Anda di halaman 1dari 42

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium
tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh
badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot-otot
rangka.
Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman
clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara proksimal dan
diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu nampak pada otot
masester dan otot rangka.Tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
toksin kuman clostiridium tetani yang dimanefestasikan dengan kejang otot secara
proksimal dan diikuti kekakuan seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu
nampak pada otot masester dan otot rangka
Clostiridium tetani adalah kuman yang berbentuk batang seperti penabuh
genderang berspora, golongan gram positif, hidup anaerob. Kuman ini mengeluarkan
toksin yang bersifat neurotoksik (tetanus spasmin), yang mula-mula akan
menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya teteanus ini terutama
oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan
perawatan yang salah. Selain diluar tubuh manusia, tersebar luas ditanah. Juga
terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat samapai pada tusuk sate bekas. Basil ini
bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini
dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan
tetanospamin, yaitu toksin yang neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan
spasme otot.
Tetanus terjadi diseluruh dunia dan endemik pada 90 negara yang sedang
berkembang, tetapi insidensinya sangat bervariasi. Bentuk yang paling sering adalah
tetanus neonatorum (umbilicus). Tetanus merupakan penyakit yang sering
ditemukan , dimana masih terjadi di masyarakat terutama masyarakat kelas menengah
ke bawah. Di RS sebagian besar pasien tetanus berusia lebih dari 3 tahun dan kurang

1
dari 1 minggu. Dari seringnya kasus tetanus serta kegawatan yang ditimbulkan, maka
sebagai seorang perawat dituntut untuk mampu mengenali tanda kegawatan dan
mampu memberikan asuhan keperawatan yang tepat.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu membuat asuhan keperawatan  pada klien dengan
ganguan tetanus
2.  Tujuan Khusus
1. Mahasiswa mampu membuat pengkajian pada klien dengan gangguan
tetanus.
2.  Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa pada klien dengan gangguan
tetanus.
3.  Mahasiswa mampu mengimplementasi pada klien dengan gangguan
tetanus.
4.  Mahasiswa mampu mengevaluasi pada klien dengan gangguan tetanus.

1.3 Manfaat
1. Bagi Mahasiswa
Agar mahasiswa mengetahui penyebab penyakit tetanus dan juga
mengimplementasikan cara untuk mencegahnya.
2. Bagi Masyarakat
Agar masyarakat mengetahui bagaimana proses terjadinya penyakit
tetanus serta penyebarannya, dan masyarakat dapat mencegah
terjadinya tetanus dengan mencegah terjadinya luka dengan infeksi
piogenik.
3. Bagi insitusi
Agar makalah ini menjadi refrensi untuk dapat menambah wawasan
tentang bahayanya penyakit tetanus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Tetanus
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang
susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang
dihasilkan oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus
masuk ke dalam tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi
telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini
akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain
tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot
bergaris.
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin
yang dihasilkan oleh Clostridium tetani ditandai dengan spasme otot yang
periodik dan berat. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik
spastik yang disebabkan tetanospasmin. Tetanospamin merupakan
neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani. Tetanus disebut juga
dengan "Seven day Disease ". Dan pada tahun 1890, diketemukan toksin
seperti strichnine, kemudian dikenal dengan tetanospasmin, yang diisolasi dari
tanah anaerob yang mengandung bakteri. lmunisasi dengan mengaktivasi
derivat tersebut menghasilkan pencegahan dari tetanus. (Nicalaier 1884,
Behring dan Kitasato 1890 ).
Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka
pada kulit oleh karena terpotong , tertusuk ataupun luka bakar serta pada
infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum ).
2.2 Etiologi Tetanus
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk
batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um,
termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat
dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.

3
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini
tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam
autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak
kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan sampai
tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi, babi, domba,
anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah menjadi bentuk
vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa antiseptik
Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media kaldu daging dan
media agar darah. Demikian pula dalam media bebas gula karena kuman
tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas
dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni
dan kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui
beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan gejala
berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang. Tetanolisin
menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
2.3 Klasifikasi Tetanus
1. Tetanus Lokal (lokalited Tetanus)
Pada lokal tetanus dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten,
pada daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fixator).
Hal inilah merupakan tanda dari tetanus lokal. Kontraksi otot tersebut
biasanya ringan, bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progressif dan
biasanya menghilang secara bertahap. Lokal tetanus ini bisa berlanjut
menjadi generalized tetanus, tetapi dalam bentuk yang ringan dan jarang
menimbulkan kematian. Bisajuga lokal tetanus ini dijumpai sebagai

4
prodromal dari klasik tetanus atau dijumpai secara terpisah. Hal ini
terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis antitoksin.
2. Cephalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus. Masa
inkubasi berkisar 1 –2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India ), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung.
3. Generalized Tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal. Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering
dijumpai ( 50 %), yang disebabkan oleh kekakuan otot-otot masseter,
bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan terjadinya
kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa Risus Sardonicus
(Sardonic grin) yakni spasme otot-otot muka, opistotonus ( kekakuan otot
punggung), kejang dinding perut. Spasme dari laring dan otot-otot
pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran nafas, sianose asfiksia.
Bisa terjadi disuria dan retensi urine,kompressi frak tur dan pendarahan
didalam otot. Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi
begitupun bisa mencapai 40 C. Bila dijumpai hipertermi ataupun
hipotermi, tekanan darah tidak stabil dan dijumpai takhikardia, penderita
biasanya meninggal. Diagnosa ditegakkan hanya berdasarkan gejala
klinis.

