Anda di halaman 1dari 56

1.

PERSOALAN-PERSOALAN PENDIDIKAN KONTEMPORER

Di ambang fajar globalisasi, gerak perubahan yang luas sekali cakupannya, kecepatan dan
penetrasinya yang begitu instan, telah menimbulkan banyak problema, setidaknya telah
memunculkan pendapat pro dan kontra. Bagi mereka yang merasa siap untuk menghadapi era
tersebut, menganggap tidak ada permasalahan yang perlu ditakuti. Ini adalah sesuatu yang
wajar, satu konsekuensi logis bagi perkembangan kecerdasan manusia yang ditandai dengan
perkembangan segala aspek kehidupan, terutama di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tetapi di sisi lain, bagi mereka yang belum atau tidak siap menghadapi era tersebut,
menganggap globalisasi adalah momok yang sangat luar biasa beratnya, bahkan mereka
menentang keras arus globalisasi dengan berbagai macam alasan, mulai dari kecemasan akan
dapat merusak sendi-sendi kehidupan yang diyakini kebenarannya selama ini, hingga ketakutan
akan timbulnya penindasan-penindasan dan eksploitasi model baru terhadap kehidupan umat
manusia di muka bumi.

Apa pun alasannya, bisa diterima oleh akal atau tidak, disetujui atau tidak. Ini adalah kenyataan.
Globalisasi adalah arus yang sangat besar, arus yang harus di hadapi oleh umat manusia.
Memang selalu tersedia alternatif; pertama, manusia harus mempersiapkan dirinya semaksimal
mungkin untuk ikut bermain dalam arus globalisasi dengan segala resikonya, yaitu terbawa arus
dan hanyut, atau ikut mengendalikan arus agar tetap terjaga keeksistensiannya. Kedua, tetap
bersikukuh menentangnya, walau pun itu menjadi misi yang tidak mungkin.

Beberapa tokoh futuristik terkenal, seperti Patricia Aburdane, Alvin Tofler atau John Neisbit, di
awal-awal tahun 90-an pernah mengingatkan kepada masyarakat manusia tentang berbagai
kemungkinan perkembangan dunia yang tidak semuanya selalu melaju seperti apa yang
diharapkan, tetapi ada bagian-bagian lain yang menyimpang. Ini, penyebab utamanya adalah
ketidaksiapan sebagaian besar masyarakat dengan produk-produk budaya mutakhir yang lahir
dari perkembangan yang begitu pesat di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang
kecepatannya lebih dari apa yang pernah dipikirkan oleh manusia sebelumnya.

Kegagapan manusia menghadapi fenomena global yang sarat dengan bebagai konflik sosial ini
diistilahkan oleh Tofler sebagai fenomena “guncangan kebudayaan”. Fenomena ini
digambarkan kepada dua kecendrungan besar realitas masyarakat yaitu sebagian bisa melaju ke
arah peradaban baru, sedang sebagian lagi semakin terpuruk di belakang.

Eksistensi dan kualitas sebuah bangsa pun, demikian lanjut Tofler akan dipengaruhi oleh
penguasaan-penguasaan di bidang pendukung budaya global ini. Kelompok masyarakat tidak
cukup merasa aman hanya dengan menutup diri atau menganut semacam politik isolasi.
Semakin jauh tertinggal dalam upaya mengejar penyesuaian terhadap perkembangan budaya
global, maka yang terjadi adalah semakin banyak masyarakat menjadi objek perubahan dan
bukan menjadi subjek pengubah. Dampaknya adalah masyarakat akan lebih cendrung
mengikuti dan menjadi pengekor kecendrungan arus global ketimbang menjadi sumber
pengubah dan penentu kecendrungan. Sebaliknya jika masyarakat tidak gagap dengan arus
global, maka sangat memungkinkan untuk menguasai kesempatan bekerja sama antar sesama
umat manusia di muka bumi serta semakin memberikan harapan untuk mampu bersaing di
kancah masyarakat internasional.

Pendidikan atau proses pendidikan, dalam hal ini memiliki peran yang sangat strategis. Usaha
untuk mencapai kemajuan-kemajuan kehidupan bagi suatu masyarakat bangsa, tidak dapat lagi
dilakukan dengan cara sendiri-sendiri. Demikian halnya dengan proses pendidikan. Proses
pendidikan bukanlah sesuatu hal yang dapat berdiri sendiri, artinya bahwa banyak faktor terkait
yang dalam pelaksanaannya harus secara bersama-sama dan terpadu. Ini dikarenakan bahwa
kehidupan suatu bangsa tidak lagi dapat terlepas dari bangsa-bangsa lain, walau pun bangsa-
bangsa tersebut dalam kenyataannya memiliki permasalahan-permasalahan yang berlainan,
tetapi tetap saja memerlukan kerjasama yang sinergis untuk memecahkan permasalahan-
permasalahan tersebut.

Percepatan dalam perkembangan kehidupan manusia yang ditandai dengan perkembangan


ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantarkan manusia pada paradigma-paradigma baru
pendidikannya. Paradigma-paradigma ini didorong oleh keharusan yang mesti dilakukan agar
sistem pendidikan yang mereka anut tetap mampu menjawab tantangan-tantangan zaman.
Setidak-tidaknya ada lima faktor yang mendorong terjadinya perkembangan dan moderenisasi
dalam sistem pendidikan bangsa-bangsa di ambang kehidupan global ini. Kelima faktor
tersebut, menurut Tadjab dalam bukunya Perbandingan Pendidikan; Studi Perbandingan
Tentang Beberapa Aspek Pendidikan Barat Modern, Islam dan Nasional (1994; 47-52) adalah:

1.Dampak dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah menjadikan negara dan
bangsa yang menguasainya sebagai negara industri modern. Penguasaan ini telah memberikan
kemakmuran dan kekayaan yang berlimpah bagi kehidupan mereka. Perkembangan tersebut,
telah membagi bangsa-bangsa dan negara di dunia menjadi kelompok negara atau bangsa yang
kaya dan kelompok bangsa yang miskin. Bagi negara-negara yang tidak mampu menguasai
teknologi, telah dijadikan pasar dari hasil industri sekaligus sumber bahan-bahan mentah oleh
negara-negara industri. Dengan demikian telah terjadi eksploitasi dari negara-negara industri
terhadap negara-negara yang tidak mampu mengembangkan industrinya sendiri. Negara-
negara industri menjadi semakin kaya dan makmur. Negara-negara kaya akan bertambah kaya
dan negara miskin akan tetap dan bahkan bertambah miskin.

Hubungan antara kekayaan dan kesempatan memperoleh pendidikan adalah sangat signifikan.
Ada suatu hubungan timbal-balik antara kekayaan dan pendidikan, yaitu di satu fihak bahwa
negara kaya mampu mengeluarkan sejumlah biaya yang besar bagi pendidikan para warganya,
tetapi di fihak lain kekayaan yang dicapai oleh suatu negara itu tergantung pada tersedianya
tenaga kerja yang berpendidikan; demikian pula penelitian dan pengembangan yang dilakukan
oleh universitas dan perguruan tinggi memerlukan biaya yang tinggi pula, adalah merupakan
bagian yang fundamental dari pertumbuhan ekonomi suatu negara.

Kekayaan dan kemiskinan suatu bangsa atau negara ini berpengaruh banyak terhadap proses
pendidikan bagi warganya. Pada negara-negara miskin, pada umumnya negara-negara di Asia
dan Afrika, proporsi anak-anak umur antara 5 dengan 15 tahun yang bersekolah sangat rendah
yaitu di bawah 10%. Sedangkan pada negara-negara kaya, pada umumnya negara-negara di
Eropa Barat dan Amerika utara proporsinya sangat tinggi, bahkan bisa mencapai 100%.

Kekayaan atau kemiskinan relatif suatu negara, bukan saja mempengaruhi tingkat di mana
anak-anak itu pergi ke sekolah, tetapi juga macam pendidikan yang mereka terima. Di negara-
negara miskin, pada umumnya ruang sekolah hanya sedikit lebih baik dari pada gubuk; anak-
anak tampak kurang makan, waktu sekolah tidak teratur, guru-guru hanya memiliki tingkat
pendidikan yang rendah. Anak-anak itu diajar dengan jalan menghafal, dan apa yang diajarkan
sebagian besar adalah pengetahuan keagamaan tradisional. Berlawanan dengan keadaan
tersebut, adalah sekolah-sekolah mahal yang diperlengkapi dengan fasilitas sangat baik di
negara-negara kaya di dunia Barat yang anak-anaknya diberikan pendidikan yang menurut
orang tua mereka menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan, demi pengetahuan itu
sendiri, atau disebabkan oleh karena mereka melihat adanya hubungan dengan “terus maju” di
dunia ini. Para guru mendapat pendidikan yang baik dan terlatih, serta kurikulumnya didisain
sebesar mungkin ada hubungannya dengan pekerjaan bagi anak-anak dikemudian hari yang
akan dilakukan setelah mereka meninggalkan bangku sekolah.

2.Percepatan pertumbuhan penduduk dunia dengan tingkat kelahiran yang tinggi telah
menimbulkan masalah bagi setiap negara untuk menyediakan banyak fasilitas pendidikan.
Tingkat kelahiran yang tinggi tersebut akan meningkatkan proporsi anak dalam kependidikan
suatu bangsa atau negara dibandingkan dengan proporsi yang ada sebelumnya. Dengan adanya
peningkatan proporsi tersebut, berarti gedung sekolah dan fasilitas pendidikan yang sudah ada
sebelumnya, tidak lagi bisa menampung seluruh anak usia sekolah. Ini berarti bahwa negara
harus mengembangkan dan menambah daya tampung sekolah-sekolah yang ada, dengan
segala fasilitas kependidikan serta guru-guru yang diperlukan.
Negara-negara maju di Barat pada umumnya, pertumbuhan penduduk yang berasal dari
kelahiran ini diatasi dengan kebijaksanaan birth controle. Namun problema mereka (negara-
negara Barat) menjadi kekurangan tenaga kerja untuk meningkatkan perindustrian mereka,
sehingga harus mendatangkan tenaga kerja asing, yang tentunya akan menimbulkan problema
dalam pendidikannya, yaitu bagaimana mendidik mereka agar menjadi tenaga profesional yang
diperlukan. Sebaliknya di negara-negara yang sedang berkembang, mereka menghadapi satu
kenyataan bahwa di samping proporsi anak-anak usia sekolah yang tidak mendapatkan
kesempatan bersekolah cukup tinggi, juga pertambahan penduduk melalui kelahiran yang
cukup tinggi pula, maka menjadi beban yang sangat berat bagi negara atau bangsa yang
bersangkutan untuk memberikan kesempatan pendidikan yang merata bagi mereka.

3.Keruntuhan kolonialisme. Dengan diperolehnya kemerdekaan bagi bangsa-bangsa yang


terjajah, serta seiring dengan tumbuhnya kesadaran nasional, menyebabkan pendidikan bagi
generasi baru menjadi sangat penting, baik untuk menjadi pemimpin maupun untuk dipimpin
menuju ke arah “kemajuan sosial”, juga untuk menerima pesan mereka dan menjunjung
kesadaran nasionalnya. Ini adalah tujuan pendidikan yang telah lama dikenal dan telah dicoba
dengan baik. Kemerdekaan setelah perjuangan nasional atau setelah revolusi sosial, biasanya
diikuti dengan usaha untuk memberikan pandangan hidup baru kepada generasi baru. Perancis
di bawah Napoleon, Rusia setelah revolusinya, Amerika Serikat setelah perang revolusionernya,
Jepang setelah restorasi Meijinya adalah contoh-contoh yang sudah dikenal. Di setiap negara di
Afrika dan Asia, buku-buku sejarah mulai ditulis kembali, bahasa-bahasa ibu diatur tata
bahasanya dan lektur atau bahan bacaan disediakan untuk anak-anak generasi penerus.

Berkaitan dengan proses tersebut di atas, adalah perhatian terhadap apa yang disebut dengan
demokrasi. Demokrasi ini, apakah dari jenis parlementer konvensional seperti di India, atau
suatu gerakan solidaritas seperti di Ghana dan Mesir, membutuhkan penghapusan buta huruf.
Pemerintah ada di tangan juru tulis, jabatan-jabatan dalam kabinet berada di tangan kaum
intelektual, para perwira militer diambil dari golongan kecil dalam masyarakat. Keadaan melek
huruf seluruh bangsa adalah syarat pertama bagi suatu pemungutan suara, bagi tanggapan
yang dapat diterima untuk kepemimpinan yang baru; serta untuk memperoleh suatu kelompok
pemimpin tertentu di masa depan. Dengan demikian, perjuangan kesadaran nasional tersebut
menimbulkan kehausan akan pendidikan, dan kehausan akan pendidikan ini, menjadikan
sebagai perioritas politik bagi setiap negara yang berorientasi pada kesadaran nasional.

4.Perkembangan ekonomi dunia dewasa ini sangat tergantung pada perkembangan


ketrampilan tenaga kerja serta pada kecepatan proses asimilasi dari teknik baru dalam industri
dan pertanian. Setiap negara tanpa perkecualian terlibat dalam pertumbuhan ekonomi. Di
negara-negara dengan pertambahan penduduk yang sangat cepat, pertumbuhan ekonomi
merupakan satu-satunya jalan untuk menghindari kemungkinan terjadinya kelaparan masal.
Perbaikan sosial dan budaya juga tergantung pada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan
ekonomi dalam hal ini menjadi tujuan tersendiri dan merupakan suatu indikasi yang sangat
penting bagi kelompok yang ingin memerintah. Apabila ekonomi tersebut membutuhkan lebih
banyak lagi orang-orang yang ahli maupun aliran ide-ide baru yang terus-menerus dijelmakan
dalam teknik produksi baru, maka sistem pendidikan memainkan peranan yang baru dan
menentukan dalam kehidupan sosial. Anak-anak generasi penerus sekarang sudah tidak dapat
lagi memperoleh keahliannya hanya melalui orang tua mereka ataupun orang-orang tua di desa
mereka. Cara-cara tradisional dalam produksi dan pengurusan rumah tangga pun sudah
dianggap salah atau ketinggalan zaman. Untuk membangun sebuah pabrik, untuk membangun
tentara atau mengembangkan suatu sistem pertanian, pendidikan formal hanya akan berhasil
bila rakyat yang harus dilatih itu memiliki sedikit-dikitnya pengetahuan sekolah dasar. Mereka
harus mampu membaca, menulis dan berhitung. Lebih jauh lagi ialah bahwa pergantian dari
pola tradisional ke pola yang baru adalah perubahan dari apa yang merupakan kebiasaan
kepada apa yang diarahkan menuju ke perubahan tersebut. Perubahan kebudayaan inilah
sebenarnya yang harus dicapai; hal ini adalah suatu proses yang sulit tetapi harus dipelajari;
dan peranan inilah yang harus dilaksanakan oleh lembaga-lembaga pendidikan.

Oleh karena itu, maka pendidikan massa telah diberi perioritas utama dalam semua program
pendidikan. Massa yang melek huruf juga diperlukan untuk tujuan-tujuan patriotik dan sosial.
Sesungguhnya di negara di mana setiap orang dapat membaca dan menulis, mereka dapat
dengan mudah membina kader-kader rakyat yang sangat tinggi keahliannya maupun
pendidikannya. Untuk itu diharapkan bahwa setiap negara menetapkan rencana untuk
mencapai melek huruf secara universal, suatu tujuan yang diungkapkan dengan sangat
mengesankan dalam Deklarasi Hak-hak Manusia Universal. Namun konsekuensinya adalah
beban finansial yang berat bagi negara untuk menyediakan sekolah-sekolah dan menarik anak-
anak muda dari angkatan kerja.

5.Faktor utama yang mengubah peran pendidikan secara cepat di negara-negara sedang
berkembang dewasa ini adalah apa yang disebut sebagai ledakan ilmu pengetahuan. Dapat
dikatakan bahwa sembilan dari sepuluh ilmuwan yang dahulu pernah hidup, dewasa ini hidup
kembali. Sudah pasti bahwa bila semua buku yang ditulis sebelum tahun 1900 di keluarkan dari
perpustakaan besar dunia, maka sangat sedikitlah ruangan ekstra yang dapat diciptakan.
Bangsa-bangsa yang dalam abad itu hidup dalam keadaan miskin dan buta huruf, dewasa ini
telah menghasilkan karya-karya kesarjanaan yang luar biasa.

Dengan selayang pandang, dapat diketahui dari setiap katalog universitas bahwa betapa
banyaknya mata pelajaran-mata pelajaran baru yang diperkenalkan dewasa ini. Masa
pergantian abad yang lalu, di universitas Cambridge misalnya, bukan saja tidak diajarkan bahasa
Inggris dan kesastraan lain yang modern, tetapi juga tidak diberikan pelajaran sosiologi atau
politik, sedikit sekali tentang ekonomi, sedikit tentang teknik, tidak ada tentang pertanian; dan
ilmu hanya dibatasi pada ilmu fisika, kimia dan sedikit biologi. Sekarang, sebagian besar tingkat
sarjana muda di Canbridge telah mempelajari mata pelajaran yang pada pergantian abad yang
lalu tidak pernah diajarkan serta dalam ilmu-ilmu alam dan sosial, riset utamanya adalah untuk
mata pelajaran yang dahulu belum di kenal. Inilah yang dikenal sebagai ledakan ilmu
pengetahuan.

