Anda di halaman 1dari 67

HUBUNGAN KADAR KREATININ SERUM DENGAN

MIKROALBUMINURIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS


TIPE-2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG

(Skripsi)

Oleh
M. RIZKI PRAYUDA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
ABSTRACT

CORELATION OF SERUM CREATININ LEVELS AND


MICROALBUMINURIA IN PATIENTS WITH DIABETES MELLITUS
TYPE-2 IN ABDUL MOELOEK HOSPITAL
BANDAR LAMPUNG

By

M. RIZKI PRAYUDA

Diabetes mellitus (DM) is a metabolic disease with characteristic hyperglicemia


that occurs due to insulin secretion abnormality, insulin action or both of them.
Uncontrolled DM lead to various chronic complications, one of them is diabetic
nephropathy. Serum creatinine levels and microalbuminuria are important to be
controlled as an indicator of the disease’s progression. This study aimed to
determine the correlation of serum creatinin levels and microalbuminuria in
patients with diabetes mellitus type-2.
This analytical cross sectional study with consecutive sampling method using 35
patients with DM type-2 in internal medicine clinic of RSUD Abdul Moeloek as a
sampel. Data was analyzed using Spearman correlation.
The result shows that mean serum creatinine levels among respondents is 2,08 ±
1,72 mg/dL, while mean microalbuminuria among respondents is 66,88 ± 109,90
μg/mg. Serum creatinine levels and microalbuminuria does not have a statistically
significant correlation (r=0,195; p>0,05).
From this study, it can be concluded that there is no correlation of serum
creatinine levels and microalbuminuria in patients with diabetes mellitus type-2.
Key words : diabetes mellitus type-2, micro albumin, serum creatinin levels
ABSTRAK

HUBUNGAN KADAR KREATININ SERUM DENGAN


MIKROALBUMINURIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
TIPE-2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG

Oleh

M. RIZKI PRAYUDA

Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun
keduanya. DM yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai
komplikasi kronik, salah satunya adalah nefropati diabetika. Kadar kreatinin
serum dan mikroalbuminuria penting untuk dikontrol karena menjadi indikator
perjalanan penyakit DM tipe-2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan kadar kreatinin serum dengan mikroalbuminuria pada penderita DM
tipe-2.

Penelitian ini bersifat analitik dengan metode cross sectional. Sampel berjumlah
35 orang penderita DM tipe-2 di poliklinik penyakit dalam RSUD Abdul Moeloek
yang dipilih dengan metode consecutive sampling. Data dianalisis dengan uji
korelasi Spearman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata kadar kreatinin serum pada responden
adalah 2,08 ± 1,72 mg/dL sedangkan rerata mikroalbuminuria pada responden
adalah 66,88 ± 109,90 μg/mg. Kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria tidak
memiliki korelasi yang bermakna secara statistik (r=0,195; p>0,05).

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kadar
kreatinin serum dengan mikroalbuminuria pada penderita diabetes melitus tipe-2.
Kata kunci : diabetes melitus tipe-2, kadar kreatinin serum, mikroalbuminuria.
HUBUNGAN KADAR KREATININ SERUM DENGAN
MIKROALBUMINURIA PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
TIPE-2 DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG

Oleh

M. RIZKI PRAYUDA

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar


SARJANA KEDOKTERAN
Pada
Fakultas Kedokteran Universitas Lampung

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2016
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada tanggal 27 Juni 1994, sebagai anak

ketiga dari tiga bersaudara, dari Bapak H. Muh Yusri, S.Pd., MM dan Ibu Hj. Drs

Siti Khodijah.

Pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) diselesaikan di TK Pratama pada tahun

2000, Sekolah Dasar (SD) diselesaikan di SDN 1 Sawah Lama, Bandar Lampung

pada tahun 2006, Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan di SMPN 4

Bandar Lampung pada tahun 2009, dan Sekolah Menengah Atas (SMA)

diselesaikan di SMAN 2 Bandar Lampung pada tahun 2012.

Tahun 2012, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung (Unila) melalui jalur Ujian Mandiri (UM).

Selama menjadi mahasiswa penulis aktif pada organisasi BEM FK UNILA

sebagai anggota divisi eksternal tahun 2013-2014. Penulis juga pernah aktif pada

organisasi FSI FK Unila sebagai anggota bidang bina baca al-qur’an tahun 2012-

2013.
Persembahan untuk
Ayah dan Mama Tersayang...
Parents were the only ones obligated to love you. From the rest of the world you had to earn it.
SANWACANA

Puji syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat

dan hidayah-Nya skripsi ini dapat diselesaikan.

Skripsi ini berjudul “Hubungan Kadar Kreatinin Serum dengan

Microalbuminuria pada Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 di Rumah Sakit

Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung”adalah salah satu syarat

untuk memperoleh gelar sarjana Kedokteran di Universitas Lampung.

Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hasriadi Mat Akin, M.P., selaku Rektor Universitas

Lampung;

2. dr. Muhartono, M.Kes., Sp.PA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran

Universitas Lampung

3. dr. Putu Ristyaning Ayu, Sp.PK., selaku Pembimbing Utama atas waktu

dan kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam

proses penyelesaian skripsi ini;

4. dr. Agustyas Tjiptaningrum, Sp.PK., selaku Pembimbing Kedua atas

waktu dan kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik

dalam proses penyelesaian skripsi ini;


11

5. dr. Ade Yonata, M.Mol Biol., Sp.PD., selaku Penguji Utama pada ujian

skripsi atas masukan, ilmu, dan saran-saran yang telah diberikan;

6. dr. Betta Kurniawan, M.Kes., selaku Pembimbing Akademik atas waktu

dan bimbingannya;

7. Bapak H. Muh Yusri, S.Pd., MM, ayah yang selalu meletakkan harapan,

mendoakan, mendukung, dan memberikan yang terbaik kepada saya;

8. Ibu Hj. Drs Siti Khodijah, mama yang selalu perhatian, menyebutkan saya

di setiap doanya, membimbing serta mendukung setiap langkah saya;

9. Kakak saya (Ikhsan Chandara Prayudi dan Yosi Oktarina) yang selalu

mendoakan, memberikan semangat, perhatian, serta keceriaan;

10. Keluarga terdekat saya dan seluruh keluarga besar dari ayah maupun

mama atas perhatian, dukungan dan doa yang telah diberikan;

11. Seluruh Staf Dosen FK Unila atas ilmu yang telah diberikan kepada

penulis untuk menambah wawasan yang menjadi landasan untuk mencapai

cita-cita;

12. Seluruh Staf TU, Administrasi,dan Akademik FK Unila serta pegawai;

13. Bapak dan ibu di poliklinik penyakit dalam RSUD Dr H Abdul Moeloek

Bandar Lampung yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian

ini;

14. Diah Andini atas bimbingan, semangat, doa, motivasi dan kebersamaan

sebagai pasangan di saat bahagia maupun sedih yang banyak membantu

dalam penulisan skripsi ini;

15. Sahabat seperjuangan (Agam, Hendra, Leo, Redho, Aji, Cucu Andung,

Icak, Nurul dkk) atas semangat dan motivasi serta bantuannya;


12

16. Keluarga BG (Gera, Rani, Lala, Tiffany, Bundo, Meti, Sayik, Marco,

Cucut, Widi, Iin, Pau, Ulfa dan Ice) dan Keluarga Mahardika (Haikal,

Erlangga, Fadhlan, Brandon, Awan, Rialdy, Agung, Harahap, Rizky,

Karaeng, Galib, Andika Yuda, Macan, Redi, Nopal) dkk atas

kekeluargaan, keceriaan, canda tawa dan bantuannya selama penelitian;

17. Kelompok tutor terakhir (Aminah, Anggita, Desty, KeithKet, Niken, Elma,

Dirga, Tifani, Rosi)

18. Teman-teman angkatan 2012 yang tidak bisa disebutkan satu per satu;

Akhir kata, Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Akan tetapi, semoga skripsi yang sederhana ini dapat bermanfaat dan berguna

bagi kita semua. Aamiiin.