4. Neotal Tetanus
Biasanya disebabkan infeksi C. tetani, yang masuk melalui tali
pusat sewaktu proses pertolongan persalinan. Spora yang masuk
disebabkan oleh proses pertolongan persalinan yang tidak steril, baik oleh
penggunaan alat yang telah terkontaminasi spora C.tetani, maupun
penggunaan obat-obatan Wltuk tali pusat yang telah terkontaminasi.

5
Kebiasaan menggunakan alat pertolongan persalinan dan obat
tradisional yang tidak steril,merupakan faktor yang utama dalam
terjadinya neonatal tetanus. Menurut penelitian E.Hamid.dkk, Bagian
Ilmu Kesehatan Anak RS Dr.Pringadi Medan, pada tahun 1981. ada 42
kasus dan tahun 1982 ada 40 kasus tetanus. Biasanya ditolong melalui
tenaga persalianan tradisional ( TBA =Traditional Birth Attedence ) 56
kasus ( 68,29 % ), tenaga bidan 20 kasus ( 24,39 % ) ,dan selebihnya
melalui dokter 6 kasus ( 7, 32 %) ). Berikut ini tabel. Yang
memperlihatkan instrument Untuk memotong tali pusat.
2.4 Patofisiologi
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui
luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi
bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan
oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi
luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan
produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat.
Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga
ditentukan oleh strain Clostridium tetani. 
2.5 Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan
berbagai cara, sebagai berikut:
1.  Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka,
kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui
sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2.  Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah
sistemik.

6
3.  Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik,
namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui
pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan
beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam
pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan
pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena.
Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena
sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin
bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah,
sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan
saraf pusat.
4.  Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara
retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan
autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus
motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf
inhibitor.
2.6 Manifestasi Klinis
Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus
sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang
disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a. Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka
kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap
disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat
berkembang menjadi tetanus umum.
b. Tetanus sefal

7
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari,
yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis.
Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus
kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum
dan prognosisnya biasanya jelek.
c. Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat
berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada
dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa
sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi
dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran
yang tetap baik.
d. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali
pusat,umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu
yang tidakmendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul
adalahketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh
kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot
punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal.
Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan
mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas
bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari
kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia,
kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
a. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada,
disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
b. Derajat II (sedang)

8
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan
disfagia ringan
c. Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell,
disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
d. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem
kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi,
hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis,
hipovolemia atau penyebab iatrogenik. Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari
ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.
2.7 Komplikasi
Komplikasi tetanus biasanya terjadi akibat perawatan di rumah sakit yang
berlangsung lama. Pasien harus tiduran terus, dipasang kateter untuk membantu
buang air kecil, sehingga dapat terserang infeksi saluran kencing, pneumonia (infeksi
paru) dan luka decubitus (luka di punggung, ataupantat). Dapat terjadi Pneumia
Aspirasi (Infeksi Paru akibat tersedak) sekitar 50-70%. (suaramerdeka.com).
Komplikasi yang berat adalah kematian. Sebagian kematian tetanus terjadi pada
pasien di atas 60 tahun dan pasien yang tidak mendapatkan imunisasi. 
2.8 Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa factor.Jika masa tunas pendek
( kurang dari 7 hari ); usia yang sangatmuda ( neonatus), bila disertai Frekuensi
kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, period of onset yang pendek (jarak antara
trismu dan timbulnya kejang), adanya komplikasi terutama spasme otot pernapasan
dan abstruksi jalan napas, kesemuanya itu prognosisnya buruk. Mortalitas tetanus
masihtinggi; di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta didpatkan angka 80 %
untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus anak. (posyandu.com)
2.9 Penatalaksanaan
A. Umum

9
Tujuan terapi ini berupa mengeliminasi kuman tetani, menetralisirkan
peredaran toksin, mencegah spasme otot dan memberikan bantuan pemafasan sampai
pulih. Dan tujuan tersebut dapat diperinci sbb :
1. Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya, berupa: -membersihkan
luka, irigasi luka, debridement luka (eksisi jaringan nekrotik),membuang
benda asing dalam luka serta kompres dengan H202 ,dalam hal ini
penatalaksanaan, terhadap luka tersebut dilakukan 1 -2 jam setelah ATS
dan pemberian Antibiotika. Sekitar luka disuntik ATS.
2. Diet cukup kalori dan protein, bentuk makanan tergantung
kemampuan membuka mulut dan menelan. Hila ada trismus, makanan
dapat diberikan personde atau parenteral.
3. Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara dan tindakan
terhadap penderita.
4. Oksigen, pernafasan buatan dan trachcostomi bila perlu.
5. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.

B. Obat-Obatan
1. Antibiotika
Diberikan parenteral Peniciline 1,2juta unit / hari selama 10 hari, IM.
Sedangkan tetanus pada anak dapat diberikan Peniciline dosis 50.000 Unit /
KgBB/ 12 jam secafa IM diberikan selama 7-10 hari. Bila sensitif terhadap
peniciline, obat dapat diganti dengan preparat lain seperti tetrasiklin dosis 30-
40 mg/kgBB/ 24 jam, tetapi dosis tidak melebihi 2 gram dan diberikan dalam
dosis terbagi ( 4 dosis ).
Bila tersedia Peniciline intravena, dapat digunakan dengan dosis
200.000 unit /kgBB/ 24 jam, dibagi 6 dosis selama 10 hari. Antibiotika ini
hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani, bukan untuk toksin
yang dihasilkannya. Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika
broad spektrum dapat dilakukan(1,8.10).
2. Antitoksin

