Tipe Roda
Tipe Roda
BAB IV
PRESENTASI DATA DAN ANALISIS
33
34
Data pergerakan pesawat udara secara lengkap diberikan di Lampiran A. Seperti terlihat
pada Tabel IV.1, jenis pesawat udara yang banyak beroperasi di Bandar Udara Juanda,
Surabaya, adalah Boeing B737-200 (12262 pesawat/tahun), McDonnell Douglas MD-82
35
(5320 pesawat/tahun) dan Boeing B737-400 (5146 pesawat/tahun). Sedangkan, jenis pesawat
udara berat yang sering beroperasi adalah Boeing B747-300 (MTOW 377800 kg), Airbus
A-330 (MTOW 212000 kg), Airbus A-310 (MTOW 153000) dan Boeing B767-200 (MTOW
136984). Pesawat udara yang sering beroperasi di Bandar Udara Juanda, Surabaya adalah
pesawat udara yang memiliki gear type dual wheel dibandingkan dengan gear type dual
tandem dan com. Pesawat udara B747-400 walaupun merupakan pesawat udara yang paling
berat (MTOW 385555 kg) di bandar Juanda, Surabaya, tetapi beroperasi hanya pada musim
Haji saja dengan jumlah 6 pesawat udara tiap tahun.
Selama tahun 2003 jumlah kedatangan (annual arrival) pesawat udara berjumlah
32.691 dan keberangkatan (annual departure) berjumlah 36.222. Jenis pesawat udara yang
beroperasi berjumlah 168 jenis pesawat udara. Dari 168 jenis pesawat udara yang beroperasi,
dikelompokkan 17 jenis pesawat udara tipikal yang memiliki annual departure terbesar dan
MTOW terbesar yang kemudian digunakan untuk proses desain. Pesawat udara yang tidak
termasuk pesawat udara yang dianalisis, dimasukkan ke dalam pesawat udara sejenis yang
dianalisis. Data karakteristik pesawat udara ditunjukan pada Tabel IV.2. Namun demikian,
dalam proses desain praktis, setiap jenis pesawat udara sebaiknya dianalisis sesuai dengan
data karakteristiknya masing-masing. Sementara itu, pesawat udara ringan tidak perlu
diperhitungkan lebih jauh mengingat pengaruhnya yang tidak signifikan terhadap kerusakan
struktur perkerasan. Hal yang menarik untuk diperhatikan dalam analisis selanjutnya adalah
36
apakah jenis pesawat udara yang banyak beroperasi, yang terberat atau yang lainnya,
merupakan pesawat udara desain yang menentukan tebal perkerasan desain.
8,000
6,000
4,000
2,000
0
F28 - MK3000
F - 100
B737 - 200
B737 - 300
B737 - 400
MD- 82
CASA- NC212 *)
F28 - MK2000 *)
F28 - MK4000 *)
B737 - 100 *)
B737 - 500 *)
B727 - 100 *)
B767 - 200 *)
B747 - 300 *)
MD- 83 *)
A- 310 *)
A- 330 *)
ATC 4 cm
Granular Base
CBR>80% 20 cm
Subgrade
Gambar IV.2 Struktur perkerasan di apron pada Bandar Udara Juanda, Surabaya.
Data modulus elastisitas bahan perkerasan (beton semen) dan data konstanta poisson yang
berturut-turut adalah 27,588.483 MPa (= 4jt psi) dan 0.15 merupakan data tipikal yang umum
digunakan dalam proses desain struktur perkerasan kaku. Rentang data modulus elastisitas
beton semen menurut Huang (1993) adalah 3jt – 6jt psi, dan rentang data konstanta poisson
0.15 – 0.20. Oleh karena itu, pengujian laboratorium sesuai dengan metoda pengujian ASTM
C469-87a seharusnya dilakukan untuk memastikan kualitas bahan perkerasan yang
digunakan. Khusus data faktor keamanan dan data modulus reaksi tanah dasar merupakan
hasil analisis untuk memastikan bahwa data lainnya yang disajikan pada Tabel IV.3 sesuai
38
dengan data yang terdapat dalam dokumen desain dan asumsi yang diambil. Ringkasan data
struktur perkerasan dan data teknis desain ditunjukan pada Tabel IV.3.
Penggunaan data dari Bandar Udara Juanda, Surabaya, hanya dimaksudkan untuk keperluan
contoh proses desain dan tidak dimaksudkan untuk secara langsung mengevaluasi struktur
perkerasan kaku yang ada di sana.