Bandar Lampung, 29 Februari 2016

Penulis

Muhamad Rizki Prayuda


DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ............................................................................................ x

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1


A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian .................................................................................... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 7


A. Diabetes Melitus ....................................................................................... 7
B. Diabetes Melitus Tipe-2 ............................................................................ 12
1. Gejala Klasik Diabetes Melitus ............................................................ 12
2. Penyebab Diabetes Melitus .................................................................. 13
3. Patogenesis Diabetes Melitus ............................................................... 16
4. Patofisiologi Diabetes Melitus .............................................................. 19
C. Nefropati Diabetika ................................................................................... 20
D. Kreatinin ................................................................................................... 24
E. Mikroalbuminuria ..................................................................................... 26
F. Komplikasi Diabetes Melitus .................................................................... 29
G. Kerangka Penelitian .................................................................................. 33
1. Kerangka Teori .................................................................................. 33
2. Kerangka Konsep ............................................................................... 35
H. Hipotesis ................................................................................................... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN......................................................... 37


A. Rancangan Penelitian ................................................................................ 37
B. Tempat dan Waktu .................................................................................... 37
C. Populasi dan Sampel ................................................................................. 37
D. Kriteria Penelitian ..................................................................................... 38
E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ........................................ 39
1. Identifikasi Variabel........................................................................... 39
2. Definisi Operasional .......................................................................... 39
14

F. Prosedur Penelitian ................................................................................... 40


1. Alat dan Bahan Penelitian .................................................................. 40
2. Prosedur Penelitian ............................................................................ 40
G. Pengolahan dan Analisis Data .................................................................. 43
H. Etika Penelitian ......................................................................................... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................... 45


A. Hasil .......................................................................................................... 45
1. Analisis Univariat ............................................................................... 46
2. Analisis Bivariat .................................................................................. 47
B. Pembahasan ............................................................................................... 48
1. Analisis Univariat ............................................................................... 48
2. Analisis Bivariat .................................................................................. 51

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 53


A. Simpulan ................................................................................................... 53
B. Saran ......................................................................................................... 53

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 55

LAMPIRAN
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Interpretasi hasil pemeriksaan glukosa darah ...................................... 11

2. Nilai normal nefropati diabetika ......................................................... 21

3. Identifikasi variabel dan definisi operasional ...................................... 37

4. Analisis univariat responden penderita diabetes melitus tipe-2 di


poliklinik penyakit dalam rsud abdul moeloek bandar lampung ......... 46

5. Uji normalitas kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria .............. 47

6. Hubungan antara kreatinin serum dan mikroalbuminuria pada penderita


diabetes melitus tipe-2.......................................................................... 47
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Regulasi kadar glukosa darah ...................................................................... 16

2. Patogenesis diabetes melitus tipe-2 ............................................................. 17

3. Mekanisme resistensi insulin ....................................................................... 19

4. Kerangka Teori ............................................................................................ 35

5. Kerangka Konsep ......................................................................................... 35

6. Diagram Alur Penelitian .............................................................................. 43


DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Surat Keterangan Lolos Kaji Etik

Lampiran 2. Lembar Penjelasan Penelitian

Lampiran 3. Informed Consent

Lampiran 4. Data Penelitian

Lampiran 5. Uji Statistik Univariat

Lampiran 6. Uji Statistik Bivariat

Lampiran 7. Dokumentasi Penelitian


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Diabetes melitus (DM) adalah penyakit kronik yang terjadi ketika

pankreas tidak dapat memproduksi insulin yang cukup dan/atau ketika tubuh

tidak dapat menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif.

Menurut American Diabetes Association, DM merupakan suatu kelompok

penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena

kelainan sekresi insulin, kerja insulin maupun keduanya. Keadaan dimana

kadar gula darah meningkat atau hiperglikemia dapat menyebabkan DM

yang tidak terkontrol dan lama-kelamaan akan menyebabkan kerusakan

serius pada banyak sistem tubuh, terutama pembuluh darah dan persarafan

(WHO, 2015).

DM yang tidak terkontrol akan menyebabkan terjadinya berbagai

komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun makroangiopati. Penyakit

akibat komplikasi mikrovaskular yang dapat terjadi pada pasien DM yaitu

retinopati dan nefropati diabetik. Pada saat ini DM telah menjadi salah satu

penyakit yang paling banyak menyebabkan penyakit ginjal kronik. Salah

satu komplikasi DM pada ginjal yang dapat berakhir sebagai gagal ginjal
2

adalah nefropati diabetik. Penyakit ginjal (nefropati) merupakan penyebab

utama kematian dan kecacatan pada DM. Sekitar 50% gagal ginjal tahap

akhir disebabkan nefropati diabetik. Hampir 60% dari penderita hipertensi

dan DM di Asia menderita nefropati diabetik (Alfarisi, Basuki dan

Susantiningsih, 2013).

World Health Organization (WHO) memperkirakan prevalensi

global DM tipe-2 akan meningkat dari 171 juta orang pada 2000 menjadi

366 juta tahun 2030. Menurut World Health Organization (WHO),

Indonesia menduduki ranking ke-4 di dunia dalam hal jumlah penderita DM

setelah China, India dan Amerika Serikat. Pada tahun 2014, 9% orang

dewasa yang berusia 18 tahun ke atas mengalami DM. Pada tahun 2012,

DM merupakan penyebab kematian sebanyak 1,5 juta jiwa. Lebih dari 80%

kematian akibat DM terjadi pada negara dengan pendapatan sedang dan

rendah. Sekitar 90% penderita di seluruh dunia merupakan diabetes melitus

tipe-2 dan tidak jarang hingga terjadi berbagai komplikasi (WHO, 2014).

Prevalensi DM tipe-2 di Indonesia berkisar antara 1,4%-1,6% (Ndraha,

2014). Angka kejadian DM di provinsi Lampung untuk rawat jalan pada

tahun 2009 mencapai 365 orang dan mengalami peningkatan pada tahun

2010 sejumlah 1103 orang (Dinkes Lampung, 2011). Resiko DM dan

komplikasinya berhubungan dengan kadar berbagai macam zat dalam serum

darah, beberapa di antaranya adalah kreatinin dan kalium (The ACCORD

Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013; Aaron dan Sanders, 2013).

Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu

parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal pada penderita DM,
3

karena konsentrasi dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam

relatif konstan. Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil

akhir metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang

hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama.

Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi,

konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang

lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal

(Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). Pada penderita DM, terutama

yang mengalami gangguan ataupun kerusakan pada ginjal, kadar kreatinin

akan meningkat (The ACCORD Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013).

Bentuk komplikasi lain akibat DM adalah nefropati diabetika yang

ditandai dengan adanya kerusakan pada glomerulus, tubulus, jaringan

interstisial dan vaskuler. Mikroalbuminuria merupakan tanda kardinal onset

penyakit ginjal akibat DM, dan menunjukkan adanya penyakit vaskular

progresif yang menyeluruh. Laju ekskresi albumin (albumin excretion

rate/AER) urin 24 jam yang normal adalah <15 mg (konsentrasi <20 mg/L)

(Rubenstein, 2007).

Kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria menunjukkan terjadi

komplikasi dari DM. Kadar kreatinin serum dan mikroalbuminuria penting

untuk dikontrol karena menjadi indikator perjalanan penyakit DM tipe-2

(Arora, 2010). Pemeriksaan kadar kreatinin serum dapat dilakukan dengan

metode fotometri, hasil yang menunjukkan peningkatan kreatinin serum

mengindikasikan penurunan fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroalbuminuria

dapat dilakukan dengan metode mikroalbuminuria kuantitatif untuk


4

mengetahui kadar albumin dalam urin yang bermanfaat untuk memprediksi

perkembangan proteinuria dan diabetik nefropati pada DM. Berdasarkan

uraian tersebut, peneliti ingin meneliti tentang hubungan kadar kreatinin

serum dengan mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, yang menjadi rumusan masalah adalah

sebagai berikut.

1. Apakah terdapat hubungan antara kadar kreatinin serum dengan rasio

albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita diabetes melitus tipe-2

di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar Lampung?

2. Berapa rerata kadar kreatinin serum pada penderita diabetes melitus

tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek Bandar

Lampung?

3. Berapa rerata rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita

diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung?


5

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kadar kreatinin

serum dengan rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita

diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul

Moeloek Bandar Lampung

2. Tujuan Khusus

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui rerata kadar kreatinin serum pada penderita diabetes

melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H. Abdul Moeloek

Bandar Lampung

b. Mengetahui rerata rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada

penderita diabetes melitus tipe-2 di Rumah Sakit Umum Daerah H.

Abdul Moeloek Bandar Lampung

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagi Peneliti

Menambah wawasan tentang kadar kreatinin serum pada penderita

diabetes melitus tipe-2 dan hubungannya dengan rasio

albumin/kreatinin urine sewaktu


6

2. Bagi Masyarakat

Menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit diabetes melitus

dan kaitannya dengan fungsi ginjal sehingga dapat melakukan

pencegahan dini

3. Bagi Ilmu Kedokteran

Memberikan tambahan informasi tentang kadar kreatinin serum dengan

rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada diabetes melitus tipe-2


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Melitus

Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus (DM)

merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

atau kedua-duanya (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2011). DM

adalah penyakit kronik yang terjadi ketika pankreas tidak dapat

memproduksi insulin yang cukup dan/atau ketika tubuh tidak dapat

menggunakan insulin yang diproduksinya secara efektif. Keadaan dimana

kadar gula darah meningkat atau hiperglikemia dapat menyebabkan DM

yang tidak terkontrol dan lama-kelamaan akan menyebabkan kerusakan

serius pada banyak sistem tubuh, terutama pembuluh darah dan persarafan

(WHO, 2015).