10
Antitoksin dapat digunakan Human Tetanus Immunoglobulin ( TIG)
dengan dosis 3000-6000 U, satu kali pemberian saja, secara IM tidak boleh
diberikan secara intravena karena TIG mengandung "anti complementary
aggregates of globulin ", yang mana ini dapat mencetuskan reaksi allergi yang
serius. Bila TIG tidak ada, dianjurkan untuk menggunakan tetanus antitoksin,
yang berawal dari hewan, dengan dosis 40.000 U, dengan cara pemberiannya
adalah : 20.000 U dari antitoksin dimasukkan kedalam 200 cc cairan NaC1
fisiologis dan diberikan secara intravena, pemberian harus sudah diselesaikan
dalam waktu 30-45 menit. Setengah dosis yang tersisa (20.000 U) diberikan
secara IM pada daerah pada sebelah luar.(1.8.9)
3.Tetanus Toksoid
Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama,dilakukan bersamaan
dengan pemberian antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik
yang berbeda. Pemberian dilakukan secara I.M.Anti kejang (antikonvulsan)

1. Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-


mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max. 200mg/hari).
2. Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg
BB.

3. Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam.

C. BAYI
1. Pemberian saluran nafas agar tidak tersumbat dan harus dalam keadaan
bersih.
2. Pakaian bayi dikendurkan/dibuka.
3. Mengatasi kejang dengan cara memasukkan tongspatel atau sendok yang
sudah dibungkus kedalam mulut bayi agar tidak tergigit giginya dan
untuk mencegah agar lidah tidak jatuh kebelakang menutupi saluran
pernafasan.
4. Ruangan dan lingkungan harus tenang

11
5. Bila tidak dalam keadaan kejang berikan ASI sedikit demi sedikit, ASI
dengan menggunakan pipet/diberikan personde (kalau bayi tidak mau
menyusui).
6. Perawatan tali pusat dengan teknik aseptic dan antiseptic.
7. Selanjutnya rujuk kerumah sakit, beri pengertian pada keluarga bahwa
anaknya harus dirujuk ke RS
2.9Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
1. Darah
a. Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
b. BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan
indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi
kejang kalium (normal 3,80-5,00 meq/dl).
2. Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan
adanya lesi.
3. EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak
yang utuh untuk mengetahui focus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.

2.10Diagnosis Tetanus

Diagnosis tetanus dapat diketahui dari pemeriksaan fisik pasien


sewaktuistirahat, berupa :
1. Gejala klinik : Kejang tetanic, trismus, dysphagia, risus
sardonicus( sardonic smile ).
2. Adanya luka yang mendahuluinya. Luka adakalanya sudah dilupakan.
3. Kultur: C. tetani (+).
4. Lab : SGOT, CPK meninggi serta dijumpai myoglobinuria.

12
BAB III
WOC TERLAMPIR

13
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 AskepUmum
3.1.1 Pengkajian
1. Identitas pasien : nama, umur, tanggal lahir, jenis kelamin, alamat, tanggal
masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik, rencana terapi
2. Keluhan utama. Keluhan utama yang sering menjadi alasan kien atau orang
tua membawa anaknya untuk meminta pertolongan kesehatan adalah panas
badan tinggi, kejang, dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat kesehatan.
a. Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting di ketahui karena untuk
mengetahui predisposisi penyebab sumber luka. Disini harus di tanya dengan
jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau
bertambah buruk. Keluhan kejang perlu mendapat perhatian untuk di
lakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat timbulnya kejang,
stimulus apa yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan apa yang telah
di berikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut.
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran di
hubungkan dengan toksin tetanus yang mengimplamasi jaringan otak.
Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan
penyakit, dapat terjadi letargi, tidak responsip, dan koma.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah di alami klien yang memungkinkan
adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi
pernah kah klien mengalami tubuh terluka dan luka tusuk yang dalam
misalnya tertusuk paku, pecahan kaca, terkenaa kaleng, atau luka yang
menjadi kotor; karena terjatuh di tempat yang kotor dan terluka atau
kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu/kotoran juga luka bakar dan
patah tulang terbuka. Adakah porte d’entree lainnya seperti luka gores yang

14
ringan kemudian menjadi bernanah dan gigi berlubang di koreng dengan
benda yang kotor.
c. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang di gunakan klien juga penting untuk
menilai respon emosi klien terhadap penyakit yang di deritanya dan
perubahan peran klien dalam keluarga dan mesyarakat seerta respon atau
pengaruh dalam kehidupan sehari hari baik dalam keluarga atau masyarakat.
Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan
kecacatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra
tubuh). Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini
memberi dampak pada ststus ekonomi klien, karena biaya perawatan dan
pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit.
Pada pengkajian pada klien anak perlu di perhatikan dampak
hospitalisasi pada anak dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan
terhadap tindakan invasif yang sering dilakukan untuk mengurangi keluhan,
hal ini memberi dampak stress pada anak dan menyababkan anak kurang
kooperatif terhadap tindakan keperwatan dan medis.
Pengkajian psiko-sosial yang terbaik di laksanakan saat obsefasi anak
anak bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering
kali tidak mampu mengekspresikan perasaan mereka dan cenderum
memperlihatkan masalah mereka melalui tingkah laku.
4.1.2 Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamesis yang mengarah pada keluhan klien,
pemriksaaan fisik sangat berguna untuk mendukung dari pengkajian anamesis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus
pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (Brain) yang terarah dan di
hubungkan dengan keluhan keluhan dari klien.
Pada klien tetanus biasanya di dapatkan peningkatan suhu tubuh lebih
dari normal 38-40 0C. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses

15
implamasi dan toksin tetanus yang sudah mengganggu pusat pengatur suhu
tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubungan penurunan perfusi jaringan
otak. Apabila disertai peninhkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan
dengan peningkatan laju metabilisme umum. TD biasanya normal.
a. B1 (Breathing)
Inspeksi apakah klien batuk, prodoksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan
yang sering didapatkan pada klien tetanus yang disertai adanya ketidak
efektifan bersihan jalan nafas. Palpasi thorak didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi nafas tambahan
seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan
kemampuan batuk yang meurun.
b. B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan syok hipovelemik
yang sering terjadi pada klien tetanus. TD biasnya normal, peningkatan
heart rate, adanya anemis karena adanya hancurnya eritrosit.
c. B3 (brain)
Pengkajian B3 merupakan pemriksaan fokus dan lebih lengkap di
bandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1. Tingkat kesadaran (GCS) : Kesadaran klien biasanya kompos
mentis. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien tetanus
mengalami penurunan pada tingkat letargi, stupor, dan
semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma maka
penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran
klien dan bahan evaluasi untuk monitoring pemberian asuhan.
2. Fungsi serebri, Status mental: obsevasi penampilan klien dan
tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien dan observasi ekspresi
wajah dan aktifitas motorik yang pada klien tetanus tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
3. Pemeriksaan saraf kranial

16
1. Saraf I. Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan dan
fungsi penciuman tidak ada kelainan.
2. Saraf II. Tes ketajaman pengelihatan pada kondisi normal
3. Saraf III,IV,VI. Dengan alasan yang tidak di ketahui, klien
tetanus mengeluh mengalami fotophobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya. Respons kejang umum akibat
stimulus rangsang cahaya perlu di perhatikan perawat untuk
memberikan intervensi menurunkan stimulus cahaya
tersebut.
4. Saraf V. Refleks masester menigkat. Mulut mencucu seperti
mulut ikan (ini adalah gejala khas pada tetanus).
5. Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah
simetris.
6. Saraf VIII. Tidak di temukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi
7. Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesukaran
membuka mulut (trismus).
8. Saraf XI. Di dapatkan kaku kuduk. Ketegangan otot rahang
dan leher (mendadak)
9. Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan
tidak ada pasikulasi. Indra pengecapan normal.
4. System motorik : Kekuatan otot menurun, control keseimbangan dan
kordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan.
5. Pemeriksaan reflek :Pemeriksaan reflek dalam, pengetukan pada tendon,
ligamentum, atau periusteum derajat reflek pada respon normal.
6. Gerakan involunter : Tidak ditemukan adanya tremor, Tic dan distonia.
Pada keadaan tertentu klien mengalami kejang umum, terutama pada anak
yang tetanus disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. Kejang
berhubungan sekunder akibat area fokal kortikal yang peka.

17
7. System sensori : Pemeriksaan sensorik pada tetanus biasanya di dapatkan
perasaan raba normal, perasaan nyeri normal. Perasaan suhu normal.
Tidak ada perasaan abnormal di permukaan tubuh. Perasaan proprioseftif
normal dan perasaan diskriminatif normal.
d. B 4 (BLADER)
Penurunan volume haluaran urin berhubungan dengan penurunan perpusi dan
penurunan curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urin karena kejang umum.
Pada klien yang sering kejang sebaiknya pengeluaran urine dengan
menggunakan kateter.
e. B 5 (BOWEL )
Mual sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam
lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan
adanya kejang, kaku dinding perut (perut papan) merupakan tanda khas dari
tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan BAB.
f. B 6 (BONE)
Adanya kejang umum sehingga mengganggu mobilitas klien dan menurunkan
aktivitas sehari-hari. Perlu dikaji apabila klien mengalami patah tulang
terbuka yang memungkinkan por de entrée kuman Clostridium tetani ,
sehingga memerlukan perawatan luka yang optimal. Adanya kejang
memberikan resiko pada praktur pertibra pada bayi, ketegangan, dan spasme
otot pada abdomen.
4.1.3 Analisa Data
Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS : Invasi Kuman ke otot Bersihan Jalan Napas tidak
1. Klien mengatakan terasa Otot Pernapasan Terserang/ Efektif
sakit dan pegal-pegal spasme Laring
serubuh tubuh Rangsangan air liur ++
2. Klien mengatakan tidak Kekakuan pada Mulut dan
bisa atau sulit menelan Lidah sulit menelan
DO: Jalan napas tidak efektif

18
1. Sekresi pada mulut ++ Bersihan jalan napas tidak
2. Pernapasan spontan dan efektif
ngorok
3. Pemeriksaan paru Rh -/-,
Wh -/-
4. RR 24x / menit
DS : - Invasi Kuman ke otot Gangguan Pola Napas
DO : Otot Pernapasan Terserang/
1. Napas Pasien tidak teratur spasme Laring
Pola napas terganggu
DS: Pembuluh darah/jaringan Peningkatan Suhu Tubuh
1. Pasien mengeluh lemas terinfeksi (Hipertermia)
DO: Respon inflamasi tubuh
1. Muka dan dada hipertermi
berkeringat, suhu akral
hangat
2. Suhu tubuh >36,5, nadi 96
x/ menit takikardia
DS : Invasi Kuman ke otot Pemenuhan Nutrisi Kurang
1. Pasien mengeluh Otot pengunyah kaku dari Kebutuhan Tubuh
mulutnya kaku Ketidak mampuan untuk
2. Pasien mengeluh kesulitan mengunyah makanan
untuk mengunyah Pemenuhan nutrisi kurang
DO :
1. Pasien kesulitan untuk
mengunyah
2. Pasien tidak bisa
menghabiskan
makanannya
DS: - Pasien Kejang Risiko Terjadi Cedera
DO: Pasien tidak mampu

