 sikluas kemoterapi Carboplatine, Etoposide dan Vincristine, sama seperti
regimen yang digunakan pada kemoreduksi. Kemoterapi neoadjuvan
adalah kemoterai yang diberikan kepada pasien yang telah direncanakan
enukleasi.1,9,10
Dosis dan Regimen Kemoreduksi Retinoblastoma Intraokular

Hari 1 Vinsristine + Etoposide + Carboplatin


Hari 2 Etoposide
1.5 mg/m2 (0.05 mg/kg untuk anak usia ≤ 36 bulan and dosis
Dosis Vincristine
maksimum ≤ 2mg)
standar (3 Etoposide 150 mg/m2 (5 mg/kg untuk anak usia ≤ 36 bulan)
minggu, 6 Carboplatin 560 mg/m2 (18.6 mg/kg untuk anak usia ≤ 36 bulan)
siklus)
Dosis tinggi Vincristine 0.025 mg/Kg
(3 minggu, 6-12 Etoposide 12
siklus) mg/Kg
Carboplatin 28
mg/Kg

3.3.4.2 Kemoterapi Periokular


Kemoterapi periokular ditemukan atas dasar kebutuhkan akan level
terapetik obat kemoterapi yang adekuat dengan toksisitas sistemik yang
minimal. Kemoterapi periokular menggunakan Carboplatin yang
dimasukkan ke subtenon posterior. Kemoterapi jenis ini digunakan pada
retinoblastoma dengan vitreous seeding karena memiliki penetrasi yang
baik ke sklera dan mencapai konsentrasi yang efektif pada kavum vitreus.
Injeksi carboplatin peribulbar dan episklera dapat menghasilkan
konsentrasi carboplatin yang lebih tinggi pada vitreous daripada injeksi

21
intravena. Metode ini masih jarang digunakan karena penelitian mengenai
efikasi dan efek sampingnya masih terbatas.7,9,10
Metode lain yang digunakan untuk memasukkan obat melewati
sklera adalah menggunakan reservoir silikon yang dipasang di episklera
dengan pembedahan minimal pada konjungtiva. Reservoir ini dapat
melepaskan agen kemoterapi dosis tinggi ke vitreous dan retina posterior.
Komplikasi yang dapat terjadi pada kemoterapi periokular adalah atropi
nervus optikus, keterbatasan gerak bola mata dan fibrosis jaringan lunak
orbital. Hal ini menyebabkan enukleasi lebih sulit dilakukan. 7,15

3.3.5 Terapi Terbaru


Pendekatan terapi retinoblastoma intraokular semakin berkembang
dari hari ke hari karena keinginan untuk menyelamatkan lebih banyak
mata dan mengurangi komplikasi. Terapi lokal dan regional berupa
pemberian agen komoterapi langsung ke bola mata atau melalui arteri
regional banyak dikembangkan sejak 10 tahun terakhir. Modalitas lain
seperti radioterapi juga dikembangkan untuk mencapai hasil
maksimal.9,14,15

3.3.5.1 Selective Intra Arterial Kemotherapy (SIAC)


Teknik kemoterapi intraarterial bertujuan untuk memfokuskan
konsentrasi obat kemoterapi ke mata sehingga mengurangi konsentrasi
obat sistemik. Obat kemoterapi ditujukan ke tumor pada mata melalui
arteri oftalmika. Pilihan obat yang digunakan adalah Melphalan. Obat
kemoterapi diinjeksikan melalui kateter kecil yang dimasukkan melalui
arteri femoralis. Komplikasi yang dapat terjadi adalah toksisitas okular
seperti edema periokular, hilangnya bulu mata sementara, hiperemis pada
dahi. Komplikasi vascular yang mungkin terjadi adalah iskemia, spasme,
stenosis atau oklusi. 10,14

3.3.5.2 Kemoterapi Intravitreal

22
Kemoterapi intravitreal digunakan pada retinoblastoma intraokular
dengan vitreous seeding. Retinoblastoma dengan vitreous seeding
memiliki respon yang buruk terhadap kemoterapi intravena karena
penetrasi yang buruk pada kavum vitreus yang avaskular. Injeksi
dilakukan pada 3 hingga 3,5 mm dari limbus. Injeksi intravitreal
dilanjutkan dengan melakukan krioterapi triple freeze-thaw pada lokasi
injeksi untuk mencegah penyebaran tumor melalui area injeksi. Injeksi ini
dapat diulang setiap 7 hingga 10 hari sekali hingga tercapai respon yang
baik. Kontraindikasi pada kemoterapi intravitreal adalah retinoblastoma
grup E, invasi tumor ke segmen anterior dan badan siliar, posterior
vistreous detachment, vitreous seeding yang menyebar diseluruh kuadran
dan ablasio retina total. Regimen yang digunakan adalah melphalan,
topotecan, dan kombinasi keduanya. Melphalan merupakan pilihan obat
yang digunakan dengan dosis 20–30 µg/0.1 ml. Topotecan memiliki waktu
paruh yang lebih panjang. Efek samping kemoterapi intravitral terhadap
fungsi retina yang dilihat berdasarkan hasil elektroretinogram (ERG)
masih menjadi perdebatan.9

