Anda di halaman 1dari 15

NAMA: Nabila Ghufraeni Rona R

NPM : 1102019140
KELOMPOK : B-01
1. ZOONOSIS
1.1. Definisi
Zoonosis adalah penyakit-penyakit dan infeksi yang secara alami dapat ditularkan
dari hewan-hewan vertebrata ke manusia dan atau sebaliknya.
‘Emerging zoonoses’ merupakan penyakit zoonosis yang baru muncul, dapat
terjadi dimana saja di dunia, dan dampaknya berpotensi menjadi begitu parah.
Sedangkan ‘re-emerging zoonoses’ merupakan penyakit zoonosis yang sudah pernah
muncul di masamasa sebelumnya, akan tetapi menunjukkan tanda mulai meningkat
kembali saat ini.
1.2. Penyebab
Kemunculan ‘re-emerging zoonoses’ dipicu oleh iklim, habitat, faktor kepadatan
populasi yang mempengaruhi induk semang, patogen atau vektor. Seringkali
menyebabkan peningkatan secara alamiah dan penurunan aktivitas penyakit di suatu
wilayah geografis tertentu dan selama berbagai periode waktu. Penyakit yang termasuk
dalam ‘re-emerging zoonoses’ adalah rabies dan infeksi virus Lyssa, rift valley fever
(RVF), virus Marburg, bovine tuberculosis, brucella sp pada satwa liar, tularemia,
plaque, dan leptospirosis.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya ‘emerging zoonoses’
diantaranya meliputi lalu lintas hewan, gangguan ekologi, mikroorganisme yang tidak
dapat ditumbuhkan, penyakit kronis, peningkatan surveilans, dan terorisme. Fakto-faktor
yang dianggap berkontribusi terhadap kemunculan ‘emerging zoonoses’ termasuk
pertumbuhan populasi manusia, globalisasi perdagangan, intensifikasi pemeliharaan
satwa liar, dan mikroba yang berkaitan dengan satwa liar memasuki produsen ternak
yang intensif
1.3. Klasifikasi
Berdasarkan cara penularannya menurut Heriyanto (2017):
a. Antropozoonosis : penyakit yang ditularkan dari manusia ke hewan vertebrata atau
penyakit dapat bebas berkembang di alam di antara hewan liar atau domestik.
Manusia hanya kadang terinfeksi dan akan menjadi titik akhir dari infeksi (dead
end). Pada jenis ini, manusa tidak dapat menularkan kepada hewan atau manusia
lain, seperti rabirs, leptospirosis, tularemia, dan hidatidosis.
b. Zooantroponosis : penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. Zoonosis
berlangsung secara bebas pada manusia atau merupakan penyakit manusia dan hanya
kadang-kadang saja menyerang hewan sebagai titil terakhir (dead end), seperti
tuberkulosis tipe humanus disebabkan oleh Mycobacterium tubercullosis, amebiasis
dan difteri.
c. Amphixenosis : penyakit yang terdapat pada manusia maupun hewan, yaitu
Staphylococcosis, Streptococcosis.
Berdasarkan agen penyebabnya, zoonosis sibedakan atas zoonosis yang disebabkan oleh
bakteri, virus, parasit, atau yang disebabkan oleh jamur (Khairiyah, 2011).
1.4. Cara transmisi
Walaupun banyak penyakit adalah spesies spesifik, artinya hanya dapat terjadi
pada satu spesies hewan, banyak penyakit lain dapat menyebar di antara spesies hewan
yang berbeda. Ini adalah penyakit menular, yang disebabkan oleh bakteri, virus, atau
organisme penyebab penyakit lainnya yang dapat hidup juga pada manusia seperti pada
hewan lainnya.
Ada berbagai metode penularan untuk berbagai penyakit. Dalam beberapa kasus,
penyakit zoonosis ditransfer melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi,
seperti berada di dekat manusia yang terinfeksi dapat menyebabkan penyebaran penyakit
menular. Penyakit lain disebarkan melalui air minum yang mengandung telur parasit.
Telur memasuki pasokan air dari kotoran hewan yang terinfeksi. Yang lain disebarkan
dengan memakan daging hewan yang terinfeksi. Cacing pita tersebar dengan cara ini.
Penyakit lain disebarkan oleh vektor serangga. Serangga, seperti kutu atau kutu,
memakan hewan yang terinfeksi, lalu memakan manusia. Dalam prosesnya, serangga
memindahkan organisme yang menginfeksi.
1.5. Siklus hidup
a. Pada toxoplasmosis; Toxoplasma gondii
Daur hidup Toxoplasma gondii melalui dua siklus yaitu siklus enteroepitel dan
siklus ekstraintestinal. Siklus enteroepitelial di dalam tubuh hospes definitif seperti
kucing. Siklus ekstraintestinal pula di dalam tubuh hospes perantara seperti manusia,
kambing dan domba. Pada siklus ekstraintestinal, ookista yang keluar bersama tinja
kucing belum bersifat infektif. Setelah mengalami sporulasi, ookista akan berisi
sporozoit dan menjadi bentuk yang infektif. Manusia dan hospes perantara lainnya
akan terinfeksi jika tertelan bentuk ookista tersebut. Di dalam ileum, dinding ookista
akan hancur sehingga sporozoit bebas. Sporozoit-sporozoit ini menembus mukosa
ileum dan mengikuti aliran darah dan limfa menuju berbagai organ tubuh seperti
otak, mata, hati dan jantung. Sporozoit bebas akan membentuk pseudokista setelah
berada dalam sel organ-organ tersebut. Pseudokista tersebut berisi endozoit atau
yang lebih dikenal sebagai takizoit. Takizoit akan membelah, kecepatan membelah
takizoit ini berkurang secara berangsur kemudian terbentuk kista yang mengandung
bradizoit. Bradizoit dalam kista biasanya ditemukan pada infeksi menahun (infeksi
laten).
b. Pada fasciolosis
Kejadian fasciolosis pada ternak ruminansia berkaitan dengan daur hidup agen
penyebab penyakit yaitu cacing Fasciola spp. Ternak mendapatkan infeksi karena
memakan hijauan yang mengandung metaserkaria (larva infektif cacing hati). Sekitar
16 minggu kemudian cacing tumbuh menjadi dewasa dan tinggal di saluran empedu.
