Anda di halaman 1dari 6

JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 4 No.

1
ISSN. 2550-0414 Februari 2020
PENDIDIKAN DI INDONESIA (1945-1950)

ALINUR
DOSEN FKIP UPMI MEDAN

ABSTRACT

Because of the time of Japanese occupation, the students were forced to join the military training, so at the time of armed
struggle they were able to adapt and went into the war in the first line. The organization of IPI (Indonesia Students Union)
was held as one part og the defence. Besides, there were many organization or armed strugglers which all of the members
were students. When BKR (The Safety of Society Corp), TKR (The Safety of Society Army) were formed then it changed
became TRI (The Republic of Indonesia Army), so there were so many students joined with it. They were under the
command of TRI like CPS (Siliwangi Students Corps) in West Java, TRIP (The Trio Students) and Ronggolawe Students
Troops in East Java, IMAM Troops (Indonesia is free or die) in Middle of Java. The example of The Students Union which
was standing alone were Kere Lines, Ksatria Lines, Jemble Lines, Jelata Lines and Students of BPRI in the Middle of Java
region.

Keywords : Occupation, Struggle, Army

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pada waktu Republik Indonesia diproklamasikan, beberapa bagian wilayah Indonesia (bekas Hindia Belanda) telah diduduki
tentara sekutu seperti Irian Barat, Pulau Halmahera dan Morotai oleh satuan-satuan Amerika Serikat, serta Tarakan dan
Balikpapan oleh kesatuan berasal dari Australia.
Oleh pimpinan tentara Sekutu, bagian-bagian lain dari Indonesia diserahkan kepada Komando Asia Tenggara dari kesatuan-
kesatuan tentara Inggris untuk melucuti tentara Jepang, mengurus tawanan perang, dan menjaga ketertiban. Meskipun
komando tentara Inggris Jenderal Philip Christison telah mengakui Republik Indonesia secara “de facto”, sebagai kenyataan,
namun kehadirannya dimana-mana ditentang dengan perlawanan dahsyat rakyat Indonesia. Bahkan seperti di Surabaya,
Semarang dan Bandung terjadi pertumpahan darah yang menimbulkan beribu-ribu korban di kedua belah pihak. Setelah
Inggris merasa tidak ingin terlibat lebih lanjut dalam menangani persoalan di Indonesia, maka tentara Belanda menggantikan
peranan tentara Inggris. Berturut-turut pasukannya didaratkan di Surabaya (Desember 1945), pulau Bali (Februari 1946),
Kep. Nusa Tenggara (Maret 1946) dan Jakarta (Maret 1946). Semenjak itu Belanda mendaratkan pasukan-pasukannya
secara besar-besaran di seluruh Indonesia.
Secara “de Jure” (menurut hukum) wilayah Republik Indonesia yang diproklamasikan meliputi seluruh wilayah hukum
Hindia-Belanda sebelum perang dunia kedua. Namun Belanda berangsur-angsur dapat menguasai daerah-daerah di luar
pulau Jawa, Madura dan Sumatera, sehingga pada waktu perjanjian Linggarjati ditandatangani (November 1946) wilayah RI
yang diakui oleh Belanda hanyalah meliputi pulau-pulau Jawa, Madura dan Sumatera. Menurut perjanjian tersebut di
kemudian hari akan dibentuk Negara Indonesia Serikat yang terdiri dari Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan
Kalimantan.
Ternyata bahwa masa-masa perundingan itu dipergunakan oleh Belanda untuk menyusun kekuatan. Pada tanggal 21 Juli
1947 Belanda melancarkan aksi militernya sehingga berkecamuk perang kemerdekaan I. Kota-kota besar dan daerah-
daerah sepanjang pantai di pulau Jawa-Madura dan Sumatera dikuasai oleh Belanda sehingga wilayah RI makin menyempit
dan terisolasi sepenuhnya. Menyusul kemudian perjanjian Renville (17 Januari 1948) yang antara lain menerapkan bahwa
144
JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 4 No. 1
ISSN. 2550-0414 Februari 2020
akan dibentuk suatu negara di Indonesia yang berbentuk federasi (serikat) dan kemudian akan diikat dengan negeri Belanda
dalam suatu Uni. Sementara itu Belanda membentuk “negara-negara” baru selain ketiga “negara” yang telah disebut diatas.
Ciptaan Belanda bermunculan seperti “negara” Pasundan, “negara” Sumatera Timur, “negara” Jawa Timur, “negara”
Madura, dan lain-lain. “Negara-negara” bentukan Belanda tersebut bersekutu dalam B.F.O. (Bijeenkomst voor Federaal
Overleg) dengan maksud menyaingi Republik Indonesia dan membentuk Negara Indonesia Federal (Serikat). Selama itu
Belanda memperkuat posisi militernya dan pada tanggal 19 desember 1948 melancarkan aksi lagi dan pecahlah perang
kemerdekaan II. Setelah mengalami perlawanan hebat dari rakyat Indonesia dan mendapat tekanan dari dunia Internasional,
maka akhirnya Belanda bersedia menyerahkan kedaulatankepada RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tanggal 28
Desember 1949. Atas kesepakatan dari seluruh bangsa Indonesia bentuk Negara Serikat diganti dengan bentuk negara
kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950. Selama RIS, RI hanyalah negara bagian saja.
Berbicara soal pendidikan di Indonesia dalam kurun waktu antara 17 agustus 1945 s.d. 17 agustus 1950 maka secara “de
jure” (hukum) wilayahnya meliputi seluruh wilayah bekas Hindia Belanda, tetapi “de facto” (kenyataan) adalah daerah
Republik Indonesia yang dikuasai secara nyata oleh pemerintah RI, sesuai dengan perjanjian Linggarjati (November 1946),
Renville (Januari 1948), dan KMB (Konferensi Meja Bundar) di Den Haag (November 1949).

