Bula DM

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 14

MANIFESTASI DERMATOLOGIS PADA DIABETES

MELITUS

IGAA Dwi Karmila


Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
FK UNUD/RSUP Sanglah Denpasar

Abstract
Diabetes mellitus (DM) is one of the most common chronic
diseases in nearly all countries, and continues to increase in
numbers and significance, as changing lifestyles lead to reduced
physical activity, and increased obesity. Skin disorders are
common in diabetic patients and the prevalence up to 30%. These
manifestations may be summarized in four categories including
dermatologic lesion associated with but not specific for diabetes
mellitus, skin alteration due to diabetic complication, dermatologic
complication of diabetes treatment, dermatoses that are more
common in DM. The manifestations appear during the period of
disease in known cases of DM, but they may also be the first
presentation of the disease or appear many years before the
diagnosis of DM. This article is a brief review of clinical features,
patophysiology and general management of several cutaneous
manifestations in diabetic patients.

Abstrak
Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit kronis yang
paling sering terjadi di hampir semua negara dan prevalensinya
terus meningkat seiring dengan perubahan gaya hidup seperti
kurangnya aktivitas fisik dan meningkatnya obesitas. Kelainan
kulit sering terjadi pada pasien diabetes dan prevalensinya
mencapai hingga 30%. Manifestasi tersebut dapat dirangkum
dalam empat kategori termasuk lesi kulit berhubungan dengan DM
namun tidak spesifik, perubahan kulit akibat komplikasi diabetes,
komplikasi dermatologis dari pengobatan diabetes dan dermatosis
yang lebih sering terjadi pada DM. Manifestasi kulit dapat terjadi
selama perjalanan DM itu, dapat juga merupakan tanda awal
penyakit
maupun telah muncul beberapa tahun sebelum diagnosis DM.
Artikel ini membahas gambaran klinis, patofisiologi dan
manajemen umum dari beberapa manifestasi kulit pada pasien-
pasien diabetes.

Pendahuluan
Prevalensi Diabetes melitus (DM) di seluruh dunia terus meningkat
dari tahun ke tahun baik itu di negara berkembang maupun negara
maju.1 Dari data epidemiologis prevalensi DM sebesar 1,5 – 2,3%
pada penduduk yang usia lebih dari 15 tahun dengan prevalensi di
daerah pedesaan lebih rendah daripada di daerah perkotaan di
Indonesia. Hasil RISKESDAS oleh Depkes pada tahun 2007,
mendapatkan jika prevalensi DM di Indonesia mencapai 5,7% dan
meningkat menjadi 6,9% pada tahun 2013. 2 Tingginya prevalensi
DM juga didapatkan di Bali mencapai 5,9%.
Diabetes melitus dapat disebut juga disebut silent killer
sebab penyakit ini dapat menyerang beberapa organ tubuh dan
mengakibatkan berbagai macam keluhan. Sebagian besar dari
pasien DM tidak memperhatikan perawatan kesehatan untuk
dirinya sendiri padahal komplikasi DM sudah dimulai sejak dini
sebelum diagnosis ditegakkan dan deteksi dini serta penanganan
secara dini akan memperbaiki kualitas hidup pasien. Sebanyak
30% - 70% pasien dengan diabetes melitus terdeteksi adanya
keterlibatan kulit selama perjalanan penyakit kronis ini yang
dipengaruhi oleh mikrovaskular kulit pada DM. 3
Hampir semua pasien dibetes mempunyai keluhan atau lesi
di kulitnya yang berkaitan dengan kondisinya.4 Perubahan kulit
pada pasien DM dapat terjadi sebelum diagnosis DM ditegakkan
dan relevan dengan penyakit DM. Ataupun manifestasi kulit yang
terjadi dalam perjalanan penyakit DM yang berhubungan dengan
komplikasi DM atau oleh karena efek samping dari terapi
antidiabetes.5 Beberapa kondisi kulit pada pasien DM adalah akibat
langsung perubahan metabolik seperti hiperglikemia dan
hiperlipidemia. Kerusakan progresif vaskular, neurologis, atau
sistem kekebalan tubuh juga berkontribusi secara signifikan
terhadap manifestasi kulit.3
Patofisiologi terjadinya kelainan kulit pada DM
Perubahan kulit pada DM dapat melalui berbagai patomekanisme.
Pada sebuah studi invitro memperlihatkan bahwa DM memberi
efek negatif pada setiap parameter sel tidak hanya secara langsung
melalui kadar glukosa patologis, akan tetapi juga secara tidak
langsung yaitu terbentukny advanced glycation end products
(AGEs). Advanced glycation end products berinteraksi dengan dan
mempengaruhi fungsi biologis sejumlah protein intra dan ekstra
seluler seperti kolagen tipe 1, superoksida dismutase 1 atau
reseptor epidermal growth factor. AGEs juga mengaktifasi sitokin
proinflamasi yaitu nuclear factor KB (NF-KB). Kadar glukosa
patologis sebagaimana AGEs menyebabkan peningkatan stress
oksidatif intraseluler, termasuk pembentukan reactive oksigen
species (ROS).4,5
Kadar glukosa patologis tidak hanya menghambat
proliferasi, migrasi dan biosintesis protein pada keratinosit dan
fibroblast, hal tersebut juga menyebabkan apoptosis sel endotel dan
menghambat sintesis nitrat oksida dengan menghambat enzim
nitrat oksida sintetase (NO), sehingga menyebabkan vasodilatasi in
vivo. Selanjutnya, kadar glukosa patologis menekan kemotaksis
dan fagositosis pada berbagai tipe sel sistem imun alamiah. 5
Patomekanisme yang digarisbawahi diatas menyebabkan
mikro dan makroangiopati, yang selanjutnya menyebabkan
hipoksia jaringan dan kerusakan saraf, konsekuensinya adalah
neuropati diabetic, menyebabkan penurunan nosisepsi, kerentanan
terhadap trauma eksogen, penurunan sirkulasi, anhidrosis dan
xeroderma.5
Tidak ada klasifikasi yang khusus untuk manifestasi kulit
yang ditemukan pada DM, beberapa penulis
mengklasifikasikannya sebagai berikut: I. Manifestasi dermatologis
yang berhubungan dengan DM tetapi tidak spesifik pada DM yaitu
Necrobiosis lipoidica, dermopati diabetik, acanthosis nigricans
dan bula diabetik, skleredema diabetikorum. II. Lesi kulit yang
berhubungan dengan komplikasi diabetes: diabetic foot, infeksi
kulit yang berhubungan dengan diabetes, xantomatosis dan
xantelasma. III.
Kondisi kulit yang berhungan dengan pengobatan diabetes. IV.
Kondisi lain yang sering terjadi pada DM yaitu vitiligo, liken
planus, Disseminated Granuloma Annulare.3,6

