Ayat ini telah di nasakh masa berlakunya oleh ayat pembagian harta
warisan dengan turunnya surat al-Nisā’ ayat 11-14.
Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan
meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.
Departemen Agama RI, Departemen Agama RI, AlAl--Qur‟an dan Terjemah AlQur‟an
dan Terjemah Al--HikmahHikmah……, hlm. 116, hlm. 44. -118.
Apabila dicermati lebih lanjut, ayat 11 surat al-Nisā’ di atas secara khusus
menunjukkan penegasan wasiat bagi kerabat, sedangkan ayat 12
menunjukkan bahwa waris sebagai hak yang baru diberikan setelah
ditunaikan wasiat dan dibayarnya hutang. Namun, apabila memperhatikan
hadits Nabi, maka pembayaran hutang lebih didahulukan daripada
pelaksanaan wasiat ketika memutuskan perkara (mengadili).3
Penggabungan perintah Allah SWT terhadap wasiat kepada kedua
orang tua dan kerabat itu mengandung kemungkinan makna.45
a. Kedua orang tua dan para kerabat memiliki dua perintah itu secara
bersama-sama, sehingga memberi wasiat harus membuat wasiat
2
3
4
5
kepada mereka, sehingga mereka mengambil dengan wasiat dan
mereka juga memperoleh warisan.
b. Perintah wasiat turun untuk menghapus agar wasiat tetap berlaku bagi
mereka. Namun Imam Syafi’i menemukan dalil yang menunjukkan
bahwa wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat yang mewarisi itu
terhapus dengan ayat-ayat tentang warisan.
Oleh karena ia telah dihapus, maka kemungkinan wasiat untuk
kedua orang tua itu gugur, hingga seandainya seseorang berwasiat untuk
keduanya, maka wasiat tersebut tidak boleh. Tidak ada riwayat dari Nabi
SAW dan Imam Syafi’i tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat
tentang hal ini. Ketiadaan riwayat dan perbedaan pendapat para ulama
menunjukkan pendapat yang kami sampaikan ini, meskipun
dikemungkinkan bahwa yang dihapus adalah kewajibannya saja sehingga
apabila seseorang berwasiat untuk mereka maka hukumnya boleh. Dengan
turunnya ayat mawarits tersebut, maka berakhirlah masa diwajibkannya
berwasiat kepada ahli waris sesama muslim. Ayat yang mewajibkan
berwasiat kepada ahli waris tersebut di atas, seperti dikemukakan oleh
Abdul Wahhab Khalaf, tidak lagi berlaku umum bagi ahli waris sesama
muslim, tetapi khusus bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan
harta warisan disebabkan berlainan agama. Misalnya, seorang anak
beragama Islam sedangkan dua orang ibu-bapaknya non muslim. Maka
anaknya yang muslim itu apabila mempunyai harta diwajibkan untuk
mewasiatkan sebagian hartanya untuk kedua orang ibu bapaknya yang
nonmuslim tersebut.
Jika seseorang berwasiat untuk kedua orang tua lalu para ahli waris
memperkenankannya, maka bukan dengan wasiat keduanya mengambil
harta tersebut, melainkan mereka mengambilnya karena para ahli waris
memberikan harta mereka kepada keduanya, karena Imam Syafi’i telah
membatalkan hukum wasiat untuk kedua orang tua dimana nash mansukh
dalam wasiat berlaku untuk kedua orang tua. Nash tersebut juga
menyebutkan kerabat bersama mereka secara garis besar. Oleh karena
kedua orang tua itu mewarisi, maka Imam Syafi’i mengqiyaskan setiap
yang mewarisi kepada kedua orang tua. Oleh karena diantara para kerabat
itu ada yang mewarisi dan ada yang tidak mewarisi, maka Imam
Syafi’i membatalkan wasiat untuk kerabat yang mewarisi berdasarkan
nash dan qiyas, serta berdasarkan riwayat:
ع ْخا هللاِ أَ الل ِهق أَ َّل أَشهأ َ أَا أَ ْخا أَل ْخح ُ أَ أَ أَ أَ ْخ: ع ْخو ُعا ُ ََّل أ
عُ ع أَأَل َ ْخ أَ أَ هللاِ فعُالأَ ٌ أَ َّل
ُ َ هأIIأ َ أَ ْخشIIع ف ْ أ َ ُعIIا أَ َل تIIع ْخ الل ِه
ُ جخ و ُ
َ أَ أَا الل ِهأَل َ هللاِ أ.ع
ُ ع أَ ْخن ُ َ ا أَخ َّل الل ِهب أَا الل ِهض أIIIIأَل أَ ْخ أَ ْخ
ع هللاِ أَ ْخ