Permasalahan
Permasalahan yang dihadapi setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yaitu perubahan-perubahan
tidak hanya terjadi dalam bidang pemerintah saja, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Perubahan-perubahan yang terjadi
dalam bidang pendidikan merupakan perubahan-perubahan yang bersifat mendasar yaitu menyangkut penyesuaian bidang
pendidikan dengan dasar dan cita-cita dari suatu Bangsa dan Negara Merdeka. Untuk mengadakan penyesuaian dengan
cita-cita bangsa Indonesia yang merdeka, maka pendidikan mengalami perubahan dalam landasan idiilnya , tujuan
pendidikan, sistem persekolahan dan kesempatan belajar yang diberikan kepada rakyat Indonesia.

PEMBAHASAN
Pendidikan Di Indonesia Dalam Perspektif Sejarah (1945-1948)
Pengertian Pendidikan
H. M. Dachnel Kamars (2004;120) mengatakan pendidikan yang bahasa Inggrisnya Education artinya adalah suatu tindakan
atau proses membuat jadi tahu atau memperoleh pengetahuan umum dan pengembangan kekuatan daya nalar. Bisa pula
arti pendidikan adalah hasil dari pelajaran, latihan dan kajian.
Nanang Fattah (2002;13) mengatakan pendidikan adalah mempelajari proses pembentukan kepribadian manusia dengan
kegiatan belajar yang dirancang secara sadar dan sistematik dalam interaksi antara pendidik dan peserta didik.
E.Mulyasa (2002;24) mengatakan pendidikan terdapat dua jenis standard yaitu standar akademis (accademis content
standards) dan standar kompetensi (performance standard). Standar akademis merefleksikan pengetahuan dan
keterampilan esensial setiap disiplin ilmu yang harus dipelajari oleh seluruh peserta didik. Sedangkan standar kompetensi
ditunjukkan dalam bentuk proses atau hasil kegiatan yang didemonstrasikan oleh peserta didik sebagai penerapan dari
pengetahuan dan keterampilan yang telah dipelajarinya. Dengan demikian, standar akademis bisa sama untuk seluruh
peserta didik, tetapi standar kompetensi bisa berbeda.
Dalam UUD 1945 dasar dan falsafah negara Indonesia adalah pancasila. Maka dasar dan falsafah inilah yang kemudian
dijadikan landasan idiil pendidikan di Indonesia. Walaupun dalam periode 1945-1950, negara kita mengalami beberapa kali
perubahan UUD, tetapi dasar dan falsafah negara tidak mengalami perubahan. Oleh karena itulah Pancasila tetap dijadikan
landasan idiil pendidikan di Indonesia.
Pada tanggal 29 Desember 1945 Badan Pekerja KNIP mengusulkan kepada Kementrian Pendidikan, Pengajaran dan
Kebudayaan, supaya selekas mungkin mengusahakan agar pembaharuan pendidikan dan pengajaran dijalankan sesuai
dengan rencana pokok-pokok usaha pendidikan dan pengajaran baru.