Kelima faktor tersebut di atas telah menjadikan perwajahan pendidikan di akhir abad dua puluh
berubah dengan drastis. Perubahan-perubahan yang ditandai dengan ledakan ilmu
pengetahuan dan teknologi ini, telah menjadikan persoalan-persoalan pendidikan semakin
meluas, mulai dari sistem pendidikan yang akan dikembangkan hingga ke isi kurikulum dan
mata pelajaran di dalam kelas.

A. Permasalahan-permasalahan Pendidikkan Universal

Pada hakikatnya pendidikan adalah usaha orang tua atau generasi tua untuk mempersiapkan
anak atau generasi muda agar mampu hidup secara mandiri dan mampu melaksanakan tugas-
tugas hidupnya dengan sebaik-baiknya. Orang tua atau generasi tua memiliki kepentingan
untuk mewariskan nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan kepada penerusnya.
Demikian kata Ki Hajar Dewantara …

…mendidik ialah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka
sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Selaras dengan itu, John Dewey seorang filosof pendidikan berkebangsaan Amerika
mengatakan bahwa “pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan
fundamental secara intelektual dan emosional ke arah alam dan sesama manusia”.

Jadi maksud dari tujuan pendidikan adalah agar generasi muda sebagai penerus generasi tua
dapat menghayati, memahami dan mengamalkan nilai-nilai atau norma-norma tersebut dengan
cara mewariskan segala pengalaman, pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang
melatar belakangi nilai-nilai dan norma-norma hidup dan kehidupan.
Proses pendidikan mengalami perkembangan selaras dengan proses tumbuh berkembangnya
suatu masyarakat, suku dan bangsa. Setiap masyarakat, suku atau bangsa mempunyai cara-cara
tersendiri yang berbeda antara satu dengan yang lainnya sesuai dengan pemahaman,
pengertian dan tujuan dari hidup dan kehidupan yang mereka hayati, yakini dan yang mereka
pelihara dan hormati bersama.

Sistem pendidikan terbentuk sesuai dengan pandangan hidup bangsa yang bersangkutan.
Apabila pandangan hidup suatu bangsa adalah terbuka, maka akan lebih mudah untuk
menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan zaman. Dalam sistem pendidikannya pun
akan banyak memberikan kesempatan kepada generasi mudanya untuk mengembangkan dan
mempersiapkan diri guna menghadapi tantangan dan perkembangan zaman yang selalu
berubah. Di sisi lain, ada pula pandangan hidup suatu bangsa yang tertutup. Mereka tidak mau
menerima pengaruh dari luar. Bangsa yang seperti ini tidak akan mungkin dapat mencapai
kemajuan-kemajuan, dengan demikian, maka mereka tidak akan mampu untuk menghadapi
tantangan-tantangan baru kehidupan yang menghadang. Bangsa yang pandangan hidupnya
tertutup tentunya akan menggunakan sistem pendidikan yang bersifat tradisional.

Bangsa yang tidak mampu untuk mengantisipasi perkembangan zaman disebabkan kesalahan
sistem pendidikannya yang tidak berorientasi pada pengembangan potensi pembawaan
generasi mudanya secara maksimal. Sistem pendidikan sangat tergantung dari cara pandang
suatu bangsa akan pengertian apa sebenarnya hakekat pendidikan tersebut. Dalam
perkembangannya, ada dua hakikat pendidikan yang diyakini. Pertama adalah kelompok yang
mengatakan bahwa hakikat pendidikan adalah mengembangkan potensi pembawaan generasi
muda atau anak secara maksimal sehingga akan memungkinkan bagi perkembangan budaya
masyarakat atau bangsa dari generasi ke generasi, serta akan selalu bisa memecahkan
problema kehidupan serta menjawab tantangan-tantangan zaman, sedangkan pandangan yang
kedua adalah menanamkan sesuatu pada jiwa atau diri seseorang yaitu penanaman nilai-nilai
dan norma budaya yang telah ada di kalangan generasi tua untuk dipelihara dan dipertahankan.
Pandangan kedua ini akan mengakibatkan terjadinya kemandegan atau stagnasinya sistem
budaya bangsa atau masyarakat yang bersangkutan.

Persoalan-persoalan di atas adalah salah satu persoalan pendidikan universal. Dalam


perputaran sejarah kehidupan manusia, menunjukkan ada bangsa yang dengan mudah
mencapai tingkat perkembangan budaya yang tinggi karena mereka memiliki daya inteligensi
dan dinamika yang tinggi. Di sisi lain ada pula bangsa yang seolah tidak mampu dan tidak
memiliki inovasi atau daya untuk mengatasi problema dan tantangan hidup yang berasal dari
lingkungannya.
Pendidikan memang memiliki pengaruh yang sangat besar akan keadaan seperti yang disebut di
atas, di samping bakat atau pembawaan merupakan faktor yang cukup dominan. Di sini akan
memunculkan pertanyaan universal lebih lanjut, yaitu apakah hakikat pendidikan adalah untuk
mengembangkan potensi individu atau untuk mengembangkan masyarakat, bangsa atau
negara? Dalam sistem pendidikan yang demokratis, orientasi pendidikan adalah untuk mendidik
dan mengembangkan individu, maka negara berkewajiban untuk memberikan kepada setiap
warga negara untuk mendapatkan pendidikan dan pengembangan segenap potensinya secara
bebas dan maksimal. Sebaliknya, jika sistem pendidikan berorientasi pada kepentingan negara,
maka pendidikan adalah alat untuk mengeksploitasi potensi-potensi individual warganya untuk
kepentingan negara dan bangsanya. Masalah sentralisasi dan desentralisasi pendidikan atau
masalah otonomi sistem pendidikan nasional, juga akan berkaitan erat dengan pandangan-
pandangan tentang hakikat pendidikan. (Tadjab, 1994; 138-139).

Permasalahan-permasalahan pendidikan universal terus bergulir. Artinya bahwa persoalan-


persoalan ini tetap menjadi aktual dan masalah-masalah ini belum bisa terpecahkan secara
tuntas. Tentu saja perhatian dari seluruh masyarakat, terutama para ahli sangat dibutuhkan,
karena memang negara-negara yang sedang berkembang menghadapi masalah-masalah yang
sangat serius dalam bidang pendidikan, tetapi ini bukan berarti negara-negara yang telah maju
terlepas dari permasalah-permasalahan pendidikan yang bersivat universal tersebut.

Perkembangan ilmu dan teknologi telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Kemajuan di
bidang teknologi ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang sangat fantastis, drastis
dan signifikan dalam kehidupan umat manusia di hampir segala aspek kehidupan.
Penyingkapan-penyingkapan rahasia alam oleh ilmu pengetahuan dan teknologi telah
memungkinkan manusia untuk mengeksploitasinya. Rasa ketergantungan manusia tehadap
alam seolah telah dapat diatasi, bahkan manusia telah berhasil menguasai alam guna
memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya, bahkan lebih jauh manusia pun telah mampu
untuk mengatur dan merekayasa alam dan pola sosial budayanya yang sedemikian rupa
sehingga manusia mampu menciptakan “sorga-sorga” dunia dengan lingkungan yang nyaman,
aman dan menyenangkan.

Usaha yang dilakukan oleh manusia tersebut adalah salah satu tujuan hidup manusia di dunia.
Oleh karena itu sistem pendidikan harus mengarah kepada usaha penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi, karena dengan cara itulah manusia dapat mewujudkan kehidupan
surgawi di dunia ini. Sayangnya, pada saat ini pengusaan ilmu pengetahuan dan teknologi
modern masih terbatas pada negara-negara maju saja. Ini artinya bahwa bangsa-bangsa maju
tersebut dapat menguasai dan mengendalikan kehidupan bangsa-bangsa lain di dunia ini, baik
secara ekonomis, politis, maupun sosial budaya dan kemasyarakatan, sementara di sisi lain
bahwa bangsa-bangsa yang tidak mampu untuk mengembangkan potensi akan tetap
menggantungkan hidupnya terhadap bangsa-bangsa maju. Tidak mengherankan apabila
eksploitasi dan penjajahan model baru pun tidak dapat dihindari oleh bangsa-bangsa yang
masih terkebelakang.

Untuk menghindari sifat ketergantungan bangsa-bangsa terkebelakang, tidak lain adalah


mengusai ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Artinya, proses pendidikan tidak boleh
tidak harus diarahkan ke sena. Memang untuk mewujudkan proses pendidikan seperti itu tidak
mungkin dapat dilaksanakan tanpa adanya dukungan yang menyeluruh, baik dari segi sumber
daya insani, alam maupun dana yang besar. Dalam kenyataannya, negara-negara yang belum
berkembang atau sedang berkembang belum mampu untuk mengembangkan sistem
pendidikan yang demikian, sehingga kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran hidup warga negaranya juga sangat terbatas. Tidak mengherankan, apabila
akhirnya bangsa-bangsa yang terkebelakang ini mengambil sikap fatalistik atau acuh tak acuh
terhadap kehidupan dunianya. Mereka akhirnya hanya “menghibur hati” dan lebih memilih
untuk memasuki alam kehidupan keagamaan yang mereka yakini akan membawa keselamatan
di akhirat nanti, yaitu kehidupan yang kekal, sementara kesenangan dunia hanyalah bersifat
fana.

Apabila bangsa-bangsa yang baru atau belum berkembang menghadapi permasalahan-


permasalahan di bidang pengembangan pendidikan ke arah ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka bangsa-bangsa yang maju pun menghadapi masalah yang pelik akibat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi. Kerusakan-kerusakan terhadap berbagai sumber daya alam,
timbulnya polusi dan pencemaran yang cendrung dapat memusnahkan kehidupan manusia
secara keseluruhan sebagai satu akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
telah menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang belum mereka temukan
jawabannya.

Fenomena di atas akhirnya juga memunculkan rasa ketakutan dan kebimbangan bagi bangsa-
bangsa yang baru atau belum berkembang dalam mengembangkan sistem pendidikan yang
mengarah kepada ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Mereka bahkan menjauhi
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi modern dalam sistem pendidikannya atau
memilih sistem pendidikan yang bersifat dualistis. Di satu pihak sistem pendidikan di arahkan
kepada penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi guna memajukan kesejahteraan dan
kemakmuran umat di muka bumi, di sisi lain menolak ilmu pengetahuan dan teknologi modern.
Dengan adanya dualisme sistem pendidikan nasional ini, persatuan dan kesatuan nasional
bangsa menjadi rawan serta tidak mendukung pencapaian tujuan pendidikan nasional yang
ingin memajukan kehidupan bangsa dan negara secara utuh dan tidak terpecah belah.
C. Persoalan-persoalan Pendidikan Indonesia

Tanggungjawab akan keberhasilan dan keberlangsungan pendidikan Indonesia sebenarnya


adalah salah satu tugas pemerintah. Ironisnya, di negara ini, apabila kita ingin menyelamatkan
pendidikan, justru yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah kebijakan-kebijakan pemerintah.
Artinya bahwa penyebab utama kemunduran pendidikan di Indonesia, lebih disebabkan oleh
kebijakan pemerintah itu sendiri.

Kebijakan pemerintah selama ini tidak pernah menjawab tantangan-tantangan pendidikan di


Indonesia maupun tantangan-tantangan pendidikan yang bersifat universal. Permasalahan-
permasalahan mulai dari substansi pendidikan hingga ke praksis pendidikan tidak pernah secara
tuntas diselesaikan. Wacana-wacana yang berkembang pun hanya berkisar pada dekonstruksi-
dekonstruksi kebijakan yang pernah ada sebelumnya, tanpa ada solusi yang pasti, dengan kata
lain bahwa setelah paradigma lama dianggap sudah tidak mampu lagi menjawab tantangan
zaman, dan sekuat tenaga “dihancurkan”, namun paradigma baru pun belum juga bisa
dipetakan secara jelas. Oleh karena itu, hasilnya bukan seberkas sinar terang yang memberikan
pencerahan, melainkan sesuatu yang membingungkan dan menjadikan wajah pendidikan
Indonesia semakin carut-marut. Dengan kata lain bahwa para pelaksana yang seharusnya
bertanggungjawab di bidang pendidikan khususnya pemerintah tidak serius dan telah gagal
menterjemahkan hakikat pendidikan nasional dalam bingkai perkembangan kehidupan sosial
budaya masyarakat.

Perkembangan atau dinamika seperti di atas yang mewarnai perjalanan panjang nasib
pendidikan Indonesia, mungkin bagi Hegel seorang filosof berkebangsaan Jerman adalah hal
yang wajar. Hegel pernah merumuskan tentang hukum dialektika yang menyatakan bahwa
sepanjang sejarah peradaban umat manusia ada satu hukum yang selalu menjadi penyebab
terjadinya perubahan-perubahan besar pada setiap zaman. Hukum dialektika Hegel ini
menjelaskan bahwa realitas yang terjadi di masyarakat sesungguhnya merupakan sebuah siklus
yang selalu ditandai oleh kenyataan dialektis. Satu sisi ada social reality yang posisinya sebagai
challenge, di sisi lain ada social reality yang posisinya sebagai response. Di satu sisi ada tesis, di
sisi lain ada antitesis. Satu sisi ada aksi, sisi lain ada reaksi dan demikian seterusnya sehingga
pada klimaksnya akan memunculkan sebuah tesis baru berupa realitas sosial baru.

Demikian dengan sistem pendidikan nasional Indonesia. Ketika orde lama berhasil
“ditumbangkan” oleh orde baru, maka sistem pendidikan nasional Indonesia lebih
dicendrungkan kepada keberlangsungan dan keselamatan negara, dengan kata lain pendidikan
dilaksanakan sepanjang dapat menjaga kesatuan, keutuhan dan kelestarian ideologi bangsa.
Tidak mengherankan semasa pemerintahan orde baru segala bentuk kebijakan pendidikan
selalu datangnya dari “atas” (pusat). Demikian pula ketika angin reformasi berhembus yang
ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru yang selama 32 tahun berkuasa, kecendrungan
dekonstruksi terhadap sistem pendidikan nasional pun kembali mencuat. Orde baru dianggap
sebagai biang keladi kemandegan atau kemacetan (bila tidak mau dikatakan dengan istilah
kegagalan) sistem pendidikan nasional Indonesia. Ini dibuktikan dengan krisis multi dimensional
yang hingga pada saat kejatuhan orde reformasi saat ini pun belum juga berakhir, malah
kecendrungan disintegrasi bangsa semakin terbuka lebar.

Rezim orde baru dianggap bertanggungjawab terhadap kekacauan pendidikan nasional, karena
rezim orde baru telah menterjemahkan dan memanfaatkan undang-undang sistem pendidikan
nasional Indonesia sebagai alat untuk melanggengkan sistem kekuasaan dengan mematikan
kebebasan ekspresi dan kreasi, serta mengekang kebebasan berfikir. Dengan kata lain bahwa
undang-undang sistem pendidikan nasional telah dijadikan alat untuk mengeksploitasi individu-
individu demi kepentingan politik orde baru dengan dalih demi keutuhan dan keselamatan
kehidupan bangsa dan negara Indonesia sekarang dan masa depan.

Ketika orde rezim penumbang orde baru berkuasa di bumi pertiwi ini, isu-isu pendidikan pun
tidak dianggap signifikan. Isu pendidikan tetap dijadikan alat untuk kepentingan politik dan
bukan menjadi isu politik itu sendiri, sementara mereka dengan sombongnya berkata akan
mengatasi segala krisis multi dimensi di Indonesia dengan seksama dan dalam tempo yang
sesingkat-singkatnya. Mungkin para elit politik Indonesia sekarang lupa bahwa persoalan
pemulihan ekonomi, kedewasaan berpolitik, penegakan supremasi hukum dan lain sebagainya
akan sia-sia saja, sejauh sistem pendidikan Indonesia masih terkebelakang dan belum dijadikan
prioritas utama. Dengan istilah lain bahwa sampai kapan pun jika pendidikan tetap dijadikan
“anak tiri” dalam pembangunan bangsa, maka bangsa ini akan tetap bergelut dalam kemelut
satu ke kemelut yang lainnya.

Melihat perwajahan pendidikan Indonesia, maka melalui tulisan ini, penulis merumuskan 36
Rekomendasi yang harus dilaksanakan di awal-awal ini dengan segera. Agenda kerja ini akan
penulis bagi ke dalam 13 permasalahan pokok penyelenggaraan pengajaran dan pendidikan di
Indonesia, yaitu:

1.Memetakan Secara Jelas Tentang Paradigma Baru Pendidikan Indonesia;


2.Menentukan Kembali Arah dan Sasaran Pendidikan Indonesia;
3.Pembenahan Infrastruktur Guna Menunjang Keberhasilan Proses Pendidikan Indonesia;
4.Pembenahan Birokrasi Pendidikan;
5.Menjadikan Pendidikan Sebagai Isu Politik;
6.Memetakan Sistem Desentralisasi Pendidikan Secara Jelas dengan UU Sistem Pendidikan
Nasional yang Relevan;
7.Penggalian dan Pemetaan Potensi Lokal;
8.Meningkatkan Partisipasi Masyarakat Secara Luas;
9.Meningkatkan Dana Pendidikan;
10.Meningkatkan Mutu, Efisiensi dan Efektifitas Pengelola atau Tenaga Kependidikan;
11.Membenahi Sistem dan Manajemen Pendidikan Nasional;
12.Meningkatkan Kualitas dan Relevansi Pendidikan dengan Kurikulum;
13.Mewujudkan Pemerataan Pendidikan Indonesia.

