Penulis: Apiida
Matahari tertahan di balik awan. Kegelapan belum sepenuhnya memudar. Terlihat dari arah
lapangan, sebuah sepeda mendekat dengan kecepatan tinggi. Pengendaranya tak selaras dengan sepeda
besar yang dinaiki. Walau demikian, tubuh mungil gadis itu terlihat luwes. Ia seperti menari, mengikuti
ke mana arah kaki berayun. Bahu kanan dan kiri turun bergantian. Posisi tangan kokoh layaknya
pembalap kuda yang siap memegang kendali. Kaki kecil nan kurus menekan pedal dengan sekali hentak.
Napas gadis itu terdengar sepenggal demi sepenggal. Tak utuh. Kadang pendek. Tak jarang pula
panjang. Mendekati sekolah, bibir gadis yang biasa disebut Ayu itu terlihat mengerucut. Sesaat
setelahnya, terbuka lebar dengan hentakan kuat “hah” di depan SD bertuliskan Jatilengger I.
Bertumpukan pada salah satu kaki, gadis kelas enam itu terseok-seok menghentikan sepeda dekat
pagar bambu. Kecekatan kakinya terlatih sehingga ia tak terjungkal atau jatuh. Tanpa memarkir sepeda
ke tempatnya, gadis lincah itu berlari ke kelas dan menyapa tukang kebun, Pak Sodron.
“Eling iki jam piro? Kancamu jek podo turu.” (Ingatkah ini jam berapa? Temanmu masih tertidur.)
Rasa heran lelaki tambun itu hanya dibalas dengan senyuman. Ayu sekuat tenaga berlari menuju
kelas enam dan meletakkan tas. Tepat di bangku depan, berhadapan dengan kursi guru berada. Setelah
dirasa pas, Ayu tersenyum puas. Dengan semangat membara, ia memompa kaki penuh kapal itu untuk
Matahari telah mencarkan cahaya secara sempurna bersamaan dengan selesainya Ayu beberes
rumah. Ia pun segera berpamitan pada sang bapak. Sewaktu menurunkan keronjot dari sepeda tua di
sudut halaman rumah, sepeda dengan berbagai merek dan bentuk melewati rumah Ayu. Mereka terlihat
saling menyalip. Tak peduli lelaki atau perempuan, mereka berlomba ke sekolah.
Ayu memaklumi semua itu. Siapa yang tak bangga namanya dipanggil di hadapan wali murid dan
mendapat pujian di sana. Entah dimulai sejak kapan, hari pertama masuk sekolah selalu dibarengi
dengan pemilihan tempat duduk. Segala kemampuan dikerahkan demi berebut bangku di kelas. Deretan
depan adalah tempat terbaik. Siapa yang duduk di sana sudah selangkah lebih maju. Ada penilaian
tersendiri dari guru. Hal ini juga disampaikan sewaktu penerimaan rapor sebagai penilaian sikap.
Ayu terkekeh. Ia masih santai mengayuh sepeda tua milik sang bapak, sebelum meminta Yanti
mendahuluinya. Tanpa berpikir panjang, gadis berkepang dua itu meninggalkan Ayu sendirian dengan
pikirannya.
Berbeda dari hari sebelumnyai. Hari ini, semuanya serba istimewa. Bersamaan dengan hari
pertama masuk sekolah, hari ini juga ulang tahun bapaknya. Ayu ingin memberikan sesuatu yang
istimewa. Karena itulah, ia tak mau kalah dari Gatot, salah satu teman sekaligus pesaingnya dalam
memperebutkan juara.
Sewaktu di kelas lima, Gatot menggunakan trik untuk bisa menempati bangku di depan Bu
Yasmin. Berangkat lebih pagi, meletakkan tas sebagai penanda di bangku pilihan, dan kembali
bersamaan dengan masuknya murid lain. Selain mampu menipu, trik ini semakin mengokohkan
statusnya sebagai juara baru. Sedangkan Ayu, harus puas terdampar di pojokan.
Bapak yang tak dipanggil namanya sewaktu penerimaan rapor terlihat kecewa. Menurutnya
pemilihan tempat duduk jugalah yang membuat nilai Ayu merosot. Selama di kelas satu hingga tingkat
empat, Ayu menuruti nasehatnya. Seiring berjalannya waktu, ia terkadang ingin berkumpul dengan
teman-temannya. Sayang semua keinginannya harus termentahkan oleh kekecewaan Bapak. Walau tak
terkatakan secara langsung, binar mata yang mulai menua itu menjelaskan semuanya.