Boeing 747-100
MTOW pesawat udara = 323410 kg, Tire pressure (q) = 1,50 Mpa = 15,3 Kg/cm2
K = 80 MN/m3 , μ = 0,15 E = 4.106 PSI , H = 30 cm
0,6L=29,2 cm
Pd
L=
0,5227q
48,6 cm
18919,5
L=
0,5227 × 15,3 147 cm
L = 48,6 cm
112 cm
Eh3
l=4
12(1 − μ 2 )k
4.106 x11,8113
l=4 = 37,1534 in = 94,36962 cm
12(1 − 0,152 )294,87
48,6 cm
147 cm
29,2 cm
112 cm
Gambar IV.3 Jumlah blok (N) menggunakan chart Pickett and Ray
40
Gambar IV.3 untuk Interior loading, jumlah blok (N) yang diperoleh menggunakan chart
Pickett dan Ray adalah 286,3. Jumlah Blok N yang diperoleh menggunakan chart Pickett dan
Ray sama dengan perhitungan program Airfield yang juga menggunakan pengaruh chart
Pickett and Ray, seperti pada Gambar IV.4.
Jumlah blok (N) yang dihasilkan secara manual sama dengan program Airfield yang
digunakan dalam proses desain struktur perkerasan. Selanjutnya dengan menggunakan
persamaan (3.7) dan (3.8), maka tegangan lentur yang terjadi akibat beban dengan posisi roda
seperti pada Gambar IV.3, adalah 2,5 MPa. Tegangangan lentur dihitung sesuai dengan jalur
lintasan roda pesawat udara, seperti yang ditunjukan pada Gambar IV.5.
Gambar IV.5 Tegangan yang terjadi pada jalur lintas roda pesawat udara
Gambar IV.5 terlihat, jika posisi roda berada pada jalur lintasannya maka tegangan yang
dihasilkan adalah 2.4683 MPa, tetapi jika lintasan roda pesawat udara bergeser maka
tegangan yang terjadi akan ikut berubah. Hasil perhitungan tegangan lentur tersebut
menentukan desain struktur perkerasan dan kerusakan yang ditimbulkan selama masa layan,
serta jumlah repetisi beban yang diijinkan.
41
Gambar IV.6 hubungan tebal dan tegangan yang dihasilkan dari program Airfield dipengaruhi
nilai MTOW, % weight on main gear legs, tyre pressure, k subbase/subgrade, E, μ, wheel
gear configuration, coordinate of the wheels dan number of main gear legs. Nilai k dan
MTOW dilakukan beberapa variasi, untuk variasi nilai k adalah 20, 40 80, dan 150 MN/m3,
sedangkan variasi nilai MTOW (P) untuk pesawat udara Airbus A-330 adalah 212000,
177000, 142000, 107000, 72000 kg. Variasi nilai k dan P memberikan hasil tebal dan
42
tegangan yang berbeda. Hasil hubungan tebal dan tegangan dari program Airfield digunakan
untuk membuat kurva desain. Pembuatan kurva desain menggunakan persamaan regresi
untuk menghasilkan hubungan nilai P dan nilai k. Hasil pembuatan kurva desain manual
ditunjukan pada Gambar IV.7. Cara menggunakan gambarnya sesuai dengan metoda desain
yang dinginkan, seperti PCA mengasumsikan tebal terlebih dahulu. Tebal yang diasumsikan
ditarik garis horizontal ke kiri sampai menyentuh garis P (nilai MTOW ), kemudian ditarik
garis vertikal ke bawah sampai menyentuh garis k (nilai k disesuaikan dengan di lapangan).
Perpotongan nilai k, ditarik garis horisontal ke kiri hingga menyentuh nilai tegangan
maksimum. Nilai tegangan maksimum yang diperoleh, dianalisis lagi terhadap repetisi beban
ijin.
Gambar IV.7 Kurva desain struktur perkerasan kaku pesawat udara A330
Setelah dilakukan analisis, ternyata pada Gambar IV.7 terlihat banyak garis pada nilai P.
Ketelitian kurva desain yang diperoleh tidak 100% persis sama dengan program Airfield.
Meskipun demikian, kurva desain manual dibuat untuk 17 jenis pesawat udara yang
diperlihatkan di Lampiran D.
oleh jumlah repetisi beban tersebut serta oleh kualitas bahan pelat beton yang digunakan.