Ketigabelas persoalan-persoalan pendidikan di Indonesia seperti yang disebut di atas, sudah


seharusnya menjadi tanggungjawab seluruh masyarakat Indonesia, tetapi tanggungjawab pun
harus terlebih dahulu dipetakan secara jelas agar tidak terjadi saling tuding dan saling
menyalahkan. Dalam hal ini pemerintahlah yang harus mempelopori dan berusaha
menumbuhkan kepedulian terhadap dunia pendidikan, karena tanpa itu semua, persoalan-
persoalan ini tidak akan pernah terselesaikan dengan baik. Segala sumbangsih dari masyarakat
tidak akan memiliki arti apa-apa tanpa adanya niat dan tekad yang kuat dari penyelenggara
pemerintahan di Indoneia. Di sini dapat dicontohkan secara sederhana yaitu Undang-Undang
Otonomi Daerah yang berlaku mulai 1 Januari 2001, betapa pemerintah acuh tak acuh terhadap
keberlangsungan dan perkembangan dunia pendidikan Indonesia. Undang-undang tersebut
hanya berkisar pada soal-soal yang menyangkut politik semata, tidak terjabar persoalan yang
muncul di bidang lain, masalah kebijakan pengembangan SDM, misalnya.

Persoalan Pendidikan Nasional


Kontemporer

Menurut Triwiyanto (2014:157) terdapat beberapa permasalahan pendidikan nasional


kontemporer, antara lain:

1. Pencapaian dan Persoalan Tata Kelola Pendidikan Nasional

Menurut Triwiyanto (2014:148) mengatakan bahwa, buruknya kualitas pendidikan


memang salah satu hal yang dapat membahayakan bagi suatu bangsa. Dari zaman orde
baru hingga saat ini, lembaga kependidikan sering dialih fungsikan sebagai alat
kekuasaan perpolitikan. Akibatnya, kebijakan pendidikan pun sering tersandera oleh
kepentingan penguasa.

Kelemahan dalam pengelolaan dan layanan pendidikan nasional dapat diatasi melalui
pembaruan yang terdapat pada: (a) Isi yang direncanakan merupakan wujud dari
kelemahan yang harus diperbaiki: (b) Misi, yang dapat meningkatkan ketersediaan
layanan pendidikan, meningkatkan kualitas relevensi layanan pendidikan, memperluas
keterjangkauan layanan pendidikan: (c) menjamin untuk memperoleh layanan
pendidikan.

2. Pencapaian dan Persoalan Kurikulum Pendidikan Nasional

     Menurut Triwiyanto (2014:151) terdapat persoalan dalam kurikulum dan


pembelajaran pendidikan yang meliputi: kalender sekolah, rencana kerja tahunan,
penjabaran tugas, beban guru, jadwal dan tahapan penilaian hasil belajar.

     Ulfatin & Arifin dalam Triwiyanto (2014:151) menyatakan makna pembelajaran


adalah hal yang ditentukan pendidik selain sumber belajar pendukung lain. Karena
pendidik adalah kunci kesuksesan pembelajaran, seorang pendidik harus bisa merancang
dan mengembangkan materi pembelajaran secara proporsional dan akomodotif demi
tercapainya pembelajaran yang efektif.

     Menurut Triwiyanto (2014:153) Salah satu persoalan dalam kurikulum yang membuat
gelisah antara lain mengenai pengelolaan pendidikan nilai, terutama nilai kebangsaan
yang menjadi penghambat utama dalam upaya pembudayaan nilai Pancasila kepada
masyarakat. Layanan kurikulum dan pembelajaran adalah komponen layanan pendidikan
yang strategis karena disebut sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai
bahan pelajaran, tujuan dan isi sebagai pedoman kegiatan pembelajaran dalam mencapai
tujuan pendidikan.

3. Pencapaian dan Persoalan Pendidikan Anak Usia Dini

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 menyatakan bahwa pendidikan usia dini


diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar. Pendidikan anak usia dini
diselenggarakan melalui jalur pendidikan (a) formal, yang berbentuk Taman Kanak-
Kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), sederajat; (b) nonformal yang berbentuk Kelompok
Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), sederajat; (c) informal, yang meliputi
pendidikan dari keluarga maupun lingkungan.    

Persoalan yang menjadi tantangan bagi layanan pendidikan anak usia dini memang tidak
sedikit. Sejalan dengan Kementrian Pendidikan Kebudayaan (2010:24), persoalan
pendidikan anak usia dini antara lain:

a. Terbatasnya penyediaan pendidik anak usia dini.


b. Kurang tersedianya manajemen pendidikan anak usia dini.

c. Minimnya penyediaan dan pengembangan sistem pembelajaran

d. Terbatasnya penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana

e.Terbatasnya penyediaan subsidi pembiayaan untuk menerapkan sistem pembelajaran


pendidikan anak usia dini yang berkualitas.

4. Pencapaian dan Persoalan Pendidikan Dasar

Menurut Triwiyanto (2014:160) Pendidikan dasar merupakan jenjang pendidikan yang


melandasi jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar bisa berbentuk Sekolah Dasar
(SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI).

Data dari Kementrian pendidikan nasional (2010:21) menunjukkan bahwa pada jenjang
SD/MI/SDLB/Paket A terjadi peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) dari 112,5%
pada tahun 2004 menjadi 116,56% pada tahun 2008. Seiring dengan itu, Angka
Partisipasi Murni (APM) naik dari 94,12% pada tahun 2004 menjadi 95,40% pada tahun
2008.

Menurut Triwiyanto (2014:162) Angka Partisipasi Murni (APM) menggambarkan rasio


anak yang bersekolah pada kelompok usia itu dengan jumlah penduduk usia sekolah yang
bersangkutan. APM digunakan untuk mengukur seberapa besar anak usia sekolah yang
bersekolah. Tetapi sekarang perthitungan APM melemah karena banyak anak yang
masuk sekolah lebih dini

Tetapi, APM pendidikan dasar belum merata di seluruh provinsi. Empat belas provinsi
masih dibawah rata-rata nasional yang sebagian besar berada di Indonesia bagian Tengah
dan Timur. Sementara itu, dari hasil UASBN, mutu pendidikan sangat bervariasi antar
provinsi. Terdapat enam provinsi memiliki rata-rata nilai UASBN di bawah 6, seluruh
provinsi tersebut berada di wilayah Indonesia Tengah dan Timur.

5. Pencapaian dan Persoalan Pendidikan Menengah

Menurut Triwiyanto (2014:163) Pendidikan menengah terdiri dari Sekolah Menengah


Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan
Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK).

Program pengembangan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dalam jenjang pendidikan


menengah sudah menunjukkan hasil. Program  ini menuai kritik dari segala kalangan.
Secara umum persoalan pendidikan pada jenjang menengah tampak sangat menonjol
diantaranya :

a. Penyediaan pendidik pendidikan yang kompeten yang belum merata


b. Penyediaan manajemen yang belum kompeten yang belum merata

c. Penyediaan dan pengembangan sistem belajar yang masih lemah

d. Penyediaan dan peningkatan sarana dan SMA belum merata

e. Penyediaan dan peningkatan sarana dan SMK belum merata

f. Penyediaan subsidi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan    belum


merata

g. Penyediaan subsidi pembiayaan belum merata

6. Persoalan Pendidikan Tinggi

Menurut Triwiyanto (2014:166) Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan setelah


pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis, dan doktor. Persoalan pendidikan di perguruan tinggi tampak pada aspek yang
menonjol antara lain :

a. Persoalan belum optimalnya penyediaan dosen yang kompeten dan yang berkualitas

b. Upaya yang masih rendah dalam peningkatan kualitas pengelolaan perguruan tinggi

c. Keterbatasan penyediaan data dan informasi

d. Penyediaan dan peningkatan sarana dan prasarana belum merata

e. Masih minimnya upaya peningkatan publikasi hasil penelitian

f. Penyediaan subsidi untuk meningkatkan keterjangkauan layanan pendidikan yang


belum merata

7. Persoalan pendidikan nonformal

Menurut Triwiyanto (2014:168) Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan diluar


pendidikan formal yang dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Pendidikan
nonformal berfungsi dalam pengembangan potensi peserta didik.

Menurut Triwiyanto (2014:169) Persoalan-persoalan pendidikan nonformal yaitu sebagai


berikut :

a. Penyediaan tutor yang berkompeten belum merata, baik antarprovinsi, kabupaten, dan
kota.

b. Lemahnya penyediaan dan pengembangan sistem pembelajaran, data dan informasi


yang berbasis riset.
c. Penyediaan subsidi pembiayaan untuk penerapan sistem pembelajaran yang berkualitas
belum merata.

2.
Jenis-Jenis Layanan Khusus di Lembaga Pendidikan
Adapun jenis-jenis layanan khusus yang ada di sekolah, diantaranya:
1. Layanan Bimbingan dan Konseling

Bimbingan adalah bantuan yang diberikan kepada siswa dalam upaya menemukan pribadi,
mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan. Bimbingan diberikan oleh guru pembimbing.
Menurut Imron (1995:214), konseling adalah usaha yang secara langsung berkenaan dengan
pemecahan masalah-masalah klien, sementara bimbingan lebih diaksentuasikan kepada bantuan
terhadap klien. Konseling ditujukan terutama kepada individu yang bermasalah, sementara bimbingan
ditujukan kepada semua individu baik yang bermasalah maupun yang tidak.

Fungsi bimbingan di sekolah, diantaranya:

a) Fungsi penyaluran, yaitu membantu peserta didik dalam memilih jenis sekolah lanjutannya,
memilih program, memilih lapangan pekerjaan sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan cita-
citanya.

b) Fungsi pengadaptasian, yaitu membantu guru atau tenaga edukatif lainnya untuk menyesuaikan
program pengajaran yang disesuaikan dengan minat, kemampuan, dan cita-cita peserta didik.

c) Fungsi penyesuaian, yaitu membantu peserta didik dalam menyesuaikan diri dengan bakat, minat,
dan kemampuannya untuk mencapai perkembangan yang optimal.

Tujuan dilakukannya bimbingan di sekolah, diantaranya:

a) Mengembangkan pengertian dan pemahaman diri

b) Mengembangkan pengetahuan tentang jenjang pendidikan dan jenis pekerjaan, serta


persyaratannya

c) Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah

d) Mengatasi kesulitan dalam belajar dan hubungan sosial, dan sebagainya.

Ruang lingkup bimbingan di sekolah, diantaranya:

a) Layanan kepada peserta didik

b) Layanan kepada guru


c) Layanan kepada kepala sekolah

d) Layanan kepada calon peserta didik

e) Layanan kepada orang tua

f) Layanan kepada dunia kerja, terutama dilaksanakan di sekolah kejuruan

g) Layanan kepada lembaga-lembaga dan masyarakat lain.

2. Layanan Perpustakaan

Menurut Imron (1995:184), perpustakaan adalah suatu tempat dimana tersimpan koleksi bahan
pustaka yang disusun dan dikelola dengan menggunakan sistem tertentu agar dapat dipergunakan
untuk melayani mereka yang membutuhkan dan mempunyai sifat non profit. Perpustakaan
merupakan salah satu unit yang memberikan layanan kepada peserta didik dengan maksud membantu
dan menunjang proses pembelajaran di sekolah, melayani informasi yang dibutuhkan, serta
memberikan layanan rekreatif melalui koleksi bahan pustaka (Tim Dosen Administrasi Pendidikan
UPI, 2009: 216).REPORT THIS AD

Perpustakaan sekolah merupakan salah satu unit sekolah yang memberikan layanan kepada
peserta didik di sekolah sebagai sentra utama, dengan maksud membantu dan menunjang proses
belajar mengajar di sekolah, melayani informasi-informasi yang dibutuhkan, serta memberikan
layanan rekreatif melalui koleksi bahan pustaka (Imron. 1995:187). Perpustakaan sekolah sering
disebut sebagai jantung sekolah, karena yang menjadi denyut nadi proses pembelajaran di sekolah
adalah perpustakaan.

Tujuan perpustakaan sekolah, diantaranya:

a) Mengembangkan minat, kemampuan, dan kebiasaan membaca khususnya, serta mendayagunakan


budaya tulisan

b) Mendidik peserta didik agar mampu memelihara dan memanfaatkan bahan pustaka secara efektif
dan efisien

c) Memupuk bakat dan minat, dan sebagainya.

Fungsi-fungsi perpustakaan diantaranya:

a) Sebagai pusat belajar mengajar

Proses belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dan peserta didik dapat dilakukan dengan
kelengkapan koleksi bahan pustaka yang berasal dari perpustakaan sekolah.

b) Sebagai pusat penelitian dan telaah kepustakaan


Peserta didik dapat mengadakan penelitian literatur di perpustakaan dan mengadakan telaah
pustaka.

c) Sebagai pusat ilmu pengetahuan

Dalam koleksi bahan pustaka yang tersimpan di perpustakaan, tersimpan juga ilmu pengetahuan.

d) Sebagai pusat rekreasi

Peserta didik dapat memanfaatkan koleksi bahan pustaka yang mempunyai muatan rekreatif
sebagai sarana rekreasi.

e) Sebagai pusat apresiasi dan kreasi

Dengan mengkaji koleksi bahan pustaka perpustakaan, peserta didik akan dapat menghargai
karya orang lain.

3. Layanan Kantin atau Kafetaria

Layanan kafetaria adalah layanan makanan dan minuman yang dibutuhkan oleh peserta didik di
sela-sela mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah sesuai dengan daya jangkau peserta didik
(Imron, 1995:168). Makanan dan minuman yang tersedia di kafetaria tersebut harus mudah
terjangkau dari jumlah uang saku peserta didik tetapi juga memenuhi syarat kebersihan dan cukup
kandungan gizinya. Kafetaria sangat dibutuhkan di tiap-tiap sekolah. Hal ini dikarenakan agar peserta
didik tidak berkeliaran mencari makanan keluar sekolah.

Tujuan dari layanan kafetaria, diantaranya:

a) Agar peserta didik mudah dalam mendapatkan makanan dan minuman yang terjamin
kebersihannya serta sesuai dengan daya jangkau uang sakunya

b) Agar peserta didik dapat bersama-sama dengan teman sebayanya memanfaatkan kafetaria sekolah
sebagai wahana untuk belajar dan mendalami materi-materi yang diajarkan.

c) Agar peserta didik mengenal jenis makanan yang sederhana dan murah harganya tetapi tinggi atau
memadai kandungan gizinya, dan sebagainya.

Fungsi dari layanan kafetaria sekolah, diantaranya:

a) Fungsi normatif, peserta didik dapat dilatih cara makan yang baik sesuai dengan etika setempat,
dapat memahami cara dan etika makan, serta makan makanan dan minuman yang tidak terlarang.

b) Fungsi edukatif, peserta didik akan tahu cara makan yang sehat, dapat dilatih makan dan minum
dengan baik, dan sebagainya.
c) Fungsi preventif, peserta didik supaya tidak mengkonsumsi makanan dan minuman yang tidak
terjamin kebersihannya

4. Layanan Kesehatan

Layanan kesehatan yang biasa disebut dengan UKS adalah usaha kesehata masyarakat yang
dijalankan di sekolah (Tim Dosen Administrasi Pendidikan UPI, 2009: 221). Layanan kesehatan
peserta didik adalah suatu layanan kesehatan masyarakat yang dijalankan di sekolah dan menjadikan
peserta didik sebagai sasaran utama, dan personalia sekolah lainnya sebagai sasaran tambahan
(Imron, 1995:154). Sasaran utama UKS adalah untuk meningkatkan atau membina kesehatan murid
dan lingkungan hidupnya.

Program UKS diantaranya:

a) Mencapai lingkungan hidup yang sehat

b) Pendidikan kesehatan

c) Pemeliharaan kesehatan di sekolah.

Pendidikan kesehatan dimulai dengan cara memberikan informasi bahwa kebiasaan hidup sehat
merupakan model utama dalam kehidupan Peranan guru sangat besar dalam pendidikan kesehatan.
Penyelenggara UKS memerlukan kerjasama antara seluruh arga sekolah. Oleh karena itu, setiap
warga sekolah hendaknya menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin.

5. Layanan Transportasi Sekolah

Sarana transportasi bagi peserta didik merupakan sarana penunjang untuk kelancaran proses
belajar mengajar. Peserta didik akan merasa aman dan dapat masuk atau pulang dengan waktu yang
tepat. Transportasi diperlukan terutama bagi peserta didik ditingkat prasekolah dan sekolah dasar.
Penyelenggara transportasi sebaiknya dilaksanakan oleh sekolah yang bersangkutan atau pihak
swasta.

6. Layanan Asrama

Layanan asrama sekolah sangat bermanfaat baik peserta didik, diantaraya:

a) Tugas sekolah dapat dikerjakan dengan cepat dan sebaik-baiknya terutama jika berbentuk tugas
kelompok

b) Sikap dan tingkah laku peserta didik dapat diawasi oleh petugas asrama dan para pendidik

c) Jika diantara peserta didik mengalami kesulitan (misalnya kiriman orang tua terlambat), dapat
saling membantu

d) Dapat meringankan kecemasan orang tua terhadap putra-putrinya


e) Merupakan salah satu cara untuk mengendalikan tingkah laku remaja yang kurang baik.

7. Layanan Koperasi

Layanan koperasi sekolah adalah koperasi yang dikembangkan di sekolah, baik di sekolah
dasar, sekolah menengah, dan maupun sekolah atas. Sedangkan koperasi peserta didik adalah
koperasi yang ada di sekolah tetapi pengelolaannya adalah peserta didik. Adapun tujuan secara umum
dari koperasi peserta didik adalah membentuk sifat kegotong royongan dan saling saling membantu
diantara sesama peserta didik khususnya yang berada di sekolah.