19
1. Pasien tampak kejang- mempertahankan posisi
kejang tubuhnya
2. Tonus otot tak terkendali Resiko jatuh/ cedera
3. Terjadi peningkatan tonus
otot
DS : Invasi Kuman ke otot Defisit volume cairan cairan
1. Pasien mengeluh Otot mengalami kekakuan dan elektrolit
mulutnya kaku Menurunnya keinginan untuk
2. Pasien mengeluh malas minum
untuk minum
DO :
1. Intake cairan pasien
kurang dari kebutuhan
DS : Situasi Kritis penyakit Kurangnya pengetahuan
1. Keluarga mengatakan tetanus klien dan keluarga
tidak tahu harus Keluarga kurang mendapat
bagaimana saat melihat informasi tentang penyakit
pasien menderita Kurang pengetahuan
2. Keluarga menanyakan Menaknisme koping
terus tentang kondisi inadekuat
pasien cemas
DO :
1. Keluarga tampak
menangis dan bingung
2. Keluarga banyak bertanya

4.1.4 Diagnosa Keperawatan


1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum pada trakea dan spame otot pernafasan.
2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat
spasme otot-otot pernafasan.

20
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efek toksin
(bakterimia)
4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan
kekakuan otot pengunyah
5. Risiko terjadi cedera berhubungan dengan sering kejang
6. Defisit volume cairan cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake
yang kurang dan oliguria
7. Kurangnya pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit tetanus dan
penanggulangannya berhbungan dengan kurangnya informasi.

4.1.5 Intervensi Keperawatan


1. Kebersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan
sputum pada trakea dan spame otot pernafasan, ditandai dengan ronchi, sianosis,
dyspneu, batuk tidak efektif disertai dengan sputum dan atau lendir, hasil
pemeriksaan lab, Analisa Gas Darah abnormal (Asidosis Respiratorik)
Tujuan : Jalan nafas efektif
Kriteria Hasil: a. Klien tidak sesak, lendir atau sleam tidak ada
b. Pernafasan 16-18 kali/menit
c. Tidak ada pernafasan cuping hidung
d. Tidak ada tambahan otot pernafasan
e. Hasil pemeriksaan laboratorium darah Analisa Gas Darah dalam batas
normal (pH= 7,35-7,45 ; PCO2 = 35-45 mmHg, PO2 = 80-100
mmHg)

No Intervensi Rasional
1 Bebaskan jalan nafas denganSecara anatomi posisi kepala ekstensi
mengatur posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga
pernafasan sehingga proses respiransi tetap
berjalan lancar dengan menyingkirkan
pembuntuan jalan nafas.

21
2 Pemeriksaan fisik dengan caraRonchi menunjukkan adanya gangguan
auskultasi mendengarkan suarapernafasan akibat atas cairan atau sekret
nafas (adakah ronchi) tiap 2-4 jamyang menutupi sebagian dari saluran
sekali pernafasan sehingga perlu dikeluarkan
untuk mengoptimalkan jalan nafas.
3 Bersihkan mulut dan saluran nafasSuction merupakan tindakan bantuan
dari sekret dan lendir denganuntuk mengeluarkan sekret, sehingga
melakukan suction mempermudah proses respirasi
4 Oksigenasi Pemberian oksigen secara adequat dapat
mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mencegah terjadinya
hipoksia.
5 Observasi tanda-tanda vital tiap 2Dyspneu, sianosis merupakan tanda
jam terjadinya gangguan nafas disertai dengan
kerja jantung yang menurun timbul
takikardia dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6 Observasi timbulnya gagal nafas. Ketidakmampuan tubuh dalam proses
respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan alat bantu
pernafasan (mekanical ventilation)
7 Kolaborasi dalam pemberian obatObat mukolitik dapat mengencerkan sekret
pengencer sekresi(mukolitik) yang kental sehingga mempermudah
pengeluaran dan memcegah kekentalan

2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat


spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang rangsanng, kontraksi otot-
otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk.
Tujuan : Pola nafas teratur dan normal
Kriteria Hasil: a. Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuahn
oksigen

22
b. Tidak sesak, pernafasan normal 16-18 kali/menit
c. Tidak sianosis.

No Intervensi Rasional
1 Monitor irama pernafasan danIndikasi adanya penyimpangan atau
respirati rate kelaianan dari pernafasan dapat dilihat dari
frekuensi, jenis pernafasan,kemampuan dan
irama nafas.
2 Atur posisi luruskan jalan nafas. Jalan nafas yang longgar dan tidak ada
sumbatan proses respirasi dapat berjalan
dengan lancar.
3 Observasi tanda dan gejala sianosis Sianosis merupakan salah satu tanda
manifestasi ketidakadekuatan suply O2
pada jaringan tubuh perifer
4 Oksigenasi Pemberian oksigen secara adequat dapat
mensuplai dan memberikan cadangan
oksigen, sehingga mencegah terjadinya
hipoksia
5 Observasi tanda-tanda vital tiap 2Dyspneu, sianosis merupakan tanda
jam terjadinya gangguan nafas disertai dengan
kerja jantung yang menurun timbul
takikardia dan capilary refill time yang
memanjang/lama.
6 Observasi timbulnya gagal nafas. Ketidakmampuan tubuh dalam proses
respirasi diperlukan intervensi yang kritis
dengan menggunakan alat bantu pernafasan
(mekanical ventilation).
7 Kolaborasi dalam pemeriksaanKompensasi tubuh terhadap gangguan
analisa gas darah. proses difusi dan perfusi jaringan dapat