Cacing dewasa memproduksi telur dan keluar bersama feses. Pada kondisi yang
cocok telur cacing menetas dan mengeluarkan mirasidium. Telur cacing F.hepatica
akan menetas dalam 9-12 hari pada suhu 26°C, sedangkan telur cacing F. gigantica
akan menetas dalam 14-17 hari pada suhu 28°C. Mirasidium memiliki cilia (rambut
getar) dan aktif berenang untuk mencari induk semang antara yang sesuai, yaitu siput
Lymnaea sp., yang kemudian akan menembus ke dalam tubuh siput . Dalam waktu
24 jam di dalam tubuh siput, mirasidium akan berubah menjadi sporosis dan 8 hari
kemudian akan berkembang menjadi redia; I sporosis tumbuh menjadi 1-6 redia.
Redia kemudian siap keluar dari siput, bersama serkaria yangdilengkapi ekor untuk
berenang, dan akan menempel pada benda yang terendam air seperti jerami, rumput
atau tumbuhan airlainnya. Tidak lama kemudian serkaria melepaskan ekomya dan
membentuk kista yang disebut metaserkaria.
1.6. Pencegahan penularan
Pencegahan infeksi zoonosis dapat mengambil bentuk yang berbeda, tergantung
pada sifat pembawa dan infeksi. Beberapa infeksi zoonosis dapat dihindari dengan
mengimunisasi hewan yang membawa penyakit. Hewan peliharaan dan hewan
peliharaan lainnya harus mendapat vaksinasi rabies, dan hewan liar diimunisasi dengan
vaksin oral yang terbungkus dalam umpan yang sesuai. Di beberapa tempat, umpan
dijatuhkan dengan pesawat terbang di atas jangkauan pembawa rabies potensial. Ketika
hewan memakan umpan, mereka juga menelan vaksin oral, sehingga melindungi mereka
dari rabies, dan mengurangi risiko penyebaran penyakit. Metode ini telah digunakan
untuk melindungi rubah, coyote, dan hewan liar lainnya.
Banyak penyakit zoonosis yang ditularkan dengan memakan daging hewan yang
terinfeksi dapat dicegah dengan memasak daging yang terinfeksi dengan benar. Infestasi
cacing pita dapat dicegah dengan memasak, dan infeksi Salmonella dari ayam dan telur
dapat dicegah dengan memastikan bahwa daging dan telur sudah matang sepenuhnya.
1.7. Bentuk infektif
a. Pada toxoplasmosis: Toxoplasma gondii)
T. gondii dapat dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu trofozoit, kista, dan oosit dan
dapat menular pada berbagai jenis hewan. Walaupun inang definitifnya sebangsa
kucing dan hewan dari famili Felidae, semua hewan berdarah panas dan mamalia
seperti anjing, sapi, kambing, dan burung juga berperan dalam melanjutkan siklus T.
gondii.
Sumber infeksi utama adalah ookista parasit yang menginfeksi kucing dan kista
yang terdapat dalam babi atau kambing. Untuk dapat menginfeksi kucing, hewan lain
atau manusia, ookista harus mengalami sporulasi sehingga menjadi infektif sebagai
sumber penularan lain. Selain melalui ookista infektif, individu dapat terserang
toksoplasma melalui bahan pangan yang terkontaminasi ookista infektif serta daging
atau telur yang mengandung tachizoid atau bradizoit (bentuk lain toksoplasma). Pada
manusia, penularannya dapat melalui makanan,
b. Pada fasciolosis
Metaserkaria ini merupakan bentuk infektif ysng berupa kista dari cacing Fasciola
spp. Bila metaserkaria termakan oleh ternak, di dalam usus metaserkaria tersebut
akan keluar dari kista menembus dinding usus menuju ke hati. Dalam waktu sekitar
16 minggu akan tumbuh menjadi dewasa dan mulai memproduksi telur (Martindah
et.at, 2018).
2. PENYAKIT ANTHRAKS
2.1. Definisi
Anthrax adalah penyakit zoonis yang bersifat akut atau per-akut dan dalam
keadaan tertentu tertentu bersifat kronis, menyerang berbagai jenis hewan terutama
herbivora dan dapat menular kepada manusia. Penyakit ini disebabkan oleh jasad renik
bakteri, dan pada hewan ditandai dengan adanya gejala demam tinggi dan kematia
mendadak. Pada dasarnya, anthrax menyerang berbagai jenis satwa herbivora dan sangat
sedikti dari kebanyakan spesies hewan berdarah panas yang secara alami kebal terhadap
penyakit ini.
Antraks merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Bacillus
anthracis dan termasuk salah satu penyakit zoonosis. Antraks disebut juga radang lupha,
Malignant pustule Malignant edema, Woolsorter disease, Rog pickers disease, Charbon.
Penyakit antraks dapat menginfeksi dari hewan ke manusia melalui kontak dengan lesi,
ingesti/makan daging hewan terkontaminasi dan inhalasi dari spora B.anthraci
(Clarasinta dan Soleha, 2017)
2.2. Klasifikasi
Pada manusia :
a. Cutaneous anthrax (antraks kulit) : antraks karena pengangkutan organisme
penyebab luka atau lecet kulit, menghasilkan pustula berkulit hitam pada zona edema
yang luas. Masa inkubasi 1-7 hari.
b. Gastrointestinal anthrax (antraks gastrointestinal) : antraks karena menelan daging
yang tidak dimasak dengan baik yang terkontaminasi dengan Bacillus anthracis,
dengan pengendapan spora dalam submukosa saluran usus, tempat mereka
berkecambah, berkembang biak, dan menghasilkan toksin, menghasilkan edema
masif, yang dapat menyumbat usus, pendarahan, dan nekrosis.
c. Inhalation antharax (antraks inhalasi) : suatu bentuk antraks yang biasanya fatal
karena menghirup debu yang mengandung spora antraks, yang diangkut ke kelenjar
getah bening regional tempat mereka berkecambah, berkembang biak, dan
menghasilkan toksin, dan ditandai dengan hemoragik edematous mediastinitis, efusi
pleura, dispnea, sianosis, stridor , dan kaget. Masa inkubasi nya 1-5 hari, namun
dapat sampai 60 hari, ergantung jumlah spora yang masuk. Ini biasanya merupakan
penyakit akibat kerja, seperti pada orang yang menangani atau mengurutkan wol dan
fleece yang terkontaminasi. Profilaksis antimikroba digunakan untuk mencegah
kondisi tersebut. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit telah menerbitkan
pedoman sementara untuk investigasi dan respons terhadap infeksi Bacillus
anthracis. Evaluasi risiko pajanan terhadap spora aerosol adalah prioritas utama.
Direkomendasikan untuk mendapatkan sampel yang memadai, menghindari
kontaminasi silang, dan memastikan pengujian yang mahir dan evaluasi hasil
pengujian.
d. antraks meningeal, suatu bentuk antraks yang jarang, biasanya fatal, menyerupai
meningitis hemoragik khas yang menyebar melalui aliran darah Bacillus anthracis
dari fokus utama infeksi; manifestasi termasuk cairan serebrospinal yang merupakan
tanda dan gejala hemoragik dan neurologis.