I. Lesi Kulit yang berhubungan dengan DM tetapi tidak


spesifik pada DM
1. Necrobiosis lipoidica
Pemberian nama Necrobiosis lipoidica (NL) setelah ditemukanb
hasil histologi yang karakteristik dan pertama kali ditemukan pada
pasien DM, akan tetapi tidak semua Necrobiosis lipoidica
berhubungan dengan DM.4
Penyakit ini adalah salah satu penanda dari diabetes yang
bermanifestasi di kulit,kejadiannya sangat jarang hanya terjadi
pada 1% dari penderita DM dan lebih sering pada wanita.3 Dari
171 pasien NL di Mayo klinik, 75% diketahui DM saat diagnosis
NL ditegakkan dan 5-10% intoleran glukosa. Sebaliknya,
prevalensi NL hanya 0,3-3% dengan DM.4
Secara klinis ditandai dengan makula atau plak berwarna
kuning kecoklatan di regio pretibial anterior, berbatas tegas dan
tidak nyeri, dengan atrofi epidermal dan bagian tepi lesi ada
peninggian dan eritema. Lesi NL yang fase awal berupa papul atau
nodul yang menyerupai sarkoid atau granuloma anulare. Pada fase
lanjut, lesi papul atau nodul menjadi datar dan bagian tengan
berwarna kuning serta atrofi dan terlihat ada telangiektasis. Selain
tulang kering, lokasi predileksi lain termasuk pergelangan kaki,
betis, paha, dan kaki.4 Sebagian besar lesi NL asimtomatik, dengan
perjalanan penyakit yang lambat, dan 20% dari kasus akan
mengalami remisi spontan. Akan tetapi Sebanyak 13%-35% dapat
mengalami komplikasi ulserasi.6
Gb. 1. Necrobiosis lipoidica, plak berwarna
kuning kecoklatan, single, dengan telangiektasia dan atropi pada
pasien DM.