3.3.5.3 Radioterapi
EBRT banyak digunakan pada masa sebelum era kemoterapi.
EBRT kemudian mulai ditinggalkan karena banyaknya komplikasi yang
ditimbulkan seperti keganasan sekunder dan komplikasi yang diakibatkan
radiasi. Saat ini terdapat kebaruan dalam radioterapi yaitu teknik radiasi
yang lebih baik sehingga mengurangi tingkat kerusakan pada jaringan
normal disekitar. Stereotactic conformal radiotherapy (SCR)
menggunakan pemancar lebih kecil dengan posisi yang lebih akurat.
Proton beam therapy menghasilkan dosis yang seragam pada setiap
target.9,14

23
3.3.5.4 Modalitas Terapi Lain
Terdapat beberapa modalitas terapi baru dalam tatalaksana
retinoblastoma. Vitrektomi pars plana (VPP) dan endoreseksi untuk terapi
penyakit retina atau vitreus yang refrakter pertama kali diperkenalkan pada
tahun 2018. Teknik ini meliputi VPP, lalu endoreseksi untuk mengangkat
rekurensi retina, pemasangan minyak silikon, penggunaan melphalan
melalui jalur infus, dan injeksi melphalan subkonjungtiva dan intravena
untuk mengurangi penyebaran tumor.9,14

3.4 Prognosis
Prognosis RB berhubungan dengan perluasan tumor ke arah luar
dan atau keterlibatan sub-arakhnoid. Klasifikasi Reese-Ellsworth adalah
metode untuk memprediksi prognosis. Perluasan tumor hingga ekstra-
okuler memiliki prognosis yang buruk, keterlibatan saraf optik yang luas
juga dikaitkan dengan peningkatan angka kematian.

Tabel Klasifikasi Reese-Ellsworth

Grup A B
Tumor soliter, ukuran Tumor multipel, ukuran tidak melebihi
I (sangat favor- kurang 4 diameter disc, 4 diam- eter disc, semua pada atau di
able) pada atau dibelakang belakang equator
equator
Tumor soliter, ukuran Tumor multipel, ukuran 4-10 diameter
II (favorable) 4-10 diameter disc, disc, pada atau di belakang equator
pada atau di belakang
equator
Lesi yang meluas ke Tumor soliter, ukuran
III (doubtful) anterior equator > 10 diameter disc, di belakang
equator
IV (unfavor- Tumor multipel, beber- Ada lesi yang meluas ke anterior ora

able) apa besarnya lebih dari serrata


10 diameter disc

24
V (sangat unfa- Massive seeding
vorable) melibatkan lebih dari Vitreous seeding
setengah retina

BAB IV
PEMBAHASAN

Retinoblastoma (RB) adalah neoplasma yang berasal dari neuroretina (sel


batang dan kerucut) atau sel glia yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat
kongenital yang timbul pada anak-anak berumur 3 tahun yang berbahaya,
meskipun dapat di jumpai pada usia lebih lanjut (40 tahun). Dapat mengenai
kedua mata, yang merupakan kelainan yang diturunkan secara autosomal
dominant, dapat pula mengenai satu mata yang bersifat mutasi somatik.2 Pada
kasus ini, seorang pasien laki-laki atas nama An. B berusia 4 tahun Pasien
anak laki-laki berumur 4 tahun datang diantar oleh ayahnya ke instalasi
Radiologi untuk dilakukan pencitraan dengan CT-Scan di RSU Soedarso
setelah dilakukan perawatan di Bangsal Anak dengan keluhan terdapat
benjolan pada mata kanan. Keluhan pertama kali muncul pertama kali pada
saat usia 2 bulan dengan warna pupil yang berubah-ubah saat terkena cahaya
kamera, kemudian timbul benjolan yang semakin membesar sejak 2 tahun
yang lalu hingga sekarang. Keluhan nyeri juga dirasakan terus menerus pada
benjolan tersebut hingga ke kepala.
Pada kasus ini dilakukan CT-Scan kepala dengan kontras dengan
potongan transversal dikarenakan pemeriksaan radiografi ini merupakan
pemeriksaan yang menjadi CT adalah modalitas pilihan, dengan
menggunakan bahan kontras, dapat menilai keterlibatan intrakranial untuk
tujuan staging. Pada CT pre-kontras, RB tampak sebagai tumor jaringan lunak
intra-okuler dengan kalsifikasi lebih dari 95% kasus. Kalsifikasi bisa soliter
atau multipel, dengan berbagai ukuran. Bola mata bisa memiliki ukuran
normal atau membesar. Keterlibatan ekstra-okuler dapat di deteksi pada CT.
Tumor dapat tumbuh exophytic, endophytic, atau diffuse. Setelah pemberian
kontras, lesi kalsifikasi pada tumor mengalami penyengatan. Infiltrasi yang