Fungsi dari koperasi sekolah, diantaranya:

a) Sebagai wahana pendidikan koperasi kepada peserta didik

b) Sebagai pembentukan kader-kader koperasi

c) Sebagai wahana pelayanan kepada peserta didik yang membutuhkan dan mempunyai kebutuhan
mendesak, dan sebagainya.

8. Layanan Laboratorium

Laboratorium sekolah adalah sarana penunjang proses belajar mengajar baik tertutup maupun
terbuka yang dipergunakan untuk melaksanakan praktikum, penyelidikan, percobaan, pengembangan,
dan bahan pembakuan (Imron, 1995:177). Setiap sekolah harus mempunyai layanan laboratorium
guna menunjang kelancaran di dalam proses belajar mengajar.

Pengertian Layanan Pendidikan

 admin  Minggu, 04 Agustus 2019  pendidikan

Advertisement

Jejak Pendidikan- Dalam mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia jasa


pendidikan memegang peranan penting. Akan tetapi, minat dan perhatian pada aspek kualitas jasa
pendidikan bisa dikatakan baru berkembang dalam satu decade terakhir (Rambat,2006:5). Keberhasilan
jasa pendidikan ditentukan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas kepada para pengguna jasa
pendidikan tersebut (siswa, stakeholder, masyarakat). 

Secara sederhana layanan pendidikan bisa diartikan dengan jasa pendidikan. Kata jasa (service) itu
sendiri memiliki beberapa arti, mulai dari pelayanan pribadi (personal service) sampai pada jasa sebagai
suatu produk (Rambat,2006:5). Sebelum lebih jauh membahas mengenai layanan pendidikan, terlebih
dahulu akan dibahas mengenai pengertian jasa menurut beberapa ahli, sehingga pembahasan ini dapat
dipahami secara komprehensif.  
Kotler dalam buku Manajemen Jasa Terpadu mendefinisikan jasa adalah  setiap tindakan atau kegiatan
yang dapat ditawarkan kepada pihak lain, pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan
kepemilikan apapun, produksi jasa mungkin berkaitan dengan produk fisik atau sebaliknya (Nasution,
2004:6).  Selanjutnya Stanton mengungkapkan bahwa jasa diidentifikasi sebagai kegiatan tidak berwujud
yang merupakan obyek utama dari transaksi yang dirancang untuk menyediakan keinginan atau
kepuasan kepada pelanggan. 

Sedangkan Zaithmal dan Bitner berpendapat:

  include all economic activities whose output is not a physical product or construction, is generally
consumed at the time it is produced, and provides added value in forms (such as convenience,
amusement, timelines, comfort of health) that are essentially intangible concerns of its first purchaser.

Jasa pada dasarnya merupakan seluruh aktivitas ekonomi dengan output selain produk dan pengertian
fisik, dikonsumsi dan diproduksi pada saat bersamaan, memberikan nilai tambah dan secara prinsip
tidak berwujud (intangible) bagi pembeli pertamanya. 

Dari berbagai pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan sebagai produk jasa merupakan
sesuatu yang tidak berwujud akan tetapi dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang diproses dengan
menggunakan atau tidak menggunakan bantuan produk fisik dimana proses yang terjadi merupakan
interaksi antara penyedia jasa dengan pengguna jasa yang mempunyai sifat yang tidak mengakibatkan
peralihan hak atau kepemilikan. Jasa bukan barang melainkan suatu proses atau aktivitas yang tidak
berwujud.

Pendidikan merupakan proses pemanusiaan manusia atau suatu proses yang harus dilakukan baik yang
terlembaga maupun tidak terlembaga yang menyangkut fisik dan non fisik dan membutuhkan
infrastruktur dan skil ataupun keterampilan. Dengan demikian Jasa Pendidikan adalah seluruh kegiatan
yang berhubungan dengan pendidikan yang mengutamakan pelayanan dalam prosesnya.

-----------

3.
A.    Pengertian teori atau aliran pendidikan
Aliran pendidikan adalah pemikiran-pemikiran yang membawa pembaruan pendidikan.
Pertama, “teori” dipergunakan oleh para pendidik untuk menunjukkan hipotesis-hipotesis
tertentu dalam rangka membuktikan kebenaran-kebenaran melalui eksperimentasi dan
observasi serta berfungsi menjelaskan pokok bahasannya. O’Connor mendenifisikan istilah
“teori” ini katanya:
Kata “teori” sebagaimana yang dipergunakan dalam konteks pendidikan secara umum adalah
sebuah tema yang apik. Teori yang dimaksudkan hanya dianggap absah manakala kita
tetapkan hasil-hasil eksperimental yang dibangun dengan baik dalam bidang psikologi atau
sosiologi hingga sampai kepada praktek kependidikan.

Muhammad Nujayhi, seorang ahli pendidikan Mesir Kontemporer merefleksikan


pandangan senada dengan O’connor ketika mengatakan, bahwa perkembangan-
perkembangan di bidang psikologi eksperimental membawa kesan-kesan ke dalam dunia
pendidikan dan memberi sumbangan bagi teori-teori pendidikan, sebagaimana yang
terdapat pada bidang ilmu pengetahuan khusus. Dengan demikian, “teori” dalam arti
pertama terbatas pada penjelasan mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan
batas-batasan ilmiah.

Kedua, “teori” menunjuk kepada bentuk asas-asas yang saling berhubungan yang mengacu
kepada petunjuk praktis. Dalam pengertian ini, bukan hanya mencangkup pemindahan-
pemindahan eksplanasi fenomena yang ada, namun termasuk di dalamnya mengontrol atau
membangun pengalaman.

B.     Aliran-aliran Klasik Pendidikan


Aliran-aliran klasik dalam pendidikan pada umumnya berasal dari kawasan-kawasan di
Eropa dan Amerika. Dan akhirnya tersebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia dengan
berbagai cara : dibawa oleh penjajah, melaui buku bacaan, dibawa oleh orang yang pergi
belajar ke Eropa atau Amerika, dan sebagainya. Penyebaran tersebut menyebabkan
pemikiran-pemikiran dari kedua kawasan itu pada umumnya menjadi acuan dalam
penetapan kebijakan di bidang pendidikan diberbagi Negara.
Aliran-aliran klasik yang dimaksud adalah aliran empirisme, nativisme, naturalisme, dan
konvergensi. Sampai saat ini aliran aliran tersebut masih sering digunakan walaupun
dengan pengembangan-pengembangan yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
1.      Aliran Nativisme
Istilah nativisme dari kata natie yang artinya adalah terlahir. Tokoh aliran ini adalah
Schopenhauer. Ia adalah filosof Jerman yang hidup pada tahun 1788-1880. Aliran ini
berpandangan bahwa perkembangan mausia itu telah ditentukan oleh faktor-faktor yang
dibawa manusia sejak lahir, pembawaan yang telah terdapat pada waktu dilahirkan itulah
yang menetukan hasil perkembangannya. Menurut kaum nativisme itu, pendidikan tidak
dapat mengubah sifat-sifat pembawaan. Jadi, kalau benar pendapat tersebut, percumalah
kita mendidik atau dengan kata lain pendidikan tidak perlu. Dalam ilmu pendidikan, hal ini
disebut pesimisme pedagogis. Misalnya, seorang anak yang berasal dari orang tua yang ahli
seni musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi kemampuan
orang tuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orang tuanya.

2.      Aliran Empirisme
Tokoh aliran empirisme adalah John Lock, filosof inggris yang hidup pada tahun 1632-
1704. Teorinya dikenal dengan Tabulae Rasae (meja lilin), yang menyebutkan bahwa anak
yang lahir kedunia seperti kertas putih yang bersih. Kertas putih akan mempunyai corak dan
tulisan yang digores oleh lingkungan. Aliran empirisme berpendapat berlawanan dengan
kaum nativisme karena berpendapat bahwa dalam perkembangan anak menjadi manusia
dewasa itu sama sekali tidak ditentukan oleh lingkungannya atau oleh pendidikan dan
pengalaman yang diterimanya sejak kecil. Manusia-manusia dapat dididik menjadi apa saja
(kearah yang baik maupun yang buruk) menurut kehendak lingkungan atau pendidiknya.
Dalam pendidikan, pendapat kaum empiris ini terkenal dengan nama optimisme
pedagogis. Aliran empirisme dipandang berat sebelah sebab hanya mementingkan peranan
pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Sedangkan kemampuan dasar yang dibawa
anak sejak lahir dianggap tidak menentukan, menurut kenyataan dalam kehidupan sehari-
hari terdapat anak yang berhasil karena berbakat, meskipun lingkungan sekitarnya tidak
mendukung.
Keberhasilan ini disebabkan oleh adanya kemampuan yang berasal dari dalam diri yang
berupa kecedasan atau kemauan keras, anak berusaha mendapatkan lingkungan yang dapat
mengembangkan bakat atau kmampuan yang telah ada dalam dirinya. Misalnya: Suatu
keluarga yang kaya raya ingin memaksa anaknya menjadi pelukis segala alat dibelikan dan
pendidik ahli didatangkan. Akan tetapi gagal, karena bakat melukis pada anak itu tidak ada.
Akibatnya dalam diri anak terjadi konflik, pendidikan mengalami kesukaran dan hasinya
tidak optimal.

3.      Aliran Naturalism
Tokoh aliran ini adalah J.J Rousseau. Ia adalah filosof prancis yang hidup tahun 1712-
1778. Naturalisme berasal dari kata “nature” artinya alam atau apa yang dibawa sejak lahir.
Hampir senada dengan aliran nativisme, maka aliran ini berpendapat bahwa hakikatnya
semua anak sejak dilahirkan adalah baik. Bagaimana hasil perkembangannya sangat
ditentukan oleh pendidikan yang diterimanya atu yang mempengaruhinya. Jika pengaruh
atau pendidikan itu baik, maka akan menjadi baiklah ia, akan tetapi jika pengaruh itu jelek,
maka akan jelek pula hasilnya.
Seperti dikatakan oleh tokoh aliran ini, “Semua anak adalah baik pada waktu datang dari
tangan Sang Pencipta, tetapi semua jadi rusak ditangan manusia”. Oleh karena itu sebagai
pendidik Rousseau mengajukan “pendidikan alam”. Artinya, anak hendaklah dibiarkan
tumbuh dan berkembang sendiri menurut alamnya manusia atau masyarakat jangan banyak
mencampurinya.

Aliran naturalisme memiliki tiga prinsip dalam proses pembelajaran, (M. Arifin dan
Aminuddin R., 1992:9), yaitu:
a.       Anak didik belajar melalui pengalamannya sendiri. Kemudian terjadi interaksi antara
pengalaman dengan kemampuan pertumbuhan dan perkembangan didalam dirinya secara
alami.
b.      Pendidik hanya menyediakan lingkungan belajar yang menyenangkan. Pendidik
berperan sebagai fasilitator atau narasumber yang menyediakan lingkungan yang mampu
mendorong keberanian anak didik ke arah pandangan yang positif dan tanggap terhadap
kebutuhan untuk memperoleh bimbingan dan sugesti dari pendidik. Tanggung jawab belajar
terletak pada diri anak didik sendiri.
c.       Program pendidikan di sekolah harus disesuaikan dengan minat dan bakat  dengan
menyediakan lingkungan belajar yang berorientasi kepada pola  belajar anak didik. Anak
didik secara bebas diberi kesempatan untuk menciptakan lingkungan belajarnya sendiri
sesuai dengan minat dan perhatiannya.
Dengan demikian, aliran Naturalisme menitik beratkan pada strategi pembelajaran yang
bersifat paedosentris. Artinya faktor kemampuan individu anak didik menjadi pusat
kegiatan proses belajar-mengajar.

4.      Aliran Konvergensi
Tokoh aliran konvergensi adalah William Stern. Ia seorang tokoh pendidikan jerman yang
hidup tahun 1871-1939. Aliran konvergensi merupakan kompromi atau kombinasi dari
aliran nativisme dan empirisme. Aliran ini berpendapat bahwa anak lahir didunia ini telah
memiliki bakat baik dan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjutnya akan
dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan
penting.

Anak yang mempunyai pembawaan baik dan didukung oleh lingkungan pendidikan yang
baik akan menjadi semakin baik. Sedangkan bakat yang dibawa sejak lahir tidak akan
berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai bagi perkembangan bakat
itu sendiri. Sebaliknya, lingkungan yang baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak
secara optimal jika tida didukung oleh bakat baik yang dibawa anak. Karena itu teori W.
Stern disebut teori konvergensi (konvergen artinya memusat ke satu titik).  Jadi menurut
teori konvergensi:
a.       Pendidikan mungkin untuk dilaksanakan.
b.      Pendidikan diartikan sebagai pertolongan yang diberikan lingkungan kepada anak didik
untuk mengembangkan potensi yang baik dan mencegah berkembangnya potensi yang
kurang baik.
c.       Yang membatasi hasil pendidikan adalah pembawaan dan lingkungan.

Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat
dalam memahami tumbuh-kembang manusia. Meskipun demikian, terdapat variasi
pendapat tentang factor mana yang paling penting dalam menentukan tumbuh-kembang itu.
Dari sisi lain, variasi pendapat itu juga melahirkan berbagai pendapat atau gagasan tentang
belajar mengajar, seperti peran guru sebagai fasilitator ataukah informator, teknik penilaian
pencapaian siswa dengan tes objektif atau tes esai, perumusan tujuan pengajaran yang
sangat behavioral, penekanan pada peran teknologi pengajaran (The Teaching Machine,
belajar berprogram, dan lain-lain) dan sebagainya. Dengan demikian, aliran konvergensi
menganggap bawa pendidikan sangat bergantung pada faktor pembawaan atau bakat
dengan lingkungan.

5.      Aliran Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang di dasarkan kepada nilai-nilai kebudayaan yang telah
ada sejak awal peradaban umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah
dalam memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana serta
terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterkaitan dengan doktrin tertentu.

Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang
mempunyai tata yang jelas. Idealisme dan realisme adalah aliran filsafat yang membentuk
corak esensialisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung esensialisme, akan tetapi
tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya yang utama pada dirinya masing-
masing.

Dengan demikian Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang
disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep
meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul dan
merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Maka,
disusunlah konsep yang sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta,
yang memenuhi tuntutan zaman. Tokoh-tokoh Esensialisme:
a.       Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 – 1831)
Hegel mengemukakan adanya sintesa antara ilmu pengetahuan dan agama menjadi suatu
pemahaman yang menggunakan landasan spiritual.
b.      George Santayana
George Santayana memadukan antara aliran idealisme dan aliran realisme dalam
suatusintesa dengan mengatakan bahwa nilai itu tidak dapat ditandai dengan suatu konsep
tunggal, karena minat, perhatian dan pengalaman seseorang menentukan adanya kualitas
tertentu.

6.      Aliran Progresivisme
Progresivisme adalah suatu gerakan dan perkumpulan yang didirikan pada tahun 1918. Aliran
ini berpendapat bahwa pengetahuan yang benar pada masa kini mungkin tidak benar di masa
mendatang. Pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau
bidang muatan. Beberapa tokoh dalam aliran ini : George Axtelle, William O. Stanley, Ernest
Bayley, Lawrence B. Thomas dan Frederick C. Neff.
Progravisme mempunyai konsep yang didasari oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa
manusia itu mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan dapat menghadapi dan
mengatasi maslah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam adanya manusia itu
sendiri (Barnadib, 1994:28). Oleh karena kemajuan atau progres ini menjadi
suatustatemenprogrevisme, maka beberapa ilmu pengetahuan yang mampu menumbuhkan
kemajuan dipandang merupakan bagian utama dari kebudayaan yang meliputi ilmu-ilmu
hayat, antropologi, psikologi dan ilmu alam.
Progresivisme berpendapat tidak ada teori realita yang umum. Pengalaman menurut
progresivisme bersifat dinamis dan temporal; menyala. tidak pernah sampai pada yang
paling ekstrem, serta pluralistis. Menurut progresivisme, nilai berkembang terus karena
adanya pengalaman-pengalaman baru antara individu dengan nilai yang telah disimpan
dalam kehudayaan. Belajar berfungsi untuk :mempertinggi taraf kehidupan sosial yang
sangat kompleks. Kurikulum yang baik adalah kurikulum yang eksperimental, yaitu
kurikulum yang setiap waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Progresvisme merupakan pendidikan yang berpusat pada siswa dan memberi penekanan
lebih besar pada kreativitas, aktivitas, belajar "naturalistik", hasil belajar "dunia nyata" dan
juga pengalaman teman sebaya. Tokoh-tokoh Progresivisme:
a.       William James (11 Januari 1842 – 26 Agustus 1910)
James berkeyakinan bahwa otak atau pikiran, seperti juga aspek dari eksistensi organik,
harus mempunyai fungsi biologis dan nilai kelanjutan hidup. Dan dia menegaskan agar
fungsi otak atau pikiran itu dipelajari sebagai bagian dari mata pelajaran pokok dari ilmu
pengetahuan alam. Jadi James menolong untuk membebaskan ilmu jiwa dari prakonsepsi
teologis, dan menempatkannya di atas dasar ilmu perilaku.
b.      John Dewey (1859 - 1952)
Teori Dewey tentang sekolah adalah "Progressivism" yang lebih menekankan pada anak
didik dan minatnya daripada mata pelajarannya sendiri. Maka muncullah "Child
CenteredCuriculum", dan "Child CenteredSchool". Progresivisme mempersiapkan anak
masa kini dibanding masa depan yang belum jelas.
c.       Hans Vaihinger (1852 - 1933)
Menurutnya tahu itu hanya mempunyai arti praktis. Persesuaian dengan obyeknya tidak
mungkin dibuktikan; satu-satunya ukuran bagi berpikir ialah gunanya (dalam bahasa
Yunani Pragma) untuk mempengaruhi kejadian-kejadian di dunia. Segala pengertian itu
sebenarnya buatan semata-mata; jika pengertian itu berguna. untuk menguasai dunia,
bolehlah dianggap benar, asal orang tahu saja bahwa kebenaran ini tidak lain kecuali
kekeliruan yang berguna saja.