Pada hewan :
a. pra akut
b. akut
2.3. Penyebab
B.anthracis adalah basil Gram positif, non-motile, dan bisa membentuk spora
(sporulasi). Spora ini tidak terbentuk di jaringan hidup, tetapi di lingkungan yang
aerobik akan muncul dan bertahan bertahun-tahun di tanah yang tahan temperatur tinggi,
kekeringan; juga tahan pada bahan dari binatang atau pada industri bahan dari binatang.
Kumanini tumbuh subur pada media biasa pada suhu 35-37°C. Koloni bersifat lengket
dan dapat membentuk stalagmite-like form bila disentuh dan diangkat. Di bawah
mikroskop kuman tampak membentuk rantai panjang, paralel menyerupai gerbong
barang (boxcar appearance). Spora (aerobic endospore) berbentuk oval dan terletaj
sentral atau parasentral tetapi tidak menjadikan basil membengkak. Dari lesi yang baru,
rantai basil akan tampak pendek atau tunggal dan terdiri 2 atau 3 basil yang berkapsul
dan ujung nya membulat.
Terdapat tiga jenis antigen pada kuman antraks, yaitu:
a. Antigen polipeptida kapsul; Antigen kapsul merupakan molekul besar dan
tersusun atas asam D-glutamat. Sampai saat ini diketahui hanya ada satu tipe
antigen kapsul. Kapsul berperan dalam penghambatan fagosistosis kuman dan
opsonisasinya.
b. Antigen Somatik yang merupakan komponen dinding sel; Antigen somatik
merupakan polisakarida yang mengandung D-galaktosa dan N-asetil
galaktosamin. Antigen somatik ini bereaksi silang dengan darah golongan A dan
pneumokokus tipe 14. Antibodi terhadap antigen somatik tidak bersifat
melindungi.
c. Antigen Toksin
Menurut Jawetz (2010), Virulensi kuman antraks ditentukan oleh dua faktor,
yaitu kapsul kuman dan toksin. Toksin kuman yang ditemukan pada tahun 1950-
an oleh Smith dan Keppie, terdiri dari tiga komponen yaitu: 1) Faktor I (faktor
edema atau EF); 2) Faktor II (faktor antigen protektif atau PA). 3) Faktor III
(faktor letal atau LF)
2.4. Patogenesis
Infeksi dimulai dengan masuknya endospora ke dalam tubuh. Endospora dapat
masuk melalui abrasi kulit, tertelan atau terhirup udara pernapasan. Pada antraks kulit
(spora akan masuk mealui kulit yang luka atau luka yang disebakan serat dari binatang
terinfeksi) dan saluran cerna (masuk melalui mulut setelah makan daging terkontaminasi
yang mentah atau kurang matang). Spora berubah menjadi bentuk vegetatif di jaringan
subkutan dan mukosa usus. Bentuk vegetatif selanjutnya membelah dan mengeluarkan
eksotoksin dan material kapsul antifagositik (plasmid X02). Akan terjadi nekrosis
jaringan dan edema. Endospora yang di fagositosis makrofag, akan berubah jadi bentuk
vegetatif dan dibawa ke kelenjar getah bening regional tempat kuman akan membelah,
memproduksi toksin, dan menimbulkan limfadenitis hemorhagik.
Kuman selanjutnya menyebar secara hematogen dan limfogen dan menyebabkan
septikemia dan toksemia. Dalam darah, kuman dapat mencapai sepuluh sampai seratus
juta per millimeter darah. Sebagian kecil bisa mencapai selaput otak menyebabkan
meningitis. Pada antraks pulmonal (antraks inhalasi), terjadi inhalasi spora (aerosol
dengan ukuran partikel kurang dari 5 um) dimana spora akan sampai di alveoli, difagosit
oleh makrofag dan selanjutnya dibawa ke kelenjar getah beninng mediastinum. Spora
yang ditahan akan menggumpal dan akan susah menjadi aerosol. Terjadi edema paru
akibat terhalangnya aliran limfe pulmonal karena terjadinya limfadenitis hemorhagik
peribronkhial. Kematian biasanya akibat septikemia, toksemia, dan komplikasi paru dan
umumnya terjadi dalam kurun waktu satu sampai sepuluh hari pasca paparan. Reaksi
peradangan hebat terjadi terutama akibat toksin letal. Toksin letal kuman menyebabkan
pelepasan oksigen antara reaktif (reactive oxygen intermediates) dan pelepasan tumor
necrosis factor (TNF) dan interleukin-1.
Yang menentukan virulensi B.anthracis adalah 3 exotoxin (plasmid pX01) yaitu
protective antigen (PA), edema factor (EF) dan lethal factor (LF); dan yang disebut
antiphagocytic polydiglutamic acid capsule (plamsid pX02). Apabila diberikan sendiri-
sendiri, 3 exotoxin tersebut tidak akan menyebabkan efek biologis pada hewan
percobaan. PA mempunyai efek mengikaat reseptor permukaan sel, sehingga bisa
digunakan oleh EF dan LF untuk masuk ke sitoplasma.
Kombinasi PA dan EF akan menyebabkan edema lokal dan menghambat fungsi
PMN, sedangkan kombinasi PA dan LF akan menyebabkan syok dan kematian cepat,
bisa dalaam waktu 60 menit. Antibiotik akan melenyapkan kuman anthraks, tetapi toxin
yang telah diproduksi kuman akan tetap berfungsi melanjutkan proses penyakit sampai
toxin tersebut dimetabolisir.
2.5. Manifestasi klinis
a. Cutaneous Anthrax
Setelah masa inkubasi (1-7 hari) akan timbul lesi berbentuk papula kecil sedikit
gatal pada tempat spora masuk (biasanya lengan, tangan, kemudia leher, dan muka),
yang dalam beberapa hari berubah jadi bentuk vesikel yang tidak sakit berisi cairan
serosanguineous, tidak purulen dan kemudian menjadi ulkus nekritik yang sering
dikelilingi vesikel-vesikel kecil. Ukuran lesi sekitar 1-3 cm. Khas dalam 2-6 hari
akan timbul eschar berwarna hitam seperti batubara (black carbuncle) yang
berkembang dalam beberapa minggu menjadi ukuran beberapa sentimeter yang
kemudian menjadi parut setelah 1-2 minggu.