Pemeriksan histopatologis tampak degenerasi kolagen yang


dikelilingi reaksi granuloma, penebalan dinding pembuluh darah
dan deposisi lemak.3,4
Pengobatan pada kasus ini belum ada yang memuaskan,
walaupun beberapa kasus dilaporkan perbaikan dengan injeksi
glukokortikoid intralesi. Kortikosteroid topikal dan intralesi dapat
mengurangi inflamasi pada NL fase awal. Penanganan DM yang
terkontrol tidak berhubungan dengan perbaikan penyakit ini. Perlu
diingat akan pentingnya perawatan NL pada fase awal guna
mencegah ulserasi.4

2. Dermopati diabetes
Prevalensi dermopati diabetes atau “shin spot” pada pasien DM
rawat jalan bervariasi. Penelitian di Swedia, dermopati diabetes
ditemukan pada 33% pasien DM tipe 1 dan 39% pada pasien DM
tipe 2.4 Dermopati diabetes lebiih sering pada pasien dg DM dan
pada laki-laki.7 Penelitian yang dilakukan pada 173 pasien DM,
insiden “shin spots” berkorelasi dengan durasi diabetes dan
retinopati, nefropati serta neuropati. 4
Gb. 2. Dermopati diabetes dengan
makula hiperpigmentasi di area pretibial.

Secara klinis ditandai dengan lesi atropi atau scar-like macula


berwarna merah kecoklatan dengan ukuran < 1 cm di area pretibial,
dan asimtomatis. Lesi akan membaik dalam 1-2 tahun dengan
masih meninggalkan atropi dan hipopigmentasi. 4 Tidak ada terapi
yang efektif untuk dermopati diabetes. DM yang terkontrol dan
dermopati diabetes tidak berkorelasi.3

3. Acanthosis nigricans
Acanthosis nigricans (AN) merupakan manifestasi dermatologis
pada DM yang paling mudah dikenal dan kebanyakan kasus
berhubungan dengan obesitas dan resisten insulin tipe A dan pada
beberapa kasus berhubungan dengan peningkatan produksi
androgen. Prevalensi Acanthosis nigricans bervariasi pada berbagai
ras, lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika yaitu 13% dan Hispanik
5%.4
Acanthosis nigricans pada wanita dengan hiperandrogen
dan resistensi insulin dapat ditemukan adanya kerusakan fungsi
resptor insulin atau adanya antibodi resptor anti insulin. Stimulasi
growth factor yang berlebihan pada kulit menyebabkan proliferasi
yang tidak normal dari keratinosit dan fibroblas adalah dasar dari
fenotip AN.4
Ditandai dengan papilomatosis berwarna coklat atau kehitaman
disertai penebalan kulit dengan permukaan seperti beludru.4,8
Distribusi simetris di daerah lipatan dan lekukan tubuh terutama di
leher, aksila, umbilikus, areola, siku, pangkal paha. 4 Kadang dapat
ditemukan lesi pada punggung tangan disebut “tripe hands” yang
berkaitan dengan lesi AN pada lokasi tubuh lain. Akrokordon atau
skin tag sering tumbuh di lokasi AN.3

Dalam penanganan AN, mengurangi berat badan membantu


proses penyembuhan. Sebagai terapi tambahan juga diberikan
metformin oleh karena resisten terhadap insulin, tetapi efek
langsung dari terapi ini untuk AN belum terbukti. Pemberian
topikal yaitu urea, calsipotriol, asam salisilat, retinoid sangat
membantu untuk memperbaiki lesi AN.3,4

4. Bula diabetik
Bula diabetik atau bulosis diabetikorum adalah manifestasi kulit
yang jarang pada DM, hanya terjadi sekitar 0,2%-0,5% dari pasien.
Bula yang muncul secara spontan di area ekstremitas bawah dan
tidak ada riwayat trauma atau infeksi sebelumnya. Bula diabetik
berdinding tegang dengan ukuran 0,5-3 cm tanpa inflamasi di kulit
sekitarnya yang terjadi secara akut dan tidak nyeri. Bula diabetik
mempunyai karakteristik rekuren yang terutama terjadi pada DM
usia lanjut.3,4
Patogenesis bula diabetik belum diketahui. Diperkirakan
kulit yang rapuh pada DM berperan pada bula diabetik yaitu
pembentukan AGEs pada pasien DM. Pemeriksaan histopatologi
memperlihatkan ada celah subepidermal, dengan sel-sel
nonakantolitik intraepidermal.4 Bula diabetik adalah suatu kondisi
yang dapat membaik atau menyembuh tanpa pengobatan biasanya
dalam 2-4 minggu. Antibiotik topikal dapat diberikan pada lesi
bula yang besar dan didrainase.9

