Anda di halaman 1dari 26

BAB II

WASIAT KEPADA AHLI WARIS MENURUT PENDAPAT ULAMA DAN


KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Pendapat Ulama tentang Wasiat Kepada Ahli Waris


Kata wasiat diambil dari kata waṣaitu, asy-syaia, ūṣīhi, artinya
auṣaltuhu (aku menyampaikan sesuatu). Maka mūṣīy (orang yang berwasiat)
adalah orang yang menyampaikan pesan di waktu dia hidup untuk
dilaksanakan sesudah dia meninggal dunia.
Dalam istilah syara‟, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang
lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang
yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.
Menurut para fuqaha, wasiat adalah akad yang boleh dalam arti, bahwa
wasiat tersebut dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak. Dan
dalam hal ini adalah oleh pihak pemberi wasiat berdasarkan kesepakatan
fuqaha. Yakni bahwa pemberi wasiat dapat mencabut kembali harta yang telah
diwasiatkan, kecuali hamba mudabbar, karena fuqaha memperselisihkannya.
Wasiat terdiri dari dua macam, wasiat tamlīkiyyah, seperti seseorang
berwasiat dengan sebagian harta untuk diberikan kepada seseorang sesudah
wafatnya. Dan wasiat ahdiyah, seperti wasiat berkaitan dengan penanganan
jenazah seseorang dan wasiat untuk pelaksanaan ibadah atas nama dirinya
sesudah ia wafat.
Ahli waris yaitu mereka yang berhak menerima harta peninggalan
pewaris dikarenakan adanya hubungan kekerabatan atau ikatan pernikahan.
Dengan adanya ahli waris yang masih hidup pada waktu pewaris meninggal,
maka hak-hak kepemilikan dari pewaris bisa berpindah kepada ahli waris
tersebut.
Datangnya agama Islam tidaklah menghapus dan membatalkan
lembaga wasiat yang sudah diterima secara umum oleh masyarakat waktu itu.
Islam menerima institusi yang sudah lama berjalan itu dengan jalan
memberikan koreksi dan perbaikan seperlunya, sehingga wasiat tetap menjadi
suatu lembaga yang diperlukan yang dalam pelaksanaannya hak kaum kerabat
perlu diperhatikan.
Di kalangan para ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat
kepada salah seorang ahli waris yang akan mendapatkan warisan, diantaranya:

1. Pendapat Imam Syafi’i


Mengenai wasiat kepada ahli waris, Allah SWT berfirman dalam
surat al-Baqarah ayat 180.

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”
(QS. Al-Baqarah: 180)

Ayat ini telah di nasakh masa berlakunya oleh ayat pembagian harta
warisan dengan turunnya surat al-Nisā’ ayat 11-14.

Ma'ruf ialah adil dan baik. wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan
meninggal itu. ayat ini dinasakhkan dengan ayat mewaris.

Departemen Agama RI, Departemen Agama RI, AlAl--Qur‟an dan Terjemah AlQur‟an
dan Terjemah Al--HikmahHikmah……, hlm. 116, hlm. 44. -118.

Artinya: “Allah SWT mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka


untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan1; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua37, Maka bagi mereka dua
pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, Maka ia memperoleh separoh harta. dan untuk
dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari
harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai
anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia
diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), Maka ibunya mendapat
sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, Maka ibunya mendapat seperenam.
(Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya.
(Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak
mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)
manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
(QS. al-Nisā’: 11)
1
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang
ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, Maka kamu
mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar
hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang
kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu
mempunyai anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan
dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang
kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. jika
seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak
meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi
mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang
saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing
dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika
saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka
bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat
yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan
tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) 2. (Allah
menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang
benarbenar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha
Penyantun. (QS. al-Nisā’: 12)
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah.
Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah
memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar. (QS. al-Nisā’: 13)
dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah SWT
memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di
dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan”. (QS. al-
Nisā’: 14).

Apabila dicermati lebih lanjut, ayat 11 surat al-Nisā’ di atas secara khusus
menunjukkan penegasan wasiat bagi kerabat, sedangkan ayat 12
menunjukkan bahwa waris sebagai hak yang baru diberikan setelah
ditunaikan wasiat dan dibayarnya hutang. Namun, apabila memperhatikan
hadits Nabi, maka pembayaran hutang lebih didahulukan daripada
pelaksanaan wasiat ketika memutuskan perkara (mengadili).3
Penggabungan perintah Allah SWT terhadap wasiat kepada kedua
orang tua dan kerabat itu mengandung kemungkinan makna.45
a. Kedua orang tua dan para kerabat memiliki dua perintah itu secara
bersama-sama, sehingga memberi wasiat harus membuat wasiat

2
3
4
5
kepada mereka, sehingga mereka mengambil dengan wasiat dan
mereka juga memperoleh warisan.
b. Perintah wasiat turun untuk menghapus agar wasiat tetap berlaku bagi
mereka. Namun Imam Syafi’i menemukan dalil yang menunjukkan
bahwa wasiat untuk kedua orang tua dan kerabat yang mewarisi itu
terhapus dengan ayat-ayat tentang warisan.
Oleh karena ia telah dihapus, maka kemungkinan wasiat untuk
kedua orang tua itu gugur, hingga seandainya seseorang berwasiat untuk
keduanya, maka wasiat tersebut tidak boleh. Tidak ada riwayat dari Nabi
SAW dan Imam Syafi’i tidak mengetahui para ulama berbeda pendapat
tentang hal ini. Ketiadaan riwayat dan perbedaan pendapat para ulama
menunjukkan pendapat yang kami sampaikan ini, meskipun
dikemungkinkan bahwa yang dihapus adalah kewajibannya saja sehingga
apabila seseorang berwasiat untuk mereka maka hukumnya boleh. Dengan
turunnya ayat mawarits tersebut, maka berakhirlah masa diwajibkannya
berwasiat kepada ahli waris sesama muslim. Ayat yang mewajibkan
berwasiat kepada ahli waris tersebut di atas, seperti dikemukakan oleh
Abdul Wahhab Khalaf, tidak lagi berlaku umum bagi ahli waris sesama
muslim, tetapi khusus bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan
harta warisan disebabkan berlainan agama. Misalnya, seorang anak
beragama Islam sedangkan dua orang ibu-bapaknya non muslim. Maka
anaknya yang muslim itu apabila mempunyai harta diwajibkan untuk
mewasiatkan sebagian hartanya untuk kedua orang ibu bapaknya yang
nonmuslim tersebut.
Jika seseorang berwasiat untuk kedua orang tua lalu para ahli waris
memperkenankannya, maka bukan dengan wasiat keduanya mengambil
harta tersebut, melainkan mereka mengambilnya karena para ahli waris
memberikan harta mereka kepada keduanya, karena Imam Syafi’i telah
membatalkan hukum wasiat untuk kedua orang tua dimana nash mansukh
dalam wasiat berlaku untuk kedua orang tua. Nash tersebut juga
menyebutkan kerabat bersama mereka secara garis besar. Oleh karena
kedua orang tua itu mewarisi, maka Imam Syafi’i mengqiyaskan setiap
yang mewarisi kepada kedua orang tua. Oleh karena diantara para kerabat
itu ada yang mewarisi dan ada yang tidak mewarisi, maka Imam
Syafi’i membatalkan wasiat untuk kerabat yang mewarisi berdasarkan
nash dan qiyas, serta berdasarkan riwayat:

َ‫ أَ ْخ أَ أَ أ‬: ‫هللا يُّ أَ أَا‬


ِ َ‫ع هللاِ ا أَل ْخ أ‬ ُ ‫ع أَ ْخ‬ ُ ‫ع ْخ‬ ُ َ‫ع ْخ أ‬ُ َ‫أَ ْخ أَ أَ أ‬
‫ع ْخ‬ ُ ‫ أَ ْخ أَ أَ أَ هللاِ ْخ أَل هللاِ ْخ‬:‫ل أَ أَا هللاِ أَ أَ ا‬III‫ع ا ُع‬ ُ ‫أَ ْخ‬
ُ ‫ع هللاِ ْخ‬
َ‫ا أَ أَ أ‬III‫ ٍد أَ ْخ أَ أَ أَا أَ أَ ْخ أَ ْخل هللاِ ْخ هللاِ أَ الل ِه‬III‫ع أَ هللاِ أَ االل ِه‬
ُ
‫ل‬II‫ هللاِ َّل أَ أَ لَّز ْخ ُع‬: َ‫أ َ أَ ْخ هللاِ أَ أَ َّل أ‬II‫ع ْخو أَا هللاِ أَ أَ ُع‬ ُ ‫ أَا‬: ‫أَا‬

‫ا‬III‫ا أَو الل ِه‬III‫ع أَ أَ َل أَ هللاِ َّل أَ الل ِه‬


ُ ‫ق أَ َّل‬
ٍّ َ‫ع َّل هللاِ ْخ أ‬ُ َ‫ع أَ ْخ أَ ْخ أ‬
ُ
6
(‫هللاِ هللاِ )ا انس ئ‬
Artinya: “ʼUtbah bin Abdullah al-Marwaziy mengabarkan kepada kami, ia
berkata: Abdullah bin Mubarak menceritakan kepada kami, ia
berkata: Isma‟il bin Abi Khalid menceritakan kepada kami, dari
umar bin kharijah, Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak
kepada siapa yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli
waris”. (HR. AlNasā’i)

Menurut Imam Syafi’i, berdasarkan ayat al-Qur’an surat alBaqarah


ayat 180 dan hadits Nabi SAW, dapat dipahami bahwa para ahli waris
dihalangi untuk memperoleh wasiat agar mereka tidak mengambil harta
mayit dari dua jalan. Karena harta yang ditinggalkan orang yang
meninggal dunia itu diambil dengan jalan warisan dan wasiat. Oleh karena
hukum keduanya itu berbeda, maka seseorang tidak boleh menggabungkan
dua hukum yang berbeda dalam satu hukum dan dalam satu keadaan,
sebagaimana tidak boleh dia diberi sesuatu dan lawan dari sesuatu itu.
Seandainya seseorang berpandang bahwa wasiat untuk ahli waris
tidak boleh mencegah kecurigaan terhadap pemberi wasiat sekiranya dia
pilih kasih kepada salah satu ahli warisnya, maka seandainya bukan karena
keletihan yang dirasakan sebagian orang yang menggeluti fiqh, maka
menurut Imam Syafi’i orang yang berpandangan demikian tidak perlu
dijawab. Karena barangsiapa yang samar memahami hal ini hingga tidak
melihat dengan jelas kesalahan didalamnya, maka tampaknya dia tidak
membedakan antara sesuatu dengan lawannya.
Setiap obyek yang diwasiatkan oleh orang yang sakit pada masa
sakitnya, dimana dia meninggal dunia akhibat sakit itu (diwasiatkan) untuk
6
seorang ahli waris berupa pemilikan harta atau manfaat dengan jalan
apapun itu hukumnya tidak boleh. Tidak boleh memberikan wasiat
tersebut kepada ahli waris dengan jalan apapun.

Al-Rabi’ mengabarkan kepada kami, dia berkata: Asy-Syafi’i


berkata: Jika seseorang meminta izin untuk memberikan wasiat kepada
seorang ahli waris, baik di waktu sehat atau sakit, baik mereka
mengizinkan atau tidak mengizinkan, maka semua itu hukumnya sama.
Jika mereka merealisasikan izin mereka, maka itu lebih baik bagi mereka
dan lebih bertakwa kepada Allah SWT, serta lebih bagus bagi ucapan
mereka yang memperkenankannya. Jika mereka tidak melakukannya,
maka hakim tidak boleh memaksa mereka untuk melakukannya.
Pendapat ini termasuk pendapat yang dituturkan dari Rasulullah
SAW tentang warisan.

ُ ‫ أَ الل ِهل ْخ‬:‫ع أَ ْخ نأ َ أَ أَ أَ ا‬


ِ‫ع ا يُّز ْخ هللا‬ ُ َ‫ع ْخ أ‬
ُ ‫ع ْخ‬
ُ ‫ع‬ ُ َ‫أَ ْخ أَ أَ أ‬

‫ع ْخا هللاِ أَ الل ِهق أَ َّل أَشهأ َ أَا أَ ْخا أَل ْخح‬ ُ ‫ أَ أَ أَ أَ ْخ‬: ‫ع ْخو ُعا‬ ُ َ‫َّل أ‬
‫ع‬ُ ‫ع أَأَل َ ْخ أَ أَ هللاِ فعُالأَ ٌ أَ َّل‬
ُ َ ‫هأ‬II‫أ َ أَ ْخش‬II‫ع ف‬ ْ ‫أ َ ُع‬II‫ا أَ َل ت‬II‫ع ْخ الل ِه‬
ُ ‫جخ و‬ ُ
َ‫ أَ أَا الل ِهأَل َ هللاِ أ‬.‫ع‬
ُ ‫ع أَ ْخن‬ ُ َ‫ ا أَخ َّل الل ِهب أَا الل ِهض أ‬IIII‫أَل أَ ْخ أَ ْخ‬
‫ع هللاِ أَ ْخ‬
ُ َ‫ ُع ْخ أ‬II‫ ت ُع ْخ تع ُْخ أَ ْخ أَشهأ َ أَات ُع أَ أَ ْخ هللاِ ْخ ت‬: َ‫ْخك أَ أ‬
َ‫ أَ لَّل ا يُّز ْخ هللاِ يُّ ا َّل هللاِ أَ ْخ أَ أ‬: ‫ع‬ ُ َ‫ع ْخ أ‬ ُ ‫ ُع أَ ˓ أَ أَا‬II‫هأ َ أَات‬II‫أَش‬
‫ف ْخ‬II‫ع الل ِه‬ ُ ‫ع أَ أَشأ َ ك ْخك‬ ُ ‫ع‬ ُ ‫ع˓ ث ُع َّل أَ الل ِهس ْخ‬ ُ ‫ع‬ ُ ‫ع فأ َ أَح هللاِ ْخ‬ُ
ِ‫ع هللا‬ُ ‫ع ْخ‬ ُ ‫ ُع أَل‬I‫أ َ أَ أَا االل ِه‬II‫ع أَ ْخ أَ أَ أَ ف‬ُ ‫ع ْخلنأ َ أَ أَ ْخا‬
ُ ‫هللاِ فأ َ أَ لَّل‬
: ‫ع‬ ُ ‫ع ْخ‬ُ َ ‫ع ْخا ُعل أَس يِّ هللاِ فأ‬ ُ ‫ع ْخ‬ ُ ‫ع أَو أَ هللاِ ْخ‬ُ : ‫ْخ ٍد‬
‫ع ْخا‬
ُ ‫ع ْخ‬ ُ ‫ع أَو أَ هللاِ ْخ‬
ُ ‫ أَ َل‬:‫أَ ْخ أَش أَك ْخك أَ الل ِهف ْخ أَل أَ ال فأ َ أَ أَ ا‬
. ‫ق‬ ٍّ ‫ُعل أَس يِّ هللاِ أَ ْخ أَ أَش‬
Artinya: “Sufyan bin ʼUyainah mengabarkan kepada kami, dia berkata:
Aku mendengar Az-Zuhri berkata: Ulama Irak mengklaim bahwa
kesaksian orang yang dikenai sanksi had tidak boleh. Karena itu,
aku bersaksi bahwa fulan benar-benar mengabarkan kepadaku,
bahwa Umar bin Khattab berkata kepada Abu Bakrah,
“Bertaubatlah, niscaya kesaksianmu diterima atau jika kamu
bertaubat, maka kesaksianmu diterima”. Sufyan berkata:
AzZuhri menyebutkan nama orang yang mengabarkan
kepadanya, dan aku mengahafalnya, tetapi kemudian aku lupa
dan ragu.
Ketika kami berdiri, aku bertanya kepada orang yang hadir, lalu
Umar bin Qais berkata kepadaku, “Dia adalah Said bin
Musayyib”. Aku bertanya, “Apakah kamu ragu dengan apa yang
dikatakan oleh Az-Zuhri?” Dia menjawab, “Tidak, dia adalah
Said bin Musayyib, tanpa ragu”.