Setelah itu dasar kulit dari lesi terlihat undurasi, panas, warna merah, non-pitting
edema yang bisa meluas sampai demikian luasnya (malignant edema). Sehingga
terjadi hipotensi ileh karena perpindahan cairan intravaskuler ke subkutan.
b. Inhalation Anthrax
Setelah inkubasi 10 hari timbul gambaran klinik akut yang terdiri dari 2 fase,
yaitu fase initial yang ringan dimana didapatkan demam, lemah, mialgia, batuk
kering, dan rasa tertekan di dada dan perut (flu like) yang pada pemeriksaan fisik
ditemukan ronki, kemudian tiba-tiba disusul fase kedua yang berat. Fase ini cepa
sekali memburuk berupa panas tinggi, sesak nafas, hipoksia, sianosis, stridor dan
akhirnya syok dengan kematian dalam beebrapa hari. Pemeriksaan fisik memberikan
gambaran infeksi paru, dengan kemungkinan sepsis dan meningitis. Inhalation
anthrax tidak memberikan gejala pneumonia, sehingga tidak didapatkan sputum yang
purulen. Pada foto thorax selain infiltrat di paru akan didapat gambaran khas berupa
efusi pleura dan pelebaran mediastinal oleh karena limfadeopati dan mediastinitis.
Cairan pleura bersifat hemoragik.
Disini terjadi germinasi, berkembang biak dan pembentukan toksin, sehingga
terjadi limadenitis dan mediatinitis yang hemoragis. Kapiler baru bisa terkena yang
menyebabkan trombiosis dan gagal napas. Juga bisa terjadi efusi pleura. Pneumonia
terjadi oleh karena infeksi sekunder bukan primer oleh basil antraks. Dari hasil paru
basil bisa masuk ke aliran darah menyebabkan bakterimia, yang bisa masif
c. Gastrointestinal Anthrax
Setelah kira-kira 2-5 hari memakan daging yang mengandung spora, maka timbul
demam, nyeri perut difus, muntah, diare. Bisa timbul muntah darah dan berak darah,
berisi darah segar atau melena. Bisa pula terjadi perforasi usus. Selain itu terjadi
limadenitis mesenterial dan asites. Spora di saluran usus mengalami germinasi dan
menyebabkan terbentuknya lesi ulseratif. Gastrointestinal antraks terbagi menjadi 2
sindrom : abdominal dan oropharyngeal anthrax. Gejala awal dari bentuk abdominal
bisa berupa malaise, demam dan geajala gatrointestinal ringan seperti mual, muntah,
diare dan anoreksia. Dapat pula diikuti oleh gejala onset akut dari gastrointestinal
berat seperti sakit perut parah, hematemesis, diare berdarah dan asites masuf. Selain
itu, mungkin ada demam tinggi, dyspnea, sianosis, disorientasi dan tanda-tanda
septikemia lainnya. Gastrointestinal antraks yang parah dengan cepat berkembang
menjadi syok, koma dam kematian.
d. Oropharingeal Anthrax
Gejala awal berupa sakit tenggorokan, disfagia, demam, suara serak, dan bengkak
pada leher. Pembengkakan leher disebabkam oleh edema dan limfaasonepati
servikal, dan bisa mengakibatkan gangguan jalan nafas. Lesi mulut terjadi pada
amandel, pharynx. Lesi di orofaring berupa ulkus dengan pseudomembran.
2.6. Komplikasi
Komplikasi lain antraks kulit adalah terjadinya bulae multipel disertai edema
hebat dan renjatan. Edema maligna ini jika mengenai leher dan di dalam dada akan
menyebabkan gangguan pernafasan. Pada pemeriksaan histologik, antraks kulit
memperlihatkan nekrosis, edema hebat dan infiltrasi limfosit. Salah satu komplikasi
antraks kulit intestinal dan inhalasi adalah meningitis. Biasanya fatal dan kematian
terjadi dalam 1-6 hari sejak timbulnya gejala. Di samping gejala infeksi umum seperti
demam, mialgia, ditemukan pula gejala rangsang meningeal dan gejala kenaikkan
tekanan intrakranial seperti sakit kepala progresif, kaku kuduk, delirium, kejang-kejang.
Secara patologis terjadi meningitis hemorhagik disertai edema hebat di leptomeningen.
Cairan serebrospinalnya dapat berdarah dan mengandung banyak kuman antraks.
2.7. Diagnosis
Dalam anamnesa hal yang penting untuk ditanyakan salah satunya adalah riwayat
pekerjaan atau kontak dengan binatang yang terinfeksi atau bahan berasal dari binatang.
Selain itu gambaran klinik dari tipe antraks yang khas juga akan berguna dalam
penegakan diagnosis. Antraks kulit dibedakan dari Karbunkel oleh stafilokokus dari
adanya rasa nyeri dan gambaran khas antraks kulit di atas. Antraks inhalasi sering tidak
terdiagnosa di awal, sehingga riwat paparan dan gambaran klinis radiologi sangat
penting.
Laboratorium memberikan hasil leukosit yang normal atau sedikit meningkat
dengan PMN dominan. Aoran pleura atau likuor serebrospinal memperlihatkan
gambaran hemoragis, dengan relatif sedikit sel darah putih. Pemeriksaan gram dan
kultur (dengan media standar) dari lesi kulit, apus tenggorok, cairan pleura, asites, likuor
serebrospinal dan darah akan memperlihatkan kuman gram positif dengan gambaran
khass antraks.
2.8. Tatalaksana
Beberapa alternatif kombinasi antibiotij yang dianjurkan antara lain: siprofloksasin
(2x400 mg) atau doksisiklin (2x100 mg) ditambah dengan klindamisin (3x900 mg)
dan/atau rifampisin (2x300 mg), yang mula-mula diberikan IV dan selanjutnya ke
peroral bila stabil (switch therapy). Pemberian golongan penisilin untuk terapi harus
memikirkan kemungkinan terjadinya strain antraks yang menghasilkan penicillinase
(inducible penicillinase). Obat antibiotik alternatif lainnya yang bisa dipakai adalag
Impenem, Vancomycin. Salah satu standar lamanya terapi antibiotik yang dianjurkan
adalah 7-10 hari untuk antraks kulit, dan sekurang-kurang nya 2 minggu untuk
diseminasi, inhalasi, dan gastrointestinal.