Makin besar tegangan lentur yang terjadi dan/atau makin rendah kualitas bahan pelat beton,
maka akan makin sedikit pula jumlah repetisi beban yang dapat dipikul oleh struktur
perkerasan. Mengingat manifestasi kerusakan awal yang biasanya terjadi adalah dalam
bentuk keretakan, maka mekanisme kerusakan struktur perkerasan seperti ini dikenal dengan
istilah kerusakan retak lelah (fatigue).
Terdapat beberapa model fatigue yang diusulkan untuk desain struktur perkerasan
kaku seperti model Regresi (Darter dan Barenberg, 1977) dan model PCA (Portland Cement
Association) (Packard dan Tayabji, 1985), model fatigue tersebut diperlihatkan pada Gambar
IV.8. Gambar IV.8 memperlihatkan model regresi antara rasio tegangan lentur (σL) terhadap
modulus lentur (MR90) dengan jumlah repetisi beban yang diijinkan (Nijin), dan model yang
diusulkan oleh PCA pada tingkat probabilitas sekitar 90 % dan model Regresi pada
probabilitas 50 % (Huang, 2004). Model kerusakan retak lelah menurut PCA yang
digunakan dalam program Airfield, juga telah digunakan sebagai kriteria desain struktur
perkerasan kaku untuk konstruksi perkerasan jalan (NAASRA, 1987).
Model fatigue yang digunakan untuk desain struktur perkerasan kaku adalah model PCA
karena tingkat probabilitasnya 90 % dibandingkan dengan model Regresi yang
probabilitasnya 50 %.
Dalam aplikasinya, tebal perkerasan desain perlu dicoba-coba untuk memenuhi kriteria retak
lelah pada persamaan (2.7), (2.8) dan (2.9). Tegangan lentur yang terjadi akibat setiap
lintasan roda pesawat udara setelah dibagi dengan modulus lentur pelat beton disubstitusikan
ke dalam persamaan (2.7), (2.8), (2.9) untuk memperoleh jumlah repetisi beban yang
diijinkan. Kemudian, kerusakan retak lelah tahunan yang diakibatkan oleh setiap pesawat
udara yang beroperasi dihitung dengan membandingkan volume keberangkatan tahunan
terhadap jumlah repetisi beban yang diijinkan untuk setiap pesawat udara tersebut. Jika
jumlah total kerusakan retak lelah untuk semua jenis pesawat udara dalam kurun masa layan
rencana kurang lebih sama dengan 100%, maka struktur perkerasan desain diperkirakan akan
runtuh tepat di akhir masa layannya. Jika melebihi 100 % maka beton akan runtuh (failure).
Konsep keruntuhan menggunakan fatigue, digunakan pada metoda PCA. Fatigue yang
terjadi pada struktur perkerasan mempengaruhi desain perkerasan dan pesawat udara desain
yang digunakan. Contoh fatigue jika melebih 100 % diberikan pada Tabel IV.4.
Seperti terlihat pada Tabel IV.4, total kerusakan terbesar (270.93 %) dan masa layan kritis
terkecil (7.38 tahun). Nilai total kerusakan yang terlihat pada Tabel IV.4 harus tidak boleh
terjadi dalam desain struktur perkerasan. Hal ini perlu di iterasi lagi supaya total kerusakan
yang terjadi kurang dari atau sama dengan 100 %. Hasil iterasi tersebut telah diperlihatkan
pada desain perkerasan menggunakan metoda PCA. Satu hal yang dapat disimpulkan adalah
bahwa nilai fatigue menentukan besarnya tebal perkerasan desain. .
Gambar IV.9 Ilustrasi proses perhitungan nilai LRF untuk jenis pesawat udara tertentu
46
Terlihat pada Gambar IV.9, bahwa hanya pesawat udara sebanyak Po% saja melintas pada
jalur lintasan roda rata-rata yang mengakibatkan tegangan lentur sebesar σLo. Sedangkan,
masing-masing Pi% pesawat udara sisanya melintas pada lintasan sejauh xi dari jalur lintasan
roda rata-rata yang mengakibatkan tegangan lentur sebesar σLi. Juga terlihat pada Gambar,
bahwa nilai σLi dapat langsung dibaca pada kurva tegangan lentur untuk beban yang bekerja
pada jalur lintasan roda rata-rata.