Prevalensi DM tipe-2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3%-

6% dari jumlah penduduk dewasanya. Di Singapura, frekuensi DM

meningkat cepat dalam 10 tahun terakhir. Di Amerika Serikat, penderita

DM meningkat dari 6.536.163 jiwa di tahun 1990 menjadi 20.676.427 jiwa

di tahun 2010. Di Indonesia, DM berkisar antara 1,4%-1,6% (Ndraha,


8

2014). Menurut WHO (2014), 9% orang dewasa yang berusia 18 tahun ke

atas mengalami DM pada tahun 2014. Pada tahun 2012 DM merupakan

penyebab kematian sebanyak 1,5 juta jiwa. Lebih dari 80% kematian akibat

DM terjadi pada negara dengan pendapatan sedang dan rendah. Sekitar 90%

penderita DM di seluruh dunia merupakan DM tipe-2 dan tidak jarang

hingga terjadi berbagai komplikasi.

DM dapat diklasifikasikan menjadi DM primer dan sekunder. DM

primer adalah DM yang tidak disebabkan oleh penyakit lain sedangkan DM

sekunder adalah diabetes yang disebabkan oleh penyakit lain. Diabetes

primer dibagi menjadi DM tipe 1 dan DM tipe-2. DM tipe 1 memiliki

patogenesis imun dan dikarakteristikan dengan defisiensi insulin yang berat.

DM tipe-2 merupakan gabungan dari resistensi insulin dan defisiensi insulin

yang lebih ringan dibandingkan dengan diabetes tipe 1 (Powers, 2008).

Klasifikasi DM menurut American Diabetes Association dalam

Powers (2008), yaitu :

1. DM tipe 1

DM ini disebabkan oleh kekurangan insulin dalam darah yang terjadi

akibat kerusakan dari sel β pankreas. Gejala yang menonjol adalah

sering kencing terutama malam hari, sering lapar dan sering haus,

sebagian besar penderita ini berat badannya normal atau kurus.

Biasanya terjadi pada usia muda dan memerlukan insulin seumur

hidup.
9

2. DM tipe-2

DM ini disebabkan oleh insulin yang tidak dapat bekerja dengan baik.

Kadar insulin dapat normal, rendah atau bahkan meningkat tetapi

fungsi insulin untuk metabolisme glukosa tidak ada atau kurang.

Akibatnya glukosa dalam darah tetap tinggi sehingga terjadi

hiperglikemia dan 75% dari penderita DM tipe-2 ini dengan obesitas

atau kegemukan serta diketahui DM tipe-2 setelah usia 30 tahun.

3. DM tipe lain

a. Defek genetik pada fungsi sel β

b. Defek genetik pada kerja insulin

c. Penyakit eksorin pankreas

d. Endokrinopati

e. Induksi obat atau zat kimia

f. Infeksi

g. Imunologi

4. DM gestasional

Berdasarkan keluhan klinik, biasanya pasien DM akan

mengeluhkan polifagia, polidipsia, poliuria yang disebut dengan gejala

klasik serta sering kesemutan, penurunan berat badan, rasa baal dan gatal

dikulit.
10

Kriteria diagnostik menurut PERKENI (2011) :

1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dL (11,1

mmol/L)

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir, atau

2. Gejala klasik DM + kadar glukosa plasma puasa ≥126 mg/dL (7.0

mmol/L)

Puasa diartikan pasien tak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8

jam – 10 jam, atau

3. Kadar gula plasma 2 jam pada Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)

≥200 mg/dL (11,1 mmol/L)

TTGO yang dilakukan dengan standar WHO, menggunakan beban

glukosa yang setara dengan 75g glukosa anhidrus yang dilarutkan ke

dalam air sebanyak ±250 cc dan langsung diminum dalam waktu 1

menit.

* Pemeriksaan HbA1c (≥6,5%) oleh ADA, 2011 sudah dimasukkan menjadi

salah satu kriteria diagnosis DM, jika dilakukan pada sarana laboratorium

yang telah terstandarisasi dengan baik.

Bila hasil pemeriksaan tidak memenuhi kriteria normal atau DM maka dapat

digolongkan :

1. Toleransi glukosa terganggu (TGT)

Glukosa hasil TTGO 140-199 mg/dL


11

2. Glukosa daraah puasa terganggu (GDPT)

Glukosa darah puasa antara 100-125 mg/dL

Tabel 1. Interpretasi hasil pemeriksaan glukosa darah

Bukan DM Belum pasti DM DM


Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-199 ≥200
sewaktu (mg/dL)
Darah kapiler <90 90-199 ≥200

Kadar glukosa darah Plasma vena <100 100-125 ≥126


puasa (mg/dL)
Darah kapiler <90 90-99 ≥100

Sumber: PERKENI, 2011

Cara pemeriksaaan TTGO berdasarkan WHO:

Pemberian beban 75 g glukosa anhidrat, 2 jam kemudian diperiksa kadar

glukosa plasma. Bila ≥200 mg/dL maka didiagnosis sebagai DM.

Persiapan pra analitik TTGO :

1. Tiga hari sebelum pemeriksaan tetap makan seperti kebiasaan

sehari–hari dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti biasa

2. Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum

pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan

3. Diperiksa kadar glukosa darah puasa

4. Diberikan glukosa 75 gr (dewasa) atau 1,75 gr/kgBB (anak – anak)

dilarutkan dalam 250 ml air dan diminum dalam 5 menit

5. Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa

6. Diperiksa kadar gula darah 2 jam setelah beban glukosa

7. Selama proses pemeriksaan tidak boleh merokok dan tetap istirahat


12

B. Diabetes Melitus Tipe-2

Pasien DM tipe-2 mempunyai dua defek fisiologis yaitu sekresi

insulin abnormal dan resistensi kerja terhadap insulin pada jaringan sasaran

(target). Abnormalitas yang utama tidak diketahui. Pada DM, tiga fase dapat

dikenali pada urutan klinis yang biasa :

a. Glukosa plasma tetap normal walaupun terlihat resistensi insulin

karena kadar insulin meningkat

b. Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga

meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak intoleransi glukosa

dalam bentuk hiperglikemia setelah makan.

c. Pada fase ketiga, resistensi insulin tidak berubah tetapi sekresi

insulin menurun menyebabkan hiperglikemia puasa dan diabetes

yang nyata (Powers, 2008).

1. Gejala Klasik Diabetes Melitus

Gejala klasik DM mempunyai tiga gejala yang disebut trias DM,

yaitu poliuria (banyak kencing), polydipsia (banyak minum) dan

polifagia (banyak makan). Poliuria merupakan gejala yang paling utama

dan hampir dirasakan oleh setiap penderita, banyak kencing ini tidak

hanya sering kencing tetapi jumlahnya pun banyak. Polidipsia

sebenarnya merupakan reaksi lanjutan karena adanya polyuria sehingga

banyak cairan tubuh yang dikeluarkan. Polipagia terkadang merupakan

gejala yang tidak menonjol, dasar kejadian ini adalah habisnya


13

cadangan gula di dalam tubuh meskipun kadar gula darah tinggi yang

disebabkan gula dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel (Kumar

dan Clark, 2012).

Taraf maksimal reabsorpsi glukosa pada tubulus renalis ketika

terjadi hiperglikemia akan dilampaui dan gula akan dieksresikan pada

urin (glikosuria). Volume urin meningkat akibat terjadinya diuresis

osmotik sehingga terjadi poliuria. Poliuria menyebabkan kehilangan air

selanjutnya akan menimbulkan dehidrasi dan hiperosmolaritas,

bertambahnya rasa haus dan gejala banyak minum (polidipsia).

Glikosuria menyebabkan kehilangan kalori yang cukup besar (4,1 kkal

untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar). Kehilangan

ini ditambah lagi dengan hilangnya jaringan otot dan adiposa akan

mengakibatkan penurunan berat badan padahal terdapat peningkatan

selera makan (polifagia) dan asupan kalori yang normal atau meningkat

(Granner, 2001).

2. Penyebab Diabetes Melitus

Penyebab DM tipe-2 menurut Kumar dan Clark (2012)

a. Keturunan

Pada pasien kembar identik dengan diabtes tipe-2, memiliki

kemungkinan lebih dari 50% untuk menderita DM. Pada pasien

kembar tidak identik atau saudara kandung, terdapat

kemungkinan 25% untuk menderita DM.