Mazhab Syafi’i mendominasi dan merupakan mazhab kebanyakan


umat Islam di Asia Tenggara, fiqh mazhab Syafi’i dipakai secara turun
menurun untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang menyangkut
kehidupan sehari-hari dalam bidang ʼubudiyah, muamalah, kewarisan
maupun perkawinan. Materi-materi yang bersumber dari kitab-kitab Asy-
Syafi’i senantiasa menjadi acuan keputusan pengadilan. Ini menunjukkan
betapa kuat pengaruh mazhab Syafi’i dalam kehidupan umat Islam di Asia
Tenggara.

2. Pendapat Mazhab Malikiyah


Pendapat yang dianut oleh Mazhab Malikiyah menyatakan bahwa
larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya
persetujuan dari ahli waris yang lain. Menurut mereka, larangan seperti itu
adalah termasuk hak Allah SWT yang tidak bisa gugur dengan kerelaan
manusia yang dalam hal ini adalah ahli waris. Ahli waris tidak berhak
membenarkan sesuatu yang dilarang Allah SWT. Menurut pandangan ini,
suatu hal yang paling penting dalam hal ini ialah agar harta tidak hanya
bertumpuk pada tangan ahli waris. Sebagian harta itu perlu disalurkan
kepada hal-hal lain yang membutuhkannya. Seandainya ahli waris
menyetujuinya juga, begitu dijelaskan dalam pandangan ini, maka
statusnya bukan lagi sebagai wasiat, tetapi bertukar menjadi hibah
(pemberian) dari pihak ahli waris itu sendiri, yang harus memenuhi
syaratsyarat tertentu sebagaimana lazimnya hibah.

3. Pendapat al-Muzanni dan al-Zahiri


Al-Muzanni dan al-Zahiri berpendapat bahwa tidak sah berwasiat
kepada ahli waris walaupun diizinkan oleh ahli waris yang lain, karena
Allah SWT melalui lisan Rasulullah SAW sebab harta warisan ketika itu
sudah hak menjadi ahli waris. Jadi orang yang memberi wasiat terhadap
harta warisan milik ahli waris itu batal (tidak sah).7

7
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:

ُ ‫ أَ ْخ أَ أَ أَ أَ ْخ‬: ‫أَ أَا‬


‫ع‬ ُّ‫لخ أَ هللاِ ي‬ْ َ‫ع هللاِ ا أ‬
ُ ‫ع أَ ْخ‬ ُ ‫ع ْخ‬ ُ َ‫ع ْخ أ‬ ُ َ‫أَ ْخ أَ أَ أ‬
: ‫أَ أَا‬ ِ‫ع ا ُعل أَ أَا هللا‬ ُ ‫هللاِ ْخ‬
‫االل ِه ٍد‬ َ ‫ع أَ الل ِهأ‬
ُ ‫ع ْخ‬ ُ ‫ْخ‬ ِ‫أَ ْخ أَ أَ أَ الل ِه ْخ أَل هللا‬
ُ ‫ أَا‬: ‫أَ ْخ أَ أَ أَا أَأَ ْخ أَ ْخل هللاِ ْخ هللاِ أَ الل ِها أَ أَ أَ أَا‬
‫ع ْخو‬
‫أَا‬
َ‫ع أَ ْخ أَ ْخ أ‬
ُ ‫ل‬II‫هللا َّل أَ أَ لَّز ْخ ُع‬
ِ : َ‫أ َ أَ ْخ هللاِ أَ أَ َّل أ‬II‫هللاِ أَ أَ ُع‬
‫انس‬ ‫)ا‬ ِ‫ا هللاِ هللا‬II‫ا أَو الل ِه‬II‫ع أَ أَ َل أَ هللاِ َّل أَ الل ِه‬
ُ ‫ق أَ َّل‬
ٍّ َ‫ع َّل هللاِ ْخ أ‬
ُ
(‫ئ‬ 8

Artinya: “ʼUtbah bin Abdullah al-Marwaziy mengabarkan kepada kami,


dia berkata: Abdullah bin Mubarak menceritakan kepada kami,
dia berkata: Isma‟il bin Abi Khalid menceritakan kepada kami,
dari umar bin kharijah, Rasulullah SAW bersabda:
Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak kepada siapa
yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli waris”. (HR.
AlNasa’i)

Jadi ahli waris tidak bisa menambahkan sesuatu yang bathil, tetapi
jika ahli waris meninggalkan wasiat dan harta mereka, maka mereka
berhak meninggalkan wasiat dan mereka bias memberikan bagian (upah)
kepada orang yang mereka kehendaki.

4. Pendapat Mazhab Hanafiyah


Menurut ulama Hanafiyah, firman Allah SWT dalam surat
alBaqarah ayat 180 itu telah di-nasakh-kan oleh ayat-ayat kewarisan. Surat
al-Baqarah ayat 180 tersebut hanya memuat ketentuan hukum yang
bersifat sementara untuk memberikan wasiat kepada orang tua dan karib
kerabat, sebelum ayat-ayat kewarisan diturunkan. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa setelah turunnya ayat-ayat yang secara khusus berbicara
tentang kewarisan, maka kewajiban berwasiat kepada ahli waris tidak
berlaku lagi.
Mazhab Hanafiyah berpendapat, bahwa wasiat tidak dibenarkan
kepada ahli waris yang mendapatkan warisan, walaupun hanya sedikit,

8
kecuali ada izin dari ahli waris lainnya. Alasannya izin itu diyatakan sesaat
setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia.
Bahwa orang yang diberi wasiat itu bila telah tertentu, maka
disyaratkan untuk sahnya wasiat agar orang itu ada di waktu wasiat
dilaksanakan, baik ada secara benar-benar ataupun ada secara perkiraan.
Misalnya, bila ia mewasiatkan kepada kandungan si Fulanah; maka
kandungan itu harus di waktu wasiat diterima. Adanya kandungan di
waktu wasiat dibuat atau sesudah pemberi wasiat meninggal dunia itu
dibuktikan dengan kelahiran anak dalam waktu kuang dari enam bulan
sejak wasiat dibuat atau sejak pemberi wasiat meninggal dunia.