a. Antraks kulit
Pada antraks kulit penisilin G (4x4 juta unit) atau alternatif lainnya seperti
tetrasiklin, korampenikol dan eritromisin bisa dipakai, tetapi ada strain yang resisten
terhadap obat tersebut (IPD). Pengobatan dengan Procain penisilin 2 x 1,2 juta IU
diberikan secara IM selama 5 - 7 hari atau dapat juga dengan menggunakan benzil
penicillin 2500 IU secara IM setiap 6 jam. Antibiotic lain yang dapat digunakan
yaitu ciprofloxacillin (500 mg dua kali sehari), doxycyklin (100 mg dua kali sehari),
atau amoksisilin (500 mg tiga kali sehari). Dalam konteks serangan bioteroris,
pengobatan harus dilanjutkan selama 60 hari dibandingkan dengan tujuh sampai 10
hari untuk penyakit yang didapat secara alami (Clarasinta dan soleha, 2017).
b. Antraks inhalasi
Pengobatan antraks inhalasi yaitu dengan pengobatan intravena (IV) pada dewasa
dengan Ciprofloxacin 400 mg IV bd (dua kali sehari) atau doksisiklin 100 mg IV bd
ditambah 1 atau 2 antibiotik lainnya lalu beralih ke pengobatan oral bila sesuai
secara klinis, ciprofloxacin 500 mg bd atau doksisiklin 100 mg bd untuk melengkapi
60 hari. Pada anak yaitu dengan pemberian Ciprofloxacin 10-15 mg IV bd dan
Doksisiklin> 8 tahun> 45 kg: 100 mg IV bd 8 tahun <45 kg atau <8 tahun: 2,2 mg /
kg bd +1 atau 2 antibiotik lainnya lalu beralih ke antibiotik oral bila sesuai secara
klinis. Ciprofloxacin 10-15 mg / kg bb atau doksisiklin (rejimen dosis yang sama)
sampai selesai 60 hari
c. Antraks intestinal.
Pada antraks intestinal dapat diberikan Penisilin G 18 - 24 juta IU/hari, IVFD
(Intravenous Fluid Drop) ditambah dengan streptomisin 1-2 gram untuk tipe
pulmonal, dan untuk tipe gastrointestinal tetrasiklin 1 gram/ hari. Terapi supportif
dan simptomatis perlu diberikan, biasanya plasma ekspander dan regiment
vasopresor bila diperlukan. Pada antraks intestinal dapat pula menggunakan
chloramphenicol 6 gram/hari selama 5 hari, kemudian diteruskan 4 gram/hari selama
18 hari, diteruskan dengan eritromisin 4 gram/ hari untuk menghindari supresi pada
sumsum tulang.
2.9. Pencegahan dan penularan
Pencegahan lain yaitu dengan menghindari mengonsumsi daging ternak yang
kurang matang dan pada peternak untuk melakukan pengecekan berkala kepada hewan
ternak. Obati hewan yang terkontaminasi menggunakan penisilin, tetrasiklin, dan
preparat sulfa. Apabila pengaruh obat sudah hilang, lakukan vaksinasi sebab pengobatan
dapat mematikan endospora yang terkandung dalam vaksin. Selain itu untuk memutus
rantai penularan, bangkai ternak tersangka anthrax dan semua material yang diduga
tercemar misalnya karena pernah bersinggungan dengan hewan penderita harus
dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur dalam-dalam serta bagian atas dari
lubang kubur dilapisi batu kapur secukupnya. Area penguburan hendaknya diberi tanda
supaya semua pengembalaan hewan di area sekitar menjauhi lokasi penguburan.
Pencegahan dan pengendalian antraks di daerah endemik dilakukan dengan cara
vaksinasi. Vaksin antraks yang digunakan di Indonesia sampai saat ini adalah vaksin
aktif. Daya proteksi vaksin antraks pada ternak ditentukan oleh respon imun terhadap
protective antigen (PA), sedangkan 2 komponen toksin lainnya yaitu LF dan EF hanya
berperan kecil dalam memberikan proteksi. Antigen lainnya (kapsul dan dinding sel)
belum diidentifikasi berperan dalam proteksi (WHO, 1998). Vaksin antraks masa
mendatang harus dapat menstimulasi imun respon seluler dan imun respon humoral
(WHO, 1998).
Tindakan pengendalian meliputi (1) membuang kerangka hewan dengan
membakar atau menanamnya dalam lubang kapur, (2) dekontaminasi (biasanya dengan
autoklaf) produk-produk hewan, (3) pakaian dan sarung tangan pelindung untuk
menangani bahan-bahan yang berpotensi terinfeksi, dan (4) imunisasi aktif hewan
peliharaan dengan vaksin hidup yang dilemahkan. Orang-orang dengan risiko pekerjaan
ringgi harus diimunisasi (Jawetz, 2010).
Meskipun aman dan protektif, AVA mempunyai keterbatasan, antara lain:
standarisasi vaksin yang didasarkan pada proses pembuatan dan uji potensi yang
dilakukan dengan hewan marmot yang ditantang secara intrakutan dengan spora B.
anthracis, kandungan PA dalam vaksin tidak pernah diukur dan tidak ada standarisasi uji
antibodi anti PA pada hewan atau manusia yang divaksinasi dengan vaksin tersebut.
Vaksin AVA dapat mengandung elemen seluler yang mungkin menyebabkan reaksi
sistemik atau reaksi lokal. Selain itu, jadwal pemberian vaksin yang berulang dengan
interval waktu yang pendek. mungkin belum optimal untuk memberikan proteksi (Adjie
dan Natalie, 2014).
2.10. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Adjie dan Natalie (2014):
a. Uji Ascoli digunakan untuk mendeteksi adanya antigen yang terdapat dalam sampel.
Prinsip teknik ini reaksi antara antibodi (serum Ascoli) dengan antigen, di mana hasil
positif akan terbentuk cincin warna putih di antara serum dan ekstrak sampel. Uji ini
hanya baik digunakan untuk sampel dari hewan yang tersangka antraks dan tidak
balk digunakan untuk sampel lingkungan, sebab terjadi reaksi silang dengan Bacillus
lain. Anthraxin merupakan antigen antraks yang diinaktivasi dan dimurnikan dan
banyak digunakan dalam mengevaluasi vaksinasi dan studi retrospektif pada hewan
dan manusia. Teknik ini diaplikasikan dengan cara menyuntikkan 0,1 ml Anthraxin
secara intradermal dan diamati dalam waktu 48 jam. Adanya pembengkakan dan
kemerahan kulit menunjukkan reaksi positif.
b. Teknik PCR mulai digunakan secara luas untuk mendeteksi adanya gen faktor
virulensi (kapsul dan toksin PA). Jadi dalam hal ini dapat dipastikan suatu isolat
adalah virulen atau tidak. Metode ini relatif cepat dengan sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi.