14

b. Faktor Lingkungan

Pada bayi yang mengalami berat badan kurang hingga pada

usia 12 bulan dan mengalami intoleransi glukosa cenderung

menderita DM ketika dewasa. Hal ini disebabkan oleh nutrisi

yang buruk pada bayi menyebabkan fungsi dan perkembangan

sel beta mengalami kelainan. Selain itu, berat badan lahir rendah

juga merupakan predisposisi dari penyakit jantung dan

hipertensi.

c. Inflamasi

Inflamasi subklinik mengubah karakteristik DM tipe-2 dan

obesitas. Pada DM, kadar C-reactive protein (CRP) meningkat

dan berhubungan dengan peningkatan fibrinogen dan

plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) sehingga

berkontribusi terhadap resiko penyakit kardiovaskular. Kadar

pro-inflammatory cytokines TNF-α dan IL-6 juga mengalami

peningkatan pada diabetes dan obesitas.

d. Kelainan kerja dan sekresi insulin

Pada diabetes tipe-2, insulin berikatan dengan sel-sel pada

reseptornya namun tidak dapat mentranspotasikan glukosa ke

dalam sel. Kelainan sekresi insulin terwujud di awal perjalanan

DM tipe-2.
15

Menurut WHO dalam Colledge (2006), faktor – faktor resiko

berhubungan dengan terjadinya DM dapat dibagi menjadi dua, yaitu, :

a. Faktor resiko yang tidak dapat diubah (non-modifiable)

i. Usia

Resistensi insulin lebih cenderung terjadi seiring

pertambahan usia.

ii. Ras atau latar belakang etnis

Resiko DM tipe 2 lebih besar pada hispanik, kulit hitam,

penduduk asli Hawaii. Hal ini disebabkan oleh nilai rata

-rata tekanan darah yang lebih tinggi, obesitas, dan

pengaruh gaya hidup yang kurang sehat.

iii. Riwayat penyakit DM dalam keluarga

Seseorang dengan ahli keluarga yang menderita DM

mempunyai resiko yang lebih besar untuk menderita

penyakit yang sama ini dikarenakan gen penyebab DM

dapat diwarisi orang tua kepada anaknya

b. Faktor resiko yang dapat diubah (modifiable)

i. Obesitas

ii. Gaya hidup

iii. Hipertensi

iv. Kadar glukosa darah


16

3. Patogenesis Diabetes Melitus

Resistensi insulin, gangguan sekresi insulin dan abnormalitas

metabolik menjadi kunci dari perkembangan penyakit DM tipe 2. Pada

tahap awal, toleransi glukosa hampir normal karena sel-sel beta

pankreas mengkompensasi dengan meningkatkan produksi insulin.

Seiring dengan meningkatnya resistensi insulin, sel beta pankreas tidak

lagi dapat mempertahankan kondisi hiperinsulinemia.. Akibatnya,

terjadi gangguan toleransi glukosa yang ditandai dengan peningkatan

glukosa postprandial. Penurunan sekresi insulin dan peningkatan

produksi glukosa hati yang terus menerus, akan berlanjut pada diabetes

dan disertai dengan peningkatan kadar glukosa darah puasa (Colledge,

2006; Marieb, 2004).

Gambar 1. Regulasi kadar glukosa darah (Marieb, 2004).


17

Gambar 2. Patogenesis DM tipe-2 (Conroy et al, 2010).

Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada

jaringan target terutama otot rangka dan hepar merupakan gambaran

utama DM tipe-2 dan merupakan kombinasi antara faktor genetik dan

obesitas. Mekanisme pasti mengenai resistensi insulin pada DM tipe 2

masih belum diketahui (Colledge, 2006).

Penurunan reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot

rangka merupakan efek sekunder hiperinsulinemia. Mekanisme

resistensi insulin umumnya terjadi akibat gangguan persinyalan post-

receptor (PI-3-kinase) yang mengurangi translokasi glucose transporter

(GLUT) 4 ke membran plasma (Powers, 2008).

Terdapat tiga hal yang berperan dalam resistensi insulin terkait obesitas,

yaitu:

i. Asam Lemak Bebas (Free Fatty Acid)


18

Peningkatan trigliserida interselular dan produk metabolisme

asam lemak menurunkan efek insulin yang berlanjut pada

resistensi insulin.

ii. Adipokin

Leptin dan adiponektin meningkatkan kepekaan insulin,

sedangkan resistin meningkatkan resistensi terhadap insulin.

iii. PPARγ (peroxisome proliferator-activated receptor gamma) dan

TZD (thiazolidinediones)

PPARγ merupakan reseptor intrasel yang meningkatkan

kepekaan insulin sedangkan TZD merupakan zat antioksidan

yang mampu berikatan dengan PPARγ sehingga dapat

menurunkan resistensi insulin.

Gambar 3. Mekanisme resistensi insulin (Porth, 2008).


19

Pada DM tipe-2, sekresi insulin meningkat sebagai respons

terhadap resistensi insulin untuk mempertahankan toleransi glukosa.

Namun, kelamaan sel β pankreas menjadi lelah dan dan hal ini memicu

terjadinya kegagalan fungsi sel beta. Pulau polipeptida amiloid atau

amylin yang disekresikan oleh sel beta akan membentuk deposit

amiloid fibrilar. Deposit ini dapat ditemukan pada pasien yang telah

lama menderita DM tipe 2 (Powers, 2008).

4. Patofisiologi Diabetes Melitus

Akibat resistensi insulin, penggunaan glukosa oleh jaringan yang

sensitif insulin menurun, sedangkan kadar hepatic glucose output

bertambah. Seiring dengan peningkatan kadar glukosa darah, akan

terjadi akumulasi lipid dalam serat otot rangka, yang mengganggu

fosforilasi oksidatif dan penurunan produksi ATP mitokondria.

Akibatnya, banyak asam lemak bebas keluar dari adiposit sehingga

terjadi peningkatan sintesis lipid (VLDL dan trigliserida) dalam

hepatosit (Porth, 2008).

Penyimpanan lipid (steatosis) dalam hati dapat berlanjut pada

penyakit perlemakan hati non-alkoholik dan abnormalitas fungsi hati.

Selain itu, keadaan tersebut menyebabkan dislipidemia pada penderita

DM tipe-2, yaitu peningkatan trigliserida, peningkatan LDL, dan

penurunan HDL (Powers, 2008).


20

Menurut WHO (2015), untuk mencegah DM atau memperlambat

gejala DM dapat dilakukan dengan gaya hidup yang sederhana. Berikut

adalah pencegahan DM tipe-2 yang dapat dilakukan:

1. Mencapai dan mempertahankan berat badan ideal.

2. Banyak bergerak aktif paling tidak selama 30 menit dengan intensitas

aktivitas yang sedang setiap harinya. Aktivitas lebih diperlukan untuk

mengontrol berat badan ideal.

3. Mengkonsumsi makanan yang sehat berupa sayuran dan buah-buahan

yang dibagi menjadi 3 sampai 5 porsi serta mengurangi konsumsi gula

dan lemak.

4. Hindari konsumsi rokok karena dapat meningkatkan resiko penyakit

kardiovaskular.

C. Nefropati Diabetika

Nefropati diabetika ditandai dengan adanya mikroalbuminuria

(30mg/hari atau 20μg/menit) tanpa adanya gangguan ginjal, disertai dengan

peningkatan tekanan darah sehingga mengakibatkan menurunnya filtrasi

glomerulus dan akhirnya gagal ginjal tahap akhir (Hendromartono, 2009).

Manifestasi patologis nefropati diabetika adalah

glomerulosklerosis dengan penebalan membran basalis di glomerulus dan

ekspansi mesangial serta peningkatan penimbunan MES. Perubahan dini

yang terjadi pada ginjal diabetik adalah hiperfiltrasi di glomerulus,

hipertrofi glomerulus, peningkatan eksresi albumin urin (EAU), peningkatan


21

ketebalan membran basal, ekspansi mesangial dengan penimbunan protein –

protein MES seperti kolagen, fibronektin dan laminin. Nefropati diabetik

lanjut ditandai dengan proteinuria, penurunan fungsi ginjal, penurunan

bersihan kreatinin, glomerulosklerosis dan fibrosis interstisial

(Hendromartono, 2009).

Nefropati diabetika dikategorikan menjadi mikroalbuminuria dan

makroalbuminuria berdasarkan jumlah eksresi albumin urin. Nilai normal

yang digunakan berdasarkan American Diabetes Association (waktu

tertentu, 24 jam dan urin sewaktu) untuk diagnosis mikro dan

makroalbuminuria serta gejala klinis utama untuk tiap – tiap tahap

dijelaskan pada tabel 2.

Tabel 2. Nilai normal nefropati diabetika


Tahap Albuminuria cut off values Karakteristik klinis
Mikroalbuminuria 20-199 μg/menit Penurunan dan peningkatan
30-299 mg/24 jam tekanan darah nokturnal yang
30-299 mg/g (sampel urin abnormal
sewaktu) Peningkatan trigliserida,
kolesterol total dan LDL
serta lemak jenuh
Peningkatan komponen
sindrom metabolik
Disfungsi endotel
Hubungan dengan retinopati
diabetik, amputasi dan
kardiovaskular
Peningkatan mortalitas
kardiovaskular
GFR stabil
Makroalbuminuria >200 μg/menit Hipertensi
>300 mg/24 jam Peningkatan trigliserida,
>300 mg/g (sampel urin kolesterol total dan LDL
sewaktu) Iskemia miokardial
asimtomatik
Penurunan GFR progresif
Sumber: Hendromartono, 2009
22

Pengenalan awal terhadap adanya perubahan pada ginjal

meningkatkan kesempatan untuk mencegah terjadinya progresi dan

nefropati insipien menjadi overt. Suatu tes untuk mengetahui adanya

mikroalbuminuria harus dilakukan pada saat diagnosis pasien DM tipe-2

(Hendromartono, 2009).