5. Pendapat Mayoritas Ulama


Mayoritas Ulama berpendapat, bahwa berwasiat kepada ahli waris
mutlak tidak dapat dilaksanakan kecuali atas persetujuan ahli waris
lainnya. Jika mereka mengizinkan selama tidak lebih dari sepertiga harta
peninggalan, maka wasiat dapat dilaksanakan dan jika tidak mengizinkan,
maka hukum wasiat itu batal.
Alasan mereka merujuk pada ayat al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
180:

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”. (QS. al-Baqarah:180).

Ayat tersebut telah di nasakh dengan beberapa ketegasan hadits


Rasulullah SAW. yang di antaranya:

ُ ‫ أَ ْخ أَ أَ أَ أَ ْخ‬: ‫أَ أَا‬


‫ع‬ ِ َ‫لخ أ‬
ُّ‫هللا ي‬ ْ َ‫ع هللاِ ا أ‬
ُ ‫ع أَ ْخ‬ ُ ‫ع ْخ‬ ُ َ‫ع ْخ أ‬ ُ َ‫أَ ْخ أَ أَ أ‬
: ‫أَ أَا‬ ِ‫ع ا ُعل أَ أَا هللا‬ ُ ‫هللاِ ْخ‬
‫االل ِه ٍد‬ َ ‫ع أَ الل ِهأ‬
ُ ‫ع ْخ‬ ُ ‫ْخ‬ ِ‫أَ ْخ أَ أَ أَ الل ِه ْخ أَل هللا‬
ُ ‫ أَا‬: ‫أَ ْخ أَ أَ أَا أَأَ ْخ أَ ْخل هللاِ ْخ هللاِ أَ الل ِها أَ أَ أَ أَا‬
‫ع ْخو‬
‫أَا‬
َ‫ع أَ ْخ أَ ْخ أ‬
ُ ‫ل‬II‫هللا َّل أَ أَ لَّز ْخ ُع‬
ِ : َ‫أ َ أَ ْخ هللاِ أَ أَ َّل أ‬II‫هللاِ أَ أَ ُع‬
‫انس‬ ‫)ا‬ ِ‫ا هللاِ هللا‬II‫ا أَو الل ِه‬II‫ع أَ أَ َل أَ هللاِ َّل أَ الل ِه‬
ُ ‫ق أَ َّل‬
ٍّ َ‫ع َّل هللاِ ْخ أ‬
ُ
9
(‫ئ‬
Artinya: “ʼUtbah bin Abdullah al-Marwaziy mengabarkan kepada kami,
dia berkata: Abdullah bin Mubarak menceritakan kepada kami,
dia berkata: Isma‟il bin Abi Khalid menceritakan kepada kami,
dari umar bin kharijah, Rasulullah SAW
bersabda: Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak
kepada siapa yang berhak dan tidak ada wasiat untuk ahli
waris”. (HR. AlNasā’i)

Hadits yang diriwayatkan oleh al-Dar Quthny menegaskan:

َ‫ع أَ أ‬
ُ َ‫ و أَا هللاِ أَ أ‬I‫ع ْخ‬
ُ ‫ أَ أَا أَا‬:‫ا أَ أَ أَ أَ ا‬II‫أَ ْخ أَ ْخل هللاِ ْخ هللاِ أَ الل ِه‬
‫أ‬ َ
‫ا هللاِ هللاِ لَّ َل ْخ أَ الل ِهج ْخ أَز‬II‫ أَ َل أَ هللاِ َّل أَ الل ِها أَو الل ِه‬: َ‫ْخ هللاِ أَ أَ َّل أ‬
ْ
(‫ا ا ن‬ ُ
‫ع )ا‬ َ ‫خا أَو أَاثأ‬
Artinya: “Dari Umar bin Kharijah, Rasulullah berkata: Tidak boleh
berwasiat untuk ahli waris, kecuali jika dikehendaki oleh ahli
waris (yang lain)”. (Riwayat al-Dar Quthny).

Beberapa hadits tersebut menunjukkan bahwa wasiat kepada ahli


waris tidak sah kecuali jika ada izin dari ahli waris yang lain.
Perizinan dari ahli waris ini merupakan suatu pertanda, bahwa hak mereka
rela dikurangi. Karena bisa saja orang yang berwasiat itu
mempertimbangkan tentang kemungkinan orang yang menjadi
tanggungannya itu kehidupannya akan suram dibelakang hari, seperti cacat
fisik atau cacat mental. Kemungkinan lainnya adalah diantara ahli
warisnya itu ada yang masih kecil, sedang yang lainnya sudah bisa mandiri
atau berumah tangga. Apabila dihadapkan kepada persoalan seperti ini,
maka ahli waris lainnya harus dapat memahami keinginan dari yang
berwasiat itu dan hal ini sangat bergantung kepada kepribadian
masingmasing orang.
Seorang yang tamak, malah ada yang menggugat orang tuanya
karena dianggapnya kurang adil, pilih kasih dan sebagainya. Hal ini
biasanya dilakukan oleh orang-orang yang kurang kuat imannya, dasar

9
agamanya kurang memadai. Namun dalam mengajukan gugatan berkedok
atau berdasarkan ketentuan agama.
Mewasiatkan sebagian apalagi seluruh hartanya untuk salah
seorang ahli waris menurut aliran ini tidak dibolehkan selama si mati
mempunyai ahli waris lain, karena tindakan seperti itu akan menimbulkan
kecemburuan di hati pihak ahli waris yang tidak mendapat harta wasiat.
Oleh karena itu, wasiat kepada ahli waris menjadi boleh apabila ahli waris
yang lain telah mengizinkannya.
Hal ini seperti dikemukakan oleh Wahbah az-Zuhailiy dalam
karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, adanya izin dari ahli waris itu
hendaknya tetap ada sampai pihak yang berwasiat meninggal dunia. Oleh
sebab itu, jika izin diperoleh semasa ia masih hidup, namun setelah ia
meninggal dunia pihak ahli waris memprotes maka wasiat itu menjadi
tidak sah.

6. Pendapat Syiah Zaidiyah, Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah


Syiah Zaidiyah, Imamiyah dan Syiah Isma’iliyah berpendapat
boleh hukumnya berwasiat kepada ahli waris tanpa ada persetujuan ahli
waris lainnya dalam batas sepertiga dari jumlah harta.
Alasan mereka memahami bahwa surat al-Baqarah ayat 180.

Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya
secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa”. (QS. al-Baqarah:180).65

Dalam ayat tersebut, menurut pandangan ini tidak menasakhkan


kebolehannya tetapi menasakhkan kewajiban berwasiat. Kalau sukarela
tentu tidak ada larangan. Mereka menyatakan:

‫ع أَ َل أَ ْخس أَ ْخ أَزم أَ أَسخ ْخ ا أَج أَو‬


ُ ‫أَ أَسخ ْخ ا عُو‬

Artinya: “Penghapusan hukum wajib bukan berarti mengharuskan


menghapus kebolehan”.
Dengan pernyataan tersebut mereka tidak sependapat dengan
mayoritas ulama yang menyatakan bahwa ayat diatas sudah dnasakh
(dihapuskan) hukumnya sama sekali oleh ayat-ayat yang mengatur tentang
pembagian harta wasian. Menurut mereka yang di nasakh hanya hukum
wajibnya wasiat kepada ahli waris. Setelah hukum wajibnya dihapuskan
oleh ayat-ayat yang mengatur pembagian harta warisan, maka ayat
tersebut tetap berfungsi membenarkan atau membolehkan berwasiat
kepada ahli waris. Sehingga menurut mereka, wasiat boleh untuk ahli
waris maupun bukan ahli waris dan tidak bergantung pada persetujuan ahli
waris lainnya, sepanjang tidak melebihi sepertiga harta.
Bolehnya berwasiat kepada ahli waris menurut mereka dengan
beberapa pertimbangan, antara lain dari sekian jumlah anak umpamanya,
ada yang telah banyak menguras dan mengabdi kepada orang tuanya di
masa keduanya masih hidup. Untuk hal yang seperti ini adalah wajar
mengkhususkan sebagian harta untuk mereka dengan jalan wasiat.10
Dan mengingat juga kadang-kadang memang sangat perlu
mewasiatkan suatu tambahan bagi seorang ahli waris berdasarkan
kebutuhannya yang khusus atau bisa jadi ada di antara ahli waris yang
hidupnya kurang beruntung di bidang ekonomi dibandingkan dengan ahli
waris yang lain. Seorang yang mempunyai lima orang anak misalnya,
lakilaki atau perempuan, yang empat diantaranya kaya raya, sementara
yang satu dikarenakan beberapa sebab dalam keadaan miskin atau beban
hidupnya amat berat, tidak ada salahnya apabila diwasiatkan kepadanya
tambahan yang tidak melebihi sepertiga harta yang akan diwariskan.
Dalam hal ini, saudara-saudaranya yang lain pun tidak selayaknya
menolak wasiat tersebut, sepanjang hal itu memang diperlukan, sementara
mereka sendiri tidak begitu memerlukan bagian warisan. Untuk membela
nasib mereka, orang tuanya sebelum meninggal dunia mewasiatkan
sebagian hartanya untuk anaknya itu yang kurang beruntung.
Jadi menurut pandangan ini, bolehnya berwasiat kepada ahli waris
bukan tujuan membeda-bedakan tanpa alasan, tetapi melalui pertimbangan
yang mendasar.
Para ulama berpendapat bahwa batas maksimal wasiat yang dibolehkan
ialah sepertiga dari seluruh harta peninggalannya. Suatu riwayat
menyebutkan:11

10
11
ِ‫هللا يُّ أَ ْخ أَ أَ أَ هللا‬
ِ ‫ و أَ ا َّل‬II‫ع ْخ‬ ُ ‫أ َ الل ِهن ْخ هللاِ ْخ أَ هللاِ ْخ‬II‫أَ َّل ث‬
ُ ‫ع ْخ‬
ُ ‫ع‬

‫ أَ َّل‬. ‫ع أَ ْخ ٍد‬ ُ َ‫أ َ أ‬II‫ع أَ ( أَ أَ َّل ثأَن‬


ُ ‫ و‬I‫ع ْخ‬ ُ َ‫ْخ أَس ) أَ ْخ ناهللِ ْخ ْخ أ‬
ُ ‫ع ْخو‬
‫ع ْخ أَ أَ أَ ْخ‬
ُ ِ‫ ُع ْخ أَ ْخ هللاِ أَ الل ِهم ْخ هللا‬II‫ع يُّه‬
ُ . ‫ع أَل ْخ ٍد‬
ُ ‫ع‬
ُ ‫أ َ ْخ‬II‫ثأَن‬
َ‫ َّل أَا أَ يُّض هللاِ أ‬IIIII‫ و أَ َّل ان‬IIIII‫ اأَ ْخ‬: ‫ أَ أَا‬. ‫أَ هللاِ ْخ هللاِ أَ هللاِ ْخ هللاِ أَ َّل ٍدا‬

‫ع أَ أَ ْخ‬
ُ َ‫ و أَا هللاِ أَ أ‬III‫ع ْخ‬
ُ ‫ع فأَإهللاِ َّل أَا‬III‫ع الل ِه‬
ُ ُّ‫ع الل ِهث هللاِ اأَ ا ي‬
ُ ‫اثي‬
ُّ
ِ‫ف أَ هللا‬II‫ أَ الل ِه‬. ٌ ‫ع ُعث أَ الل ِهث ْخ‬
ُ ‫اثي‬
ُّ َ‫ع ُعث أ‬ ُّ : ‫هللاِ أَ أَ َّل أَ أَ أَا‬
ُ ‫اثي‬

. ٌ ‫ أَ هللاِ ْخ ٌ أَ ْخ أَ الل ِهث ْخ‬: ‫ْخ الل ِهث أَ هللاِ ْخ ٍدع‬

Artinya: “Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Musa al-Raziy


mengabarkan kepada kami, isa (yaitu yunus) dan Abu Karib
mengabarkan kepada kami. Ibnu Numair mengabarkan kepada
kami, masing-masing dari Hisyam bin Urwah dari bapaknya dari
Bani Abbas. Ia berkata: alangkah baiknya andaikata orang mau
menurunkan dari sepertiga menjadi seperempat. Maka
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: sepertiga itu banyak. Dan
dalam hadits Waki‟: sepertiga itu besar dan banyak”.
Wasiat baru dianggap sah dan bisa terlaksana bila terpenuhi semua
unsurnya dan cukup pula syarat-syarat setiap unsurnya itu. Unsur (rukun)
wasiat itu ada empat, yaitu pihak yang berwasiat, pihak yang menerima
wasiat, obyek yang diwasiatkan dan shigat ijab kabul.

B. Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Wasiat kepada Ahli Waris


Lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk untuk
kemaslahatan umat Islam Indonesia. Pola reformasi Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pada dasarnya tidak lepas dari pola-pola ijtihad yang dikembangan oleh
Ulama fiqh yang terdapat dalam segi doktriner, kodifikasi dan legislasi.
Dilihat dari segi doktriner, Kompilasi Hukum Islam (KHI) merujuk
pada sumber utama yaitu al-Qur’an dan Hadits. Dalam hal ini, Perumus
Kompilasi Hukum Islam (KHI) senantiasa memperhatikan asbāb al-nuzūl
suatu ayat dan asbāb al-wurūd suatu hadist.
Dilihat dari segi kodifikasi, para perumus Kompilasi Hukum Islam
(KHI) ini mengambil sumber dari penalaran para fuqaha yang terdapat dalm
kitab fiqh yang dikaji oleh para ulama tersebut melalui al-Qur’an dan Hadits.
Adapun dari segi legislasi terlihat dalam usaha pemerintah dan tokoh
masyarakat dalam merumuskan, menghimpun dan mengesahkan dalam bentuk
Intruksi Presiden (Inpres). Tahapan ini merupakan langkah dalm merumuskan
garis-garis hukum Islam yang dituangkan ke dalam bahasa
perundangundangan.
Usaha penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah bagian dari
upaya dalam rangka mencari pola fiqh yang bersifat khas Indonesia atau fiqh
yang bersifat kontekstual, maka proses ini telah berlangsung lama sejalan
dengan perkembangan hukum Islam di Indonesia atau paling tidak sejalan
dengan kemunculan ide-ide pembaharuan dalam pemikiran hukum Islam
Indonesia seperti yang dipelopori oleh Hazairin, Hasby ash-Shiddiqy dan
sebagainya. Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam (KHI) di
Indonesia untuk pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama RI yaitu
Munawir Sadzali pada bulan Februari 1985.
Penyusunan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat dipandang sebagai
suatu proses transformasi hukum Islam dalam bentuk tidak tertulis ke dalam
peraturan perundang-undangan. Dalam penyusunanny dapat dirinci pada dua
tahapan. Pertama, tahapan pengumpulan bahan baku yang digali dan berbagai
sumber baik tertulis maupun tidak tertulis. Kedua, tahapan perumusan yang
berdasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan sumber
hukum Islam (al-Qur’an dan hadits).12
Pelaksanaan KHI dilakukan dengan perencanaan yang matang dan
hati-hati walaupun tetap harus diselesaikan dalam waktu dua tahun seperti
tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Ketua Mahkamah Agung
dan Menteri Agama pada bulan Maret 1985 di Yogyakarta. Dalam masa dua
tahun itu sekaligus dipersiapkan hal-hal yang akan mengarah kepada
pembentukan kesadaran hukum masyarakat muslim supaya siap untuk
menerima hasil akhir dari KHI itu sebagai hukum yang benar dan adil. Hal ini
penting sekali karena kesadaran hukum masyarakat merupakan tonggak ketiga
yang menopang berlaku dan tegaknya hukum dalam suatu masyarakat.
Dari penegasan ini tampak bahwa latar belakang pertama dan
diadakannya penyusunan KHI adalah karena adanya kesimpangsiuran putusan
dan tajamnya perbedaan pendapat tentang masalah-masalah hukum Islam.
Menurutnya ada beberapa hal yang melatarbelakangi diadakannya Kompilasi
12
Hukum Islam (KHI) ini. Keadaan persepsi yang tidak seragam tentang
syari’ah telah menyebabkan hal-hal:
1. Ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa yang disebut dengan hukum
Islam itu;
2. Ketidakjelasan bagaimana melaksanakan syariah Islam;
3. Akibat yang lebih jauh lagi, adalah kita tidak mampu mempergunakan
jalan-jalan dan alat-alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan
perundang-undangan lainnya.