7.      Aliran Prenelialism
Perenialisme merupakan suatu aliran dalam pendidikan yang lahir pada abad kedua puluh.
Perenialisme berasal dari kata perennial yang berarti abadi, kekal atau selalu. Perenialisme
lahir sebagai suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Jalan yang
ditempuh oleh kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang, dengan
menggunakan kembali nilai nilai atau prinsip prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup yang kuat, kukuh pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Kaum perenialis berpandangan bahwa dalam dunia yang tidak menentu dan penuh
kekacauan serta mambahayakan tidak ada satu pun yang lebih bermanfaat daripada
kepastian tujuan pendidikan, serta kestabilan dalam perilaku pendidik. Mohammad Noor
Syam (1984) mengemukakan pandangan perenialis, bahwa pendidikan harus lebih banyak
mengarahkan pusat perhatiannya pada kebudayaan ideal yang telah teruji dan tangguh.
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan
keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan ideal. Tokoh-tokoh Perenialisme:
a.       Plato, tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas
normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.
b.      Aristoteles, Ia menganggap penting pembentukan kebiasaan pada tingkat pendidikan
usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral.
c.       Thomas Aquinas, Ia berpendapat pendidikan adalah menuntun kemampuan-
kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap
individu. Seorang guru bertugad untuk menolong membangkitkan potensi yang masih
tersembunyi dari anak agar menjadi aktif dan nyata.

8.      Aliran Rekontruksionisme
Kata rekonstruksionisme dalam bahasa Inggeris rekonstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran
yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham
dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua
aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan
sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran,
kebingungan dan kesimpangsiuran proses dan lembaga pendidikan dalam pandangan
rekonstruksionisme perlu merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup
kebudayaan yang baru, untuk mencapai tujuan utama tersebut memerlukan kerjasama antar
ummat manusia.
Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930, ingin
membangun masyarakat baru, masyarakat yang pantas dan adil. Adapun beberapa tokoh
dalam aliran ini:Caroline Pratt, George Count, dan Harold Rugg.

9.      Aliran Pragmatisme
Pragmatisme berasal dari kata pragma yang artinya guna. Pragma berasal dari bahasa
Yunani. Maka Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar
adalah apa saja yang membuktikan dirinya sebagai yang benar dengan akibat-akibat yang
bermanfaat scara praktis. Misalnya, berbagai pengalaman pribadi tentang kebenaran mistik,
asalkan dapat membawa kepraktisan dan bermanfaat. Artinya, segala sesuatu dapat diterima
asalkan bermanfaat bagi kehidupan. Tokoh tokoh Pragmatisme: Tokohnya, William James
(1842-1910) lahir New York, yang memperkenalkan ide-idenya tentang pragmatisme
kepada dunia. Ia ahli dibidang seni, psikologi, anatomi, fisiologi, dan filsafat. (Drs.
SMORO ACHMADI, 2003:).

Aliran-aliran Pendidikan

A.Nativisme

Istilah nativisme berasal dari kata natie yang artinya adalah terlahir. Aliran Nativisme bertolak
dari Leibnitzian Tradition  yang menekankan kemampuan dalam diri anak, sehingga faktor
lingkungan, termasuk faktor prndidikan, kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil
perkembangan tersebut ditentukan oleh pembawaan yang sudah diperoleh sejak
kelahiran.Lingkungan kurang berpengaruh terhadap pendidikan dan perkembangan anak.[1]
Tokoh aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer (1788-1860), dia adalah seorang filsuf yang
berkebangsaan Jerman yang sangat dikenal sebagai orang yang pesimis dan pemahamannya
terhadap realitas sebagai yang tidak masuk akal.Dia berpendapat bahwa faktor pembawaan yang
bersifat kodrat dari kelahiran, yang tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau atau pendidikan
itulah pribadi seseorang, bukan hasil pendidikan. Tanpa potensi hereditas yang baik, seseorang 
tidak mungkin mencapai taraf  yang dikehendaki, meskipun dididik dengan maksimal.[2]Dengan
demikian, menurut aliran ini, keberhasilan belajar ditentukan oleh individu itu sendiri. Nativisme
berpendapat, jika anak memiliki bakat jahat dari lahir, ia akan menjadi jahat, dan sebaliknya, jika
anak memiliki bakat baik, ia akan menjadi baik. Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat
yang dibawa tidak akan berguna  bagi perkembangan anak itu sendiri.[3]

Contoh dari pandangan nativisme adalah anak mirip orang tuanya secara fisik dan akan mewarisi
sifat dan bakat orangtuanya. Misalnya, seorang anak yang berasal dari keluarga ahli seni musik,
maka anak tersebut akan berkembang menjadi seniman musik yag mungkin melebihi
kemampuan orangtuanya, mungkin juga hanya sampai pada setengah kemampuan orangtuanya.

Bertolak dari pemikiran diatas, maka konsep pendidikan Schopenhauer dapat dikemukakan lebih
lanjut senagai berikut:

Pertama, berkaitan dengan mendidik. Menurutnya, mendidik adalah tidak lain dari membiarkan
anak tumbuh berdasarkan pembawaannya. Berhasil tidaknya pendidikan tersebut, bergantung
kepada tinggi rendahnya jenis pembawaan yang dimiliki anak. Pendidikan menurut aliran ini
tidak memiliki kekuatan sama sekali. Dengan demikian, aliran nativisme ini termasuk yang
bersifat pesimistis dalam memandang pendidikan, yakni bahwa pendidikan tersebut sebagai yang
tidak ada nilainya.

Jika pandangan kaum nativisme tersebut dihubungkan dengan ajaran islam tampak bahwa ajaran
tersebut tidak sepenuhnya dapat diterima. Islam mengakui bahwa setiap manusia memiliki
kemampuan jasmani, akal, dan rohani yang dibawanya sejak lahir.Namun, berbagai kemampuan
tersebut tidak dapat dengan sendirinya tumbuh dan berkembang jika tidak dilakukan
pembinaan.Kemampuan tersebut baru merupakan potensi atau bahan yang masih harus dibentuk.
[4]Tentang adanya potensi yang harus dikembangkan dan dibina ini dapat dipahami dari ayat
yang artinya: ‘dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui
sesuatupun, dan dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu
bersyukur.” (QS. Al-Nahl, 16:78).

B.Empirisme

Aliran Empirisme atau aliran yang berdasarkan pada pengalaman bertolak dari Lockean
Tradition yang mementingkan stimulasi eksternal dalam perkmbangan manusia, dan menyatakan
bahwa perkembangan anak tergantung kepada lingkungan, sedangkan pembawaan tidak
dipentingkan.Pengalaman yang diperoleh anak dalam kehidupan sehari-hari di didapat dari dunia
sekitarnya yang berupa stimulant-stimulan.Stimulasi ini berasal dari alam bebas ataupun
diciptakan oleh orang dewasa dalam bentuk program pendidikan.[5] Aliran ini sangan
berlawanan dengan aliran nativisme yang  beranggapan bahwa perkembangan manusia
tergantung pada faktor bawaan(keturunan) dan bukan dari lingkungan.

Seorang filsuf Inggris bernama John Locke (1632-1704) mengembangkan sebuah teori yang
disebut dengan Teori “Tabula Rasa” yang menyebutkan bahwa anak yang lahir ke dunia seperti
kertas kosong (putih) atau meja berlapis  lilin yang belum ada tulisan di atasnya. Oleh karena itu,
kertas kosong tersebut dapat ditulisi sekehendak hati yang menulisnya, dan lingkungan itulah
yang menulis kertas kosong tersebut.Menurut teori ini, kepribadian didasarkan pada lingkungan
pendidikan yang didapatinya atau perkembangan jiwa seseorang semata-mata bergantung kepada
pendidikan.[6]

Misalnya, ada dua anak lahir kembar, dan dari kecil mereka dipisahkan dan dibesarkan pada
lingkungan yang berbeda.Satu dari mereka dididik oleh keluarga yang kaya raya dan
disekolahkan di sekolah modern, dan yang satu dididik oleh keluarga miskin di sebuah desa.
Ternyata pertumbuhannya tidak sama.

Kelemahan aliran ini adalah hanya mementingkan pengalaman, sedangkan kemampuan dasar
yang dibawa anak sejak lahir dikesampingkan.Padahal, ada anak yang berbakat dan berhasil
meskipun lingkungan tidak mendukung.[7]

Dalam pandangan Islam, teori empirisme atau behaviorisme yang dikemukakan John Locke
tersebut tidak sepenuhnya dapat  diterima. Islam mengakui bahwa lingkungan atau pendidikan
memiliki pengaruh dalam pembentukan pribadi anak. Ibn Miskawaih, Ibn Sina, dan al-Ghazali
misalnya mendukung paham tersebut. Para filsuf Islam tersebut misalnya berpendapat, bahwa
jika lingkungan atau pendidikan tidak berpengaruh pada pembentukan pribadi manusia, maka
kehadiran para Nabi menjadi sia-sia.Kenyataa menunjukkan bahwa dengan kedatangan para
Nabi, keadaan masyarakat menjadi berubah dari keadaan yang tersesat menjadi lurus, dari
keadaan berbuat zalim menjadi berbuat baik, dari keadaan bodoh menjadi pandai, dari keadaan
biadab menjadi beradab dan seterusnya. Nabi Muhammad Saw misalnya menyatakan bahwa ia
diutus ke muka bumi ini adalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.

Namun demikian, Islam tidak memutlakkan peran lingkungan atau pendidikan dan
menghilangkan peran hidayah Allah Swt. Islam memandang bahwa lingkungan tidak
sepenuhnya dapat membentuk orang menjadi baik.Buktinya ada anak seorang Nabi yang tidak
menjadi orang yang beriman. Di dalam Al-Qur’an Allah Swt, menyatakan: sesungguhnya  kamu
tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang
mau menerima petunjuk. (QS Al-Qashash, 28:56).  Dengan demikian, terlihat dengan jelas bahwa
pemikiran pendidikan empirisme atau behaviorisme tidak sepenuhnya dapat diterima dalam
ajaran Islam.

C.Konvergensi
Aliran konvergensi pada umumnya diterima secara luas sebagai pandangan yang tepat dalam
memahami tumbuh kembang manusia.Karena aliran ini merupakan perpaduan dari aliran
sebelumnya, yaitu nativisme dan empirisme. Seorang tokoh pendidikan Jerman bernama William
Stern (1871-1939) berpendapat bahwa seorang anak dilahirkan di dunia sudah disertai
pembawaan baik maupun pembawaan buruk, sedangkan perkembangan anak selanjunya akan
dipengaruhi oleh lingkungan. Jadi, faktor pembawaan dan lingkungan sama-sama berperan
penting.[8]

Bakat yang dibawa anak pada waktu lahir tidak akan berkembang dengan baik tanpa adanya
dukungan lingkungan yang sesuai untuk perkembangan bakat itu. Sebaliknya, lingkungan yang
baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau memang pada diri anak
tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk mengembangkan itu.

Sebagai contoh, hakikat kemampuan anak manusia berbahasa dengan kata-kata.Pada anak
manusia ada pembawaan untuk berbicara melalui situasi lingkungannya, anak berbicara dalam
bahasa tertentu.Lingkungan pun mempengaruhi anak didik dalam mengembangkan pembawaan
bahasanya. Karena itu tiap anak manusia mula-mula menggunakan bahasa lingkungannya,
misalnya bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan sebagainya. Kemampuan satu anak
dengan anak yang lain (yang tinggal dalam lingkungan yang sama) untuk mempelajari bahasa
mungkin tidak sama. Itu disebabkan oleh adanya perbedaan kuantitas pembawaan dan perbedaan
situasi lingkungan, biarpun lingkungan anak-anak tersebut menggunakan bahasa yang sama.

Di kalangansebagian pemikir Islam ada yang berpendapat , bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh
Nabi Muhammad Saw adalah ajaran yang mendukung teori konvergensi. Pendapat ini didasarkan
pada hadis Nabi yang artinya: bahwa setiap anak yang dilahirkan telah membawa fitrah, maka
kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak tersebut menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi.
(HR Baihaqi)

Namun demikian, Islam sesungguhnya lebih tepat dikatakan sebagai penganut paham
konvergensi plus, yakni bahwa keberhasilan pendidikan selain disebabkan karena usaha manusia,
juga karena hidayah dari Allah Swt. Hal ini dapat dipahami dari QS Al-Waaqi’ah (56) ayat 63-64
yang artinya: maka apakah kamu memerhatikan apa-apa yang kamu tanam? Apakah kamu
menumbuhkannya atau kami yang menumbuhkannya?.Dengan berpegangan ayat tersebut, maka
Islam menganut paham konvergensi plus, atau konvergensi yang memadukan antara usaha
manusia dengan kehendak Tuhan.Hal ini sejalan pula dengan ideology pendidikan Islam yang
bercorak humanism theo-centris, yakni ideology yang memahami penggabungan antara usaha
manusia dan kehendak Tuhan.

4.
Pendidikan sebagai usaha sadar yang sistematis-sistemik selalu bertolak darisejumlah
landasan serta pengindahan sejumlah asas-asas tertentu. Landasan dan asas tersebut sangat
penting, karena pendidikan merupakan pilar utama terhadap perkembangan manusia dan
masyarakat bangsa tertentu. Beberapa landasan pendidikan tersebut adalah landasan filosofis,
sosiologis, dan kultural, yang sangat memegang peranan penting dalam menentukan tujuan
pendidikan. Selanjutnya landasan ilmiah dan teknologi akan mendorong pendidikan untuk
mnjemput masa depan.

Bab III ini akan memusatkan paparan dalam berbagai landasan dan asas pendidikan, serta
beberapa hal yang berkaitan dengan penerapannya. Landasan-landasan pendidikan tersebut
adalah filosofis, kultural, psikologis, serta ilmiah dan teknologi. Sedangkan asas yang dikalia
adalah asas Tut Wuri Handayani, belajar sepanjang hayat, kemandirian dalam belajar.

A.    LANDASAN PENDIDIKAN

1.     Landasan Filososfis

a.   Pengertian Landasan Filosofis

Landasan filosofis bersumber dari pandangan-pandanagan dalam filsafat pendidikan,


meyangkut keyakianan terhadap hakekat manusia, keyakinan tentang sumber nilai, hakekat
pengetahuan, dan tentang kehidupan yang lebih baik dijalankan. Aliran filsafat yang kita kenal
sampai saat ini adalah Idealisme, Realisme, Perenialisme, Esensialisme, Pragmatisme dan
Progresivisme dan Ekstensialisme

1.     Esensialisme

Esensialisme adalah mashab pendidikan yang mengutamakan pelajaran teoretik (liberal arts)
atau bahan ajar esensial.

2.     Perenialisme

Perensialisme adalah aliran pendidikan yang megutamakan bahan ajaran konstan (perenial)
yakni kebenaran, keindahan, cinta kepada kebaikan universal.

3.     Pragmatisme dan Progresifme

Prakmatisme adalah aliran filsafat yang memandang segala sesuatu dari nilai kegunaan praktis,
di bidang pendidikan, aliran ini melahirkan progresivisme yang menentang pendidikan
tradisional.

4.     Rekonstruksionisme

Rekonstruksionisme adalah mazhab filsafat pendidikan yang menempatkan sekolah/lembaga


pendidikan sebagai pelopor perubahan masyarakat.

b.   Pancasila sebagai Landasan Filosofis Sistem Pendidkan Nasional

Pasal 2 UU RI No.2 Tahun 1989 menetapkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan


pancasila dan UUD 1945. sedangkan Ketetapan MPR RI No. II/MPR/1978 tentang P4
menegaskan pula bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat indonesia, kepribadian bangsa
Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia, dan dasar negara Indonesia.

2.     Landasan Sosiolagis

a.   Pengertian Landasan Sosiologis

Dasar sosiolagis berkenaan dengan perkembangan, kebutuhan dan karakteristik


masayarakat.Sosiologi pendidikan merupakan analisi ilmiah tentang proses sosial dan pola-pola
interaksi sosial di dalam sistem pendidikan. Ruang lingkup yang dipelajari oleh
sosiolagi  pendidikan meliputi empat bidang:

1.     Hubungan sistem pendidikan dengan aspek masyarakat lain.

2.     hubunan kemanusiaan.

3.     Pengaruh sekolah pada perilaku anggotanya.

4.     Sekolah dalam komunitas,yang mempelajari pola interaksi antara sekolah dengan


kelompok sosial lain di dalam komunitasnya.

b.   Masyarakat indonesia sebagai Landasan Sosiologis Sistem Pendidikan Nasional

Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem


pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan
semakin meningkat dan komplek.

Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan


perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan KeBhineka tunggal
Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan
Bangsa, dan muatan lokal), maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4
nonpenataran)

3.     Landasan Kultural

a.   Pengertian Landasan Kultural

Kebudayaan dan pendidikan mempunyai hubungan timbal balik, sebab kebudayaan dapat
dilestarikan/ dikembangkan dengan jalur mewariskan kebudayaan dari generasi ke generasi
penerus dengan jalan pendidikan, baiksecara formal maupun informal.