Mogensen membagi 5 tahapan nefropati diabetik, yaitu :

a. Tahap 1

Terjadi hipertrofi dan hiperfiltrasi pada saat diagnosis ditegakkan.

Laju filtrasi glomerolus dan laju ekskresi albumin dalam urin

meningkat.

b. Tahap 2

Secara klinis belum tampak kelainan yang berarti, laju filtrasi

glomerolus tetap meningkat, ekskresi albumin dalam urin dan

tekanan darah normal. Terdapat perubahan histologis awal berupa

penebalan membrana basalis yang tidak spesifik. Terdapat pula

peningkatan mesangium fraksional.

c. Tahap 3

Pada tahap ini ditemukan mikroalbuminuria. Laju filtrasi glomerulus

meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi

albumin dalam urin adalah 30-300 mg/24 jam. Tekanan darah mulai

meningkat. Secara histologis, didapatkan peningkatan ketebalan

membrana basalis dan volume mesangium fraksional dalam

glomerulus.
23

d. Tahap 4

Merupakan tahap nefropati yang sudah lanjut. Perubahan histologis

lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien.

Sindroma nefrotik sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi

glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun dan kecepatan

penurunan ini berhubungan dengan tingginya tekanan darah.

e. Tahap 5

Timbulnya gagal ginjal terminal (Hendromartono, 2009)

Menurut penelitian yang telah dilakukan oleh Sahid (2012),

semakin lama DM maka semakin tinggi risiko terjadinya gagal ginjal

terminal dengan komplikasi gagal ginjal terminal ini sering kali didapatkan

pada penderita DM dalam kurun waktu 1-5 tahun yaitu sebesar 52,94%.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Jovita (2010) bahwa

seseorang yang menderita DM dapat menimbulkan komplikasi salah

satunya nefropatik diabetik dalam kurun waktu 11,90 tahun serta penelitian

oleh Triyanti (2008) bahwa komplikasi gagal ginjal terjadi pada lama DM>

5 tahun sebanyak 26,6% dan <5 tahun.

Pratama (2013) menemukan bahwa pada responden yang

mengalami nefropati diabetika, onset DM yang paling sering menimbulkan

komplikasi nefropati diabetika adalah 5 – 10 tahun. Menurut PERKENI,

mikroalbuminuria biasanya terjadi setelah 5 tahun menderita penyakit DM

sedangkan nefropati yang ditandai dengan ekskresi protein urin lebih dari

300 mg/hari, biasanya terjadi dalam waktu 10-15 tahun.


24

D. Kreatinin

Pemeriksaan kadar kreatinin dalam darah merupakan salah satu

parameter yang digunakan untuk menilai fungsi ginjal, karena konsentrasi

dalam plasma dan ekskresinya di urin dalam 24 jam relatif konstan.

Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir

metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang hampir

konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama. Kreatinin

diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan sekresi,

konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari, kadar yang

lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya gangguan fungsi ginjal

(Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013). Nilai normal kreatinin dalam

serum adalah 0,7-1,3 mg/dL (Wians, 2013). Pada penderita DM, terutama

yang mengalami gangguan ataupun kerusakan pada ginjal, kadar kreatinin

akan meningkat (The ACCORD Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013).

Seseorang yang tingkat kreatininnya hanya sedikit di atas rentang

normal mungkin akan tidak merasa sakit, tetapi elevasi adalah tanda bahwa

ginjal tidak bekerja pada kekuatan penuh. Satu rumus untuk mengestimasi

fungsi ginjal menyamakan tingkat kreatinin 1,7 mg/dL untuk kebanyakan

pria dan 1,4 mg/dL untuk wanita paling sampai 50% dari fungsi ginjal

normal. Tetapi karena nilai kreatinin sangat variabel dan dapat dipengaruhi

oleh diet, perhitungan GFR lebih akurat untuk menentukan apakah fungsi

ginjal seseorang telah berkurang (NIDDK, 2009). Apabila fungsi

glomerulus semula normal atau hampir normal, peningkatan kreatinin


25

plasma sebesar 0,5 mg/dL mencerminkan terjadinya perubahan laju filtrasi

glomerulus sampai 40% (Sacher, 2004).

Kreatinin disintesis di hati dan terdapat dalam hampir semua otot

rangka yang berikatan dalam bentuk kreatin fosfat, suatu senyawa

penyimpan energi. Dalam sintesis ATP dari ADP, kreatin fosfat diubah

menjadi kreatin dengan katalisasi enzim kreatin kinase (CK). Seiring

dengan pemakaian energi, sejumlah kecil diubah secara ireversibel menjadi

kreatinin yang selanjutnya difiltrasi oleh glomerulus dan diekskresikan

dalam urin. Kondisi yang merusak fungsi ginjal mungkin akan menaikkan

tingkat kreatinin dalam darah. Hal ini penting untuk mengenali apakah

proses menuju ke disfungsi ginjal (gagal ginjal) adalah lama atau baru

(Siamak, 2009).

Kreatinin merupakan produk penguraian kreatin. Kreatin disintesis

di hati dan terdapat pada hampir semua otot rangka sehingga individu

dengan massa otot besar dapat memiliki nilai yang lebih tinggi. Ada

beberapa faktor yang mempengaruhi peningkatan plasma kreatinin, antara

lain :

a. diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya kreatinin

b. menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton,

anion organik (pada uremia), atau obat (simetidin, sulfa).

Kreatinin dipengaruhi oleh perubahan massa otot, diet kaya daging,

aktifitas fisik yang berlebihan, obat - obatan seperti sefalosporin, aldacton,

aspirin dan co-trimexazole, serta usia dan jenis kelamin dimana pada orang
26

tua kadar kreatinin lebih tinggi daripada orang muda dan pada laki-laki

kadar kreatinin lebih tinggi daripada wanita.

E. Mikroalbuminuria

Nefropati diabetik adalah sindrom klinis pada pasien DM yang

ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam) pada minimal dua

kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan yang berhubungan

dengan peningkatan tekanan darah dan penurunan LFG (laju filtrat

glomerulus). Mikroalbuminuria didefinisikan sebagai ekskresi albumin lebih

dari 30 mg per hari dan dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya

nefropati diabetik (Hendromartono, 2009). Sedangkan menurut Bawazier

(2006), pada keadaan normal, albumin urin tidak melebihi 30 mg/hari. Bila

albumin dalam urin antara 30-300 mg/hari dan tidak terdeteksi dengan

dipstik urin biasa disebut mikroalbuminuria.

Pada diabetes perubahan pertama yang terlihat pada ginjal adalah

pembesaran ukuran ginjal dan hiperfiltrasi. Glukosa yang difiltrasi akan

direabsorbsi oleh tubulus dan sekaligus membawa natrium, bersamaan

dengan efek insulin (eksogen pada IDDM dan endogen pada NIDDM) yang

merangsang reabsorbsi tubuler natrium, akan menyebabkan volume

ekstrasel meningkat, terjalah hiperfiltrasi. Pada diabetes, arteriole eferen,

lebih sensitif terhadap pengaruh angiotensin II dibanding arteriole aferen,

dan mungkin inilah yang dapat menerangkan mengapa pada diabetes yang
27

tidak terkendali tekanan intraglomeruler naik dan ada hiperfiltrasi glomerus

(Djokomuljanto, 1999).

Insidens kumulatif mikroalbuminuria pada pasien DM tipe-1

adalah 12.6% berdasarkan European Diabetes (EURODIAB) Prospective

Complications Study Group selama lebih dari 7,3 tahun dan hampir 33%

pada follow-up selama 18 tahun pada penelitian di Denmark. Pada pasien

dengan DM tipe-2, insidens mikroalbuminuria adalah 2% per tahun dan

prevalensi selama 10 tahun setelah diagnosis adalah 25% di U.K.

Prospective Diabetes Study (UKPDS). Proteinuria terjadi pada 15-40% dari

pasien dengan DM tipe-1, dengan puncak insidens sekitar 15-20 tahun dari

pasien diabetes. Pada pasien dengan DM tipe-2, prevalensi sangat berubah-

ubah, berkisar antara 5 sampai 20%.

