Anda di halaman 1dari 5

1. pilihan antibiotic pada pasien ini?

Penanganan pada peritonitis primer mencakup pemberian antibiotik broad spectrum,


seperti sefalosporin generasi ke-3 (cefotaxime intravena 3x 2 gram atau ceftriaxone 1x2 gram),
penicillin/β-lactamase inhibitor (piperacillin/tazobactam 4x 3,375 gram pada orang dewasa
dengan fungsi ginjal normal). 12 Terapi empiris untuk bakteri anaerob tidak dibutuhkan pada
pasien dengan primary bacterial peritonitis (PBP atau SBP). Pasien peritonitis primer
umumnya mengalami perbaikan gejala dalam 72 jam pemberian antibiotik yang tepat.
Antibiotik dapat diberikan selama 5 hari – 2 minggu (tergantung perbaikan gejala dan kultur
darah yang negatif). Hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya rekurensi
pada SBP, sampai 70% pasien mengalami rekurensi dalam 1 tahun. Pemberian antibiotik
profilaksis dapat menurunkan tingkat rekurensi menjadi <20%. Regimen yang diberikan pada
pasien dengan fungsi ginjal baik, antara lain ciprofloxacin 750 mg/minggu, norfloxacin
400mg/hari, atau trimethoprim-sulfamethoxazole.12
Pendekatan utama pada pasien peritonitis sekunder, antara lain koreksi etiologi (source
control terutama dengan tindakan pembedahan), pemberian antibiotik sistemik, dan terapi
suportif (resusitasi).2 Tidak seperti penanganan peritonitis primer yang secara prinsip adalah
tindakan non-pembedahan, sine qua non penanganan peritonitis sekunder adalah tindakan
pembedahan dan bersifat life-saving.12 Tindakan pembedahan tidak hanya dapat “early and
definitive source control” dengan mengoreksi etiologi peritonitis sekunder, tetapi juga dapat
mengeliminasi bakteri dan toksinnya dalam rongga abdomen.13 Keterlambatan dan tidak
adekuatnya tindakan pembedahan dapat memperburuk prognosis.
Tindakan preoperatif meliputi, pemberian antibiotik sistemik dan resusitasi cairan
(resusitasi hemodinamik, berikan vasopressor bila dibutuhkan) untuk mencegah terjadinya
syok hipovolemik (dan syok septik) yang memperparah disfungsi organ.2,13 Pemberian
antibiotik mencakup bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob (walaupun secara
umum perforasi upper GI tract lebih mengarah ke gram positif dan perforasi pada usus halus
distal dan colon lebih mengarah ke polimikrobial aerob dan anaerob).2,4 Beberapa pilihan
regimen antibiotik yang direkomendasikan, antara lain gabungan dari golongan penicillin/ β-
lactamase inhibitor (ticarcilin/clavulanate 4x 3,1 gram intravena), atau golongan
fluorokuinolon (levofloksasin 1x 750 mg intravena), atau sefalosporin generasi ketiga
(ceftriaxone 1x2 gram intravena), dengan metronidazole 3x500 mg intravena (pada pasien yang
masuk Intensive Care Unit dapat diberikan imipenem 4x 500 mg intravena atau meropenem
3x 1gram intravena).12 Pemberian antibiotik dilanjutkan sampai pasien afebris dengan leukosit
normal dan hitung jenis batang < 3%.11 Resusitasi cairan dan monitoring hemodinamik perlu
untuk dilakukan, target resusitasi, antara lain mean arterial pressure >65 mmHg, dan urine
output >0,5cc/kgBB/jam (bila dipasang central venous pressure CVP antara 8-12mmHg).4
Tindakan lainnya, meliputi pemasangan nasogastric tube (NGT) pada pasien ileus dengan
distensi perut dan mual-muntah yang dominan.13 Pada pasien penurunan kesadaran dan adanya
syok septik perlu dipertimbangkan pemasangan intubasi.
Tujuan utama tindakan pembedahan adalah eliminasi penyebab dari kontaminasi
(koreksi etiologi), mengurangi atau eliminasi inokulum bakteri, dan mencegah sepsis. 4,13
Pendekatan bedah dilakukan dengan insisi midline dengan tujuan agar eksplorasi rongga
abdomen yang adekuat dan komplit tercapai.13 Secara umum, kontrol dan koreksi etiologi
tercapai bila bagian yang mengalami perforasi di reseksi (perforasi apendiks) atau repair
(perforasi ulkus).4,11 Pada perforasi kolon lebih aman dipasangkan stoma usus secara sementara
sebelum dilakukan tindakan anastomosis usus di kemudian hari (beberapa minggu setelah
keadaan umum pasien membaik).11 Pembilasan (peritoneal lavage) menggunakan cairan
normal saline (>3L) hangat dilakukan hingga cairan bilasan jernih dengan tujuan mengurangi
bacterial load dan mengeluarkan pus (mencegah sepsis dan re-akumulasi dari pus).4,11,13 Tidak
direkomendasikan pembilasan dengan menggunakan iodine atau agen kimia lainnya. Setelah
selesai, maka rongga abdomen ditutup kembali. Secara ideal, fascia ditutup dengan benang
non-absorbable dan kutis dibiarkan terbuka dan ditutup dengan kasa basah selama 48-72 jam.
Apabila tidak terdapat infeksi pada luka, penjahitan dapat dilakukan (delayed primary closure
technique). Teknik ini merupakan teknik closed-abdomen, pada laporan kasus ini tidak akan
dibahas secara mendalam mengenai teknik open-abdomen).