Anggota masyarakat berusaha melakukan perubahan-perubahan yang sesuai denga


perkembangan zaman sehingga terbentuklah pola tingkah laku, nlai-nilai, dan norma-norma
baru sesuai dengan tuntutan masyarakat. Usaha-usaha menuju pola-pola ini disebut
transformasi kebudayaan. Lembaga sosial yang lazim digunakan sebagai alat transmisi dan
transformasi kebudayaan adalah lembaga pendidikan, utamanya sekolah dan keluarga.
b.   Kebudayaan sebagai Landasan Sistem Pendidkan Nasional

Pelestarian dan pengembangan kekayaan yang unik di setiap daerah itu melalui upaya
pendidikan sebagai wujud dari kebineka tunggal ikaan masyarakat dan bangsa Indonesia. Hal
ini harsulah dilaksanakan dalam kerangka pemantapan kesatuan dan persatuan bangsa dan
negara indonesia sebagai sisi ketunggal-ikaan.

4.     Landasan Psikologis

a.   Pengertian Landasan Filosofis

Dasar psikologis berkaitan dengan prinsip-prinsip belajar dan perkembangan anak.


Pemahaman etrhadap peserta didik, utamanya yang berkaitan dengan aspek kejiwaan
merupakan salah satu kunci keberhasilan pendidikan. Oleh karena itu, hasil kajian dan
penemuan psikologis sangat diperlukan penerapannya dalam bidang pendidikan.

Sebagai implikasinya pendidik tidak mungkin memperlakukan sama kepada setiap peserta
didik, sekalipun mereka memiliki kesamaan. Penyusunan kurikulum perlu berhati-hati dalam
menentukan jenjang pengalaman belajar yang akan dijadikan garis-garis besar pengajaran
serta tingkat kerincian bahan belajar yang digariskan.

b.   Perkembangan Peserta Didik sebagai Landasan Psikologis

Pemahaman tumbuh kembang manusia sangat penting sebagai bekal dasar untuk memahami
peserta didik dan menemukan keputusan dan atau tindakan yang tepat dalam membantu
proses tumbuh kembang itu secara efektif dan efisien.

5.     Landasan Ilmiah dan Teknologis

a.   Pengertian Landasan IPTEK

Kebutuhan pendidikan yang mendesak cenderung memaksa tenaga pendidik untuk


mengadopsinya teknologi dari berbagai bidang teknologi ke  dalam penyelenggaraan
pendidikan. Pendidikan yang berkaitan erat dengan proses penyaluran pengetahuan haruslah
mendapat perhatian yang proporsional dalam bahan ajaran, dengan demikian pendidikan bukan
hanya berperan dalam pewarisan IPTEK tetapi juga ikut menyiapkan manusia yang sadar
IPTEK dan calon pakar IPTEK itu. Selanjutnya pendidikan akan dapat mewujudkan fungsinya
dalam pelestarian dan pengembangan iptek tersebut.

b.   Perkembangan IPTEK sebagai Landasan Ilmiah

Iptek merupakan salah satu hasil pemikiran manusia untuk mencapai kehidupan yang lebih
baik, yang dimualai pada permulaan kehidupan manusia. Lembaga pendidikan, utamanya
pendidikan jalur sekolah harus mampu mengakomodasi dan mengantisipasi perkembangan
iptek. Bahan ajar sejogjanya hasil perkembangan iptek mutahir, baik yang berkaitan dengan
hasil perolehan informasi maupun cara memproleh informasi itu dan manfaatnya bagi
masyarakat
B.    ASAS-ASAS POKOK PENDIDIKAN

Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau tumpuan berpikir,
baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan. Khusu s di Indonesia, terdapat
beberapa asas pendidikan yang memberi arah dalam merancang dan melaksanakan
pendidikan itu. Diantara  asas tersebut adalah Asas Tut Wuri Handayani, Asas Belajar
Sepanjang Hayat, dan asas Kemandirian dalam belajar.

1.     Asas Tut Wuri Handayani

Sebagai asas pertama, tut wuri handayani merupakan inti dari sitem Among perguruan. Asas
yang dikumandangkan oleh Ki Hajar Dwantara ini kemudian dikembangkan oleh Drs. R.M.P.
Sostrokartono dengan menambahkan dua semboyan lagi, yaitu Ing Ngarso Sung Sung Tulodo
dan Ing Madyo Mangun Karso.

Kini ketiga semboyan tersebut telah menyatu menjadi satu kesatuan asas yaitu:

Ing Ngarso Sung Tulodo ( jika di depan memberi contoh)

Ing Madyo Mangun Karso (jika ditengah-tengah memberi dukungan dan semangat)

Tut Wuri Handayani (jika di belakang memberi dorongan)

2.     Asas Belajar Sepanjang Hayat

Asas belajar sepanjang hayat (life long learning) merupakan sudut pandang dari sisi lain
terhadap pendidikan seumur hidup (life long education). Kurikulum yang dapat meracang dan
diimplementasikan dengan memperhatikan dua dimensi yaitu dimensi vertikal dan horisontal.

Dimensi vertikal dari kurikulum sekolah meliputi keterkaitan dan kesinambungan


antar tingkatan persekolahan dan keterkaitan dengan kehidupan peserta didik di masa depan.

Dimensi horisontal dari kurikulum sekolah yaitu katerkaitan antara pengalaman


belajar di sekolah dengan pengalaman di luar sekolah.

3.     Asas Kemandirian dalam Belajar

Dalam kegiatan belajar mengajar, sedini mungkin dikembangkan kemandirian dalam belajar itu
dengan menghindari campur tangan guru, namun guru selalu suiap untuk ulur tangan bila
diperlukan.

Perwujudan asas kemandirian dalam belajar akan menempatkan guru dalamperan utama
sebagai fasilitator dan motifator. Salah satu pendekatan yang memberikan peluang dalam
melatih kemandirian belajar peserta didik adalah sitem CBSA (Cara Belajar Siwa Aktif).
Landasan dan Asas-Asas pendidikan Serta
Penerapannya

1. Landasan pendidikan.
Menurut pandangan saya, Landasan pendidikan adalah tumpuan atau dasar yang dijadikan acuan
yang diperlakukan untuk sebagai dasar ukur dalam suatu kegiatan pendidikan berupa
pengelolaan dan penyelenggaraan dalam suatu sistem pendidikan dan instansi yang bernama
sekolah.
        a. landasan religus pendidikan. landasan ini berkaitan erat dengan keyakinan.
        b. landasan filosofis pendidikan. landasan ini berkaitan dengan nilai nilai yang dijadikan
pedoman atau acuan dalam suatu sistem pendidikan.
        c. landasan ilmiah pendidikan. Yaitu konsep atau teori yang diambil dari berbagai disiplin
ilmu yang berkaitan dan mempengaruhi proses dan praktek pendidikan tersebut.
        d. landasan yuridis. landasan ini berkaitan dengan undang-undang yang berlaku
2. Asas-asas pendidikan. Asas pendidikan merupakan sesuatu kebenaran yang menjadi dasar atau
tumpuan berpikir, baik pada tahap perancangan maupun pelaksanaan pendidikan
    a. Asas semesta, seluruh dan terpadu. Asas ini berkaitan dengan pendidikan yang
diselenggarakan secara terbuka bagi seluruh masyrakat maupun golongan apapun yang ada di
Indonesia
    b. Asas belajar sepanjang hayat.  Asas ini memiliki makna belajar selama kita masih bernafas
yang melibatkan semua orang yang mengarah pada pembembentukan diri, keterampilan dan
kemampuan orang dalam meningkatkan dirinya dengan segala motivasi hidup, baik itu dengan
menempuh pendidikan formal, non formal maupun informal
    c. Asas tanggungjawab bersama.Tanggung jawab adalah kewajiban terhadap segala
sesuatunya; fungsi menerima pembebanan sebagai akibat sikap tindak sendiri atau pihak
lain. Kegiatan dalam proses pendidikan haruslah selalu didasarkan pada asas tanggung jawab,
karena kegiatan apapun yang dilakukan dalam pendidikan selalu diarahkan untuk mencapai
tujuan yakni membimbing dan mendidik para siswa agar dapt tumbuh dan berkembang secara
optimal sesuai dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki.
    d. Asas manfaat, adil dan merata. Pendidikan yang diselenggarakan harus berguna bagi
peningkatan hidup manusia dan masyarakat. Sementara itu asas adil dan merata maksudnya
adalah bahwa penyelenggaraan pendidikan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan
masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya.
   e. Asas tutwuri handayani. merupakan asas pendidikan Indonesia yang dikemukan oleh Ki
Hajar Dewantara tentang taman siswa. tutwuri berarti mengikuti perkembangan dan handayani
bearti mempengarui atau merangsang perkembangan tersebut.  ada tiga semboyan dalam
tutwuri handayani yaitu:
            1. ing ngarso sung tulada didepan memberikan contoh
            2. ing madya mangun karsa ditengah membangkitkan semangat
            3. tutwuri handayani dibelakang memberikan dorongan.

3. Penerapan Pendidikan
   a. Pendekatan komunikasi oleh Guru. Dewasa ini masih terdapat kecenderungan bahwa peserta
didik masih terikat oleh penggunaan komunikasi satu arah dalam kegiatan pembelajaran dengan
mengandalkan metoda ceramah. Dalam komunikasi yang demikian, pendidik menenmpatkan
dirinya dalam kedudukan yang lebih tinggi dari peserta didik.
  b. Masalah Tujuan Belajar. Sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, kemajuan ilmu
dna teknologi yang amat pesat menuntut orang untuk belajar secara terus-menerus sepanjang
hayatnya. Sehubungan dengan hal itu tujuan belajar yang learning to know dan learning to do
saja ternyata belum cukup. Oleh karena kemajuan teknologi, terutama kemajuan transportasi dan
komunikasi, memmbuat dunia semakin sempit ,sehingga intensitas interaksi antar manusia
semakin tinggi tanpa dibatasi oleh perbedaan suku, ras, dan asal-usul. Sehubungan dengan itu,
tujuan belajar sudah harus diperluas dengan menambahkan learning to life together. Selanjutnya
akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang berimplikasi pada perubahan lapangan pekerjaan,
mengakibatkan apa yang dipelajari hari ini belum tentu sesuai dengan tuntutan lapangan kerja
yang berubah pada beberapa tahun berikutnya. Untuk itu tujuan kegiatan pembelajaran perlu
diperluas

5.
Pendidikan merupakan salah satu proses seseorang dapat bertumbuh dan
berkembang di lingkungan masyarakatnya.

Pentingnya lingkungan yang akan membentuk karakter seseorang untuk


dapat bersosialisasi dengan sesamanya.

Perlu diketahui, lingkungan yang baik dan tidak baik akan sangat
mempengaruhi kehidupan seseorang.

Lingkungan yang tidak memberi kontrol tersebut, justru akan menjerumuskan


seseorang sebagai pribadi yang cenderung tidak baik.
Oleh karena itu, pentingnya pendidikan juga berbanding lurus dengan
lingkungan yang mempengaruhi seseorang tersebut.

Pengertian Lingkungan Pendidikan


Pengertian Secara umum

Lingkungan pendidikan adalah berbagai faktor lingkungan yang


mempengaruhi praktek pendidikan.

Lingkungan pendidikan diartikan sebagai berbagai lingkungan tempat


berlangsungnya proses pendidikan, yang merupakan bagian dari lingkungan
sosial.

Pengertian Menurut KBBI

Lingkungan adalah daerah (kawasan dan sebagainya) yang termasuk di


dalamnya.

Sedangkan Pendidikan adalah proses pengubahan sikap dan tata laku


seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.

Jadi, Lingkungan Pendidikan merupakan wilayah atau daerah seseorang


untuk dilatih dalam sikap dan tata lakunya yang bertujuan untuk
mendewasakannya melalui pengajaran dan pelatihan.

Pengertian Menurut Para Ahli

 Ki Hajar Dewantara
Beliau mengatakan lingkungan pendidikan merupakan permintaan dalam
kehidupan anak-anak. Intinya adalah bahwa pendidikan mengarah semua
kekuatan yang ada di alam agar peserta didik sebagai manusia dan anggota
masyarakat dapat mencapai keselamatan yang tinggi dan kebahagiaan hidup.
 Menurut Soekidjo Notoatmodjo
Beliau mendefinisikan secara umum Lingkungan Pendidikan adalah segala
upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu,
kelompok, atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan
oleh pelaku pendidikan.
Kesimpulannya, lingkungan pendidikan merupakan permintaan anak, artinya
sejak usia dini, yang diberikan untuk dapat mempengaruhi baik secara
individu atau kelompok agar menjadi seperti yang diharapkan pemberi
pendidikan.

Fungsi Lingkungan Pendidikan


Fungsi Lingkungan Pendidikan dalam individu dan kelompoknya antara lain:

 Fungsi untuk mengajar berhubungan dan menyesuaikan diri dengan


orang lain.
 Fungsi untuk memperkenalkan kehidupan masyarakat yang lebih luas.
 Fungsi untuk menguatkan sebagian dari nilai-nilai yang berlaku dalam
kehidupan masyarakat orang dewasa.
 Fungsi untuk memberikan kepada anggota-anggotanya cara-cara untuk
membebaskan diri dari pengaruh kekuatan otoritas.
 Fungsi untuk memberikan pengalaman untuk mengadakan hubungan
yang didasarkan pada prinsip persamaan hak.
 Fungsi untuk memberikan pengetahuan yang tidak bisa di berikan oleh
keluarga secara memuaskan ( pengetahuan mengenai cita rasa berpakaian,
musik, jenis tingkah laku tertentu, dan lain-lain ).
 Fungsi untuk memperluas cakrawala pengalaman anak, sehingga ia
menjadi orang yang lebih kompleks.
Nn n

Keluarga

Keluarga merupakan pengelompokkan primer yang terdiri dari sejumlah kecil


orang karena hubungan sedarah.

Keluarga itu dapat berbentuk keluarga inti (ayah, ibu, dan anak). 

Dengan kata lain, tumbuh kembang anak dipengaruhi oleh keseluruhan


situasi dan kondisi keluarganya.

Dalam UU No. 2 Tahun 1989 tentang Sisdiknas Pasal 10 Ayat 2, yang


menegaskan fungsi dan peranan keluarga dalam pencapaian tujuan
pendidikan yakni membangun manusia dalam keluarga dan yang memberi
keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral, dan keterampilan.

Keluarga merupakan lembaga pendidikan tertua, bersifat informal, yang


pertama dan utama dialami oleh anak serta lembaga pendidikan yang bersifat
kodrati orang tua bertanggung jawab memelihara, merawat, melindungi dan
mendidik anak agar tumbuh.

Di samping hubungan antara ibu dan anak, komposisi keluarga juga


mempunyai pengaruh terhadap perkembangan, utamanya proses sosialisasi.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyaknya anggota keluarga dan


urutan kelahiran seorang anak mempunyai pengaruh terhadap perhatian.

Sekolah

Tidak semua tugas mendidik dapat dilaksanakan oleh orang tua dalam
keluarga, terutama dalam hal ilmu pengetahuan dan berbagai macam
keterampilan.

Oleh karena itu dikirimkan anak ke sekolah.Sekolah merupakan sarana yang


secara sengaja dirancang untuk melaksanakan pendidikan.

Semakin maju suatu masyarakat semakin penting peran sekolah dalam


mempersiapkan generasi muda sebelum masuk dalam proses pembangunan
masyarakat.

Masyarakat

Masyarakat merupakan lembaga pendidikan yang ketiga setelah pendidikan


di lingkungan keluarga dan pendidikan di sekolah.

Bila dilihat ruang lingkup masyarakat, banyak dijumpai keanekaragaman


bentuk dan sifat masyarakat.

Namun justru keanekaragaman inilah dapat memperkaya budaya bangsa


Indonesia.
Lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat adalah salah satu
unsur pelaksana asas pendidikan seumur hidup.

Pendidikan yang diberikan di lingkungan keluarga dan sekolah sangat


terbatas, di masyarakatlah orang akan meneruskannya hingga akhir hidupnya.

Segala pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh di lingkungan


pendidikan keluarga dan di lingkungan sekolah akan dapat berkembang dan
dirasakan manfaatnya dalam masyarakat.

Tanggung jawab masyarakat terhadap pendidikan sebenar-benarnya masih


belum jelas, tidak sejelas tanggung jawab pendidikan di lingkungan keluarga
dan lingkungan sekolah.

Hal ini  disebabkan faktor waktu, hubungan, sifat, dan isi pergaulan yang
terjadi di dalam masyarakat.

LINGKUNGAN PENDIDIKAN

A.  PENGERTIAN LINGKUNGAN PENDIDIKAN 

Lingkungan pendidikan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia, baik berupa
benda mati,makhluk hidup ataupun peristiwa-peristiwa yang terjadi termasuk kondisi
masyarakat terutama yang dapat memberikan pengaruh kuat kepada individu.
Seperti lingkungan tempat pendidikan berlangsung dan lingkungan tempat anak bergaul.
Lingkungan ini kemudian secara khusus disebut sebagai lembaga pendidikan sesuai dengan
jenis dan tanggung jawab yang secara khusus menjadi bagian dari karakter lembaga tersebut.

Pengertian lembaga pendidikan adalah organisasi atau kelompok manusia yang karena satu
dan hal lain memikul tanggung jawab atas terlaksananya pendidikan. Badan pendidikan itu
bertugas memberi pendidikan kepada si terdidik (Marimba, 1980) . secara umum fungsi
lembaga-lembaga pendidikan adalah menciptakan situasi yang memungkinkan proses
pendidikan dapat berlangsung sesuai tugas yang bebankan kepadanya karena situasi lembaga
pendidikan harus berbeda dengan situasi lembaga lain (Azra, 1998).