c. Teknik DFA juga dilaporkan mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Uji
ini dapat mendeteksi B. anthracis dalam waktu beberapa jam saja dan dapat
membedakan B. anthracis dari Bacillus spp. lainnya. Uji ini mendeteksi 2 komponen
dari B. anthracis, yaitu kapsul dan dindingnya. Uji ini menggunakan antibodi yang
dilabel dengan Fluorescence lsothiocyanate (FITC). Teknik DFA yang mampu
mendeteksi 2 komponen B. anthracis ini dilaporkan sensitif, spesifik dan merupakan
uji konfirmatif yang cepat dan sangat berguna untuk mendeteksi B. anthracis secara
langsung dari spesimen lapangan.
d. Deteksi antigen yang lebih sensitif dan spesifik adalah dengan teknik
immunochromatographic assay. Teknik ini menggunakan antibodi monoklonal anti-
PA yang dilekatkan pada membran nitroselulosa dan dapat mendeteksi adanya PA
dalam sampel dengan jumlah yang sangat kecil yaitu 25 ng/ml.
e. Enzyme linked immuno-sorbent assay (ELISA) digunakan untuk mendeteksi adanya
antibodi yang ada dalam sampel serum dan banyak digunakan untuk evaluasi
vaksinasi, studi epidemiologi pada manusia, hewan ternak maupun hewan liar. Jika
uji ini digunakan untuk diagnosa harus juga dilakukan pemeriksaan laboratorium
yang lain.
Menurut Tanzil (2013), untuk pemeriksaan langsung, bahan dibuat sediaan dan
diwarnai dengan perwarnaan Gram, imunofluoresensi atau M’Fadyean. Pemeriksaan
serologi dikerjakan dengan cara imunodifusi, fiksasi komplemen dan hemaglutinasi.
Untuk menunjang penetapan diagnosis atas dasar gambaran klinik dapat digunakan tes
kulit yaitu skin anthracin test yang mempunyai sensitifitas 82% pada infeksi yang telah
berlangsung 3 hari dan 99% untuk infeksi yang telah berlangsung 4 minggu. Khusus
untuk serologi terhadap toksin dikerjakan dengan cara Elisa. Pemeriksaan lain yang
dapat dilakukan adalah reaksi rantai polimerasa dan pemeriksaan histokimia
Pada manusia, spesimen untuk pemeriksaan laboratorik dapat diambil dari cairan
vesikel, jaringan tubuh, darah (sewaktu septikemia), dan usapan langsung (direct smear)
dari lesi kulit. Pewarnaan Giemsa terdapat preparat usapan langsung perlu dilanjutkan
dengan upaya isolasi bakteri karena dapat keliru dengan bakteri lain berbentuk batang,
misalnya B.subtilis. pemeriksaan secara FAT yang mempunyai sensitivitas dan ketepatan
(sensitivity and spesificity) tinggi bisa dilakukan apabila tersedia mikroskop
flourescence. Pada nhewan, spesimen dapat berupa darah perifer dari daun telinga yang
diambil dengan jareum, keudian diisapkan pada kertas saring, kapur tulis, atau kapas jika
hewan masih hidup. Apabila hewan sudah matui, spesimen dapat diambil dari potongan
daun telinga, cairan oedema, tulang, kulit, dan bahan lain yang tercemar. Deteksi antigen
dapat dilakkukan dengan uji Ascoli
2.11. Epidemiologi
Kasus pada manusia dapat dibagi secara umum menjadi kasus industri dan
agrikultur. Pada kasus agrikultur transmisi terjadi langsung dengan kontak dengan
discharges binatang yang terinfeksi seperti tinja, atau tidak langsung melaui gigitan lalat
yang telah makan pada bangkai binatang tersebut. Atau bisa pula disebabkan karena
mengkonsumsi daging yang terinfeksi yang mentah atau kurang matang. Pada kasus
industri disebabkan kontak dengan spora yang terdapat pada bahan dari binatang
terinfeksi seperti rambut, wol, kulit, tulang pada saat proses industri.
Penyakit ini didapatkan endemik di negara berkembang seperti Asia, Afrika dan
Amerika Selatan, dima kontrol peternakan belum baik dan kondisi lingkungan
menunjang terjadinya siklus binatang-tanah-binatang.
3. KONSEP ONE HEALTH
3.1. Definisi
One health (satu kesehatan) adalah gerakan global untuk mempromosikan upaya-
upaya kolaborasi antara profesional terkait kesehatan yang berbeda dan para profesional
yang membantunya termasuk bidang kedokteran, kedokteran hewan, kedokteran gigi,
keperawatan dan ilmu kesehatan lainnya serta ilmu yang terkait lingkungan (Marhaban
et al, 2018).
One Health adalah pendekatan untuk merancang dan mengimplementasikan
program, kebijakan, perundang-undangan dan penelitian di mana berbagai sektor
berkomunikasi dan bekerja sama untuk mencapai hasil kesehatan masyarakat yang lebih
baik (WHO).
3.2. Tujuan
Tujuan dari kegiatan one health itu sendiri adalah agar dapat mempromosikan dan
memajukan pendekatan satu kesehatan untuk mengontrol kemunculan-kemunculan
kembali penyakit menular dan zoonosis (EZDs). Yang kedua dapat meningkatkan
kompetensi satu kesehatan yang professional. Yang ketiga agar dapat membangun dasar
bukti satu kesehatan melalui kegiatan penelitian. Dan yang keempat adalah untuk
membangun kader profesional terlatih agar menjadi pemimpin satu kesehatan saat ini
dan masa depan.
3.3. Sasaran dan Strategi
Salah satu sasaran konsep ‘one health’ adalah mengintegrasikan sistem
pendidikan di lingkup dan antara perguruan tinggi kedokteran, kedokteran hewan dan
kesehatan masyarakat. Upaya ini juga dimaksudkan untuk menghimbau peningkatan
komunikasi lintas disiplin dalam berbagai kesempatan, baik itu seminar, konferensi,
jurnal, kuliah, maupun pengembangan jaringan (networking) di bidang kesehatan dan
kesejahteraan masyarakat. Lebih lanjut, konsep ‘one health’ mempromosikan pentingnya
penelitian bersama terhadap penularan lintas spesies dan surveilans serta sistem
pengendalian terintegrasi antara manusia, hewan domestik dan hewan liar. Rintisan ini
akan mendorong dan memicu penelitian perbandingan (comparative reserach) dan akan
menjadi payung dari semua penelitian-penelitian mengenai penyakit-penyakit yang
berpengaruh terhadap manusia dan hewan, termasuk diabetes, kanker, gangguan
autoimmune dan obesitas.
