Anda di halaman 1dari 9

Mendidik Dengan Senyuman

Pengalaman Selama Mengabdi di SDN 032 Ambopadang Kec. Tubbi Taramanu (Tutar).
Kab. Pollewali Mandar Sulawesi Barat
By: Apiida

Saat ingin mengenal murid, mulailah mendekat hingga tidak ada jarak antara hati guru
dengan murid. Proses pembelajaran seorang guru tidak akan bermakna jika hati muridnya tidak
tergerak. Senyum adalah wujud ekspresi yang mampu menyalurkan isi hati antara guru dengan
murid saat digunakan tepat pada waktunya.

“Sugeng enjing, kulo Bu Apiida.” *


“Bahasa apa itu? Apa artinya bu?”
Pancinganku berhasil di hari pertama, selama satu tahun kedepan, SDN 032 Ambopadang
menjadi tempatku mengukir episode hidup di tanah Mandar. Pertama kali mengajar di daerah ini
ada pengalaman yang tidak terlupakan. Dari semua siswa, hanya beberapa anak yang mengenakan
seragam lengkap. Ada yang tidak memakai sepatu, tidak memakai seragam bahkan taspun ada yang
tidak punya.
“Jery, mana seragammu?”
“Tidak punya seragam bu?”
“Apakah tidak dibelikan?”
“Dibelikan, tapi sayang memakainya bu. Lagipula lebih mudah memakai kaos ini kan bisa
langsung main ke hutan nanti”
Jawaban Jery tidak berbeda jauh dengan siswa lainnya. Kepala sekolahpun hanya tersenyum
mendengar laporanku dan berkata “Itu bagus mereka mau sekolah bu, daripada tidak sekolah”.
Inilah sekolah di negeri yang dikatakan berpendidikan. Tapi disaat tertentu mereka mau
mengenakan seragam lengkap jika ada wakil Kepala Sekolah. Pak Yunus, itulah namanya dimana ia
merupakan guru yang paling ditakuti di sekolah ini.
Keterbatasan tidak menghalangi mereka untuk berekpresi, justru bisa dikatakan mereka
adalah anak-anak yang super aktif. Bahkan seringkali pukulan kayu ataupun cubitan menghampiri
kaki mereka. Walau tidak tahan melihatnya, aku hanya bisa diam karena yang melakukan guru
senior.
“Kalian tidak kesakitan?”
“Sakitlah bu.”
“Tapi kenapa kalian tetap nakal, baimana kalau dipukul lagi?”
“Kalau dimarahi dan dipukul ya diam, tapi ini sudah biasa. Kami masih ingin sekolah.”
Jawaban polos mereka membuatku hanya geleng kepala. Hebatnya lagi, setelah dipukul
seperti itu walau terkadang ada yang sampai menangis, mereka tetap sering melanggar peraturan
terutama saat jam pelajaran. Ada yang sering telat, keluar masuk kelas tanpa ijin bahkan ada yang
sering bolos sekolah dengan alasan membantu orang tua di kebun. Melihat kondisi seperti ini,
akupun ikut arus dan memarahi mereka, namun semua itu tidak memberikan efek apapun. Saat aku
berada pada posisi seperti ini, berkonsultasi dengan guru senior adalah jalan terbaik.
“Menghukum dan memukul mereka bukanlah suatu kesalahan jika mereka memang nakal,
memang tidak setiap hari tapi suatu waktu perlu dilakukan. Inilah yang namanya mendidik
kedisiplinan”
“Benarkah?”
“Memukul bukan berarti kita melakukan kekerasan terhadap anak, tapi itu adalah satu cara
untuk mendidik mereka. Jika kita tidak melakukannya maka mereka tidak akan menghormati kita
sebagai guru?”
“Tapi apakah itu tidak keterlaluan? Bagaimana kalau orang tua mereka tahu?”
“Tidak, ibu jangan takut itu tidak akan terjadi. Mereka sudah tahu bagaimana nakalnya anak
mereka sehingga mereka akan membiarkannya. Bahkan terkadang kalau mereka marah mereka
dapat memukul anak mereka dengan cara yang lebih parah”
“Ya Tuhan Bu!, kalau mereka dikasih hati mereka akan melunjak”, tambah salah seorang guru
lainnya.