Menurut Hasbullah (2003), lingkungan pendidikan mencakup:

1. Tempat (lingkungan fisik ), keadaan iklim, keadaan tanah, keadaan alam


2. Kebudayaan (lingkungan budaya ) dengan warisan budaya tertentu seperti bahasa seni
ekonomi, ilmu pengetahuan, pedagang hidup dan pedagang keagamaan; dan

3. Kelompok hidup bersama (lingkungan sosial atau masyarakat) keluarga, kelompok bermain,
desa perkumpulan dan lainnya.

Lingkungan serta lembaga pendidikan bersifat positif bilamana memberikan pengaruh sesuai


dengan arah tujuan pendidikan. Lingkungan bersifat negatif bilamana berpengaruh secara
kontradiktif dengan arah dan tujuan pendidikan sebagai contoh mendidik agama dalam
lingkungan masyarakat yang agamis dengan kehidupan masyarakat yang taat menjalankan
agama dengan sarana pribadatan yang lengkap dan memberikan dukungan positif bagi
pendidikan agama. Sebaliknya lingkungan masyaraka yang penuh dengan kejahatan serta
minimnya sarana/prasarana keagamaan menyebabkan anak terpengaruh dengan
lingkungannya dan akan berbuat seperti apa yang ada dalam lingkungannya.

Related

 Fungsi dan Prinsip Bimbingan dan Konseling


 12 Asas-asas Dalam Bimbingan Konseling
 Model-Model Pembelajaran HOTS (Higher Order Thinking Skill)

Lingkungan pendidikan memiliki pengaruh yang berbeda-beda terhadap peserta didik


.perbedaan pengaruh tersebut tergantung jenis lingkungan pendidikan tempat peserta didik
terlibat didalamnya. Hal ini karena msing-masing jenis lingkungan pendidikan memiliki situasi
sosial yang berbeda-beda. Situasi sosial yang dimaksud meliputi faktor perencanaan, sarana
dan sistem pendidikan pada masing-masing jenis lingkungan. Intensitas pengaruh lingkungan
terhadap peserta didik tergantung sejauh mana lingkungan mampu memahami dan
memberikan fasilitas terhadap kebutuhan pendidikan peserta didik. 

B. FUNGSI LINGKUNGAN PENDIDIKAN 


Fungsi pertama lingkungan pendidikan adalah membantu peserta didik dalam berinteraksi
dengan berbagai lingkungan sekitarnya baik lingkungan fisik, sosil dan budaya terutama
berbagai sumber daya pendidikan yang tersedia agar dapat dicapai tujuan pendidikan secara
optimal. Penataan lingkungan pendidikan ini terutama dimaksudkan agar proses pendidikan
dapat berkembang efesiaen dan efektif.
Perkembangan manusia dari interaksinya dengan lingkungan sekitar akan berjalan secara
alamiah, tetapi perkembangan tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan tujuan pendidikan
atau bahkan menyimpang darinya. Oleh karena itu diperlukan usaha sadar untuk mengatur dan
mengendalikan lingkungan sedemikian rupa agar mempunyai orentasi pada tujuan-tujuan
pendidikan.

Fungsi kedua lingkungan pendidikan adalah mengajarkan tingkah laku umum dan untuk


menyeleksi serta mempersiapkan peranan-peranan tertentu dalam masyarakat. Hal ini karena
masyarakat akan berfungsi dengan baik jika setiap individu belajar berbagai hal, baik pola
tingkah laku umum maupun peranan yang berbeda-beda.

Dalam menjalankan kedua fungsinya, lingkungan pendidikan haruslah digambarkan sebagai


kesatuan yang utuh di antara berbagai ragam bentuknya. Untuk mencapai tujuan-tujuan
pendidikan secara menyeluruh masing-masing lingkungan mempunyai andil dalam
mencapainya (Tirtahardjha,2004). 

C. RAGAM BENTUK LINGKUNGAN PENDIDIKAN 


Lingkungan pendidikan adalah tempat seseorang memperoleh pendidikan secara langsung
atau tidak langsung. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan ada yang bersifat sosial dan
material. Lingkungan pendidikan secara garis besarnya oleh Ki Hajar Dewantoro dibagi menjadi
tiga yang disebut dengan Tri Pusat Pendidikan, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat, hal itu
sejalan yang dinyatakan oleh Langeveld bahwa yang bertanggung jawab dalam pendidikan
adalah keluarga,sekolah dan masyarakat (Tirtahardjha,2004). 

1.  Pendidikan dalam Lingkungan Keluarga ( Lingkungan Pendidikan Informal) 

Keluarga merupakan lingkungan yang pertama dan utama bagi anak yang memberikan
sumbangan bagi perkembangan dan pertumbuhan mental maupun fisik dalam
kehidupannya. Melalui interaksi dalam keluarga, anak tidak hanya mengidentifikasi diri
dengan orang tuanya, melaikan juga mengidentifikasikan (mensatupadukan) diri
dengan kehidupan masyarakat dan alam sekitarnya. Pendidikan dalam lingkungan
keluarga dimulai sejak anak lahir ke dunia dari kandungan ibunya, dan berhenti apabila
sang anak meninggalkan keluarga asal untuk mendirikan keluarga baru.
Keluarga sebagai lembaga pendidikan mempunyai peranan penting dalam membentuk
generasi muda. Keluarga disebut pula sebagai lembaga pendidikan informal.
Pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang tidak diorganisasikan sacara
struktural dan tidak mengenal sama sekali penjenjangan kronologis menurut tingkatan
umum maupun tingkatan keterampilan dan pengetahuan. Persyaratan credential tidak
dipakai oleh karena itu tidak ada credential yang dihakkan oleh penerima maupun yang
diwajibkan dari pemberi pendidikan. (Azra,1998).Keluarga secara umum merupakan
suatu lembaga yang terdiri atas suami istri dan anak-anaknya yang belum menikah,
hidup dalam sebuah kesatuan kelompok berdasarkan ikatan tertentu.

Secara etimologi, menurut Ki Hajar Dewantoro (Abu Ahmadi, Nur Uhbiyati.1991)

Kata keluarga berasal dari kata kawula dan warga. Kawula berarti “Abdi”, yakni hamba


dan Warga berarti “anggota”. Secara abdi dalam keluarga wajiblah seseorang
menyerahkan segala kepentingan-kepentingannya kepada keluarga.

Apabila ditinjau dari sosiologi, keluarga merupakan bentuk masyarakat  kecil yang


terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh suatu keturunan yakni kesatuan anatar
ayah-ibu-anak, merupakan kesatuan terkecil dari bentuk kesatuan masyarakat.

Ditinjau dari sudut pandang pedagogis, ciri khas suatu lembaga adalah bahwa keluarga
itu adalah merupakan suatu persekutuan hidup yang dijalani rasa kasih sayang diantara
dua jenis manusia, yang bermaksud untuk saling meyempurnakan diri, terkandung juga
kedudukan dan fungsi sebagai orang tua. Jadi dapat disimpulkan bahwa suatu keluarga
dapat dikatakan keluarga lengkap apabila keluarga tersebut terdiri atas ayah, ibu dan
anak.

Dari ketiga pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa keluarga tercipta karena adanya
ikatan antara ayah,ibu dan anak sehingga terjalin rasa kasih sayang. 

Ø  Fungsi Keluarga 

Keluarga berfungsi untuk membekali setiap anggota keluarganya agar dapat hidup
sesuai dengan tuntutan nilai-nilai agama, pribadi, dan lingkungan. Demi perkembangan
dan pendidikan anak, keluarga harus melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik dan
seimbang. M.I Soelaeman (1994) mengemukakan beberapa fungsi kelurga yaitu : 

a. Fungsi Edukasi

keluarga sebagai wahana pendidikan pertama dan utama bagi anak-anaknya agar
menjadi manusia yang sehat, tangguh, maju dan mandiri sesuai dengan tuntunan
perkembangan waktu. 

b. Fungsi Sosialisasi

Keluarga mempersiapkan anak sebagai anggota masyarakat yang baik dan berguna
kehidupan di masyarakatnya. 

c. Fungsi Proteksi

keluarga sebagai tempat memperoleh rasa aman, nyaman, damai dan tenteram bagi
seluruh anggota keluarga. 

d. Fungsi Afeksi

keluarga sebagai tempat untuk menumbuhkembangkan rasa cinta dan kasih sayang
antara sesama anggota keluarga dan masyarakat serta lingkungannya. 

e. Fungsi Religius

keluarga berkewajiban memperkenalkan dan mengajak anak kepada kehidupan


beragama dengan menciptakan iklim keluarga yang religius sehingga dapat dihayati
oleh keluarganya

f. Fungsi Ekonomi

meliputi pencarian nafkah, perencanaan, serta pemanfaatan dan pembelajarannya. 

g. Fungsi Rekreasi

keluarga harus menjadi lingkungan yang nyaman, menyenangkan, cerah, ceria, hangat
dan penuh semangat. 

h. Fungsi Biologis

keluarga sebagai wahana menyalurkan reproduksi sehat bagi semua anggota


keluarganya. 
Ø  Peranan Anggota Keluarga dalam Pendidikan Anak. 

 Setiap anggota keluarga keluarga memiliki peranan tertentu sesuai dengan


kedudukannya. Mengenai peranan anggota-anggota keluarga dalam pendidikan anak
dapat diuraikan sebagai berikut : 

a.  Peranan Ibu

Ibu memegang peranan penting dalam mendidik anak-anaknya. Sejak dilahirkan ibulah
yang selalu disampingnya, memberi makan, minum mengganti pakaian dan
sebagainya. Oleh karena itu kebanyakan anaka lebih cinta kepada ibunya dari pada
anggota keluarga lainnya. Ibu dalam keluarga merupakan orang pertama kali
berinteraksi dengan anaknya, ia merupakan orang pertama kali dikenal anaknya. Dari
seorang ibu diharapkan ia mengahdapi anaknya dengan penuh kasih sayang, sehingga
dikatakan bahwa “ ibu berperan sebagai lambang kasih sayang”. 

Ngalim Purwanto (2004:82) mengatakan bahwa sesuai dengan fungsi serta tanggung
jawabnya sebagai anggota keluarga, dapat dijelaskan bahwa peranan ibu dalam
pendidikan anak-anaknya adalah sebagai berikut : 1) Sumber dan pemberi rasa kasih
sayang, 2). Pengasuh dan pemelihara. 3). Tempat mencurahkan isi hati, 4). Pengatur
dalam kehidupan berumah tangga, 5). Pembimbing hubungan pribadi, dan 6). Pendidik
dalam segi-segi emosional. 

b. Peranan Ayah

 Di samping ibu, ayah pun mempunyai peranan yang tidak kalah pentinya terhadap
pembentukan keperbadian anak. Anak memendang ayahnya sebagai orang yang
gagah, paling berani, paling perkasa. Kegiatan yang dilakukan ayah dalam pekerjaan
sahari-hari sangat berpangaruh besar kepada anak-anaknya.

Menurut ngalim purwanto (2004 : 83) peranan ayah dalam pendidikan anak-anaknya
adalah sebagai berikut : 1). Sumber kukuasaan dalam keluarga, 2). Penghubung intern
antara keluarga dengan masyarakan atau dunia luar, 3). Pemberi rasa aman bagi
seluruh anggota keluarga, 4). Pelindung terhadap ancaman dari luar, 5). Hakim atau
yang mengadili jika terjadi perselisihan, dan 6). Pendidik dalam segi-segi rasional.
Jadi seorang ayah hendaknya memiliki kesadaran bahwa ia turut bertanggung jawab
dalam penjagaan, perawatan, dan pemeliharaan serta pendidikan anak-anaknya itu
bersama dengan seorang ibu. 

Ø Karakteristik Lingkungan Pendidikan Informal (Keluarga) 

Lingkunagn pendidikan keluarga tergolong jalur pendidikan informal, adapun


karakteristinya antara lain (a). Tujuan pendidikannya lebih menekankan pada
pengembangan karakter. (b). Peserta didiknya bersifat heterogen. (c). Isi pendidikannya
tidak terprogram secara formal/ tidak ada kurikulum tertulis. (d). Tidak berjenjang. (e).
Waktu pendidikannya tidak terjadwal secara ketat, relatif lama. (f). Cara pelaksanaan
pendidikan bersifat wajar (g). Evalusai pendidikan tidak sistematis dan insidental.
(h).Credential tidak ada dan tidak penting. 

2. Lingkungan Pendidikan Sekolah ( Lingkungan Pendidikan Formal) 

Sekolah memegang peranan penting dalam pendidikan karena pengaruhnya besar


sekali pada jiwa anak. Karena itu disamping keluarga sebagai pusat pendidikan,
sekolahpun mempunyai fungsi sebagai pusat pendidikan untuk pembentukan
kepribadian anak. Karena sekolah tersebut sengaja disedikan khusus untuk pendidikan
yang sekaligus berfungsi melanjutkan pendidikan keluarga dengan guru sebagai ganti
orang tua yang harus ditaati.

Pendidikan disekolah, biasanya disebut sebagai pendidikan formal karena ia adalah


pendidikan yang mempunyai dasar , tujuan,isi, metode, alat-alatnya disusun secara
eksplisit, sistematis dan distandarisasikan (Azra,1998).

Penjabaran fungsi sekolah memberikan pendidikan formal, terlihat pada institusional,


yaitu tujuan kelembagaan pada masing-masing jenis dan tingkatan sekolah. Di
Indonesia lembaga pendidikan formal pra sekolah, sekolah dasar, sekolah menengah
pertama, dan sekolah mengengah atas yang terdiri dari sekolah menengah umum dan
kejuruan, serta perguruan tinggi dengan aneka ragam bidangnya. Tujuan institusional
untuk masing-masing tingkat atau jenis pendidikan, pencapaiannya ditopang oleh
tujuan-tujuan kurikuler dan tujuan instruksional.
Sekolah hendaknya memberikan pendidikan keagamaan, akhlak sesuai dengan ajaran-
ajaran agama. Pendidikan agama yang diajarkan jangan bertentangan dengan
pendidikan agama yang telah diberikan keluarga. Karena si anak akan mengahadapi
pertentangan-pertentangan nilai-nilai, sehingga mereka akan bingung dan kehilangan
kepercayaan.

Sekolah, yaitu pendidikan skunder yang mendidik anak mulai dari usia masuk sekolah
sampai keluar sekolah dengan pendidiknya (guru) yang mempunyai kompotensi yang
profesional, personal, sosial dan pedagogis. Mengacu pada Sistem sekolah sebagai
pendidikan formal dirancang sedemikian rupa agar lebih efektif dan lebih efesien, yaitu
bersifat klasikal dan berjenjang. Sistem klasikal memungkinkan beberapa sejumlah
anak belajar bersama dan dipinpin oleh seorang atau beberapa guru sebagai fasilitator.
Sebagi konsekuensinya mereka menerima materi yang sama. Untuk itu, pada suatu
kelas biasa murid-muridnya mempunyai kemampuan yang relatif sama dari kelompok
umur yang hampir sama pula. 

Ø Fungsi dan Tujuan Pendidikan Sekolah 

Sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional pembelajaran
disekolah hendaknya memiliki fungsi dan tujuan yang mengacuh pada pendidikan
nasional. Sekolah hendaknya berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk
watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan bertujuan berkembangnya potensi anak didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.

Sekolah sebagai lembaga sosial melaksanakan fungsi sosial sebagai sebagai mana
lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Soleh Seogiyanto (Bambang Robandi, 2007)
mengemukakan fungsi-fungsi sekolah sebgai berikut : 

a. Sekolah berfusi sebgai lembaga sosialisasi, membantu anak-anak mempeajari cara-


cara hidup di tempat mereka dilahirkan. 

b. Untuk menstramisi dan mentrasformasi kebudayaan, dan 

c. Menyeleksi murid untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.


Di samping itu sekolah sebgai satuan pendidikan bertujuan sesuai masing-masing
tujuan untuk pendidikan. Selain itu sekolah hendaknya berperan sebagai masyarakat
belajar, yaitu masyarakat yang memiliki tata kehidupan yang mengatur hubungan
antara guru dan lingkungannya yang membelajarkan guru untuk mencapai tujuan
pendidikan dakam suasana mengairahkan. 

Ø  Guru : Pendidik di Sekolah 

Dalam lingkungan keluarga ayah dan ibu merupakan pendidik, sedangkan disekolah
disebut guru. Guru sangat berperan dalam membantu perkembangan anak didik untuk
mewujudkan tujuan hidupnya secara optimal. Guru sebgai pengganti orang tua di
sekolah harus memberikan kemudahan dalam pembelajaran bagi semua anak didik.
Agar mampu mengembangkan segala kemapuan dan potensi yang dimiliki anak. 

Ø  Tugas Guru 

Tugas utama guru menurut Undang-Undang Guru dan Dosen adalah mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi anak didik.
Kalau dijadikan kata benda Guru adlah sebagai pendidik, Pengajar, pembimbing,
pengarah, pelatih dan penilai. 

Ø  Karakteristik Sekolah 

Lingkungan pendidikan Sekolah tergolong jalur pendidikan formal, adapun


karakteristiknya, antara lain : (a) secara faktual tujuan pendidikan lebih menekankan
pada pengembangan intelektual. (b) peserta didiknya bersifat heterogen. (c) isi
pendidikannya terprogram secara formal/kurikulumnya tertulis.(d) terstruktur berjenjang
dan bersinambungan. (e) waktu pendidikan terjadwal secara ketat, relatif lama. (f) cara
pelaksanaan ppendidikan bersifar formal dan artificial. (g) evaluasi pendidikan
dilaksanakan secara sistematis. (h) credential ada dan penting. 