Tak ingin bernasib sama. Sedari pagi, Ayu rela bangun lebih awal dan menembus dinginnya udara
“Kok melamun, Yu. Awas Pak Anto lewat.” Perkataan Yanti membuyarkan segalanya.
Ayu bergidik, ngeri. Di antara semua guru, Ayu paling anti dengan guru satu ini. Guru kerempeng
yang mengajar IPS ini memang sudah terkenal dengan kemesumannya. Sayang, mereka semua tak
berani melapor ke guru lain. Rasa takut yang diselimuti rasa hormat membungkam mulut mereka.
Dulu, Ayu tak percaya akan wanti-wanti yang dikeluarkan Yanti. Menurutnya. Kedekatan Pak Anto
dengannya murni karena ia memiliki nilai tertinggi di kelas. Menjadi pesuruh sekaligus membantu
Termasuk hari itu, kelas lima ada pelajaran olahraga. Namun, Pak Bagio yang seharusnya mengisi
kegiatan terpaksa cuti karena sakit. Murid kelas lima dibiarkan bermain di lapangan. Ayu dipanggil Pak
Anto ke kantor yang ternyata kosong. Tak ingin mengecewakan guru yang dihormati, ia masuk dan
“Bisa buat teh, Yu?” Ayu hanya mengangguk. “Tolong, buatkan secangkir.”
Ayu tak canggung. Ia dengan sigap menuju ruang UKS sekaligus tempat memanaskan air.Toples
gula, teh celup, dan kopi di lemari pun ia sudah hafal. Ini semua karena ia terbiasa membantu Bu Yasmin
diganti kopi. Ayu tak membantah atau memberi penolakan. Ia berjalan ke arah rak yang berisi gelas.
Namun, belum genap tangannya meraih gelas itu, ada sesuatu yang aneh merayap di punggungnya
menuju ke bawah. Bulu kuduk bocah yang belum pernah disentuh sedemikian intim itu meremang.
Perkataan lembut itu justru merobek ketidakberdayaan Ayu. Rasa jijik menjalar, mengobarkan api
yang menyemangati setiap pori tubuh untuk melawan. Gadis itu berusaha bergerak. Meregangkan jarak,
tetapi lelaki berkumis lebat itu menarik dan menyudutkannya ke lemari. Ayu tak habis akal, ia
mengatakan kalau Yanti menunggunya. Namun, guru yang dikenalnya ramah itu justru melarangnya
mengaitkan hal ini dengan siapa pun. Pertahanan Ayu melemah. Badannya kalah besar. Tenaganya pun
Tangan kasar itu meraba ke bagian lain. Ayu berusaha berteriak, tetapi suara itu tertahan di
kerongkongan. Matanya hanya bisa terpejam dan berdoa. Semoga Allah masih melindunginya. Saat
semuanya memburam di pelupuk mata, terdengar suara Bu Yasmin dari luar. Tanpa pikir panjang, Ayu
berteriak, “Teh!”. Detik setelahnya, entah dapat kekuatan dari mana, kakinya yang gemetar bergerak
dan melangkah. Meninggalkan Pak Anto dan air yang telah mendidih.
Sejak detik itu, Ayu menghindari Pak Anto. Jika di kelas ia berpura-pura menjadi anak baik. Ketika
“La, malah melamun lagi. Awas kesambet setan,” ujar Yanti yang disambut timpukan di
pundaknya.
Keduanya masih meneruskan bercanda hingga di ambang pintu. “Kalau sama dengan tahun
kemarin syukurlah. Kalau tidak … semoga ia ramah dan tak galak,” lirih Ayu.
Saat Ayu menduduki bangkunya, reaksi Gatot tak seperti yang dibayangkan. Anak dari pemilik
dealer mobil itu terlihat tenang dan santai di pojokan bersama teman segengnya, Kolis dan Didit. Pun
ketika upacara tadi, ia masih bercanda seperti biasa. Tak ada raut kekecewaan apalagi terganggu dengan
“Pagi semua,” Sebuah sapaan terdengar. Ayu memfokuskan pandangan ke guru yang baru masuk
kelas. Semuanya tertawa. Guru itu pun mengeluarkan beberapa lelucon sebelum mengenalkan diri
Ayu terperangah. Ia tak mampu menahan kecewa. Sekilas ia memandang Gatot. Pantas ia tak
menginginkan posisi ini. Sepertinya, Bu Yasmin—ibunya—sudah memberitahukan kalau Pak Anto yang
terkenal galak dengan anak cowok itu akan menjadi wali kelas enam.