Saat itu semua masih menjadi bahan pertimbangan dan diskusi, tidak ada banyak kata yang
dapat terucap. Hanya saja peristiwa seperti ini mengganggu hati nurani dan diluar nalar, seperti
inikah gambaran pendidikan saat ini?
---...---
Sikapku masih tidak berubah, aku hanya menasehati mereka namun apa yang dikatakan oleh
guru itu memang benar. Saat jam pelajaran berlangsung dan ketika kujelaskan di depan kelas ada
salah seorang anak yang berani memegang kepalaku, berbicara sesuka hati bahkan mereka berani
mengintip di balik kerudung yang kupakai. Saat itu aku hanya melotot dan langsung keluar kelas.
Sampai pelajaran berakhir kelas menjadi kosong. Akupun kembali ketika sudah waktunya pulang.
Betapa kagetnya waktu kutahu apa yang terjadi dikelas. Mereka masih menunggu walaupun hanya
bermain di kelas.
“Kenapa kalian masih disini?”
“Kami menunggu ibu. ”, Aslam dan Sahrul beranjak menghadapku, mereka merasa bersalah
atas apa yang telah dilakukan sebelumnya.
“Untuk apa ini?” Suasana hatiku masih diliputi kemarahan dan rasa malu
“Pukul kami sepuas ibu, tapi jangan marah lagi.” Mereka tertunduk dan aku hanya terdiam.
“Maafkan kami semua bu, anak yang lainpun bersahutan” Eko, sang ketua kelas keluar kelas.
“Ini bu!” Saat kembali, ia menyerahkan balok kayu. Semua pandangan tertuju padaku.
“Kami siap menerima hukuman bu.”
Mereka kompak mengatakannya. Tubuhku membeku, mata memanas, tanganpun bergetar
hingga balok itu hampir terjatuh. Ada sesuatu yang salah disini, mereka tidak sepenuhnya salah.
Memang kelakuan mereka terkadang keterlaluan namun yang sepatutnya dipertanyakan adalah
sikap kami sebagai gurunya. Kenapa mereka melakukannya? Akupun belum pernah menanyakannya.
Kami hanya perlu saling mengenal satu sama lain.
“Ayolah kita pulang bersama, kalian kembali ke tempat”, kuletakkan balok itu di meja.
“Kami tidak di pukul?”, kucubit pipi mereka dan sesaat mereka terlihat kaget kemudian
beranjak ke tempat duduk.
---...---
Keesokan harinya, kubawa kertas manila besar dan menempelkannya di papan.
“Baiklah ini adalah aturan kelas kita untuk semester ini. Silakan baca dan jika ada yang
keberatan silakan mengatakannya. Inilah pelajaran kita hari ini.”
“Apa itu bu? Datang pukul 07.30, lalu harus ada ijin dan apalagi tu bu?”
“Sudah ibu bilang, inilah aturan kelas kita. Kita akan membuat kesepakatan, siapapun yang
melanggar akan mendapat hukuman, termasuk ibu. Hukumanpun kita tentukan hari ini, yang tidak
mau mengikuti kelas ini silakan keluar dan belajar dengan guru lain.”
Perlahan bisiskan antar bangku terdengar, hingga keramain di kelaspun tercipta. Aku terdiam
mengamati mereka semua. 10 menit berlalu.
“Bagaimana?”
“Bu, kalau datang pukul 07.30 kasihan Mista bu, rumahnya diseberang bukit. Bagaimana kalau
jam 08.00?”
Usulan Inu merupaan awal dari diskusi kami dan diikuti pula oleh anak-anak yang lain.
Kesepakatan diantara kamipun tercipta. Inilah aturan kelas kami:
1.Datang tepat waktu, pukul 08.00 sudah masuk sekolah
2.Keluar masuk kelas saat jam pelajaran harus ijin guru kelas
3.Saling menghormati, bila ada yang bicara diengarkan dan tidak boleh menyela
4.Bila ingin mengeluarkan pendapat silakan mengacungkan tangan
5.Berdoa setiap mulai dan selesai pelajaran
Membuat aturan untuk dilanggar masih menjadi prinsip mereka. Hingga saat itu, pada saat
jam pelajaran berlangsung hingga hampir selesai bangku anak laki-laki yang berjumlah 9 orang hanya
tersisa 3 orang.