3.     Lingkungan Masyarakat ( lingkungan Pendidikan Nonformal) 

Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa pendidikan berlangsung dalam tiga lingkungan,


yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat. Masyarakat mencakup sekelompok orang
yang berinteraksi antar sesamanya, saling ketergantungan dan terikat oleh nilai dan
norma yang dipatuhi bersama. Masyarakat sebagai kesatuan hidup memiliki ciri seperti
yang dikemukakan oleh Tirtarahadja dan La Sulo (2000), yaitu antara lain : 

a. Ada interaksi warga-warganya 

b. Pola tingkah laku warganya di atur oleh adat istiadat, norma-norma hukum dan
aturan-aturan yang berlaku. 

c.       Ada rasa Idensitas yang kuat yang mengikat pada warganya. Kesatuan wilayah,
kesatuan adat istiadat, rasa identitas, dan rasa loyalitas terhadap kelompoknya
merupakan pangkal dari perasaan bangsa sebagai patriotisme, jiwa korps, dan
kesetiakawanan dan lain-lain.

Selanjurnya kaitan masyarakat dengan pendidikan menurut Tirtarahadja dan La Sulo


(2000), dapat ditinjau dari tiga aspek, yaitu : 

 a. Masyarakat sebagai penyelenggara pendidikan, baik  yang dikembangkan maupun


yang tidak dikembangkan. 

b. Lembaga-lembaga kemasyarakatan baik langsung maupun tidak langsung, ikut


mempunyai peran dan fungsi pendidikan. 

c. Dalam masyarakat tersedia berbagai sumber belajar, baik yang dirancang maupun
yang dimanfaatkan. Perlu pula diingat bahwa manusia dalam bekerja dan hidup sehari-
hari akan selalu memperoleh manfaat dan pengalaman hidupnya untuk meningkatkan
dirinya. Dengan kata lain manusia berusaha mendidik dirinya sendiri dengan
memanfaatkan sumber-sumber belajar yang tersedia di masyarakatnya dalam bekerja,
bergaul dan sebagainya.

Di lingkungan masyarakat, setiap orang akan memperoleh pengalaman tentang


berbagai hal, misalnya tentang lingkungan alam, tentang hubungan sosial, politik
kebudayaan dan sebagainya. Di dalam lingkungan masyarakat setiap orang akan
memperoleh pengaruh yang sifatnya mendidik dari oarng-orang yang ada disekitarnya,
baik dari teman sebaya maupun oarng dewasa melalui interaksi sosial secara langsung
atau tatap muka. Pengaruh pendidikan tersebut dapat pula diperoleh melaui interaksi
sosial secara tidak langsung. 

Ø Bentuk Lingkungan Pendidikan Nasional 


Masyarakat sebagai lingkunagn pendidikan nonformal sebagai lingkungan pendidikan di
luar keluarga dan diluar sekolah. Pendidikan nonformal dapat terselengara secara
terstruktur dan berjenjang. Contoh penyelenggaran pendidikan di dalam lingkungan
pendidikan nonformal yang terstruktur dan berjenjang antara lain Kelompok Belajar
Paket A, Paket B, Kursus Komputer dan bahasa inggris di lembaga kursus tertentu juga
ada yang terstruktur dan berjenjang dan lain-lain. Adapun contoh penyelenggaraan
pendidikan yang tidak terstruktur dan tidak berjenjang adalh ceramah agama yang
titangkan di televisi, penyampaian informasi melalui koran

Ø Tanggung Jawab dan Fungsi Pendidikan Nonformal 

Pendidikan nonformal selain menjadi tanggung jawab pemerintah, juga menjadi


tanggung jawab bersama para orang dewasa (masyarakat) yang ada di lingkungan
masyarakat yang bersangkutan. Pendidikan dalam lingkungan masyarakat dapat
berfungsi sebagai pengganti, pelengkap, penambah, dan mungkin juga pengembangan
pendidikan di lingkungan keluarga dan sekolah 

Ø Kebudayaan sebagai Bagian dari pendidikan. 

Di masyarakat ada kebudayaan, sebagai gagasan dan karya manusia beserta hasil
budi dan karya akan selalu terkait dengan pendidikan, utamnya belajar. Kebudayaan
adalah hasil cipta dan karya manusia berupa norma-norma, nilai-nilai kepercayaan,
tingkah laku dan tekhnologi yang dipelajari dan dimiliki semua anggota masyarakat
tertentu.

Menurut Taylor ( Made Pidarta, tanpa tahun) kebudayaan adlah totalitas yang kompleks
yang mencangkup pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan
kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebgai
masyarakat. Sedangkan menurut Kuncaraningrat ( Tirtarahadja dan La Sulo,2000).
Kebudayaan dalam arti luas dapat berwujud: 

a.    Ideal seperti ide, gagasan, nilai dan sebgainya. 

b.    Kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat 

c.     Fisik yakni hasil benda manusia.


Kebudayaan dengan wujud ideal merupakan hasil-hasil karya manusia termasuk ilmu
pengetahuan dan teknologi, UUD 1945 di mana didalamnya tercantum dasar negara
pancasila. Jadi pancasila merupakan hasil karya bangsa Indonesia memiliki nilai
kehidupan yang tinggi bagi bangsa Indonesia, sehingga diakui dan dijadikan dasar dan
pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.  

Ø Mayarakat Kebudayaan, dan Pendidikan 

Antara kebudayaan, masyarakat dan pendidikan tidak dapat dipisahkan, dimana


kebudayaan dan pendidikan merupakan bagian dari masyarakat. Pendidikan
merupakan usaha manusia untuk memanusiakan dirinya, yaitu manusia yang
berbudaya. Kebudayaan itu sendiri dibentuk, dilestarikan, atau dikembangkan melalui
pendidikan. 

Ø  Karakterisrik Lingkungan Pendidikan Nonformal 

Lingkungan pendidikan masyarakat seperti kursus, kelompok belajar, majelis taklim,


bimbingan tes, tergolong jalur pendidikan nonformal adapun karakteristiknya antara lain
:  (a) secara faktual tujuan pendidikannya lebih menekankan pada penegmbangan
keterampilan praktis (b) peserta didiknya bersifat heterogen (c) isi pendidikannya ada
yang terprogram secara tertulis (d) dapat terstruktur berjenjang dan berkesinambungan
(e) waktu pendidikan terjadwal secara ketat atau tidak terjadwal, lama pendidikannya
relatif singkat (f) cara pelaksanaan pendidikan mungkin bersifat artificial mungkin pula
bersifat wajar,(g) evaluasi pendidikan mungkin dilaksanakan secara sistematis dapat
pula tidak sistematis. (h) credential mungkin ada dan mungkin pula tidak ada. 

4. Hubungan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat

Pada masyarakat tradisional pendidikan cukup dilaksanakan dilingkungan keluarga dan


masyarakat saja. Akan tetapi dalam masyarakat modern, keluarga tidak dapat lagi
memenuhi kebutuhan dan aspirasi pendidikan bagi anak-anaknya, baik menyangkut
pengetahuan, sikap maupun keterampilan untuk melaksanakan perannya
dalam  masyarakat. Dengan demikian, sekolah dan masyarakat berfungsi untuk
melengkapi pendidikan yang tidak bisa diberikan keluarga. Namun demikian, tidak
berarti bahwa keluarga dapat melepaskan tanggung jawab pendidikan bagi anak-
anaknya. Keluarga diharapkan bekerja sama dan mendukung kegiatan pendidikan di
sekolah dan masyarakat.   
Peserta didik di sekolah berasal dari berbagai keluarga dengan latar belakang sosial
budayanya masing-masing. Sekolah mendapat mandat tugas dan tanggung jawab
pendidikan oleh para orang tua dan masyarakat. Sebab itu, pendidikan disekolah tidak
boleh berjalan sendiri tanpa memperhatikan aspirasi keluarga dan masyarakat. Dalam
melaksanakan pendidikannya, sekolah perlu bekerja sama dengan para orang tua
peserta didik dan dan berperannya Komite Sekolah.

Dewasa ini,  sekalipun sekolah adalah, tetapi sekolah tidak mampu memberikan


keseluruhan kebutuhan pendidikan bagi peserta didiknya, juga belum (tidak) mampu
menampung seluruh anak usia sekolah. Karena itu, pendidikan disekolah perlu
dilengkapi, ditambah dan dikembangkan melalui pendidkan di dalam lingkungan
masyarakat. Bahkan dalam konteks wajib belajar sembilan tahun, pendidikan di dalam
masyarakat seperti kejar paket A dan kejar paket B merupakan penggati pendidikan SD
dan SMP. 

6,
Permasalahan Pendidikan di Indonesia

Pendidikan adalah proses pembelajaran yang merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi,
dengan adanya pendidikan makan suatu negara akan bisa maju dan meningkat secara pesat
karena pendidikan itu tonggak kemajuan suatu bangsa. Maka dari itu suatu bangsa dikatakan
maju ketika pendidiknya tertata dengan baik dan melahirkan bibit-bibit yang cerdas supaya bisa
mengembangan bangsa dan negranya sendiri. 

Apabila suatu negara memiliki sistem pendidikan yang masih cacat atau masih memiliki banyak
permasalahan, maka harus segera diselesaikan permasalahannya agar tidak berkepanjangan dan
tidak menimbulkan kekacauan akibat dari masalah pendidikan yang tak kunjung selesai.

Banyak faktor dan masalah yang menyebabkan pendidikan di Indonesia tidak bisa berkembang,
diantaranya:

1.Mahalnya biaya pendidikan

Mahalnya biaya pendidikan adalah masalah pertama yang dihadapi orang-orang yang berada di
bawah garis kemiskinan dan sering kali anak-anak yang berada dibawah garis kemiskinan
sekolahnya akan diterbengkalaikan, karena dari pihak orang tua sudah tak menyanggupi biaya
sekolah dan lebih mementingkan kebutuhan untuk hidupnya sehari-hari. Maka dari itu masalah
ekonomi juga menjadi faktor utama dalam permasalahan pendidikan di Indonesia.

2.Fasilitas pendidikan yang kurang memadai

Fasilitas pendidikn yang kurang memadai juga sebuah permasalahan pendidikan di Indonesia.
Banyak sekolah-sekolah yang bangunannya hampir roboh, sudah tak layak dipakai untuk proses
pembelajaran, tidak memiliki fasilitas seperti kursi, meja belajar, buku, perlengkapan teknologi
dan alat-alat penunjang lainnya yang mengakibatkan kurang optimlnnya pendidikan di
Indonesia.

3.Memiliki guru yang tidak terlatih

Guru merupakan faktor yang penting dalam proses pendidikan, karena guru adalah seorang
pengajar dalam mengajarkan ilmu pengetahuannya supaya anak-anak bisa mendapatkan ilmu
pengetahuan yang telah diajarkan gurunya. Tugas utama seorang guru  ialah mendidik, mengajar,
membimbing, melatih dan menilai dan mengevaluasi anak didiknya. 

Apabila guru yang mengajar tidak terlatih makan proses belajar mengajar akan terhambat, karena
guru yang mengajar tidak terlatih atau kurang profesional dalam hal belajar mengajar, dan
apabila tidak seger diatasi maka akan mengakibatkan anak-anak merasa kurang mendapatkan
ilmu pengetahuan dari gurunya. Sedangkan tujuan awal adanya pendidikan itu untuk menambah
ilmu pengetahuan agar suatu saat nanti anak-anak penerus generasi bangsa bisa memajuakn
bangsa dan negaranya.

4. Kurangnya bahan belajar

Faktor selanjutnya yang perlu ada untuk proses pembelajaran yaitu bahan belajar atau buku yang
memadai. Hal yang masih menjadi masalah adalah banyaknya siswa yang tidak memiliki buku
pelajaran untuk mengikuti pembelajaran dikelas.

Agar pembelajaran di dalam kelas bisa optimal siswa membutuhkan buku pelajran, latihan, dan
berbagai fasilitas yang menunjang aktivitas belajar yang lebih baik. Bukan hanya siswa, seorang
guru juga butuh bahan untuk mengajar di kelas, guru wajib berbagi pengetahuan kepada
siswanya agar siswa dapat mendapatkan pengetahuan dari seorang guru yang telah mengajarnya.

Agar dapat mengatasi permasalahan di atas  seharusnya pemeritah menyediakan buku pelajaran
geratis yang dapat digunakan oleh siswa dan guru. Memperbaiki sarana perpustakaan untuk
menunjang proses pembelajaran. Masalah pendidikan seperti ini merupakan kendala yang
banyak terjadi di banyak negara dan masih terus diperbaiki sampai sekarang ini.

 Pengertian Permasalahan Pendidikan


Istilah permasalahan diterjemahkan dari bahasa inggris yaitu “problem“. Masalah adalah
segala sesuatu yang harus diselesaikan atau dipecahkan. Sedangkan kata permasalahan berarti
sesuatu yang dimasalahkan atau hal yang dimasalahkan. Jadi Permasalahan pendidikan adalah
segala-sesuatu hal yang merupakan masalah dalam pelaksanaaan kegiatan pendidikan.
Dari uraian di atas, dapat juga disimpulkan bahwa Permasalahan Pendidikan Indonesia adalah
segala macam bentuk masalah yang dihadapi oleh program-program pendidikan
di negara Indonesia.

Masalah Pemerataan Pendidikan


      

Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat


menyediakan kesempatan yang seluas-luasnya kepada seluruh warga negara untuk memperoleh
pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pemabangunan sumber daya  manusia
untuk menunjang pembangunan.
Pada masa awalnya, di tanah air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah.
Pada Bab XI, Pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi
murid suatu sekolah jika syarat-syarat yang ditetapkan untuk pendidikan dan pengajaran pada
sekolah itu dipenuhi.
Selanjutnya dalam kaitannya dengan wajib belajar Bab VI, Pasal 10 Ayat 1, menyatakan:
“Semua anak yang sudah berumur 6 tahun berhak dan yang sudah berumur 8 tahun diwajibkan
belajar di sekolah, sedikitnya 6 tahun lamanya.” Ayat 2 menyatakan: “Belajar di sekolah agama
yang telah mendapat pengakuan mentri agama dianggap telah memenuhi kewajiaban belajar.”
Landasan yuridis pemerataan pendidikan tersebut penting sekali artinya, sebagai landasan
pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan guna mengejar ketinggalan kita sebagai bangsa yang
pernah di jajah oleh bangsa lain.
Oleh karena itu, dengan melihat tujuan yang terkandung di dalam upaya pemerataan
pendidikan tersebut yaitu menyiapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam
pembangunan, maka setelah pelaksanaan upaya pemerataan pendidikan terpenuhi, mulai
diperhatikan juga upaya berkembangnya mutu pendidikan.
2.3.2        Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan dipermasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti
yang diharapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil
sebagai produsen tenaga terhadap calon luaran, dengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran
tersebut terjun ke lapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen
tenaga dengan sistem tes untuk kerja  (performance test).Lazimnya sesudah itu masih dilakukan
pelatihan/ pemagangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja  di
lapangan.
Hasil belajar yang bermutu hanya mungkin dicapai melalui proses belajar yang bermutu.
Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan terjadinya hasil belajar yang bermutu.
Jika terjadi belajar yang tidak optiimal menghasilkan skor ujian yang baik maka hampir
dipastikan bahwa hasil ujian belajar tersebut adalah semu. Ini berarti bahwa pokok permasalahan
mutu pendidikan lebih terletak pada masalah pemrosesan pendidikan. Selanjutnya kelancaran
pemrosesan pendidikan ditunjang oleh komponen pendidikan yang terdiri dari peserta didik,
tenaga kependidikan, kurikulum, sarana pembelajaran bahkan juga masyarakat sekitar. Seberapa
besar dukungan tersebut diberikan oleh komponen pendidikan, sangat terkandung kepada
kualittas komponen dan kerja samanya serta mobilitas komponen yang mengarah kepada
pencapaian tujuan.
Masalah mutu pendidikan juga mencakup masalah pemerataan mutu. Di dalam Tap MPR
RI 1998 tentang GBHN dinyatakan bahwa titik berat pembangunan pendidikan diletakkan pada
peningkatan mutu setiap jenjang dan jenis pendidikan, dan dalam rangka peningkatan mutu
pendidikan khususnya untuk memacu penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi perlu lebih
disempurnakan dan ditingkatkan pengajaran ilmu pengetahuan dan matematika. (BP-7 Pusat.
1989: 68) umumnya kondisi mutu pendidikan di seluruh tanah air menunjukkan bahwa di daerah
pedesaan utamanya di daerah terpencil lebih rendah daripada di daerah perkotaan. Acuan usaha
pemerataan mutu pendidikan bermaksud agar sistem, pendidikan khususnya sistem persekolahan
dengan segala jenis dan jenjangnya di seluruh pelosok tanah air (kota dan desa) mengalami
peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan situasi dan kondisinya masing-masing.
2.3.3        Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suatu sistem pendidikan
mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya
hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya
berarti rendah.
2.3.4        Masalah Relevansi Pendidikan
Masalah relevansi pendidikan mencakup sejauh mana sistem pendidikan dapat
menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan.
Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan, yaitu yang
beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa, dan lain-lain. Baik dari segi jumlah maupun
dari segi kualitas. Jika sistem pendidikan menghasilkan luaran yang dapat mengisi semua sektor
pembangunan baik yang aktual (yang tersedia) maupun yang potensial dengan memenuhi kriteria
yang dipersyaratkan oleh lapangan kerja, maka relevansi pendidikan dianggap tinggi.

Anda mungkin juga menyukai