5. Skleredema diabetikorum

Sklerederma diabetikorum (SD) mengenai 2,5%-14% pasien DM,


yang sebagian besar adalalah DM tipe 2. Kasus SD belum pernah
dilaporkan pada anak-anak. Secara klinis ditandai dengan ditandai
dengan penebalan dan kekakuan dari jaringan subkutan, terdapat
indurasi simetris yang diawali di area punggung atas dan leher
tanpa nyeri. Lesi bisa meluas ke wajah, bahu, dada dan perut. Kulit
tampak seperti kayu dengan gambaran seperti kulit jeruk (peau
d’orange). Pada daerah lesi terjadi penurunan sensasi terhadap
nyeri dan sentuhan halus dan terdapat keterbatasan dari pergerakan
ekstremitas atas dan leher.4
Produksi molekul matriks ekstraselular oleh fibroblas yang
tidak teratur berperan dalam patogenesis skleredema diabetikorum,
sehingga mengakibatkan penebalan dari serat kolagen dan
peningkatan penumpukan dari glikosaminoglikan (GAGs) terutama
asam hialuronat.4
Tidak ada terapi yang efektif untuk SD dan sering tidak
disadari oleh pasien. Pada kondisi SD yang berat berkaitan dengan
DM tipe 2 yang tidak terkontrol, akan tetapi pengobatan pada DM
tidak mempengaruhi SD.3
II. Lesi kulit yang berhubungan dengan komplikasi diabetes
1. Diabetic foot
Pada DM dapat terjadi komplikasi jangka pendek maupun jangka
panjang, dengan risiko terjadinya ulkus diabetes 15-25%.
Diagnosis awal adanya resiko tinggi diabetic foot dan ketepatan
penanganan akan mencegah terjadinya ulkus dan meningkatkan
kwalitas hidup pasien.10 Diabetic foot adalah lesi pada kaki yang
patologis sebagai dampak langsung dari DM atau merupakan
komplikasi dari DM. Terjadinya masalah kaki dipengaruhi oleh
“diabetic triad” yaitu neuropati, vaskulopati (iskemia) dan
imunopati (infeksi).3
Neuropati biasanya merupakan titik awal pada
perkembangan kaki diabetes (60-70%). Pada kaki diabetes
biasanya terjadi penyakit vascular perifer 15-20% (peripheral
vascular disease=PAD) pada pembuluh darah besar dan sedang
serta terjadi mikroangiopati pada arteriol terminal. 10
Diawali dengan terbentuknya kalus pada area yang
mendapat tekanan kemudian terjadi nekrosis dan kerusakan
jaringan melebihi prominen tulang kaki pada telapak kaki atau di
bawah ibu jari. Ulkus yang dikelilingi kalus dan bisa meluas ke
sendi dan tulang di bawahnya
hingga terjadi komplikasi infeksi jaringan lunak dan osteomielitis. 3
Penatalaksaan komplikasi kaki diabetes memerlukan pendekatan
yang komprehensif, yaitu: A.Penanganan terhadap luka kaki
diabetes yaitu perawatan luka dan debridemen secara berkala, B.
Kontrol terhadap faktor metabolik Meliputi penanganan terhadap
hiperglikemianya, kelainan komorbid/penyerta yang lain, C.
Mengatasi adanya infeksi. Mencegah komplikasi adalah hal yang
paling penting dengan cara inspeksi kaki dan sela jari tiap hari,
mencegah friksi atau tekanan dan terbentuk kalus dengan pemakain
alas kaki yang tepat.

2. Eruptive Xanthomas
Manifestasi klinis dari xantomatosis berupa papul-papul merah
kekuningan yang berukuran 1 sampai 4 mm berlokasi pada bokong
atau permukaan ekstensor pada ektremitas. Lesi ini sering
berkelompok dan membentuk plak.
Pada DM yang tidak terkontrol dan hipertrigliserid terdapat
peningkatan level trigliserid yang mengakibatkan berkurangnya
aktivitas lipoprotein lipase serta kilomikron dan VLDL (very low
density lipoprotein) yang berhubungan dengan erupsi xanthoma.
Pemeriksaan histopatologi, tampak infiltrasi makrofag yang berisi
lipid di dermis. Tidak seperti bentuk xantoma yang lain, tetapi
tampak foam cell yaitu makrofag yang lebih didominasi trigliserida
daripada kolesterol ester. Pengobatannya adalah dengan
mengontrol kadar trigliserida dalam darah, diet rendah lemak, dan
mengontrol kadar gula darah.