Tabel IV.5 memperlihatkan hasil perhitungan nilai LRF untuk 17 pesawat udara yang
sedang dianalisis untuk berbagai nilai σ (deviasi standar dari distribusi lintasan roda) dan
juga nilai LRF yang terdapat di dalam literatur (ICAO, 1983 dan Yoder, et.al., 1975). Untuk
asumsi nilai σ = 121.92 cm, rentang nilai LRF yang dihasilkan menggunakan program
Airfield adalah antara 0.144 – 0.261. Angka ini mencerminkan derajat kerusakan yang
ditimbulkan pada struktur perkerasan yang hanya berkisar antara 14.4 – 26.1% untuk setiap
keberangkatan pesawat udara dari yang seharusnya terjadi jika pesawat udara tersebut selalu
melintasi jalur lintasan roda yang tetap.
Seperti terlihat pada Tabel IV.5, secara umum, nilai LRF yang diperoleh untuk nilai
σ = 121.92 cm cukup konsisten dengan nilai LRF yang diusulkan oleh ICAO (1983) dan
Yoder, et.al. (1975). Namun demikian, dari observasi diketahui bahwa nilai LRF sebenarnya
berbeda (unik) untuk masing-masing jenis pesawat udara. Nilai LRF sangat dipengaruhi oleh
empat faktor utama, yaitu distribusi lintasan roda (σ), kurva tegangan lentur (σL, termasuk
konfigurasi sumbu roda dan faktor penentu tegangan lentur lainnya), modulus lentur bahan
47
perkerasan (MR90) dan faktor keamanan (FK). Sebagai contoh, Tabel IV.5 diperlihatkan,
bahwa untuk setiap jenis pesawat udara, makin kecil nilai σ, maka akan makin besar nilai
LRF. Sebaliknya, nilai σ yang makin besar akan memperkecil nilai LRF. Pengaruh
konfigurasi sumbu roda pada nilai LRF juga diperlihatkan tetapi dengan pola yang tidak
beraturan. Namun demikian, satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa nilai LRF
umumnya tidak konstan meskipun konfigurasi sumbu roda sama.
Seperti terlihat pada Tabel IV.7, tebal perkerasan yang terbesar dari masing pesawat udara
desain adalah pesawat udara A-330 (49.73 cm) dengan konfigurasi sumbu roda DT, meskipun
merupakan pesawat udara kedua terberat setelah B747-300. Pesawat udara yang memiliki
MTOW terbesar yaitu B747-300 membutuhkan tebal perkerasan lebih kecil (42.83 cm)
dibandingkan dengan pesawat udara A330. Yang menarik dari hasil perhitungan adalah
pesawat udara MD-83. Pesawat udara MD-83 justru lebih menentukan dibandingkan B747-
300. Tebal perkerasan yang diperlukan MD83 adalah 42.96 cm (konfigurasi sumbu roda D)
walaupun annual departure tidak terlalu signifikan. Sedangkan pesawat udara yang memiliki
annual departure paling besar yaitu pesawat udara B737-200 dengan konfigurasi sumbu roda
D, tebal perkerasan yang diperlukan 35.46 cm. Perbedaan ini disebabkan karena metoda
ICAO menganggap jalur lintasan untuk masing-masing pesawat udara adalah sama atau
dengan kata lain metoda ICAO tidak memperhatikan jalur lintasan pesawat udara.
Analisis lebih lanjut menunjukkan, bahwa jika desain perkerasan yang diinginkan
adalah sama dengan desain perkerasan di Bandar Udara Juanda, Surabaya (tebal struktur
49
perkerasan adalah 45 cm), maka hasil desain perkerasannya dapat dilihat pada Tabel IV.8 dan
Tabel IV.9. Tabel IV.8 terlihat desain perkerasan diperoleh 45 cm, dengan cara nilai k
ditingkatkan menjadi 134 MN/m3 atau modulus rupture (MR90) ditingkatkan dari 4.859
menjadi 5.534 MPa.
Tabel IV.8 Desain perkerasan dengan perubahan MR90 dan k (Fk = 1.36)
Tabel IV.9 memperlihatkan perubahan faktor keamanan (Fk) dari 1.36 menjadi 1.20 jika
desain pekerasan yang dinginkan 45 cm sesuai dengan data desain.