Faktor ulama, terutama ulama fiqh amatlah menentukan. Tidak


mungkin membina dan memperkembangkan hukum Islam tanpa
keikutsertakan para ulama. Suatu KHI tidak mungkin berlaku kalau hanya
dibuat dan diberikan dari atas (Pemerintah, MA) saja, tanpa keikutsertakan
ulama. Para ulama masih tetap memegang peranan menentukan dalam hal-hal
keagamaan. Karenanya dalam hal hukum Islam, para ulama fiqh tetaplah
memgang peranan yang menentukan. Dan dalam perencanaan dan pelaksanaan
KHI, benar-benar tergabung para ulama, umara‟ dan zuama.
Selain itu, masih ada lagi faktor-faktor lain yang harus
dipertimbangkan secara matang dalam perencanaan dan pelaksanaan KHI.
Faktor-faktor itu antara lain faktor sejarah hukum Islam, faktor psikologi umat
Islam yang sangat cinta dan kasih kepada negeri tempat agama Islam
diturunkan dan faktor kitab-kitab fiqh dari mazhab-mazhab yang memang
merupakan amal dan jasa para ulama mujtahid terdahulu. Terakhir,
dipertimbangkan pula putusan-putusan peradilan agama di Indonesia sejak
masa paling awal, karena memang faktor ini tidak boleh diabaikan sama
sekali. Peradilan Agama telah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan selama
35

masa itu telah memberikan putusan-putusan hukum yang merupakan hukum


yang hidup dan dihayati oleh kaum muslim di Indonesia.
Maka dengan pertimbangan semua faktor tersebut, diputuskanlah
bahwa KHI itu dilaksanakan melalui jalur-jalur pengumpulan data bagi
penyusunan tiga kitab hukum, yaitu: (1) Kitab Hukum tentang Perkawinan,
(2) Kitab Hukum tentang Kewarisan dan (3) Kitab Hukum tentang
Perwakafan.13
Ketiga kitab hukum itu memuat hukum Islam yang sekarang menjadi
kewenangan Peradilan Agama dan ditulis dengan bahasa
hukum/undangundang Indonesia. Dengan demikian, hukum Islam yang
termuat dalam ketiga kitab hukum itu akan menjadi bagian dari kultur hukum
Indonesia dan akan menjadi bagian dari hukum Nasional Indonesia.
Usaha-usaha pengumpulan data bagi penyusunan tiga kitab hukum itu
melalui jalur:

1. Peradilan dan Hakim-Hakim Agama


Peranan dari para Hakim Agama yang mekanisme kerjanya sudah
mempunyai landasan yang kokoh dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun
1989 tentang peradilan agama, maka dalam menghadapi KHI sebagai
ketentuan hukum materiel yang harus dijalankannya tidak hanya berfungsi
sebagai “mulut dari kompilasi” akan tetapi dituntut untuk lebih
meningkatkan peranannya dalam berijtihad menemukan hukum melalui
perkara-perkara yang ditanganinya.

2. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim


Indonesia (ICMI)
Majelis ulama Indonesia (MUI) dan Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia (ICMI) baik secara sendiri maupun bersama-sama perlu lebih
meningkatkan peranannya untuk mengkaji beberapa aspek
kemasyarakatan yang berdimensi hukum yang memang sangat diperlukan

13
36

oleh masyarakat dalam rangka menetapkan hukum dalam masyarakt


Indonesia yang sedang membangun.

3. Lembaga-lembaga Hukum dan fatwa dari organisasi Islam


Peranan dari lembaga-lembaga hukum dan fatwa yang ditemui
pada berbagai organisasi Islam yang ada di Indonesia seperti Nahdatul
Ulama (NU), Muhammadiyah dan lain-lain perlu lebih ditingkatkan dalam
rangka mendukung MUI dan ICMI. Namun kiranya juga perlu dijaga
jangan sampai terjadi lahirnya berbagai fatwa hukum yang bersifat sangat
controversial dan dapat membingungkan umat.

4. Lembaga Pendidikan Tinggi


Kegiatan penelitian dibidang hukum Islam harus lebh digalakkan.
Fakultas Syari’ah dan Hukum harus lebih meningkatkan kepeduliannya
mengenai masalah-masalah hukum Islam dalam masyarakat dan
mengangkatnya untuk dijadikan topik-topik penelitian yang bersifat lebih
mendasar baik yang menyangkut penelitian kepustakaan maupun
penelitian lapangan tentang pelaksanakan hukum Islam dalam masyarakat
Indonesia masa lampau dan masa kini. Kemudian sudah saatnya pula
dipikirkan perlunya pembentukan satu pusat kajian hukum islam yang
melibatkan semua unsur untuk menggarap hal-hal yang bersifat teknis dan
mendasar berkenaan dengan masalah-masalah hukum Islam.

5. Lembaga-lembaga Penelitian dan Pengkajian Pemerintah


Lembaga-lembaga Penelitian dan Pengkajian dari Pemerintah
semacam LIPI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Agama dan sebagainya sudah harusnya
melibatkan diri dalam kegiatan penelitian dan pengkajian masalahmasalah
hukum Islam yang berskala Nasional.

6. Media Massa
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
37

Peranan media massa dalam persoalan ini sangat besar sekali untuk
menjembatani komunikasi ilmiyah dari berbagai pihak yang terlibat dalam
pengkajian dan penelitian masalah-masalah hukum Islam.

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan salah satu hukum materiil


yang dipergunakan di Peradilan Agama. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
muncul ketika beraneka ragam putusan Pengadilan Agama, antara Peradilan
Agama yang satu dengan Peradilan Agama yang lain berbeda, bahkan tidak
jarang pula dalam kasus yang sama putusan juga bebeda-beda. Hal ini
disebabkan oleh banyaknya kitab rujukan yang dipergunakan oleh Hakim
Agama dalam mengadili perkara tersebut yang masih mentah dalam dalam
kitab kuning. Oleh karena itu, berdasarkan surat edaran biro Peradilan Agama
No. 45 tahun 1957 tentang pembentukan Pengadilan Agama/Mahkamah
Syari’ah dianjurkan agar menggunakan 13 kitab kuning sebagai pedoman
dalam pengambilan keputusan. Kitab-kitab tersebut antara lain sebagai
berikut:14
1. Al-Bajuri
2. Fathul Mu‟in dengan Syarahnya
3. Syarqawi at-Tahrir
4. Qulyubi/al-Muhalli
5. Fathul Wahab dengan Syarahnya
6. Tuhfah
7. Targhibul musytaghfirin
8. Qawanin Syar‟iyah lissayyid Usman bin Yahya
9. Qawanin Syar‟iyyah lissayyid Shadaqah Dakhlan
10. Al-Fiqhu „ala Mazhabil Arba‟ah
11. Syamsuri lil Fara‟idh
12. Bughyatul Mustarsyidin
13. Mugni al-Muhtaj.