“Darimana kalian?” Mereka masuk kelas tanpa mengucapkan salam ataupun permisi
“Dari sungai bu, tadi ada anak yang berkelahi jadi kami melihat dan ikutan”
“Hm - kalau begitu silakan keluar”
“Kami mau belajar bu.”
Tanpa memberikan jawaban, akupun memandang mereka dan memberikan senyum sinis.
Mereka saling pandang kemudian keluar. Pelajaran berlangsung, walau aku tahu mereka berada
diluar kelas dan terkadang mengintip dari jendela untuk menarik simpati. Aku membiarkannya.
Pelajaran telah usai, akupun keluar untuk ke kantor.
“Bu, bolehkah kami masuk kelas lagi?”
Aku hanya memandang mereka sekilas, kuberikan senyum lagi kemudian pergi. Pelajaran hari
itu telah usai, tanpa ke enam muridku. Sebelum pulang sekolah, kutempelkan kertas dipapan depan
yang bertuliskan. “Maafkan Ibu yang mendiamkan kalian”
Keesokan harinya, kertas yang kutuliskan telah terganti dengan tulisan “Maafkan kami juga
bu, bolehkah sekarang kami masuk kelas?”. Aku melihat secercah harapan di kelas ini, seperti
cahaya matahari yang menerobos celah jendela dan dinding kelas VI.
---...---
“Dian!”
Ia sangat gesit dan larinya begitu kencang, aku tak mampu mengejarnya. Ia menjulurkan lidah
dan mengejekku namun aku tak kuasa membalasnya. Entah sudah berapa kali ia melakukannya.
“Kesini kau, sudah ibu bilang jangan melompati meja, itu tidak sopan”
Melompati meja, merupakan kebiasaan anak laki-laki dan perempuan. Mereka masih
melakukannya walau aku sudah memberikan larangan dan hukuman. Otakku terus berputar untuk
mendekatinya, tapi berbagai cara masih belum berhasil. Ia merupakan anak yang hiperaktif,
terkadang kalau ia marah, ia bisa memukuli teman-temannya hingga babak belur. Ia sangat ditakuti
oleh adik kelas ataupun teman-temannya.
“Bu, Dian mengamuk dan memukuli Sibli anak kelas 5 hingga menangis,” lapor Husna. Akupun
segera berlari ke kelas 5 untuk melihat mereka. Berbagai bayangan muncul dibenakku, kalau hari ini
Pak Yunus datang berarti matilah Dian, dan aku tidak tahu lagi apa hukuman yang ia terima. Dan
bagaimana dengan Sibli, apakah ia baik-baik saja?
“Dian.”
Ia tidak menoleh dan mengacuhkanku bahkan terus memukul Sibli, anak-anak disekitarnya
hanya menonton dan bahkan bersorak. Kulihat raut wajahnya telah memerah oleh amarah. Aku
tidak pernah melihat ia semarah itu. Kucoba memisahkan mereka namun gagal. Dian terus mengejar
Sibli walau sudah kupisahkan. Tanpa kusadari tangan ini memeluknya dari belakang. Ia bergetar dan
aku tahu itu adalah puncak dari kemarahannya.
“Lepaskan bu. Aku tidak mau memukulmu.”
“Pukullah jika kau mau.” Aku tak melepaskan pelukan hingga badannya mulai tenang.
“Kalian semua pergilah belajar lagi ini bukan tontonan!”
Kerumunan itupun akhirnya bubar. Kubawa Dian ke kelas VI, ia meronta tapi tak kulepaskan
pegangan dipergelangan tangannya. Kuberikan ia minuman dingin. Hingga pelajaran berlangsungpun
posisi kami tetap sama. Ia ingin protes namun setelah aku melotot padanya, ia tertunduk. Teman-
temannya ingin berbicara namun segera kuletakkan telunjuk dimulut hingga semuanya terdiam.
Sesaat sebelum pergi, kutulis sesuatu dibukunya, ibu rindu senyum Diam untuk sesaat tadi ibu
merasa ketakutan. Ia membaca surat itu kemudian merobek dan membuangnya di laci meja.