Seperti terlihat pada Tabel IV.10, bahwa metoda ICAO untuk desain perkerasan
mengggunakan faktor keamanan 1.20. Faktor keamanan 1.20 sesuai dengan data desain yaitu
nilai k = 80 MN/m3 dan MR90 = 4.859 MPa. Hasil desain perkerasan menggunakan metoda
ICAO menunjukkan, bahwa pesawat udara A-330 merupakan pesawat udara desain yang
memerlukan tebal paling besar dan tegangan lentur terbesar.
Kurva desain pada Gambar IV.10 digunakan untuk critical pavement area. Kurva desain
lebih lengkap diberikan di lampiran F. Hasil desain perkerasan diperlihatkan pada Tabel
IV.11.
52
Tabel IV.11 Ringkasan hasil desain perkerasan metoda FAA (Fk = 1.13)
Tabel IV.11 menunjukkan bahwa pesawat udara A330 dengan gear type dual tandem
menghasilkan tebal yang paling tebal dibandingkan dengan jenis pesawat udara lainnya.
Desain struktur perkerasan kaku dengan metoda FAA, diperoleh pesawat udara desain adalah
pesawat udara A-330 dengan tebal 45 cm dengan faktor keamanan 1.13 dan tegangan lentur
2,951 MPa.
Tabel IV.12 Ringkasan hasil desain perkerasan metoda PCA dengan faktor keamanan (1.36)
Terlihat pada Tabel IV.12, bahwa total kerusakan terbesar (88.024%) dan masa layan kritis
terkecil (n = 22.721 tahun) dihasilkan pada jalur lintasan roda A-330. Hasil ini berbeda
dengan perkiraan awal yang biasa dibuat, bahwa jalur desain kritis terjadi pada jalur lintasan
roda B747-300 yang merupakan pesawat udara terberat (MTOW = 377.8 ton), atau terjadi
pada jalur lintasan roda B737-200 yang merupakan pesawat udara yang paling banyak
beroperasi pada struktur perkerasan ini (volume keberangkatan = 12262 pesawat/tahun).
Namun demikian, hasil ini sebenarnya tetap konsisten dengan teori kerusakan retak lelah
yang didasarkan pada tegangan lentur, karena pesawat udara desain A-330 ternyata
memberikan tegangan lentur yang paling besar (σL = 2.468 MPa). Sedangkan, tegangan
lentur yang diakibatkan oleh pesawat udara B747-300 dan B737-200 masing-masing adalah
1.890 MPa dan 1.281 MPa. Dengan kata lain, perkiraan jalur desain kritis dapat juga
didasarkan pada tegangan lentur terbesar yang mungkin terjadi di dalam struktur perkerasan.
Data berat total (MTOW) dan data volume keberangkatan tahunan (annual departure)
pesawat udara, langsung dapat diketahui pada saat awal proses desain, sedangkan tegangan
lentur yang terjadi di dalam struktur perkerasan baru dapat diketahui setelah proses desain
dilakukan. Oleh karena itu, sebagai alternatif, perkiraan jalur desain kritis dapat dilakukan
terlebih dahulu berdasarkan data beban pada masing-masing roda pesawat udara sebagai
ganti dari data berat total pesawat udara (MTOW) yang sebelumnya biasa digunakan. Juga
terlihat pada Tabel IV.12, bahwa perbedaan masa layan kritis (n) pada jalur lintasan roda
54
rata-rata dari keempat pesawat udara berbadan lebar (B747-300, B767-200, A-330 dan
A-310) yang memiliki konfigurasi sumbu roda DDT atau DT terlihat tidak terlalu besar.
Masa layan kritis pada jalur lintasan roda rata-rata dari pesawat udara besar lainnya dengan
konfigurasi sumbu roda D atau S, relatif jauh lebih besar dan tidak menentukan.
Analisis beban lalu lintas pesawat udara campuran harus dilakukan, khususnya jika jenis
pesawat udara berbadan lebar (wide body) yang diperkirakan akan beroperasi lebih bervariasi
dan volume pergerakannya masing-masing relatif besar. Selain itu, analisis beban lalu lintas
pesawat udara campuran dapat lebih detail dalam menentukan posisi jalur desain kritis,
seperti diperlihatkan pada Gambar IV.10, kurva kerusakan retak lelah dihitung untuk setiap
pertambahan 1 cm jalur lintasan roda pesawat udara. Terlihat pada Gambar IV.11, bahwa
posisi jalur desain kritis (SL = 1066 cm) tidak tepat sama dengan posisi jalur lintasan roda
rata-rata dari pesawat udara desain A-330 (SL = 1070 cm). Pergeseran jalur desain kritis ini
sekali lagi mencerminkan pengaruh dari beban lalu lintas pesawat udara campuran terhadap
kerusakan struktur perkerasan yang terjadi.