3.4. Ruang lingkup
Banyak profesional dengan beragam keahlian yang aktif di berbagai sektor,
seperti kesehatan masyarakat, kesehatan hewan, kesehatan tanaman, dan lingkungan,
harus bergabung untuk mendukung pendekatan One Health. Untuk secara efektif
mendeteksi, merespons, dan mencegah wabah zoonosis dan masalah keamanan pangan,
data epidemiologis dan informasi laboratorium harus dibagikan di semua sektor. Pejabat
pemerintah, peneliti, dan pekerja lintas sektor di tingkat lokal, nasional, regional, dan
global harus menerapkan respons bersama terhadap ancaman kesehatan.
WHO bekerja erat dengan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-
Bangsa (FAO) dan Organisasi Dunia untuk Kesehatan Hewan (OIE) untuk
mempromosikan respons multi-sektoral terhadap bahaya keamanan pangan, risiko
zoonosis, dan ancaman kesehatan masyarakat lainnya pada manusia. antarmuka hewan-
ekosistem dan memberikan panduan tentang cara mengurangi risiko ini.
3.5. Hubungan dengan zoonosis
Banyak mikroba yang sama menginfeksi hewan dan manusia, karena mereka
berbagi ekosistem yang mereka tinggali. Upaya hanya dengan satu sektor tidak dapat
mencegah atau menghilangkan masalah. Misalnya, rabies pada manusia secara efektif
dicegah hanya dengan menargetkan sumber hewan dari virus (misalnya, dengan
memvaksinasi anjing).
Informasi tentang virus influenza yang beredar pada hewan sangat penting untuk
pemilihan virus untuk vaksin manusia untuk potensi pandemi influenza. Mikroba yang
resistan terhadap obat dapat ditularkan antara hewan dan manusia melalui kontak
langsung antara hewan dan manusia atau melalui makanan yang terkontaminasi,
sehingga untuk secara efektif mengatasinya, diperlukan pendekatan yang terkoordinasi
dengan baik pada manusia dan hewan (WHO).
4. SYARAT-SYARAT HEWAN KURBAN DALAM ISLAM
a. Harus berkurban dengan hewan ternak yang ditetapkan oleh syariat
Hewan yang ditetapkan oleh syariat, yakni: sapi, kambing, serta unta, dan tidak
boleh berkurban dengan selain hewan-hewan tersebut. Sebagai tambahan, kerbau
termasuk jenis sapi menurut pendapat para ahli fiqih.
Hal ini disandarkan pada firman Allah Ta’ala
‫ة ٱأۡل َ ۡن ٰ َع ۗ ِم‬Xِ ‫ٱس َم ٱهَّلل ِ َعلَ ٰى َما َرزَ قَهُم ِّم ۢن بَ ِهي َم‬
ۡ ‫ُوا‬ ْ ‫َولِ ُك ِّل أُ َّم ٖة َج َع ۡلنَا َمن َس ٗكا لِّيَ ۡذ ُكر‬
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah
kepada mereka.” (Q.S Al Hajj:34)
Yang paling afdhol adalah unta, setelahnya sapi, setelahnya kambing kibas
setelahnya domba dan kambing, menurut pendapat yang paling rajih. 
Tidak masalah berkurban dengan hewan kurban jantan maupun betina. Berkata Imam
Nawawy
(‫اع )أَ َّما‬ ِ ‫ َو‬X‫ ُع أَ ْن‬X‫ك َج ِمي‬ َ Xِ‫ َوا ٌء فِي َذل‬X‫ ُر َو ْال َغنَ ُم َس‬Xَ‫ئ فِي اأْل ُضْ ِحيَّ ِة أَ ْن يَ ُكونَ ِم ْن اأْل َ ْن َع ِام َو ِه َي اإْل ِ بِ ُل َو ْالبَق‬ ِ ‫اأْل َحْ َكا ُم فَشَرْ طُ ْال ُمجْ ِز‬
‫أْ ِن‬X‫الض‬ َّ ‫اع ْال َغن َِم ِم ْن‬ ِ ‫و‬X َ ‫ع أَ ْن‬X‫ي‬
ِ ‫ة َو َج ِم‬XX‫ب والدرباني‬ ِ ‫ َرا‬X‫يس َو ْال ِع‬ ِ ‫ َوا ِم‬X‫ر ِم ْن ْال َج‬X ِ َ‫اع ْالبَق‬
ِ ‫و‬Xَ ‫ع أَ ْن‬X
ِ X‫ب َو َج ِمي‬ِ ‫ َرا‬X‫ اتِ ِّي َو ْال ِع‬Xَ‫اإْل ِ بِ ِل ِم ْن ْالبَخ‬
‫الذ َك ُر َواأْل ُ ْنثَى‬ َّ ‫ف َو َس َوا ٌء‬ ٍ ‫ضبَّا َو َغ ْي ُرهَا بِاَل ِخاَل‬ َّ ‫ير ِه َوال‬ ِ ‫ش َو َح ِم‬ ِ ْ‫ئ َغ ْي ُر اأْل َ ْن َع ِام ِم ْن بَقَ ِر ْال َوح‬ُ ‫ْز َوأَ ْن َوا ِع ِه َما َواَل يُجْ ِز‬ِ ‫ َو ْال َمع‬.
“Adapun syarat diperbolehkannya dalam berkurban adalah hendaknya hewan kurban
merupakan jenis hewan ternak yaitu unta, sapi, dan kambing. Dalam hal ini sama saja
semua jenis unta, baik yang Bakhoti atau jenis ‘Irab, dan semua jenis sapi, baik kerbau
atau ‘irab maupun jenis lainnya, dan semua jenis kambing dari domba atau kambing
kacang atau yang sejenisnya. Tidak boleh selain hewan ternak, seperti sapi liar, keledai
liar dan kambing liar dan selainnya tanpa ada pendapat di kalangan ulama, baik yang
jantan atau pun betina”.
b. Hewan kurban harus mencapai usia yang diperkenankan oleh syariat untuk dikurbankan
Sepakat ulama bahwasanya hewan kurban yang usianya di bawah ketentuan syariat maka
sembelihanya tidak sah
Adapun untuk semua jenis hewan kurban harus mencapai usia musinnah, Perincian per
masing-masing jenis adalah sebagai berikut:
1) Unta harus berusia 5 tahun ke atas.
2) Sapi harus berusia dua tahun atau lebih
3) Kambing satu tahun atau lebih
Jabir bin Abdillah berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda;
“Janganlah kalian menyembelih (berkurban) kecuali musinnah (berumur satu tahun),
dan jika sulit bagi kalian, maka sembelih lah oleh kalian jad’ah dari domba/biri-biri.”