3. Infeksi kulit yang berhubungan dengan diabetes


Infeksi kulit terjadi pada 20-50% pasien DM dan prevalensinya
lebih tinggi pada pasien DM yang tidak terkontrol dan DM tipe 2.
Gula darah yang tidak terkontrol
akan meningkatkan risiko infeksi oleh karena mikrosirkulasi yang
tidak normal, berkurangnya fagositosis, terpengaruhnya fungsi
leukosit, dan perlambatan kemotaksis.

3.1. Infeksi jamur


Infeksi kandida bisa sebagai indikator awal dari DM yang belum
terdiagnosis. Infeksi Mukokutaneus oleh karena spesies Candida
seperti thrush, ceilitis angular, balanopostitis kandida,
vulvovaginitis dan paronikia begitu juga kandidiasis intertriginosa
merupakan infeksi jamur yang sering terjadi pada pasien DM.6
Infeksi dermatofita yaitu tinea pedis dan onikomikosis merupakan
salah satu infeksi yang signifikan terjadi pada DM. Neuropati
diabetes pada ekstremitas bawah sebagai lingkungan yang ideal
untuk infeksi dermatofita, memungkinkan tinea pedis yang ringan
menjadi meluas. Tinea pedis interdigitalis paling sering dibarengi
infeksi sekunder karena ada fisura dan cracks.7 Penanganan untuk
kandidiasis dan dermatofitosis pada pasien DM tidak berbeda
dengan prinsip terapi pada pasien non DM, akan tetapi perlu
perhatian untuk perawatan kulit kering dan kuku secara rutin dan
yang paling penting adalah level gula darah dikontrol. Jika perlu
pengobatan segera dan secara agresif untuk mencegah infeksi
sekunder.3,4

3.2. Infeksi bakteri


Pada pasien-pasien DM infeksi kulit sering terjadi dengan keadaan
yang lebih berat dan risiko komplikasi yang lebih besar.
Staphylococcus aureus dan Streptococcus hemolyticus group A
sebagai bakteri yang paling sering sebagai penyebab infeksi kulit
pada pasien DM. Impetigo, folikulitis, furunkulosis, karbunkel,
ektima, selulitis dan erisipelas adalah diagnosis pioderma yang
umum pada pasien DM. Isolat Methicillin-resistant Staphylococcus
aureus (MRSA)
sebagai penyebab selulitis dan erisipelas yang sering terisolasi pada
pasien DM.3 Eritrasma yang disebabkan oleh Corynebacterium
minutissimum ditandai dengan plak eritema cerah pada area
lipatan, tidak gatal sering didiagnosis pada pasien DM yang
kegemukan.7 Pemeriksaan Lampu Wood membantu dalam
diagnosis dengan floresensi merah bata untuk membedakannya
dengan tinea kruris atau kandidiasis. 3
Diabetes melitus yang tidak terkontrol merupakan salah
satu faktor risiko Necrotizing fasciitis (NF) yaitu infeksi pada
jaringan kulit dan jaringan lunak ditandai proses nekrosis yang
terjadi pada usia 60-70 tahun. Necrotizing fasciitis sering
mengakibatkan infeksi lebih lanjut menjadi sepsis hingga
kegagalan multiorgan. Sebagian besar organisme penyebab dari NF
tidak dapat diisolasi dan multimikrobial sebagai penyebab
tersering. Necrotizing fasciitis memiliki tingkat kematian yang
tinggi sehingga memerlukan pengobatan kombinasi antibiotik,
debridement, dan jika diperlukan dapat dikombinasi dengan
oksigen hiperbarik.3