Pokok-pokok pendidikan dan pengajaran baru ini :


1. Untuk menyusun masyarakat baru perlu adanya perubahan pedoman pendidikan dan pengajaran. Paham
perseorangan yang hingga kini berlaku harusla diganti dengan paham kesusilaan dan peri kemanusiaan yang

145
JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 4 No. 1
ISSN. 2550-0414 Februari 2020
tinggi. Pendidikan dan pengajaran harus membimbing murid-murid menjadi warga negara yang mempunyai rasa
tanggung jawab.
2. Untuk memperkuat persatuan rakyat kita hendaknya diadakan satu macam sekolah untuk segala lapisan
masyarakat. Perlu diingat pula, bahwa sesuai dengan dasar keadilan sosial semua sekolah harus terbuka untuk
tiap-tiap penduduk negara baik laki-laki maupun perempuan.
3. Methodik yang berlaku di sekolah-sekolah hendaknya berdasar sistem sekolah kerja agar aktivitas rakyat kita
kepada pekerjaan bisa berkembang seluas-luasnya. Lain dari perguruan-perguruan biasa hendaklah diadakan
perguruan orang dewasa yang memberi pelajaran pemberantasan buta huruf dan seterusnya hingga yang bersifat
Taman Ilmu Rakyat dengan memperhatikan garis-garis besar yang tersebut dalam nomor 1. Di samping itu harus
ada perguruan-perguruan pemimpin masyarakat untuk tiap-tiap lapangan usaha yang penting. Untuk keperluan
pengajaran orang dewasa ini hendaklah diadakan kantor pusatnya sendiri.

Atas usul badan pekerja itu, kemudian Menteri Pendidikan dan Pengajaran (Mr. Soewandi) membuat Surat Keputusan
tanggal 1 Maret 1946 No. 140/Bhg. Untuk membentuk Panitia Penyelidik Pengajaran di bawah pimpinan Ki Hajar Dewantara
dan penulis Soegarda Poerbakawatja. Tugas yang dibebankan kepada panitia ini diantaranya :
a. Merencanakan susunan baru dari tiap-tiap macam sekolah.
b. Menetapkan bahan-bahan pengajaran dengan menimbang keperluan yang praktis dan jangan terlalu berat.
c. Menyiapkan rencana-rencana pelajaran untuk tiap-tiap sekolah dan tiap-tiap kelas (fakultas juga)

Salah satu hasil Panitia Penyelidik Pendidikan pada waktu itu adalah mengenai perumusan tujuan pendidikan.
Tujuan Pendidikan Indonesia Tahun 1945 :
- Warga negara yang sejati
- Menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara

Tujuan Pendidikan Indonesia Tahun 1950 :


Manusia yang :
- Susila
- Cakap
- Demokratis
- Bertanggung jawab

Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan pada waktu itu dirumuskan untuk mendidik warga negara yang sejati, bersedia menyumbang tenaga dan
pikiran untuk negara dan masyarakat. Dengan kata lain, tujuan pendidikan pada masa tersebut penekanannya pada
penanaman semangat patriotisme.
Penanaman semangat patriotisme sebagai tujuan pendidikan memang sudah sesuai denga situasi pada waktu itu. Negara
dan bangsa Indonesia sedang mengalami perjuangan fisik, dan sewaktu-waktu pemerintah kolonialis Belanda masih
berusaha untuk menjajah kembali negara Indonesia. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa semangat patriotisme sangat
ditekankan oleh pemerintah tujuan nasional pendidikan di Indonesia. Maka dengan semangat itu, kemerdekaan dapat
dipertahankan dan diisi.

Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pendidikan


Fasilitas Fisik
Sebagai konsekuensi dari usaha-usaha peningkatan dan perbaikan dalm bidang pendidikan, pemerintah dihadapkan
dengan masalah-masalah pokok yang menyangkut gedung dan alat-alat pelajaran, tenaga pengajar, biaya, dan kurikulum.
Dalam masa revolusi fisik, tidak sedikit gedung-gedung sekolah yang hancur. Demikian pula tidak sedikit gedung-gedung
sekolah yang dipergunakan sebagai asrama-asrama untuk tentara. Tindakan yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi
kekurangan gedung sekolah adalah :

146
JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 4 No. 1
ISSN. 2550-0414 Februari 2020
a. Mendirikan gedung sekolah-sekolah baru. Tetapi cara ini pun masih belum mencukupi akan kebutuhan gedung
sekolah.
b. Menyewa rumah-rumah rakyat untuk dijadikan gedung sekolah. Tindakan ini sebagai usaha kedua pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan tersebut di atas.
c. Mengadakan sistem mengajar dua kali dalam sehari. Ini berarti bahwa satu gedung sekolah dipergunakan oleh
dua sekolah, sekolah pagi dan sekolah sore.

Tenaga Pengajar (Guru)


Di samping masalah gedung sekolah yang dihadapi pemerintah, juga masalah tenaga pengajar. Seperti diketahui bahwa
tenaga-tenaga pengajar sebelum masa kemerdekaan kebanyakan terdiri dari tenaga guru untuk sekolah dasar yang
sebagian besar mempunyai latar belakang pendidikan guru yang lengkap. Setelah kemerdekaan kekurangan tenaga guru ini
makin sangat terasa pada semua tingkat pendidikan. Tetapi yang terasa sekali adalah kekurangan tenaga guru pada tingkat
pendidikan rendah.
Adapun faktor penyebab kekurangan tenaga guru di tingkat pendidikan rendah ini, pertama karena banyak tenaga guru di
tingkat pendidikan rendah yang meninggalkan posnya dan menggabungkan diri dengan laskar-laskar perjuangan untuk
mempertahankan kemerdekaan. Kedua, dengan tuntutan rakyat untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan pasal 31
UUD 45 yang kemudian dikuatkan dengan UU No. 4 Tahun 1950, pasal 10 dan 17, maka pemerintah harus membuka
banyak sekolah rakyat serta meningkatkan yang 3 tahun menjadi 6 tahun. Hal ini sudah tentu membutuhkan tenaga guru.
Pada tahun 1950 kekurangan tenaga guru untuk pendidikan rendah masih sebanyak 19.816 orang. Di samping itu masih
terdapat 50.200 orang guru yang harus disempurnakan pendidikannya.

Kurikulum
Sangatlah penting usaha yang dilakukan oleh Menteri PP dan K (Mr. Soewandi) untuk mengubah sistem pendidikan dan
pengajaran sehingga akan lebih sesuai dengan keinginan dan cita-cita bangsa Indonesia. Pembentukan Panitia Penyelidik
Pengajaran adalah dalam rangka mengubah sistem pendidikan kolonial ke dalam sistem pendidikan nasional.
Sebagai konsekuensi dari perubahan sistem itu, maka kurikulum pada semua tingkat pendidikan mengalami perubahan
pula, sehingga yang semula diorientasikan kepada kepentingan kolonial maka kini diubah selaras dengan kebutuhan bangsa
yang merdeka. Salah satu hasil panitia tersebut diatas yang menyangkut kurikulum adalah bahwa setiap rencana pelajaran
pada setiap tingkat pendidikan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Pendidikan pikiran harus dikurangi
b. Isi pelajaran harus dihubungkan dengan kehidupan sehari-hari
c. Memberikan perhatian terhadap kesenian
d. Pendidikan watak
e. Pendidikan jasmani
f. Kewarganegaraan dan Masyarakat

Setelah UU Pendidikan dan Pengajaran No. 4 Tahun 1950 dikeluarkan, maka :


a. Kurikulum pendidikan rendah ditujukan untuk menyiapkan anak memiliki dasar-dasar pengetahuan, kecakapan,
dan ketangkasan baik lahir maupun batin, serta mengembangkan bakat dan kesukaannya.
b. Kurikulum pendidikan menengah ditujukan untuk menyiapkan pelajar ke pendidikan tinggi serta mendidik tenaga-
tenaga ahli dalam berbagai lapangan khusus, sesuai dengan bakat masing-masing dan kebutuhan masyarakat.
c. Kurikulum pendidikan tinggi ditujukan untuk menyiapkan pelajaran agar dapat menjadi pimpinan dalam
masyarakat dan dapat memelihara kemajuan ilmu dan kemajuan hidup kemasyarakatan.