Menurut Hendromartono (2009), mikroalbuminuria jarang terjadi

dalam waktu singkat pada DM tipe-1, oleh karena itu skrining pada

penderita DM tipe-1 harus dimulai setelah 5 tahun diagnosis. Akibat adanya

kesulitan dalam menentukan kapan onset DM tipe-2, skrining harus dimulai

saat tegaknya diagnosis. Setelah skrining awal dan tidak adanya tanda –

tanda mikroalbuminuria sebelumnya, tes mikroalbuminuria harus dilakukan

setiap tahun. Skrining albuminuria dapat dilakukan dengan 3 metode, yaitu

pengukuran rasio albumin – kreatinin pada sampel urin sewaktu, sampel

urin 24 jam dengan kreatinin dan sampel berdasarkan waktu (4 jam atau

overnight). Metode pertama merupakan metode yang paling mudah

dilakukan dan bersifat informatif sehingga lebih sering diterapkan.

Mikroalbuminuria dianggap positif bila ditemukan eksresi albumin urin


28

senilai ≥30mg/24 jam (sama dengan 20 μg/menit pada sampel berdasarkan

waktu atau 30 mg/g kreatinin pada sampel sewaktu).

Albumin merupakan protein bermuatan negatif dengan berat

molekul 67000 dalton, hampir seluruhnya dihambat oleh dinding sel

glomerulus. Albumin mengalami filtrasi di membran glomerulus melalui

seleksi perbedaan berat molekul dan muatan listrik. Mikroalbuminuria

terjadi karena molekul albumin dapat melewati membran glomerulus akibat

peningkatan permeabilitas dinding kapiler glomerulus, peningkatan tekanan

intraglomerulus, atau keduanya. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang

terjadi pada DM tipe-2 serta peningkatan tekanan darah merupakan faktor

resiko utama terjadinya mikroalbuminuria karena ketiganya dapat

meningkatkan tekanan intraglomerulus. Hiperglikemia dapat merubah

selektivitas perbedaan muatan listrik pada dinding kapiler glomerulus dan

menyebabkan peningkatan permeabilitas. Jika filtrasi albumin meningkat

pada glomerulus melebihi kemampuan reabsorbsi tubulus maka akan terjadi

peningkatan ekskresi albumin dalam urin (Lane, 2004; Immanuel, 2006).

Beberapa penelitian menunjukkan penderita DM tipe-2 yang baru

dikenal umumnya telah menderita DM selama lebih kurang 4-7 tahun

sebelum diagnosis ditegakkan. Pada saat diagnosis ditegakkan, 25%

mengalami retinopati, 9% neuropati dan 8% nefropati (Voley, 2006).

Insidensi komplikasi vaskular meningkat 2-5 kali lipat pada penderita DM

tipe-2 dengan mikroalbuminuria (Belchetz dan Hammond, 2003).

Peningkatan permeabilitas di glomerulus akan menyebabkan albumin masuk

ke dalam urin. Mikroalbuminuria merupakan manifestasi proses di


29

glomerulus yang menunjukkan adanya disfungsi endotel yang luas di

pembuluh darah dan peningkatan permeabilitas yang terjadi (Immanuel,

2006; Bhowmick, 2007).

Ada beberapa cara pemeriksaan mikroalbuminuria yaitu :

1. Pengukuran albumin urin 24 jam : mikroalbuminuria antara 30-300

mg/hari

2. Pengukuran albumin pada pemeriksaan urin sewaktu :

mikroalbuminuria 20-200 µg/menit.

3. Pengukuran rasio albumin - kreatinin urin pada pengumpulan urin

sewaktu yaitu antara 30-300 mg/g kreatinin (Immanuel, 2006)

F. Komplikasi Diabetes Melitus

Bagaimana DM dapat menimbulkan banyak komplikasi dapat

dijelaskan oleh teori Advanced Glycation End products (AGE). AGE

merupakan produk glikasi non-enzimatik dan oksidasi atas protein dan lipid.

AGE dapat merubah struktur, mekanika, dan fungsional jaringan yang

terkena sehingga terjadi penurunan elastisitas dinding pembuluh darah yang

menimbulkan banyak komplikasi. Kadar AGE di jaringan berhubungan

dengan kecepatan perkembangan atherosklerosis disertai akumulasi protein

plasma, lipoprotein, dan lipid di dinding pembuluh darah (Sufriyana, 2010).

Pada penderita DM tipe-2, kadar glukosa darah akan berada di

level yang tinggi untuk waktu yang lama. Saat itulah terjadi pembentuka

AGE dari glukosa dengan residu asam amino pada jaringan-jaringan tubuh.
30

Contoh AGE yang sudah dikenali antara lain carboksimetillisin (CML),

carboksietillisin (CEL), dan pentosidine. AGE yang terbentuk akan

berikatan dengan reseptor AGE (RAGE) yang terdapat pada tubuh, antara

lain laktoferrin, 80K-H phospoprotein, dan galectin-3. Pertemuan AGE dan

RAGE akan memicu pembentukan reactive oxygen species (ROS) dan

memacu proses inflamasi. Ikatan AGE pada molekul kolagen akan

menyebabkan kolagen menjadi lebih kaku. Hal ini lah yang menyebabkan

penurunan elastisitas dinding pembuluh darah sehingga berkembang

menjadi gangguan kardiovaskular. Dalam jumlah kecil, AGE akan

dieliminasi oleh ginjal, akan tetapi pada DM tipe-2, jumlah AGE dalam

plasma terlalu tinggi sehingga kerja ginjal akan menjadi sangat berat di

samping juga karena glukosa dalam darah itu sendiri. Lama kelamaan AGE

akan terakumulasi pada bagian tubulus proximal yang dapat berujung pada

gagal ginjal (Sufriyana, 2010).

Komplikasi DM dapat dibagi menjadi komplikasi metabolik akut dan

komplikasi vaskular jangka panjang (Price, 2005).

1. Komplikasi metabolik akut

Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang

relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi metabolik

yang paling serius pada diabetes tipe adalah ketoasidosis diabetik

(KAD). Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami

hiperglikemia dan glukosuria berat, penurunan lipogenesis, peningkatan

lipolisis dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas disertai

pembentukan benda keton (asetosal, hidroksibutirat, dan aseton).


31

Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis.

Peningkatan produksi keton meningkatkan beban ion hidrogen dan

asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat

mengakibatkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan

kehilangan elektrolit. Pasien dapat menjadi hipotensi dan mengalami

syok. Akhirnya, akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien

akan mengalami koma dan meninggal (Price, 2005).

Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK) adalah

komplikasi metabolik akut lain dari diabetes yang sering terjadi pada

penderita DM tipe-2. Hiperglikemia muncul tanpa ketosis.

Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum lebih besar dari 600

mg/dl. Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik,

dan dehidrasi berat. Pasien dapat menjadi tidak sadar dan meninggal

bila keadaan ini tidak segera ditangani. Angka mortalitas dapat tinggi

hingga 50%. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian

elektrolit, dan insulin regular. Perbedaan utama antara HHNK dan KAD

adalah pada HHNK tidak terdapat ketosis (Price, 2005).

Komplikasi metabolik lain yang sering dari diabetes adalah

hipoglikemia, terutama komplikasi terapi insuin. Pasien diabetes

dependen insulin mungkin suatu saat menerima insulin yang jumlahnya

lebih banyak daripada yang dibutuhkannya untuk mempertahankan

kadar glukosa normal, yang mengakibatkan terjadinya hipoglikemia.

Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin

(berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat


32

kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium

yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan bahwa serangan

hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi atau terjadi dalam

waktu yang lama, dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen

atau bahkan kematian. Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu

segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena. Kadang-

kadang diberikan glukagon, suatu hormon glikogenolisis secara

intramuskular untuk meningkatkan kadar glukosa darah. Hipoglikemia

akibat pemberian insulin pada pasien diabetes dapat memicu pelepasan

hormon pelawan regulator (glukagon, epinefrin, kortisol, hormon

pertumbuhan) yang seringkali meningkatkan kadar glukosa dalam

kisaran hiperglikemia (efek Somogyi). Kadar glukosa yang naik turun

menyebabkan pengontrolan diabetik yang buruk. Mencegah

hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin (Price, 2005).

2. Komplikasi kronik

Komplikasi jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh

darah kecil (mikroangiopati) dan pembuluh darah besar

(makroangiopati). Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes

yang menyerang kapiler dan arteriola retina (retinopati diabetik),

glomerolus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati

diabetik), otot-otot serta kulit. Dipandang dari sudut histokimia, lesi-lesi

ini ditandai dengan peningkatan penimbunan glikoprotein. Selain itu,

karena senyawa kimia dari membran dasar dapat berasal dari glukosa,
33

maka hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan

pembentukan sel-sel membran dasar. Makroangiopati diabetik

mempunyai gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gabungan

dari gangguan biokimia yang disebabkan oleh insufisiensi insulin dapat

menjadi penyebab jenis penyakit vaskular ini. Pada akhirnya,

makroangiopati diabetik ini akan mengakibatkan penyumbatan

vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan

insufisiensi vaskular perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan

gangrene pada ekstremitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika

yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat

mengakibatkan angina dan infark miokardium (Price, 2005).