23
3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermia) berhubungan dengan efeks toksin
(bakterimia) yang dditandai dengan suhu tubuh 38-40 oC, hiperhidrasi, sel darah
putih lebih dari 10.000 /mm3
Tujuan Suhu tubuh normal
Kriteria : Suhu tubuh 36-37oC, hasil lab sel darah putih (leukosit) antara 5.000-10.000/mm3

NO Intervensi Rasional
1 Atur suhu lingkungan yang nyaman. Iklim lingkungan dapat mempengaruhi
kondisi dan suhu tubuh individu sebagai
suatu proses adaptasi melalui proses
evaporasi dan konveksi.
2 Pantau suhu tubuh tiap 2 jam Identifikasi perkembangan gejala-gajala ke
arah syok exhaution
3 Berikan hidrasi atau minum ysngCairan-cairan membantu menyegarkan
cukup adequat badan dan merupakan kompresi badan dari
dalam
4 Lakukan tindakan teknik aseptik danPerawatan lukan mengeleminasi
antiseptik pada perawatan luka. kemungkinan toksin yang masih berada
. disekitar luka.
5 Berikan kompres dingin bila tidakKompres dingin merupakan salah satu cara
terjadi ekternal rangsangan kejang. untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara
proses konduksi.
6 Laksanakan program pengobatanObat-obat antibakterial dapat mempunyai
antibiotik dan antipieretik spektrum lluas untuk mengobati
bakteeerria gram positif atau bakteria gram
negatif. Antipieretik bekerja sebagai
proses termoregulasi untuk mengantisipasi
panas.
7 Kolaboratif dalam pemeriksaan labHasil pemeriksaan leukosit yang
leukosit. meningkat lebih dari 10.000 /mm3
mengindikasikan adanya infeksi dan atau
untuk mengikuti perkembangan

24
pengobatan yang diprogramkan

4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan


otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang
masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun
ddiserta hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.
Tujuan kebutuhan nutrisi terpenuhi.
Kriteria Hasil: a. BB optimal
b. Intake adekuat
c. Hasil pemeriksaan albumin 3,5-5 mg %

No. Intervensi Rasional


1 Jelaskan faktor yang mempengaruhiDampak dari tetanus adalah adanya
kesulitan dalam makan dankekakuan dari otot pengunyah sehingga
pentingnya makanabagi tubuh klien mengalami kesulitan menelan dan
kadang timbul refflek balik atau kesedak.
Dengan tingkat pengetahuan yang adequat
diharapkan klien dapat berpartsipatif dan
kooperatif dalam program diit.
2 Kolaboratif : Diit yang diberikan sesuai dengan keadaan
Pemberian diit TKTP cair, lunakklien dari tingkat membuka mulut dan
atau bubur kasar. proses mengunyah.
Pemberian carian per IV line Pemberian cairan perinfus diberikan pada
Pemasangan NGT bila perlu klien dengan ketidakmampuan mengunyak
atau tidak bisa makan lewat mulut
sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi.
NGT dapat berfungsi sebagai masuknya
makanan juga untuk memberikan obat

5. Resiko terjadi cedera berhubungan dengan aktifitas kejang


Tujuan : Cedera tidak terjadi

25
Kriteria Hasil: a. Klien tidak ada cedera
b. Tidur dengan tempat tidur yang terpasang pengaman

No Intervensi Rasional
1 Identifikasi dan hindari faktorMenghindari kemungkinan terjadinya
pencetus cedera akibat dari stimulus kejang
2 Tempatkan pasien pada tempat tidurMenurunkan kemungkinan adanya trauma
pada pasien yang memakai pengaman jika terjadi kejang
3 Sediakan disamping tempat tidurAntisipasi dini pertolongan kejang akan
tongue spatel mengurangi resiko yang dapat
memperberat kondisi klien
4 Lindungi pasien pada saat kejang Mencegah terjadinya benturan/trauma yang
memungkinkan terjadinya cedera fisik
5 Catat penyebab mulai terjadinyaPendokumentasian yang akurat, memudah-
kejang kan pengontrolan dan identifikasi kejang

6. Defisit velume cairan berhubungan dengan intake cairan tidak adekuat


Tujuan : Anak tidak memperlihatkan kekurangan velume cairan yang dengan
Kriteria Hasil: Membran mukosa lembab, Turgor kulit baik

No. Intervensi Rasional


1 Kaji intake dan out put setiap 24 jam Memberikan informasi tentang status
cairan /volume sirkulasi dan kebutuhan
penggantian
2 Kaji tanda-tanda dehidrasi, membranIndikator keadekuatan sirkulasi perifer dan
mukosa, dan turgor kulit setiap 24 jam hidrasi seluler
3 Berikan dan pertahankan intake oralMempertahankan kebutuhan cairan tubuh
dan parenteral sesuai indikasi ( infus
12 tts/m, NGT 40 cc/4 jam) dan
disesuaikan dengan perkembangan
kondisi pasien
4 Monitor berat jenis urine danMempertahankan intake nutrisi untuk
pengeluarannya kebutuhan tubuh
5 Pertahankan kepatenan NGT Penurunan keluaran urine pekat dan