---....---
Peraturan tetaplah peraturan begitu juga dengan hukuman. Dian, Jery, Aslam, Sahrul ataupun
lainnya masih sering melanggar namun setelah itu mereka langsung menghukum diri mereka sendiri.
Lompat kodok 20x setiap lompati meja. Itupun terus berulang. Akupun mulai berpikir apakah aku
terlalu lemah. Sikap mereka memang tetap menghormati dan semakin dekat, namun kedisiplinan
belum terlihat dari 4 bulan kami bersama. Hingga suatu hari.
“Kenapa nak Apiida tiba-tiba ingin bapak mengajar dikelas?”
“Tidak ada apa-apa Pak, saya hanya ingat pesan bapak kalau mereka sebenarnya
membutuhkan kedisiplinan dan pengajaran keras sekali-sekali. Kalau yang seperti itu saya tidak bisa
melakukannya, jadi saya minta bantuannya. Biar nanti saya yang mengajar di kelas V untuk hari ini.
Sayapun sudah berbicara dengan Pak Kepala Sekolah dan menurutnya hanya bapak yang bisa
melakukannya”
“Baiklah.”
Akupun tersenyum sendiri. Hari ini adalah hari spesial dimana aku memberikan kejutan
kepada mereka. Aku melihat kelas mereka sunyi saat Pak Yunus mengajar, akupun ikut
mendengarkan dan mengamati apa yang beliau ajarkan.
“Walau kalian nakal kalian tetaplah murid yang harus menghormati guru. Tanpa kami apa
yang kalian bisa lakukan, kami menyayangi kalian. Ingatlah, walau sampai langit sekalipun kalian
harus mencapai impian kalian. Dan kami, gurulah yang akan mengantarkan kalian”
“Bagaimana?” Terlihat kelegaan diwajah mereka saat pelajaran telah usai.
“Bu, jangan lagi kami takut bila diajar dengan Pak Yunus,” keluh Rasmin diiringi anggukan
kepala oleh yang lain.
“Kenapa? bukankah kalian bisa diam dan mendengarkan.”
“Tapi bu? Itu tidak menyenangkan. Dermawan tadi kena lemparan kapur karena berbicara
terus.”
“Benarkah? kalau begitu siapa yang seharusnya disalahkan? Walau demikian, sepertinya itu
akan menjadi agenda tambahan setiap minggunya. Agar kalian lebih disiplin.”
Ku berikan senyum terbaikku saat itu. Aku puas dengan proses pembelajaran hari ini.
---...---
Hidup adalah masalah itu sendiri, selama hidup berarti kita mempunyai masalah. Itulah yang
terjadi, masalah satu terselesaikan timbul masalah lain. Display yang sudah kuatur sedemikian rupa
untuk membantu proses pembelajaran dan memperindah kelas dihancurkan seketika. Semuanya
robek, ini karena kelas kami tidak mempunyai pelindung. Jendela tak tertutup dan pintu kelaspun
tak terkunci, entah siapa yang melakukan namun ini mulai menyebalkan. Pelajaran berjalan seperti
biasanya, akupun tak bertanya mengenai display itu. Hingga mereka beristrirahat dan makan-makan
di kelas.
“Siapa yang melakukannya?”, akupun mengambil cemilan Dian, ia sempat terkejut namun
membiarkanku dan membagi makanannya.
“Kami tidak tahu, bukan dari kelas kita bu”, sahut Rasmin.
“Iya bu, kemarin aku melihat ada anak SMP yang datang,” sambung Dina iapun memberikan
snack di tangannya.
“Benarkah? Apakah kalian tahu?”
Mereka mulai mengerumuniku. Mereka saling pandang dan membisikiku beberapa nama.
“Mereka lulusan dari sini juga bu.” Inu meletakkan permen di meja dan mereka saling
berebut. “Hei ini untuk Bu Apiida!”
Akupun hanya tersenyum melihatnya manyun, “Ambillah! Ibu cukup satu saja. Besok giliran
ibu yang akan membawa makanan, jangan lupa besok sabtu kita semua bersih-bersih ya dan buat
jeruji jendela. Ini adalah kelas kita kalau bukan kita yang menjaganya siapa lagi!”. Hari itu semuanya
terasa lebih santai. Sampai bel istirahat berakhir kami mengobrol dan saling berbagi makanan.