G. Kerangka Penelitian

1. Kerangka Teori

DM mempunyai tiga gejala klasik yang disebut trias DM, yaitu

poliuria, polidipsia dan polifagia (Kumar dan Clark, 2012). Pada

penderita DM terjadi kerusakan ginjal yang dimulai dengan adanya

mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria

secara klinis, berlanjut dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerolus

dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal (Alfarisi, Basuki dan

Susantiningsih, 2013).

Mikroalbuminuria terjadi karena molekul albumin dapat melewati

membran glomerulus akibat peningkatan permeabilitas dinding kapiler


34

glomerulus, peningkatan tekanan intraglomerulus, atau keduanya.

Hiperglikemia dan hiperinsulinemia yang terjadi pada DM tipe-2 serta

merupakan faktor resiko utama terjadinya mikroalbuminuria karena

dapat meningkatkan tekanan intraglomerulus. Hiperglikemia dapat

merubah selektivitas perbedaan muatan listrik pada dinding kapiler

glomerulus dan menyebabkan peningkatan permeabilitas. Jika filtrasi

albumin meningkat pada glomerulus melebihi kemampuan reabsorbsi

tubulus maka akan terjadi peningkatan ekskresi albumin dalam urin

(Lane, 2004; Immanuel, 2006).

Kreatinin adalah produk protein otot yang merupakan hasil akhir

metabolisme otot yang dilepaskan dari otot dengan kecepatan yang

hampir konstan dan diekskresi dalam urin dengan kecepatan yang sama.

Kreatinin diekskresikan oleh ginjal melalui kombinasi filtrasi dan

sekresi, konsentrasinya relatif konstan dalam plasma dari hari ke hari,

kadar yang lebih besar dari nilai normal mengisyaratkan adanya

gangguan fungsi ginjal (Alfarisi, Basuki dan Susantiningsih, 2013).

Pada penderita DM, terutama yang mengalami gangguan ataupun

kerusakan pada ginjal, kadar kreatinin akan meningkat (The ACCORD

Study Group, 2010; Pavkov et al., 2013).


35

Diabetes Melitus

Diabetes Diabetes Diabetes Diabetes


melitus tipe 1 melitus tipe-2 melitus tipe melitus
lain gestasional

Trias klasik:
- Poliuria
- Polidipsia
- Polifagia
Retinopati
Diabetik
Neuropati Diabetik
Komplikasi Akut Komplikasi Kronik
- KAD - Mikroangiopati
- HHNK - Makroangiopati Nefropati Diabetik
- Hipoglikemia

Mikroalbuminuria ↑ Ureum ↑ Kreatinin

Proteinuria

Gambar 4. Kerangka teori

2. Kerangka Konsep

Diabetes
Variabel Dependen melitus tipe-2

Mikroangiopati

Nefropati Diabetik

Variabel Independen Mikroalbuminuria Kreatinin Serum

Gambar 5. Kerangka konsep


36

H. Hipotesis

Berdasarkan paparan di atas, peneliti membuat hipotesis sebagai berikut :

H0 : Tidak terdapat hubungan antara kadar kreatinin serum dengan

mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2

H1 : Terdapat hubungan antara kadar kreatinin serum dengan

mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan metode cross

sectional yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara

variabel dependen dan independen yang diteliti, serta pengumpulan data

dilakukan sekaligus pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2010).

B. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD Abdoel

Moeloek dan Laboratorium Prodia yang berada di Bandar Lampung serta di

ruang rekam medik. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2015.

C. Populasi dan Sampel

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas;

obyek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik


38

kesimpulannya (Notoatmodjo, 2010). Populasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah seluruh pasien DM tipe-2 yang berobat ke poliklinik

penyakit dalam RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung pada bulan

November tahun 2015.

Sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan

objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Sampel

penelitian adalah penderita DM tipe-2 yang menjalani kontrol rutin,

memenuhi kriteria inklusi yang diperoleh dari anamnesis dan rekam medik,

serta bersedia ikut penelitian yang dinyatakan secara tertulis dalam informed

consent. Tehnik sampling yang digunakan adalah consecutive sampling

dengan jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 35 orang.

D. Kriteria Penelitian

1. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Pasien DM tipe-2 yang datang ke Poliklinik Penyakit Dalam

RSUD Abdul Moeloek

b. Pasien berumur 25-50 tahun

c. Pasien yang didiagnosis DM tipe-2 kurang dari 5 tahun

2. Kriteria eksklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Pasien DM selain tipe-2

b. Penyakit ginjal selain nefropati diabetika yang diperoleh dari

rekam medik, seperti penyakit gagal ginjal


39

E. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

1. Identifikasi Variabel

a. Variabel independen adalah kadar kreatinin serum dan

mikroalbuminuria

b. Variabel dependen adalah DM tipe-2

2. Definisi Operasional

Adapun definisi operasional yang digunakan untuk memudahkan

pelaksanaan penelitian dan agar penelitian tidak menjadi terlalu luas

yaitu sebagai berikut.

Tabel 3. Identifikasi variabel dan definisi operasional


Variabel Definisi Cara Ukur Hasil Skala
Ukur
Kadar Kreatinin adalah produk Metode Jaffe mg/dL Numerik
kreatinin protein otot yang
serum merupakan hasil akhir
metabolisme yang
dilepaskan dari otot dan
diekskresi dalam urin
(Alfarisi, Basuki dan
Susantiningsih, 2013).
Rasio Ekskresi albumin Metode µg/menit Numerik
albumin per berbanding kadar Immuno
kreatinin kreatinin dalam urine turbidimetric
urine sewaktu (Immanuel,
sewaktu 2006).
40

F. Prosedur Penelitian

1. Alat dan Bahan Penelitian

Untuk mendukung terlaksananya penelitian ini, penulis menggunakan

alat dan bahan, sebagai berikut.

a. Alat Penelitian

1) Lembar informed consent

2) Rekam medik

3) Penampung urine

b. Bahan Penelitian

1) Sampel urine pasien yang pengambilannya menggunakan

metode urine sewaktu

2. Prosedur Penelitian

a. Pada tahap persiapan, peneliti menyusun proposal penelitian lalu

setelah disetujui peneliti mengurus perizinan penelitian baik ke

instansi pendidikan maupun ke lokasi penelitian yaitu Rumah Sakit

Abdul Moeloek. Setelah mendapatkan surat izin penelitian, peneliti

melakukan koordinasi dan mengajukan surat izin ke bagian rekam

medik dan poliklinik Rumah Sakit Abdul Moeloek untuk

melakukan penelitian.

b. Peneliti mencari pasien sesuai kriteria sampel di poliklinik penyakit

dalam Rumah Sakit Abdul Moelek sebagai responden, lalu peneliti

menjelaskan tujuan dan prosedur penelitian kepada responden.


41

c. Sebelum dilakukan perlakuan, responden diminta untuk membaca

dan menandatangani lembar informed consent.

d. Peneliti mengambil data identitas pasien lalu mengumpulkan data

kreatinin dan sampel urine.

e. Peneliti melakukan pengambilan data kreatinin serum dari rekam

medik pasien.

f. Peneliti mengumpulkan sampel urine pasien ke dalam penampung

urine.

g. Peneliti mengirimkan sampel urine untuk dilakukan pemeriksaan

mikroalbuminuria kuantitatif. Pemeriksaan dilakukan dengan

metode immunoturbidimetric assay dengan prinsip kerjanya adalah

albumin dalam urin bereaksi dengan antibodi spesifik yang dengan

adanya polietilen glikol, maka akan cepat terbentuk presipitat

komplek imun  timbul kekeruhan  kekeruhan diukur secara

fotometris  hasilnya sebanding dengan kadar albumin dalam

urin.

Prinsip : Immunoturbidinimetri (Roche, 2003)

Albumin manusia akan membentuk presipitat dengan antiserum

spesifik yang diperiksa secara turbidimetrik pada λ 340nm

Persiapan spesimen:

i. Spesimen berupa urin sewaktu yang segar


42

ii. Urin disentrifus pada 1500 rpm selama 5 menit, diambil

supernatannya dan disimpan pada suhu 40C dan diperiksa

paling lambat dalam 6 hari

iii. Sebelum dianalisis urin dibiarkan mencair pada suhu kamar

Reagen:

i. Albumin turbidimetrik (ALB-T) terdiri dari:

R1 : anti-albumin T antiserum (kelinci) spesifik

R2 : reagen untuk antigen excess check

ii. Creatinine plus ver.2 (CREP2) terdiri dari:

R1 : buffer, enzim dan HTBI

R2 : SR buffer, enzim dan 4-aminophenazone

Alat : alat analisis kimia otomatis Integra 400 dari Roche

Analitik:

i. Urin sebanyak 0,5 ml dimasukkan kedalam kuvet

ii. Kuvet dimasukkan dalam alat analisis kimia otomatis

iii. Kadar albumin urin dan kreatinin urin diperiksa

iv. Rasio albumin/kreatinin urin dihitung

h. Setelah data hasil pengukuran diperoleh, peneliti melakukan input

data ke dalam program statistik dan melakukan analisis data baik

univariat maupun bivariat.