14
38

Melalui Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri


Agama tanggal 21 Maret 1985 dan No. 25 tahun 1985 tentang Penunjukan
Pelaksana Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui Yurisprrudensi
dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang berlangsung untuk jangka waktu
dua tahun. Menurut SKB tersebut ditetapkan bahwa Pimpinan Umum dari
proyek adalah Busthanul Arifin. Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan
Agama Mahkamah Agung dengan dibantu oleh dua orang wakil Pimpinan
Umum masing-masing Djoko Soegianto. Ketua Muda Urusan Lingkungan
Peradilan Umum Bidang Hukum Perdata tidak tertulis Mahkamah Agung dan
Zaini Dahlan, Direktur Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama. Sebagai pimpinan pelaksana proyek adalah Masrani
Basran, Hakim Agung Mahkamah Agung dengan wakil Pimpinan
Pelaksanaan Muchtar Zarkasih, Direktur Pembinaan Badan Peradilan Agama
Islam Departemen Agama. Sebagai sekretaris adalah Lies Sugondo, Direktur
Direktorat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung dengan wakil Sekretaris
Marfuddin Kosasih. Bendahara adalah Alex Marbun dari Mahkamah Agung
dan Kadi dari Departemen Agama.
Di samping itu ada pula pelaksana bidang yang meliputi:
1. Pelaksana bidang kitab/yurisprudensi:
a. Ibrahim Husein (dari Majelis Ulama)
b. Kholid (Hakim Agung Mahkamah Agung)
c. Wasit Aulawi (Pejabat Departemen Agama)
2. Pelaksana bidang wawancara
a. M. Yahya Harahap (Hakim Agung Mahkamah Agung)
b. Abdul Ghani Abdullah (Pejabat Departemen Agama)
3. Pelaksana bidang pengumpulan dan pengolahan data
a. Amiroeddin Noer (Hakim Agung Mahkamah Agung)
b. Muhaimin Nur (Pejabat Departemen Agama)

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam


39

Lokakarya yang pada tanggal 2-6 Februari 1988 bertempat di Hotel


Kartika Chandra Jakarta, dibuka oleh Ketua Mahkamah Agung Ali Said juga
memberi kata sambutan Menteri Agama Munawir Sadzali. Setelah
pembukaan pimpinan proyek Busthanul Arifin memberikan beberapa
penjelsan berkenaan dengan materi lokakarya dan seterusnya para peserta
lokakarya dibagi ke dalam 3 komisi masing-masing:
a. Komisi I Bidang Hukum Perkawinan diketuai oleh Yahya Harahap,
sekretaris Marfuddin Kosasih, narasumber Halim Muchammad dengan
anggota sebanyak 42 orang.
b. Komisi II Bidang Hukum Kewarisan diketuai oleh Wasit Aulawi dengan
sekretaris Zainal Abidin Abu Bakar, narasumber A. Gani Basyir dengan
anggota sebanyak 42 orang.
c. Komisi III Bidang Hukum Perwakafan diketuai oleh Masrani Basran
dengan sekretaris Abdul Ghani Abdullah, narasumber Rahmat Jatnika
dengan anggota sebanyak 29 orang.

Kegiatan proyek ini dilakukan sebagai usaha untuk merumuskan


pedoman bagi Hakim Pengadilan Agama dengan menyusun KHI yang selama
ini menjadi hukum materiil di Pengadilan Agama. Tujuannya adalah
merumuskan hukum materiil bagi Pengadilan Agama dengan jalur usaha
sebagai berikut:
a. Pengkajian kitab-kitab fiqh
b. Wawancara dengan para ulama
c. Yurisprudensi Pengadilan Agama
d. Studi perbandingan hukum dengan negara lain
e. Lokakarya/seminar materi hukum untuk Pengadilan Agama.

Sekalipun Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah diberlakukan di


Indonesia dan telah menjadi pedoman di lingkungan Peradilan Agama (PA),
hal ini bukan berarti Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak butuh
penyempurnaan. Sebagaimana watak fiqh yang mungkin selalu mengalami
40

perubahan karena perkembangan, maka Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang


satu sumber pembentukannya mengacu kepada fiqh dimungkinkan adanya
perubahan.
Adapun menurut pasal 195 ayat 2 dan 3 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) pemberian wasiat kepada ahli waris adalah boleh selama tidak melebihi
sepertiga (1/3) dari harta warisan dan telah adanya izin dari ahli waris
lainnya.15
Tujuan dibuatnya Pasal 195 KHI ada dua yaitu tersurat dan tersirat.
Tujuan yang tersurat mengacu pada ketentuan yang sudah ada pada pasal 195
KHI sedangkan tujuan tersiratnya adalah untuk menyatukan berbagai
pandangan mazhab dan pandangan hukum agar memudahkan pemahaman
terhadap isi dari pasal 195 KHI.
Bahwasanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) khususnya tentang wasiat
kepada ahli waris, pada dasarnya telah sepakat dengan pendapat yang dianut
oleh jumhur Ulama dan mazhab Syafi’i. Hal ini dikarenakan keberadaan
mazhab Syafi’i yang sangat mendominasi di Indonesia sehingga pemikiran
hukum Islamnya pun mempengaruhi terhadap masyarakat Indonesia.
Sedangkan secara keseluruhan pendapat Hazairin tersebut terasa lebih dekat
atau sejalan dengan pendapat Mazhab Ja’fariyah daripada empat mazhab yaitu
Mazhab Hanafi, Maliki, Hanbali, Syafi’i.
Keberadaan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam hal ini secara
khusus posisi wasiat kepada ahli waris adalah masih bisa mengayomi
masyarakat Indonesia Islam selama atas persetujuan ahli waris yang lain dan
tidak melebihi sepertiga (1/3) dari seluruh harta warisan. Dalam hal ini,
apabila ada perkara yang diajukan ke lingkungan Peradilan Agama (PA) yang
berkaitan dengan wasiat kepada ahli waris, maka Hakim harus bisa