Tiga hari kemudian. Saat proses pembelajaran berlangsung lima anak SMP datang ke kelas dan
tanpa malu mereka masuk kelas. Mereka bercengkrama dan mulai mengangganggu aktivitas belajar.
Kelas kukunci, mereka ingin kabur lewat jendela namun aku segera menghentikannya.
“Kalian berdirilah di depan kelas!” Keraguan terpancar dari wajah mereka.
“Sekarang perkenalkan nama kalian.” Tak ada jawaban
“Perlu dibantu cara berkenalan? Bukankah kalian sudah SMP. Ini laki-laki ataukah
perempuan?” Akupun berjalan di belakang mereka.
“Ehm, Da’mang, Irfan Fadel, Ki’mang dan Asrul.” Mereka tertunduk.
“Karena kalian sudah masuk ke kelas ini berarti kalian sudah memasuki rumah ibu. Jadi silakan
bantu adik-adiknya untuk belajar”.
“Apa? Kami tidak bisa bisa bu. Bolehkah kami keluar?” Da’mang memandang kearahku.
“Dengan senang hati. Tidak!”
Setelah mengenal mereka selama empat bulan, ada satu hal yang bisa dimengerti,
seberapapun nakalnya mereka. Mereka tetap menghargai guru dengan caranya masing-masing.
Akhirnya, walau mereka tidak mengikuti pelajaran namun tetap berada dalam kelas. Mereka tak
mengganggu pembelajaran dan hanya berdiam di tempat duduk. Aku sudah puas hari ini, sebelum
mereka pergi kuberikan coklat satu persatu.
“Hei, terimkasih atas bantuannya” Mereka terlihat bingug. “Oh ya, kita belum kenalan,
namaku Bu Apiida. Apakah salah satu kalian yang melakukannya?, aku menunjuk pada sisa robekan
display di dinding.” Mereka sekali lagi tertunduk.
“Maaf, ehm, sebenarnya saya yang mengambil foto dan merobek bu, tapi hanya sedikit bu.
Kalau yang sampai rusak itu adalah orang lain,” jawab Fadel.
“Baiklah” Akupun hanya tersenyum kemudian pergi meninggalkan mereka
“Ibu tidak marah?” Ki’mang menghentikan langkahku
“Pada awalnya iya, tapi setelah ibu pikir-pikir butuh keberanian untuk mengakuinya dan ibu
menghargai itu. Jadi ya sudah, yang penting jangan diulangi lagi. Nanti sore kami akan melakukannya
lagi kalau mau datanglah dan yang terakhir ibu minta tolong kepada kalian untuk membantu adik-
adikmu menjaga kelasnya”.
Akupun pergi mengambil kunci di kantor, sekilas kulihat mereka telah pergi dengan sepeda
motornya.
---...---
Proses pendekatan telah berjalan namun mendidik karakter merupakan suatu tantangan.
Berbagai kegiatan mereka mulai kuikuti walau ada beberapa hal yang sampai membuatku melanggar
peraturan. Salah satunya dengan mencuri buah-buahan yang tumbuh di belakang sekolah, ada
mangga dan rambutan. Akupun ikut dalam serangkaian tindakan nakal itu.
“Apakah tidak dimarahi guru?”
Kami menikmati buah hasil curian, bahkan tidak hanya murid-muridku saja namun anak
SMPpun ikut ambil bagian.
“Tentu saja dimarahi kalau ketahuan. Kenapa ibu mau ikutan?”
“Ternyata enak juga, tapi apakah ini benar?”
“Ehm, tidak.” Mereka mulai saling melirik.
“Apakah sudah ijin dengan yang punya? ya setidaknya sebelum mencuri teriaklah terlebih
dahulu. Bu Nur, kami mau ambil mangga.”
“Kalau tidak ada jawaban.”
“Ehm ... keputusan ditangan kalian untuk meneruskan atau menghentikannya. Baiklah ibu
sudah selesai makan. Terimakasih, Lain kali ambil dan makanlah sendiri. Kalau dari kebun kalian, ibu
akan senang menerimanya. Sudah saatnya ibu pergi, ibu mau mengajar di kelas”
Akupun meninggalkan mereka yang termenung dihalaman belakang sekolah.
---...---
“Bukankah mereka sangat nakal?”