26
peningkatan berat jenis urine diduga
dehidrasi/ peningkatan kebutuhan cairan
.
7.  Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penanganan penyakitnya
berhubungan dengan keterbatasan informasi 
Tujuan              :  Pengetahuan klien dan keluarga tentang penanganan penyakitnya
dapat meningkat.
Kriteria Hasil    : 
a.       Klien dan keluarga dapat mengerti proses penyakit dan penanganannya
b.      klien dapat diajak kerja sama dalam program terapi
c.       klien dan keluarga dapat menyatakan melaksanakan penejlasan dna
pendidikan kesehatan yang diberikan.
No. INTERVENSI RASIONAL
1 Identifikasi tingkat pengetahuan klien Tingkat pengetahuan penting untuk
dan keluarga modifikasi proses pembelajaran orang
dewasa.
2 Hindari proteksi yang berlebihan Tidak memanipulasi klien sehingga ada
terhadap klien , biarkan klien proses kemandirian yang terbatas.
melakukan aktivitas sesuai dengan
kemampuannya.
3 ajarkan pada klein dan keluarga Kerja sama yang baik akanmembantu dalam
tentang peraawatan yang harus proses penyembuhannnya.
dilakukan sema kejang.
4 Jelaskan pentingnya mempertahankan Status kesehatan yang baik membawa
status kesehatan yang optimal dengan damapak pertahanan tubuh baik sehingga
diit, istirahat, dan aktivitas yang dapat tidak timbul penyakit penyerta/penyulit.
menimbulkan kelelahan.
5 Jelasakan tentang efek samping obat Efek samping yang ditemukan secara dini
(gangguan penglihatan, nausea, lebih aman dalam penaganannya.
vomiting, kemerahan pada kulit,
synkope dan konvusion)
6 Jaga kebersihan mulut dan gigi secara Kebersihan mulut dan gigi yang baik

27
teratur merupakan dasar salah satu pencegahan
terjadinya infeksi berulang.

4.2 AsuhanKeperawatanKasus
An. X dibawa ke RS. Sejahtera oleh kedua orang tuanya. An. X datang
dengan keluhan kesukaran membuka mulut sehingga sulit untuk makan, kemudian
kejang dengan tungkai eksistensi, lengan kaku dengan mengepal. Orang tuanya
tampak cemas dan menceritakan bahwa beberapa hari sebelumnya, badan anaknya
kaku setelah kakinya tertusuk paku disekolah. An. X belum pernah memperoleh
vaksinasi DPT sebelumnya.
RR: 30x/menit, TD: 125/80, N: 80x/menit, T: 38ºC.

3.3 Pengkajian
a. Identitas klien
Nama : An. X
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 8 tahun
b. Keluhan Utama
Sukar membuka mulut sehingga sulit untuk makan disertai kejang dengan
tungkai eksistensi, lengan kaku dengan mengepal.
c. Riwayat kesehatan sekarang
An. X datang ke RS. Sejahtera dengan keluhan kejang dengan tungkai
eksistensi disertai mulut sukar membuka sehingga sulit untuk makan dan
lengan kaku dengan mengepal. Berdasarkan keterangan orangtua, beberapa
hari sebelum masuk RS An. X mengalami luka di telapak kaki kanan akibat
tertusuk paku di sekolah.
d. Riwayat kesehatan dahulu

28
Orangtua mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu pasien mengalami luka
tusuk di telapak kaki bagian bawah karena tertusuk paku.
e. Riwayat penyakit keluarga :
Tidak ada keluarga yang menderita tetanus
f. Keadaan Lingkungan
Sekolah An. X sedang dalam renovasi ruangan-ruangan
g. Observasi
a. Keadaan Umum
Suhu : 380C
Nadi : 80 x/menit
Tekanan Darah : 125/80
RR : 30 x/menit
b. Review of sistem (ROS)
B1 (Breathing) : Takipnea, RR = 30x/menit
B2 (Blood) : disritmia, febris
B3 (brain) : mulut tidak bisa dibuka, kejang disertai tangan ekssistensi
dan lengan kaku mengepal
B4 (Bladder) : -
B5 ( Bowel) : konstipasi akibat menurunnya gerak peristaltic usus
B6 (bone) : sulit menelan

4.4 Analisa Data


Data Etiologi Masalah Keperawatan
DS: - Spasme otot masetter Ketidakseimbangan nutrisi
DO: Terjadi kekakuan kurang dari kebutuhan
pada otot rahang sehingga Kesukaran membuka mulut tubuh
sulit untuk makan (trismus, lockjaw)

Tidak bisa mengunyah

29
Intake makanan berkurang

Ketidakseimbangan nutrisi
kurang dari kebutuhan
tubuh
Spasme otot laring & otot-
otot pernafasan

Kemampuan batuk efektif


DS: Klien mengeluh berkurang
sesak
DO: Penumpukan sputum pada Bersihan jalan nafas tidak
-RR: 30x/menit efektif
-terjadi penumpukan
sputum pada trakea trakea
Sumbatan saluran nafas

Bersihan jalan nafas tidak


efektif
Toksin Clostridium tetani

DS: -
Pengikatan dari toksin oleh
DO: Klien mengalami
cerebral ganglioside
kejang dengan tungkai Risiko cidera
eksistensi, lengan kaku
Kejang
dengan mengepal

Risiko injuri
DS: Orang tua Anak mengalami Kurang pengetahuan klien
menceritakan bahwa ketegangan otot dan kejang dan keluarga tentang
mereka bingung apa yang penyakit
harus dilakukan pada Orang tua bingung dengan

30
anaknya. apa yang harus dilakukan
DO: Orang tua klien
tampak cemas dengan Kurang pengetahuan klien
kondisi yang dialami dan keluarga tentang
anaknya. penyakit

Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
ketegangan dan spasme otot masetter, kesukaran menelan dan membuka
mulut.
2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum
pada trakea.
3. Risiko cidera berhubungan dengan aktivitas kejang.
4. Kurang pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit berhubungan dengan
penatalaksanaan gangguan kejang.