2. kriteria rawat inap? Apakah semua pasien peritonitis harus dirawat di icu?

Komplikasi lain yang dapat muncul pada kasus peritonitis adalah adesi dan shock
sepsis. Adesi dari organ - organ intra abdomen dapat menyebabkan obstruksi usus atau
volvulus. Penilaian suspek sepsis pada pasien dengan infeksi yang tidak dirawat dalam ICU
dapat dilakukan dengan Quick Sepsis-related Organ Failure Assesment (qSOFA). qSOFA
terdiri dari variabel takipnea lebih dari sama dengan 22, perubahan status kesadaran dengan
GCS < 15, dan hipotensi dengan tekanan darah sistolik 100 mmHg. Setiap variabelnya
memiliki poin satu dan total poin 0 atau 1 memiliki risiko yang rendah dan pasien dapat
ditangani dengan manajemen yang sesuai. Namun, total poin 2 atau 3 diasosiasikan dengan
tingkat mortalitas lebih dari 10% dan pasien harus ditangani dengan evaluasi tanda - tanda
adanya disfungsi organ. Untuk menilai disfungsi organ secara lebih lanjut dan kemungkinan
sepsis dapat dilakukan Sepsis-related Organ Failure Assesment (SOFA).16, 18
Gambar 7. Penilaian SOFA.

3. Prognosis pada pasien ini?


Tingkat mortalitas pada peritonitis umum adalah bervariasi dari dibawah 10%-40% pada
perforasi kolon (Tabel 2).11 Faktor yang mempengaruhi tingkat mortalitias yang tinggi adalah
etiologi penyebab peritonitis dan durasi penyakitnya, adanya kegagalan organ sebelum
penanganan, usia pasien, dan keadaan umum pasien.Tingkat mortalitas dibawah 10%
ditemukan pada pasien dengan perforasi ulkus atau appendicitis, pasien usia muda,
kontaminasi bakteri yang minim, dan diagnosis-penanganan dini. Skor indeks fisiologis yang
buruk (APACHE II atau Mannheim Peritonitis Index), riwayat penyakit jantung, dan tingkat
serum albumin preoperatif yang rendah merupakan pasien resiko tinggi yang membutuhkan
penanganan intensif (ICU) untuk menurunkan angka mortalitas yang tinggi.
Tabel 2. Tingkat mortalitas peritonitis umum berdasarkan etiologi
Tabel dikutip dari: Doherty GM. Chapter 22. Peritoneal Cavity. In: Doherty GM,
ed. CURRENT Diagnosis & Treatment: Surgery. 13th ed. New York: McGraw-Hill; 2010.
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5215855.

4. mengapa pada pasien ini tidak di inhalasi hanya iv saja?

1. Apakah usia lebih dari 60 tahun merupakan faktor risiko

terjadinya kematian pada peritonitis perforasi?

2. Apakah adanya faktor komorbiditas merupakan faktor risiko

kematian pada pasien peritonitis perforasi?

3. Apakah onset lebih dari 24 jam mulai timbulnya gejala sampai

dilakukannya operasi merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

4. Apakah lokasi non kolon merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

5. Apakah eksudat purulent merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

6. Apakah diameter perforasi > 0,5cm merupakan faktor risiko


kematian pada pasien peritonitis perforasi?

7. Apakah keganasan merupakan faktor risiko kematian pada pasien

peritonitis perforasi?

8. Apakah adanya MODS merupakan faktor risiko kematian pada

pasien peritonitis perforasi?

Anda mungkin juga menyukai