25
meluas pada RB dapat ditandai dengan densitas yang lebih tinggi daripada
vitreous.1,5,6
Dari pemeriksaan radiologis CT-Scan kepala dengan kontras dengan
potongan transversal didapati hasil berupa adalah Prooptosis blbus orbita
kanan, bulbus orbita kanan tampak membesar disertai mass intraocculi dan
kalsifikasi. Tampak mass di Nervus opticus kanan meluas ke intracranial –
chiasma opticus kanan yang pada pemberian kontras tampak menyangat.
Bulbus orbita kiri baik, Nervus opticus kiri baik, tak tampak lesi
intra/extraconal. Tak tampak midline shift. Sulci dan gyri baik, sistem
ventrikel dan sisterna baik. Cerebellum, pons dan CPA baik. Tak tampak
perdarahan intracerebri. Mastoid air cell dan sinus paranasalis yang
tervisualisasi baik. Tulang-tulang baik, tak tampak fraktur/destruksi.
Sehingga memiliki kesan Retinoblastoma OD dengan perluasan ke
intracranial/chiasma opticus kanan
Pada kasus ini didiagnosis banding Persistent hyperplastic primary
vitreous saat ini dikenal dengan persistent fetal vasculature (PFA), dapat
diidentifikasi dalam beberapa hari atau beberapa minggu setelah kelahiran.
Biasanya unilateral pada dua per tiga kasus dan berkaitan dengan mikroftalmus,
hipoplastik pada iris dan pembuluh darah yang prominen. Bola mata tampak
kecil. Sisa pembuluh darah hyaloid tampak sebagai struktur linier hipointens
yang meluas ke arah saraf optik, yang mengalami enhance setelah pemberian
kontras. Pada pemeriksaan USG menunjukkan hyaloid yang persisten, tidak
adanya kalsifikasi diyakini sebagai panduan untuk mendiagnosis PHPV.1,2 Pada
pemerikasaan CT dapat ditemukan beberapa variasi dan deskripsi seperti soft-
tissue replacement dari badan vitreous, tidak ditemukannya kalsifikasi yang
abnormal didalam orbita, mikroftalmus, retrohyaloid yang diselubungi oleh darah,
hipervaskularisasi pada vitreous humor, retinal detachment dapat ditemukan
hiperdensitas pada CT. Pada pemeriksaan MRI karakteristik jaringan
retrolenticular berbentuk triangular shape, seperti Martini glass yang muncul
pada low T2 signal berlawanan dengan normal high T2 signal dari globe.

26
BAB V
PENUTUP

Dari anamnesis pasien laki-laki berumur 4 tahun dengan keluhan


benjolan pada mata kanan. Keluhan dirasakan sejak kurang lebih 2 tahun
yang lalu. Nyeri juga dirasakan pada benjolan dan kepala. Pemeriksaan
peunjang yang dilakukan pada pasien ini adalah CT-Scan kepala dengan
kontras dan potongan transversal dengan kesan Retinoblastoma OD dengan
perluasan ke intracranial/chiasma opticus kanan.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ophthalmology AA of O. Ophthalmic Pathology and Intraocular


Tumors. 178 p.
2. Rossi A, Tortori-Donati P. Pediatric Neuroradiology Brain Head
and Neck Spine. 2005. 1329 p.
3. Jagadeesan M, Khetan V, Mallipatna A. Genetic perspective of
retinoblastoma: From present to future. Indian J Ophthalmol
[Internet]. 2016;64(5):332–6. Available from: http://www.ncbi.
nlm.nih.gov/pubmed/27380971
4. Traine PG, Schedler KJ, Rodrigues EB. Clinical Presentation and
Genetic Paradigm of Diffuse Infiltrating Retinoblastoma: A
Review. Ocul Oncol Pathol [Internet]. 2016;2(3):128–32.
Available from: http://www.ncbi.nlm.nih. gov/ pubmed/ 27239450
% 5 Cnhttp:// www. pubmedc en tr al .nih.go v/ar ticler ender.
fcgi?artid=PMC4881270
5. Danziger A, Pric I. CT Findings in Retinoblastoma:695–7.
6. Rao AA, Naheedy JH, Chen JYY, Robbins SL, Ramkumar HL. A
clinical update and radiologic review of pediatric orbital and ocular
tumors. J Oncol. 2013;2013.
7. Pandey AN. Retinoblastoma: An overview. Saudi J Ophthalmol
[Internet]. 2014;28(4):310–5. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.sjopt.2013.11.001

28
8. Ghassemi F, Chams H, Sabour S, Karkhaneh R, Farzbod F,
Khodaparast M, et al. Characteristics of germline and non-germline
retinoblastomas. J Ophthalmic Vis Res. 2014;9(2):188–94.
9. Das D, Bhattacharjee K, Barthakur SS, Tahiliani PS, Deka P,
Bhattacharjee H, et al. A new
10. Chantada G, et al. A Proposal for an International Retinoblastoma
Staging System. Pediatr Blood Cancer. 2006;47:801-5.

29

Anda mungkin juga menyukai