Pendidikan Tinggi
a) Pendidikan Tinggi Republik
Perkembangan pendidikan tinggi sesudah proklamasi sangat menarik karena meskipun mengalami tantangan yang luar
biasa, namun dalam bidang ini justru memperoleh kemajuan pesat.

147
JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 4 No. 1
ISSN. 2550-0414 Februari 2020
Ika Daigaku di Jakarta (daerah Pendudukan Belanda) dilanjutkan dan diperluas menjadi Sekolah Tinggi Kedokteran. Pada
bulan November 1946 dibuka pula Sekolah Tinggi Hukum serta Sastra dan Filsafat. Setelah aksi militer (1947) kedua
lembaga pendidikan tinggi terakhir ini ditutup oleh penguasa Belanda sehingga secara resmi sudah tidak ada lagi. Tetapi
kuliah-kuliah masih dilanjutkan di rumah-rumah dosen sehingga merupakan semacam kuliah “privat”. Sebelum aksi militer I
di Malang terdapat pula lembaga Pendidikan Tinggi Republik. Demikian pula terdapat Sekolah Tinggi Kedokteran Hewan di
Bogor yang kemudian dipindahkan ke Klaten dan Sekolah Tinggi Teknik di Bandung dipindahkan ke Yogyakarta. Sementara
itu di daerah Republik Indonesia sendiri terdapat lembaga-lembaga pendidikan tinggi sebagai berikut :

Di Yogyakarta
1. Universitas Gajah Mada
2. Sekolah Tinggi Islam Indonesia
3. Sekolah Tinggi Teknik
4. Akademi Politik
5. Akademi Polisi

b) Pendidikan Tinggi di daerah pendudukan Belanda


Atas prakarsa pihak Belanda pada bulan Januari 1946 didirikan suatu “universitas darurat” (Nood-Universiteit) yang terdiri
dari 5 fakultas yaitu Fakultas Kedokteran, Hukum, Sastra dan Filsafat, dan Pertanian di Jakarta, dan Fakultas Teknik di
Bandung.
Pad bulan Maret 1947 oleh pemerintah Belanda secara resmi nama “universitas darurat” diganti dengan “universitas
Indonesia” (Universiteit van Indonesie).

PENUTUP
Simpulan
Setelah kemerdekaan, sistem pendidikan di Indonesia memberi kesempatan belajar kepada segala lapisan masyarakat. Di
dalam UUD 1945 Bab XIII pasal 31 ayat 1 dikatakan bahwa; Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran. Pun di
dalam Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran Tahun 1950 Bab XI pasal 17 menyebutkan : Tiap-tiap warga negara
Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah, jika memenuhi syarat-syarat
yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu.
Dari penjelasan kedua undang-undang diatas, pemerintah Indonesia memberi kesempatan belajar yang sama kepada setiap
anak baik untuk pendidikan rendah, menengah, maupun pendidikan tinggi. Ini pun berarti bahwa setiap anak dari setiap
golongan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memasuki sekolah tertentu. Persyaratan yang
diperlukan hanyalah prestasi belajar anak itu. Apabila prestasi belajar anak itu baik, maka kesempatan untuk belajar terbuka
baginya.
Tentu saja dalam hal ini biaya sekolah diperlukan. Setiap tingkat pendidikan tertentu memerlukan biaya pendidikan tertentu.
Bagi anak yang mempunyai prestasi belajar yang baik, tetapi kurang mampu dalam pembiayaan sekolah, pemerintah
mengusahakan pemberian beasiswa, walaupun dalam jumlah terbatas.

Saran
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menambah khazanah keilmuan bagi pembaca. Karena bagaimanapun juga tulisan ini
berlum sempurna dan mungkin materinya masih jauh dari sempurna, namun itulah kemampuan penulis.

DAFTAR PUSTAKA
Amir. Nurhayati. 1988. Sejarah Pendidikan Indonesia Sesudah Kemerdekaan. Medan: IAIN Sumatera Utara.

Fattah. Nanang. DR. 2002. Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Kamars. H.M. Dachnel. Prof. DR. M.A. 2004. Administrasi Pendidikan Teori dan Praktek. Padang: CV. Suryani Indah.

148
JURNAL ILMIAH SIMANTEK Vol. 4 No. 1
ISSN. 2550-0414 Februari 2020
Mulyasa. E. DR. M.Pd. 2006 Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Notosusanto. Nugroho. 1984. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.

149

Anda mungkin juga menyukai