Usia Musinnah adalah usia yang ditandai tanggalnya gigi seri atas baik unta, sapi atau
kambing.
Adapun untuk jenis domba, jika tidak mampu berkurban dengan yang berusia satu tahun,
maka boleh berkurban dengan jadz’ah (yg berusia enam bulan) atau yang diatasnya.
Dalam fatwanya, Lajnah Daimah menyatakan, “Dalil-dalil syar’i menunjukkan
bahwasanya sah berkurban dengan domba yang usianya sudah sempurna mencapai enam
bulan. 
c. Hewan yang dikurbankan bukanlah hewan yang memiliki cacat
Cacat pada hewan kurban dibagi menjadi tiga kategori, salah satunya adalah cacat
yang menyebabkan tidak sahnya kurban. Jumlahnya ada empat sebagaimana yang
dijelaskan dalam sebuah hadits akan ketidaksahanya:
1) Buta Sebelah. Kalau putih bola matanya mendominasi lingkaran hitam matanya,
sehingga bulatan hitam matanya hanya kecil, maka ini juga tidak sah dikurbankan.
Atau buta kedua-duanya, yang tentu lebih tidak sah lagi untuk dikurbankan;
2) Yang benar-benar sedang terserang penyakit. Seperti demam yangmengakibatkan
hewan tersebut kehilangan nafsu makan dan menjadi lemah, atau luka dalam atau
yang serius pada tubuhnya yang berpengaruh terhadap kesehatannya. Jika penyakit
yang mengenainya adalah penyakit yang ringan, maka hewan tersebut sah untuk
dikurbankan;
3) Yang jelas-jelas pincang kakinya. Yang terputus atau patah kakinya tentu lebih utama
untuk tidak dikurbankan, alias tidak sah;
4) Yang sangat kurus, sampai-sampai seperti tidak memiliki sum-sum.
Keempat hal diatas dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wa sallam dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan Bara’ bin ‘Ajib Radhiallahu ‘anhu,
“Empat hal yang membuat hewan kurban tidak sah untuk dikurbankan, buta matanya
sebelah, yang jelas akan kebutaannya, yang sakit dengan penyakit yang jelas, yang
pincang dengan jelas kepincangannya, dan yang kurus seperti tidak bersum-sum.” 
d. Hewan tersebut milik orang yang berkurban
Bukan hewan curian, rampasan atau yang diklaim milik dirinya dengan cara yang
dzalim. Hewan yang digadaikan kepada dirinya, tidak boleh ia kurbankan, karena
bukanlah miliknya.
e. Disembelih pada waktu-waktu yang telah ditentukan syariat
Waktunya adalah setelah shalat ‘Ied, dan ini adalah waktu yang afdhol. Batas
waktu penyembelihan sampai dengan hari terakhir Tasyriq (tanggal 13 Dzulhijjah) ketika
matahari sudah tenggelam.
Barangsiapa yang menyembelih hewan kurbannya sebelum shalat ‘Ied atau
setelah tenggelamnya matahari tanggal ke-13 Dzulhijjah, maka kurbannya tidak sah.
Akan tetapi, jika terdapat udzur-udzur syar’i, semisal larinya hewan kurban, dan baru
ditemukan setelah hari ke-14 Dzulhijjah atau setelahnya, maka tetap sah untuk
dikurbankan

Sumber:
Adji, R.S. and Natalia, L., 2014. Pengendalian penyakit antraks: Diagnosis, vaksinasi dan
investigasi. JITV, 19(3).
Clarasinta, C. and Soleha, T.U., 2017. Penyakit Antraks: Ancaman untuk Petani dan Peternak.
Jurnal Majority, 7(1), pp.158-163.
Martindah, E., Widjajanti, S. and Estuningsih, S.E., 2018. Improvement of Public Awareness on
Fasciolosis as Zoonosis Disease.
Farlex Partner Medical Dictionary. 2012. Retrieved April 3 2020 from https://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/anthrax
Gale Encyclopedia of Medicine. 2008. Retrieved April 3 2020 from https://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/zoonosis
Heriyanto, B., 2017. Binatang Penular Penyakit di Sekitar Lingkungan Rumah. Yayasan Pustaka
Obor Indonesia.
Jawetz E, Melnick JL, Adelberg EA. 2010. Medical Microbiology, 25th ed. Mc Graw Hill. New
York.
Khairiyah, K., 2011. Zoonosis dan Upaya Pencegahannya (Kasus Sumatera Utara). Jurnal
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 30(3), pp.117-124.
Marhaban, M., Ferasyi, T.R. and Abdullah, A., 2018. Eksplorasi Penerapan Strategi
Pengendalian Malaria Berbasis Konsep One Health Antara Dua Wilayah yang Sudah
Berstatus Eliminasi dan Belum Eliminasi di Provinsi Aceh. Journal of BioLeuser, 2(3).
Miller-Keane Encyclopedia and Dictionary of Medicine, Nursing, and Allied Health, Seventh
Edition. 2003. Retrieved April 3 2020 from https://medical-
dictionary.thefreedictionary.com/anthrax
Naipospos, T.S.P., 2005. Kebijakan Penanggulangan Penyakit Zoonosis Berdasarkan Prioritas
Departemen Pertanian. Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, pp.23-27.
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing
Soeharsono. 2002. Zoonosis Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia. Yogyakarta: Kanisius
Tanzil, K., 2014. Aspek Bakteriologi Penyakit Antraks. E-Journal Widya Kesehatan dan
Lingkungan, 1(1), p.36793.
WORLD HEALTH ORGANIZATION (WHO). 1998. Guidelines for the surveillance and
control of anthrax in humans and animals, 3rd Ed. Departement of Communicable
Disease Surveillance and Response. TURNBULL, P.C.B., R. BOHM, O. CosIvi. M.
DoGANAY, M.E. HUGH JONES, D.D. Josw, M.K. LALITHA and V. DE VOS.
(Eds.). World Health Organization.
WHO. 2017. One Health. Diakses 04 April 2020 dari https://www.who.int/features/qa/one-
health/en/
Wijayanti, T. 2010. Zoonosis. BALABA: JURNAL LITBANG PENGENDALIAN PENYAKIT
BERSUMBER BINATANG BANJARNEGARA, 20-21.
https://aira-vetstudent.blogspot.com/2017/01/one-health.html?m=1
https://sinta.unud.ac.id/uploads/wisuda/1120025032-3-BAB%20II.pdf diakses pada 5 April 2020
https://www.pesantrenalirsyad.org/syarat-syarat-hewan-yang-akan-dikurbankan/ diakses pada 5
April 2020

Anda mungkin juga menyukai