43

Tahap Persiapan Penyusunan proposal penelitian,


perizinan, koordinasi

Pengisian lembar informed consent

Tahap Pelaksanaan
Pengambilan data rekam medik dan
pengambilan sampel urine untuk
pemeriksaan mikroalbuminuria

Tahap Pengolahan Data Input data dan analisis data

Gambar 6. Diagram alur penelitian.

G. Pengolahan dan Analisis Data

1. Analisa Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan distribusi

frekuensi masing-masing variabel, baik bebas, dan variabel terikat.

Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

perhitungan statistik sederhana yaitu nilai rata – rata, nilai minimum dan

maksimum, serta standar deviasi.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dapat dilakukan dengan analisis korelatif yaitu uji

korelasi Pearson dengan syarat distribusi data numerik normal, dengan

alternatif uji korelasi Spearman. Analisis korelatif untuk mengetahui

korelasi (Dahlan, 2011) antara masing-masing variabel bebas dan

variabel terikat. Kekuatan korelasi dilihat dari nilai koefisien korelasi (r),

dikatakan sangat lemah apabila r=0,0-<0,2, lemah apabila r=0,2-<0,4,

sedang apabila r=0,4-<0,6, kuat apabila r=0,645-<0,8 dan sangat kuat


44

apabila r=0,8-1. Korelasi dikatakan bermakna apabila nilai p<0,05.

Korelasi dikatakan searah apabila arah korelasi + (positif) dan

berlawanan arah apabila arah korelasi – (negatif).

H. Etika Penelitian

Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Kesehatan

(KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Lampung dengan nomor surat

2699/UN26/8/DT/2015 terlampir.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai

berikut :

1. Tidak ada hubungan antara kadar kreatinin serum dengan rasio

albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita DM tipe-2

2. Rerata kadar kreatinin serum pada penderita DM tipe-2 dalam

penelitian ini adalah 2,08 ± 1,72 mg/dL

3. Rerata rasio albumin/kreatinin urine sewaktu pada penderita DM tipe-

2 dalam penelitian ini adalah 66,88 ± 109,90 μg/mg

5.2 Saran

1. Bagi Rumah Sakit, sebaiknya memberikan anjuran pemeriksaan kadar

kreatinin serum dan mikroalbuminuria pada penderita DM tipe-2

sebagai skrining untuk mencegah komplikasi

2. Bagi pasien DM tipe-2, sebaiknya kontrol secara teratur ke poliklinik

penyakit dalam dan mematuhi terapi yang disarankan


54

3. Bagi peneliti lain, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

hubungan antara lama DM tipe-2 baik yang terkontrol maupun tidak

terkontrol terhadap kreatinin serum maupun mikroalbuminuria


DAFTAR PUSTAKA

Aaron KJ, Sanders PW. (2013). Role of dietary salt and potassium intake in
cardiovascular health and disease: a review of the evidence. Mayo Clin
Proc, 88(9): 987-95.

Alfarisi S, Basuki W, Susantiningsih T. (2013). Perbedaan kadar kreatinin serum


pasien diabetes melitus tipe-2 yang terkontrol dengan yang tidak terkontrol
di RSUD dr. H. Abdul Moeloek bandar lampung tahun 2012. Majority,
2(5): 129-36.

Arora S. 2010. Renal function in diabetic nephropathy. World J of Diabetes,


1(2):48-56.

Bawazier LA. 2009. Proteinuria dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta: Penerbit IPD FK UI, hal: 956.

Belchetz PE, Hammond P. 2003. Diabetic nephropathy dalam Mosby’s Colour


Atlas and Text of Diabetes and Endocrinology. Philadelphia: Mosby.

Bhowmick K, Kutty AVM, Shetty HV. 2007. Glycemic control modifies the
association between microalbuminuria and c-reactive protein in type 2
diabetes mellitus. Indian J Clin Biochem, 22(2): 53-9.

Colledge NR, Walker BR, Ralston SH. 2006. Davidson’s Principles and Practise
of Medicine 20th Edition. Edinburgh: Churchill Livingstone, Hal: 805-846.

Conroy ML et al. 2010. Atlas of Pathophysilogy 3rdEdition. Philadelphia:


Lippincott Williams & Wilkins.

Dinas Kesehatan (Dinkes) Lampung. 2011.


56

Djokomuljanto R. 1999. Insulin Resistance and Other Factors in the Patogenesis


of Diabetic Nephropathy. Simposium Nefropati Diabetik. Konggres
Pernefri.

Foster DW. 2000. Diabetes Melitus dalam Harrison: Prinsip – Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 13. Jakarta: EGC, hal:2196.

Gotera W, Budiyasa DGA. 2010. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetik (KAD).


J Peny Dalam. 11(2): 122-34.

Granner DK. 2001. Hormon pankreas dan traktus gastrointestinal dalam


Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta: EGC, hal:581-97.

Gross JL, et al. 2005. Diabetic nephropathy: diagnosis, prevention, and treatment:
Tersedia dari http://www.medscape.com (Diakses pada 31 Agustus 2015).

Guyton AC, Hall JE. 2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta:
EGC.

Hendromartono. 2009. Nefropati diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Ed V. Jakarta: FKUI. hal: 2386.

Immanuel S. 2006. Pemeriksaan Laboratorium Penyulit Diabetes Melitus.


Jakarta: Bagian Patologi Klinik FKUI.

Kumar P, Clark ML. 2012. Kumar & Clark's Clinical Medicine. Edisi 8. St.
Louis: MOSBY Elsevier.

Lane JT. 2004. Microalbuminuria as a marker of cardiovascular and renal risk in


type 2 diabetes mellitus: a temporal prospective. Am J Physiol Renal
Physiol 286(3): F442-50.

Lingnawati. 2007. Hubungan kadar kreatinin serum dengan derajat proteinuria


pada penderita diabetes melitus tipe-2. Skripsi. Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret.

Marieb EN, Hoehn K. 2004. Human Anatomy & Physiology. San Fransisc:
Benjamin Cummings.

NIDDK. 2014. The kidneys and how they work. Tersedia dalam
http://kidney.niddk.nih.gov (Diakses pada 12 agustus 2015).

Ndraha S. 2014. Diabetes melitus tipe-2 dan tatalaksana terkini. Medicinus, 27(2):
9-16.

Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


57

Pavkov ME, et al. 2013. Comparison of serum cystatin c, serum creatinine,


measured gfr, and estimated gfr to assess the risk of kidney failure in
american indians with diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis, 62(1): 33-
41.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus


Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe-2 di Indonesia 2011.
Jakarta: PERKENI Press.

Porth CM, Martin G. 2008. Pathophysiology: Concepts of Altered Health States


8th Edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Powers AC. 2008. Diabetes Mellitus in Fauci et al. Harrison's Principles of


Internal Medicine 17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies,
Hal:2152-2179.

Price SA, Wilson L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit.
Jakarta: EGC.

Reinehr T. 2013. Type 2 diabetes melitus in children and adolescents. World J


Diabetes, 4(6): 270-281.

Rubenstein D, dkk. 2007. Lecture Notes: Kedokteran Klinis. Edisi 6. Jakarta: Erlangga.

Sacher RA. 2004. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium. Edisi 11.
Jakarta: EGC.

Sahid QAU. 2012. Hubungan lama diabetes melitus dengan terjadinya gagal
ginjal terminal di rumah sakit dr. moewardi surakarta. Skripsi. Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Schrier RW. 2005. Manual of Nephrology. Edisi 6. Philadelphia: LWW.

Siamak N. 2009. Creatinin blood test. Tersedia dalam http://medicinet.com


(Diakses tanggal 12 agustus 2015).

Sufriyana H. 2010. Peranan advanced glycation end products (AGEs) dalam


komplikasi diabetes melitus. Indonesian Med Stud J, 2:15-21.

The ACCORD Study Group. 2010. Effects of intensive blood-pressure control in


type 2 diabetes melitus. N Engl J Med, 362(17): 1575–1585.

Triyanti K, dkk. 2006. Renal Function Decrement Type 2 Diabetes Mellitus


Patients in Cipto Mangunkusumo Hospital. The Indonesia Journal of
Medicine.
58

Wians FH. 2015. Blood Tests: Normal Values. Tersedia dari:


http://www.merckmanuals.com/professional/appendixes/normal_laborator
y_values/blood_tests_normal_values.html (Diakses pada 12 Agustus
2015).

World Health Organization (WHO). 2014. Global Status Report on


Noncommunicable Diseases 2014. Geneva: WHO Press.

World Health Organization (WHO). 2015. Diabetes fact sheets. Tersedia dari
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs312/en (Diakses pada 19
Agustus 2015).

Anda mungkin juga menyukai