Pengaruh dari masing-masing jenis pesawat udara terhadap kerusakan struktur perkerasan
pada jalur desain kritis diperlihatkan secara rinci pada Gambar IV.12 yang diplotkan
bersamaan dengan data volume keberangkatan tahunan. Pengaruh dari pesawat udara desain
A-330 terlihat sangat dominan (97.52 %). Sedangkan, pengaruh dari pesawat udara
55
B737-200 yang paling banyak beroperasi pada struktur perkerasan ini hanya 0.03 % dan
pengaruh dari pesawat udara B747-300 yang terberat juga hanya 1.59 % saja.
Perbedaan tingkat kerusakan struktur perkerasan yang diakibatkan oleh setiap jenis pesawat
udara, selain dipengaruhi oleh volume pergerakan, juga merupakan fungsi dari tegangan
lentur yang terjadi. Pesawat udara B747-300 yang terberat, misalnya, memiliki konfigurasi
sumbu roda DDT sehingga cukup efektif untuk mendistribusikan beban ke masing-masing
roda dan mereduksi tegangan lentur yang terjadi.
Hal menarik lain yang telah dilakukan adalah menganalisis pengaruh dari asumsi nilai LRF
terhadap masa layan kritis struktur perkerasan. Nilai LRF dapat diwakili dengan deviasi
standar (σ) dari distribusi jalur lintasan roda pesawat udara. Masa layan kritis (n = 22.721
tahun) yang telah diperoleh dari contoh desain struktur perkerasan pada Tabel IV.12,
menggunakan nilai σ = 121.92 cm. Memperkecil nilai σ menjadi 60.96 cm akan
memperpendek masa layan kritis menjadi 12.266 tahun saja. Sebaliknya, memperbesar nilai
σ menjadi 243.84 cm akan memperpanjang masa layan kritis menjadi 43.447 tahun. Hasil
analisis ini mengindikasikan, bahwa nilai σ yang biasanya diasumsikan pada saat proses
desain perlu ditinjau kembali di lapangan pada saat kegiatan rutin evaluasi struktur
perkerasan dilaksanakan.
56
Hasil analisis menunjukkan, bahwa faktor keamanan saling berbeda antara metoda ICAO,
FAA dan PCA. Faktor keamanan metoda ICAO 1.20, FAA 1.13 dan PCA 1.36. Faktor
keamanan yang digunakan tersebut menunjukkan hasil desain perkerasan yang sama yaitu 45
cm. Faktor keamanan tidak harus disamakan antara ketiga metoda tersebut karena proses
desain perkerasan saling berbeda. Hasil desain perkerasan untuk ketiga metoda desain dapat
di lihat pada Tabel IV.13.
Seperti terlihat pada Gambar IV.14, bahwa perubahan nilai k, MR dan pass to coverage ratio
berbanding terbalik terhadap perubahan tebal perkerasan kaku. Peningkatan nilai k, MR dan
pass to coverage ratio hingga 20 % menyebabkan tebal perkerasan kaku menurun, masing-
masing menjadi 0.18, 0.75, 0.22 (%perubahan ketebalan / %perubahan parameter desain).
Sedangkan nilai μ dan E berbanding lurus terhadap tebal perkerasan kaku. Peningkatan
nilai μ dan E hingga 20 % menyebabkan tebal perkerasan kaku meningkat masing-masing
adalah 0.18 dan 0.01 (%perubahan ketebalan / %perubahan parameter desain).
Analisis lebih lanjut, pesawat udara dianalisis terhadap posisi roda pendaratan mulai dari 0
derajat sampai dengan 80 derajat. Hasil putaran roda pesawat udara menghasilkan tegangan
yang terjadi akibat posisi roda tersebut. Hasil hubungan tegangan dan posisi roda pesawat
udara dapat dilihat pada Gambar IV.15.
Gambar IV.15 menunjukkan bahwa tegangan akan makin besar jika posisi roda pendaratan
berada antara 0 derajat sampai dengan 50 derajat, terlihat perubahan tegangan dari 1,596 Mpa
hingga mencapai 1,838 MPa. Tetapi bila putaran sudut roda pendaratan di atas 60 derajat
maka nilai tegangan akan kembali menurun.