15
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam
41

memutuskan perkara tersebut berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)


tentang wasiat kepada ahli waris, sehingga tidak ada perdebatan karena belum
ada hukum lain yang mengaturnya karena dalam sifat penegakkan hukum ada
yang bersifat normatif dan bersifat fungsional selama belum ada hukum baru.
Pengaturan mengenai wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
diatur dalam pasal 194 sampai dengan pasal 209 yang terdapat dalam Bab V
tentang wasiat. dalam pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam (KHI) diatur baik
mengenai orang yang berhak untuk berwasiat (subjek wasiat), bentuk wasiat,
jenis-jenis wasiat, pembatalan dan pencabutan wasiat, dan hal-hal lain yang
berkenaan dengan wasiat.
Terdapat dua syarat kumulatif dan satu syarat tambahan orang yang
berhak berwasiat sebagian harta miliknya sebagaimana termuat dalam
ketentuan pasal 194 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, yang menetapkan
bahwa: “Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal
sehat dan tanpa ada paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya
kepada orang lain atau lembaga”. Jadi dari ketentuan Pasal 194 ayat (1) bisa
kita ketahui syarat kumulatif orang yang berwasiat yakni berumur
sekurangkurangnya 21 tahun dan berakal sehat, sedangkan syarat tambahan
orang yang berwasiat adalah tanpa adanya paksaan.
Rupanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) menggunakan ukuran-ukuran
mengandung kepastian hukum untuk menentukan apakah seorang itu cakap
atau tidak cakap melakukan perbuatan hukum melainkan mempergunakan
batasan umur yaitu sekurang kurangnya 21 tahun.
Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, disebutkan dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 195 yang berbunyi: (1) Wasiat
dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua
orang saksi, atau dihadapan Notaris; (2) Wasiat hanya diperbolehkan
sebanyakbanyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli
waris menyetujui; (3) Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh
semua ahli waris; (4) Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini
42

dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua
orang saksi di hadapan Notaris.
Sebenarnya wasiat kepada ahli waris tidak berlaku jika mereka atau
ahli waris yang lain tidak menyetujuinya, akan tetapi jika ahli waris lainnya
menyetujui pemberian warisan kepada ahli waris maka sah-sah saja dilakukan
dengan batas maksimal sepertiga harta warisan sesuai dengan yang telah
dijelaskan dalam ketentuan KHI pasal 195 ayat (3) yang menyatakan “Wasiat
kepada ahli waris hanya berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris”.
Persetujuan ahli waris yang dimaksudkan adalah untuk menghindari terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan.
Dimana dasar filosofis pembentukan pasal 195 KHI ini didasarkan
pada Hadits Riwayat Al-Dar Quthny.

‫ع أَ أَ ْخ‬
ُ َ‫أَ أ‬ ِ‫هللا‬ ‫ع ْخو أَا‬
ُ ‫ أَ أَا أَا‬: ‫الل ِها أَ أَ أَ أَا‬ َ‫أَ ْخ أَ ْخل هللاِ ْخ هللاِ أ‬
َ‫َّل أ‬ ِ‫ أَ َل أَ هللا‬: َ‫هللاِ أَ أَ َّل أ‬
َ
(‫ا ا ن‬ ُ
‫ع )ا‬ َ ‫الل ِها أَو الل ِها هللاِ هللاِ لَّ َل أ ْخ أَ الل ِهج ْخ أَز ْخا أَو أَاثأ‬
Artinya: “Dari Umar bin Kharijah, Rasulullah berkata: Tidak boleh
berwasiat untuk ahli waris, kecuali jika dikehendaki oleh ahli waris
(yang lain)”. (Riwayat al-Dar Quthny).

Berwasiat kepada ahli waris menurut ketentuan pasal 195 KHI yang
tersurat adalah wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau
tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris, wasiat hanya
diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali
apabila semua ahli waris menyetujuinya, wasiat kepada ahli waris berlaku bila
disetujui oleh semua ahli waris, pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3)
pasal ini dibuat secara lisan dihadapan dua orang saksi atau tertulis dihadapan
dua orang saksi dihadapan Notaris karena seperti kita ketahui sebelum Hukum
Islam di kompilasikan terdapat berbagai perbedaan pendapat diantara
kalangan fuqaha. Sementara ketentuan pasal 195 yang tersirat yaitu agar
43

menyatukan pandangan mazhab dan untuk menyatukan pandangan hukum


sehingga dapat dijadikan dalam satu pedoman yaitu Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
Adapun bentuk wasiat menurut KHI terdapat dalam pasal 195 yaitu
dapat dilakukan dengan cara:
1. Lisan, bahwa suatu wasiat ataupun akta di bawah tangan harus dilakukan
di hadapan dua orang saksi.
2. Tertulis, bahwa suatu wasiat yang dilakukan secara tertulis dapat berupa
akta di bawah tangan dan akta otentik. Apabila wasiat ditujukan kepada
ahli waris, maka persetujuan ahli waris atau para ahli waris lainnya itu
dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Persetujuan lisan maupun
tertulis yang bukan akta otentik harus dilakukan di hadapan dua orang
saksi atau di hadapan notaris.
Dalam hal ini dua orang saksi sangat dibutuhkan karena mengingat
sangat pentingnya kedudukan wasiat terhadap harta peninggalan seseorang,
suatu wasiat bila terjadi hendaklah dikuatkan dengan alat-alat bukti yang
dapat menghindarkan perselisihan di masa-masa yang akan datang. Apabila
wasiat dinyatakan secara lisan maka hendaknya diucapkan dihadapan saksi-
saksi yang dapat dipercaya dan tidak mempunyai hubungan kepentingan
dengan harta peninggalan, seperti RT, RW, Lurah, atau pihak-pihak yang
berwenang dalam masyarakat. Selain itu harus disebutkan dengan tegas dan
jelas siapa atau siapa-siapa atau lembaga apa yang ditunjuk akan menerima
harta benda yang diwasiatkan (Pasal 196 KHI). Wasiat dalam bentuk tertulis
akan lebih sempurna apabila ditulis di atas kertas bermaterai, wasiat yang
dibuat secara tertulis hanya dapat dicabut dengan cara tertulis dan disaksikan
dua orang saksi atau berdasarkan akta notaris (Pasal 199 ayat (3) KHI). Dan
agar tidak timbulnya keragu-raguan terhadap sebuah wasiat sebaiknya wasiat
dilaksanakan dihadapan notaris. Surat wasiat yang dibuat berdasarkan akta
notaris, maka hanya dapat dicabut berdasarkan akta notaris.
44

Dalam surat baik dibuat secara tertulis, maupun secara lisan, harus
diterangkan dengan jelas dan tegas siapa-siapa saja, atau lembaga mana saja
yang ditunjuk untuk menerima harta yang diwasiatkan itu.
Dalam kasus wasiat kepada ahli waris sering terjadi perbedaan putusan
walaupun kasusnya sama, hal ini didasarkan pada pandangan para ulama yang
mempunyai pandangan berbeda atau perbedaan pendapat terhadap wasiat
kepada ahli waris. Dalam mengatasi hal seperti ini, berwasiat kepada ahli
waris menurut pasal 195 KHI ialah selama ahli waris yang lain itu
menyetujuinya serta sekaligus hal ini menjadi dasar hukum dalam
memutuskan perkara wasiat kepada ahli waris. Bilamana ahli waris yang lain
menyetujuinya maka wasiat itu sah dilakukan dan apabila tidak disetujui oleh
ahli waris lainnya maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.
Dan berwasiat kepada ahli waris dalam pasal ini juga menjadi salah
satu acuan dasar para hakim untuk memutus perkara wasiat kepada ahli waris.
Dalam hal ini, apabila ada perkara yang diajukan ke lingkungan Peradilan
Agama yang berkaitan dengan wasiat kepada ahli waris, maka hakim bisa
memutuskan perkara tersebut berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
tentang wasiat kepada ahli waris. Sehingga tidak ada perdebatan karena belum
ada hukum lain mengaturnya, karena dalam sifat penegakan hukum, ada yang
bersifat normatif dan bersifat fungsional selama belum ada hukum baru.
Adapun dalil tentang sanksi dan keberadaan notaris adalah dalam surat
Al-Nisā’ ayat 135:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang
benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun
terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika
ia97 Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya.
Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan
(katakata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS.
Al-Nisā’: 135)
45

Anda mungkin juga menyukai