“Sangat!”
“Apakah mereka berisik dan mengganggu?”
“Sangat!”, jawabanku tidak berubah.
Pembahasan itu merupakan makanan penutup guru saat jam istirahat. Seperti biasa kami
berkumpul dan membahas mengenai ujian kenaikan dan progres siswa. Anak-anakku yang kelas VI
menjadi topik utama. Karena mereka memang anak-anak spesial. Ada yang masih belum bisa
membaca dengan lancar bahkan perkalianpun tidak hafal. Bahkan yang lebih parah lagi ada yang
sampai satu bulan tidak masuk sekolah. Karena sudah tidak tahu lagi apa yang harus kulalukan,
akhirnya kuputuskan untuk mendatangi rumah mereka satu persatu.
Menjalin hubungan dengan orang tua adalah satu jalan yang seharusnya kutempuh. Walau
rumah mereka jauh bahkan bisa berjam-jam, aku bertekad melakukannya. Saat kuutarakan ide ini
semuanya menyambut dengan antusias. Mereka menjadi pemandu sekaligus teman seperjalanan.
Dari kebersamaan ini akhirnya aku mulai memahami sedikit demi sedikit. Mayoritas keluarga mereka
ternyata kurang mendukung mengenai pendidikan, bahkan permasalahan keluarga dan ekonomipun
menjadi bumbu pelengkap. Permasalahan di rumah dilengkapi permasalahan di sekolah akan
menjadi bom waktu.
Kekhawatiranku terbukti, kesibukan mereka untuk membantu orang tua terkadang
menghambat mereka ke sekolah. Uang masih menjadi tujuan utama sedangkan sekolah hanyalah
sampingan. Memberikan pemahaman akan pentingnya pendidikan membutuhkan waktu tersendiri.
Terlebih diawal pertemuan, komunikasi dengan orang tua belum lancar dimana mereka lebih banyak
menggunakan bahasa Mandar. Memberikan pengertian kepada orang tua membutuhkan tenaga
ekstra. Kerjasama dengan tokoh masyarakat, aparat desa dan gurupun harus dilakukan untuk
memberikan parenting secara benar.
Perlahan namun teruji menjadi bukti kesungguhanku untuk memberikan kontribusi, bulan
pertama pastisipasi orangtua masih kurang namun untuk selanjutnya perkembangan mulai terlihat.
Semua ini tidak terlepas dari campur tangan masyarakat dan anak-anak Setidaknya hal ini terlihat
dari perilaku mereka setiap hari, orang tua mau ijin saat anaknya diminta membantu ke kebun,
mereka mendukung saat anaknya mengikuti kegiatan ekstra disekolah. Dukungan seperti ini mulai
menyebar dan memberikan dampak positif bagi anak-anak.
---...---
Tanpa kusadari enam purnama berlalu, menjadi seorang guru yang mampu menerapkan 3 P
(Pengajar, Pendidik dan Pemimpin) membutuhkan usaha ekstra. Dilihat dari nilai merekapun tidak
berkembang secara signifikan namun melihat usaha mereka aku tidak tahu kejutan apa lagi yang
akan mereka berikan. Nilai mereka memang tidak dapat dijadikan tolak ukur namun saat membaca
pesan dan kesan mereka sebelum penutupan semester. Ada kepuasan tersendiri.
Bu, dua minggu itu terasa lama karena kami sekarang senang bersekolah. Sekolah ternyata
menyenangkan. Terimakasih bu. (Eko)
Nanti waktu masuk saya pasti bisa membalas surat ibu (ini yang menulis Marwa).
Kalau nanti masuk saya akan membawakan ibu buah rambutan hutan dan ikan tuing-tuing
asap. (Jerry Selangit)
Aku tidak akan terlambat lagi dan membuat Bu April sedih. (Mifta)
Masih ada dua puluhan surat yang belum terbaca. Belum lagi yang di kelas V. Senyum dan
gerakan tangan ini tak dapat melukiskan betapa bahagiaanya diriku sebagai guru. Aku tidak tahu apa
yang akan menanti kedepannya namun tidak sabar menunggu semester depan dan bertemu lagi
dengan mereka.

NB: Selamat pagi saya Bu Apiida

Blitar, Desember 2019

Anda mungkin juga menyukai