ُ َ ُع ْخ أII ت ُع ْخ تع ُْخ أَ ْخ أَشهأ َ أَات ُع أَ أَ ْخ هللاِ ْخ ت: َْخك أَ أ
َ أَ لَّل ا يُّز ْخ هللاِ يُّ ا َّل هللاِ أَ ْخ أَ أ: ع ُ َع ْخ أ ُ ُع أَ ˓ أَ أَاIIهأ َ أَاتIIأَش
ف ْخIIع الل ِه ُ ع أَ أَشأ َ ك ْخك ُ ع ُ ع˓ ث ُع َّل أَ الل ِهس ْخ ُ ع ُ ع فأ َ أَح هللاِ ْخُ
ِع هللاُ ع ْخ ُ ُع أَلIأ َ أَ أَا االل ِهIIع أَ ْخ أَ أَ أَ فُ ع ْخلنأ َ أَ أَ ْخا
ُ هللاِ فأ َ أَ لَّل
: ع ُ ع ْخُ َ ع ْخا ُعل أَس يِّ هللاِ فأ ُ ع ْخ ُ ع أَو أَ هللاِ ْخُ : ْخ ٍد
ع ْخا
ُ ع ْخ ُ ع أَو أَ هللاِ ْخ
ُ أَ َل:أَ ْخ أَش أَك ْخك أَ الل ِهف ْخ أَل أَ ال فأ َ أَ أَ ا
. ق ٍّ ُعل أَس يِّ هللاِ أَ ْخ أَ أَش
Artinya: “Sufyan bin ʼUyainah mengabarkan kepada kami, dia berkata:
Aku mendengar Az-Zuhri berkata: Ulama Irak mengklaim bahwa
kesaksian orang yang dikenai sanksi had tidak boleh. Karena itu,
aku bersaksi bahwa fulan benar-benar mengabarkan kepadaku,
bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakrah,
“Bertaubatlah, niscaya kesaksianmu diterima atau jika kamu
bertaubat, maka kesaksianmu diterima”. Sufyan berkata:
AzZuhri menyebutkan nama orang yang mengabarkan
kepadanya, dan aku mengahafalnya, tetapi kemudian aku lupa
dan ragu.
Ketika kami berdiri, aku bertanya kepada orang yang hadir, lalu
Umar bin Qais berkata kepadaku, “Dia adalah Said bin
Musayyib”. Aku bertanya, “Apakah kamu ragu dengan apa yang
dikatakan oleh Az-Zuhri?” Dia menjawab, “Tidak, dia adalah
Said bin Musayyib, tanpa ragu”.
7
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
Jadi ahli waris tidak bisa menambahkan sesuatu yang bathil, tetapi
jika ahli waris meninggalkan wasiat dan harta mereka, maka mereka
berhak meninggalkan wasiat dan mereka bias memberikan bagian (upah)
kepada orang yang mereka kehendaki.
8
kecuali ada izin dari ahli waris lainnya. Alasannya izin itu diyatakan sesaat
setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia.
Bahwa orang yang diberi wasiat itu bila telah tertentu, maka
disyaratkan untuk sahnya wasiat agar orang itu ada di waktu wasiat
dilaksanakan, baik ada secara benar-benar ataupun ada secara perkiraan.
Misalnya, bila ia mewasiatkan kepada kandungan si Fulanah; maka
kandungan itu harus di waktu wasiat diterima. Adanya kandungan di
waktu wasiat dibuat atau sesudah pemberi wasiat meninggal dunia itu
dibuktikan dengan kelahiran anak dalam waktu kuang dari enam bulan
sejak wasiat dibuat atau sejak pemberi wasiat meninggal dunia.
َع أَ أ
ُ َ و أَا هللاِ أَ أIع ْخ
ُ أَ أَا أَا:ا أَ أَ أَ أَ اIIأَ ْخ أَ ْخل هللاِ ْخ هللاِ أَ الل ِه
أ َ
ا هللاِ هللاِ لَّ َل ْخ أَ الل ِهج ْخ أَزII أَ َل أَ هللاِ َّل أَ الل ِها أَو الل ِه: َْخ هللاِ أَ أَ َّل أ
ْ
(ا ا ن ُ
ع )ا َ خا أَو أَاثأ
Artinya: “Dari Umar bin Kharijah, Rasulullah berkata: Tidak boleh
berwasiat untuk ahli waris, kecuali jika dikehendaki oleh ahli
waris (yang lain)”. (Riwayat al-Dar Quthny).
9
agamanya kurang memadai. Namun dalam mengajukan gugatan berkedok
atau berdasarkan ketentuan agama.
Mewasiatkan sebagian apalagi seluruh hartanya untuk salah
seorang ahli waris menurut aliran ini tidak dibolehkan selama si mati
mempunyai ahli waris lain, karena tindakan seperti itu akan menimbulkan
kecemburuan di hati pihak ahli waris yang tidak mendapat harta wasiat.
Oleh karena itu, wasiat kepada ahli waris menjadi boleh apabila ahli waris
yang lain telah mengizinkannya.
Hal ini seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhailiy dalam
karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, adanya izin dari ahli waris itu
hendaknya tetap ada sampai pihak yang berwasiat meninggal dunia. Oleh
sebab itu, jika izin diperoleh semasa ia masih hidup, namun setelah ia
meninggal dunia pihak ahli waris memprotes maka wasiat itu menjadi
tidak sah.