III. Kondisi kulit yang berhungan dengan pengobatan diabetes


Reaksi kulit yang terjadi akibat obat anti diabetik (OAD) termasuk
makula eritema, urtikaria dan eritema multiforme. Pasien yang
mengkonsumsi tolbutamid dan klorpropamid dapat terjadi
fotosensitivitas. Dari semua OAD, golongan sulfonylurea paling
sering dilaporkan sebagai penyebab reaksi alergi pada kulit.
Sulfonylurea generasi ke-2 (glimepirid, glipizid dan glyburid)
jarang menyebabkan efek samping di kulit dibandingkan agen
generasi pertama.3
Pada lokasi injeksi insulin dapat terjadi lipoatrofi yaitu area
kulit yang tampak cekung berbatas tegas. Hal ini terjadi 6-24 bulan
setelah mulai injeksi insulin, lebih sering pada perempuan dan
anak-anak, dan pada area deposit lemak substansial, seperti paha.
Beberapa teori patogenesis diusulkan termasuk komponen lipolitik
dalam preparat insulin. Perbaikan spontan terjadi setelah menggilir
tempat injeksi dan penggunaan human insulin serta insulin
rekombinan.3
Lipohipertrofi ditandai dengan nodul dermal lunak yang
menyerupai lipomas dapat terjadi pada 20-30% DM tipe 1 dan 4%
pada DM tipe 2. Hal ini sering terjadi pada pemakaian human
insulin, injeksi yang sering kali dalam sehari, pemakaian ulang dari
jarum suntik. Lipohipertrofi diperkirakan sebagai respon dari aksi
lipogenik dari insulin. Sangat penting untuk mengedukasi pasien
DM tentang tehnik injeksi insulin yang benar. 3
Alergi terhadap insulin sangat jarang. Kasus yang pernah
terjadi diantaranya urtikaria, urtikarial vasculitic atau purpuric
urticarial.3

IV. Kondisi lain yang sering terjadi pada DM


1. Granuloma Annulare diseminata merupakan salah satu penyakit
kulit yang jarang, ditandai dengan papul berukuran 1-2 mm atau
nodul. Papulae dapat bergabung membentuk plak anular dengan
central clearing dan bagian tepi yang meninggi. Hubungannya
dengan DM masih kontroversial. Granuloma Annulare diseminata
sulit diterapi dan tidak bisa sembuh spontan. Salah satu modalitas
terapinya adalah photokemoterapi dengan psoralen dan sinar UVA
(PUVA).3
2. Vitiligo merupakan salah satu penyakit autoimun ditandai
dengan makula depigmentasi, terjadi hingga 10 kali lebih sering
pada pasien DM daripada populasi normal. Hal ini terutama terjadi
pada pasien wanita dengan DM tipe 2. Pasien dibetes dengan
insulin-dependent dapat juga terjadi vitiligo yang kemungkinan
berhubungan dengan anti insulin dan autoendocrine autoantibodies
yang lain.3
DAFTAR PUSTAKA
1. Shaw JE, Sicree RA, Zimmet PZ. Diabetes Atlas: Global
Estimated of the Prevalence of Diabetes for 2010 and 2030.
Diabetes Research and Clinical Practice. 2009. 87:4-14.
2. Riskesdas 2007, 2013. Kementrian Kesehatan Indonesia
3. Namazi MR, Yosipovitch G. Diabetes mellitus. In:
Dermatological Signs of Internal Disease. 4th Ed. United
Kingdom: Saunders Elsevier. 2009: 189-198.
4. Kalus AA, Chien AJ, Olerud JE. Diabetes Mellitus and Other
Endocrine Diseases In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, Wolf K, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in
General Medicine. 8th Ed. New York: McGraw-Hill. 2012: 1840-
1868
5. Gkogkolou P, Bohm M. Skin Disorder in Diabetes
Mellitus.JDDG. 2014. 847-864.
6. Al-Mutairi N. Skin Diseases Seen in Diabetes Mellitus. Bull
Kuwait Inst Med Spec. 2006. 5:30-39
7. Parichehr K, Shojaoddiny-Ardekani A. Skin Manifestations of
Diabetes mellitus. Iranian journal of diabetes and obesity. 2012;
4(2): 91-98.
8. Sreedevi C, Car N, Pavlic-Renar I. Dermatologic Lesions in
Diabetes Mellitus. Diabetologia Croatica. 2002. 31(3):147-159.
9. James WD, Berger TG, Elston DM. Other Diabetic Syndromes.
In: Andrews Diseases of the Skin Clinical Dermatology. 10th Ed.
Philadelphia: Elsevier, 2006;540-541.
10. Alavi A, Sibbald RG, Mayer D, Goodman L, Botros M,
Amstrong D, Woo K, Boeni T, Ayello EA, Kirsner RS. Diabetic
Foot Ulcers Part I:Patophysiology and Prevention.J Am Acad
Dermatol. 2014. 70(1): 1.e1-18.

Anda mungkin juga menyukai