10
11
ِهللا يُّ أَ ْخ أَ أَ أَ هللا
ِ و أَ ا َّلIIع ْخ ُ أ َ الل ِهن ْخ هللاِ ْخ أَ هللاِ ْخIIأَ َّل ث
ُ ع ْخ
ُ ع
ع أَ أَ ْخ
ُ َ و أَا هللاِ أَ أIIIع ْخ
ُ ع فأَإهللاِ َّل أَاIIIع الل ِه
ُ ُّع الل ِهث هللاِ اأَ ا ي
ُ اثي
ُّ
ِف أَ هللاII أَ الل ِه. ٌ ع ُعث أَ الل ِهث ْخ
ُ اثي
ُّ َع ُعث أ ُّ : هللاِ أَ أَ َّل أَ أَ أَا
ُ اثي
13
36
6. Media Massa
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
37
Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk
menjembatani komunikasi ilmiyah dari berbagai pihak yang terlibat dalam
pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum Islam.
14
38
15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
41
dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua
orang saksi di hadapan Notaris.
Sebenarnya wasiat kepada ahli waris tidak berlaku jika mereka atau
ahli waris yang lain tidak menyetujuinya, akan tetapi jika ahli waris lainnya
menyetujui pemberian warisan kepada ahli waris maka sah-sah saja dilakukan
dengan batas maksimal sepertiga harta warisan sesuai dengan yang telah
dijelaskan dalam ketentuan KHI pasal 195 ayat (3) yang menyatakan “Wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”.
Persetujuan ahli waris yang dimaksudkan adalah untuk menghindari terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Dimana dasar filosofis pembentukan pasal 195 KHI ini didasarkan
pada Hadits Riwayat Al-Dar Quthny.
ع أَ أَ ْخ
ُ َأَ أ ِهللا ع ْخو أَا
ُ أَ أَا أَا: الل ِها أَ أَ أَ أَا َأَ ْخ أَ ْخل هللاِ ْخ هللاِ أ
ََّل أ ِ أَ َل أَ هللا: َهللاِ أَ أَ َّل أ
َ
(ا ا ن ُ
ع )ا َ الل ِها أَو الل ِها هللاِ هللاِ لَّ َل أ ْخ أَ الل ِهج ْخ أَز ْخا أَو أَاثأ
Artinya: “Dari Umar bin Kharijah, Rasulullah berkata: Tidak boleh
berwasiat untuk ahli waris, kecuali jika dikehendaki oleh ahli waris
(yang lain)”. (Riwayat al-Dar Quthny).
Berwasiat kepada ahli waris menurut ketentuan pasal 195 KHI yang
tersurat adalah wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau
tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris, wasiat hanya
diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali
apabila semua ahli waris menyetujuinya, wasiat kepada ahli waris berlaku bila
disetujui oleh semua ahli waris, pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3)
pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan
dua orang saksi dihadapan Notaris karena seperti kita ketahui sebelum Hukum
Islam di kompilasikan terdapat berbagai perbedaan pendapat diantara
kalangan fuqaha. Sementara ketentuan pasal 195 yang tersirat yaitu agar
43
Dalam surat baik dibuat secara tertulis, maupun secara lisan, harus
diterangkan dengan jelas dan tegas siapa-siapa saja, atau lembaga mana saja
yang ditunjuk untuk menerima harta yang diwasiatkan itu.
Dalam kasus wasiat kepada ahli waris sering terjadi perbedaan putusan
walaupun kasusnya sama, hal ini didasarkan pada pandangan para ulama yang
mempunyai pandangan berbeda atau perbedaan pendapat terhadap wasiat
kepada ahli waris. Dalam mengatasi hal seperti ini, berwasiat kepada ahli
waris menurut pasal 195 KHI ialah selama ahli waris yang lain itu
menyetujuinya serta sekaligus hal ini menjadi dasar hukum dalam
memutuskan perkara wasiat kepada ahli waris. Bilamana ahli waris yang lain
menyetujuinya maka wasiat itu sah dilakukan dan apabila tidak disetujui oleh
ahli waris lainnya maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Dan berwasiat kepada ahli waris dalam pasal ini juga menjadi salah
satu acuan dasar para hakim untuk memutus perkara wasiat kepada ahli waris.
Dalam hal ini, apabila ada perkara yang diajukan ke lingkungan Peradilan
Agama yang berkaitan dengan wasiat kepada ahli waris, maka hakim bisa
memutuskan perkara tersebut berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tentang wasiat kepada ahli waris. Sehingga tidak ada perdebatan karena belum
ada hukum lain mengaturnya, karena dalam sifat penegakan hukum, ada yang
bersifat normatif dan bersifat fungsional selama belum ada hukum baru.
Adapun dalil tentang sanksi dan keberadaan notaris adalah dalam surat
Al-Nisā’ ayat 135:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika
ia97 Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan
(katakata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al-Nisā’: 135)
45