4.4 Intervensi

1. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketegangan dan spasme otot masetter, kesukaran menelan dan membuka
mulut.
Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil:
a. BB optimal
b. Intake nutrisi adekuat

Intervensi Rasional

31
Jelaskan faktor yang mempengaruhi Dampak dari tetanus adalah kekakuan
kesulitan makan dan pentingnya otot rahang sehingga kelien kesultan
makanan bagi tubuh mengunyah dan menelan. Dengan
pengetahuan terhadap pentingnya
maka diharapkan klien kooperatif
dalam program diit.
Kolaboratif dengan ahli gizi dan - Diit yang diberikan sesuai dengan
dokter: keadaan dan kemampuan klien dalam
- pemilihan pemberian diit TKTP membuka mulut, mengunyah dan
cair, lunak atau kasar menelan
-pemberian cairan IV line - infus atau NGT diberikan jika klien
- Pemasangan NGT bila perlu tidak dapat makan melalui mulut

2. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sputum


pada trakea.
Tujuan : Jalan nafas dapat kembali efektif
Kriteria hasil :
a. Klien terbebas dari sesak nafas
b. Pernafasan normal 16-22 kali/menit
c. Tidak ada pernafasan cuping hidung
d. Tidak ada tambahan otot pernafasan

Intervensi Rasional
Bebaskan jalan nafas dengan Secara anatomi, posisi kepala ekstensi
mengatur posisi klien, misalnya merupakan cara untuk meluruskan
ekstensi kepala. rongga pernapasan sehingga proses
respirasi tetap lancar.
Pantau pernafasan klien dengan Adanya suara nafas tambahan
auskultasi rutin setiap 2-4 jam sekali menunjukkan adanya gangguan
untuk memonitoring adanya suara pernafasan akibat adanya sekret atau

32
nafas tambahan cairan yang menutupi saluran nafas.
Lakukan suction untuk Suction merupakan proses tindakan
membersihkan sekret bantuan untuk mengeluarkan sekret
agar mempermudah respirasi.
Berikan klien terapi oksigenasi Pemberian oksigen secara adekuat
dapat mensuplai darah dan
memberikan cadangan oksigen
sehingga mencegah terjadinya
hipoksia.

3. Risiko injuri berhubungan dengan aktivitas kejang.


Tujuan : klien terhindar dari cidera, diagnosa tidak menjadi masalah actual
Kriteriahasil :
a. Keamanan lingkungan mendukung
b. Faktor penyebab berkurang
c. mempertahankan aturan pengobatan

Intervensi Rasional
Jauhkan benda-benda keras dari Benda keras yang berada didekat
pasien terutama saat kejang terjadi pasien memicu terjadinya cidera
terutama saat kejang.
Catat kapan waktu atau keadaan yang Dengan mengetahui waktu terjadinya
memicu timbulnya kejang kejang, kita dapat mencegah
terjadinya cidera.
Atasi penyebab terjadinya cidera Jika cidera banyak terjadi karena
kejang, maka dengan mencegah
terjadinya kejang, cidera akan dapat
dengan mudah dicegah

4. Kurang pengetahuan klien dan keluarga tentang penyakit berhubungan dengan


penatalaksanaan gangguan kejang.
Tujuan: klien dan keluarga memahami proses penyakit yang terjadi

33
Kriteria hasil:
a. Pemahaman terhadap penyakit bagi keluarga dan klien
Intervensi Rasional
Kaji tingkat pengetahuan pasien dan Dengan mengetahui tingkat
keluarga pengetahuan akan memudahkan
tenaga medis dalam intervensi.
Berikan pasien dan keluarga Agar klien dan keluarga mengetahui
informasi tentang penyakit dan proses penyakit yang sedang terjadi
penanganan yang benar dan dapat meminimalisir terjadinya
komplikasi.
Diskusikan terapi yang akan Terapi yang diberikan kepada klien
digunakan dengan keluarga dan hendaknya menurut persetujuan klien
pasien dan keluarga.

5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi semua tindakan yang telah anda berikan pada pasien. Jika
dengan tindakan yang diberikan pasien mengalami perubahan menjadi lebih
baik. Maka tindakan dapat dihentikan. Jika sebaliknya keadaan pasien
menjadi lebih buruk, kemungkinan besar tindakan harus mengalami
perubahan atau perbaikan
4.5 IMUNISASI
4.5.1 TT
Vaksinasi tetanus bertujuan untuk mencegah kerusakan saraf.
Tetanus (berasal dari bahasa yunani : -teinein = menegang) yang
disebabkan oleh bakteri Clostridium tetani. Bakteri ini tersebar diseluruh
dunia, menyerang bayi, anak-anak, dan remaja, terutama yang tidak
memperoleh vaksinasi. Tetanus, terutama tetanus neonatarum, sampai saat
ini masih menjadi masalah kesehatan yang serius. Sebab, tetanus menjadi
penyebab 8%-69% dari kematian bayi baru lahir (menjadi penyebab
kematian utama terutama di negara-negara sedang berkembang, termasuk
di Indonesia). Pada tahun 2002, WHO melaporkan 198.000 kematian pada
anak berusia kurang dari 5 tahun disebabkan oleh penyakit tetanus.

a. Penyebab

34
Infeksi tetanus disebabkan oleh Clostridium tetani, basil berbentuk
batang panjang, tipis (2-5 μm x 3-8 μm), gram positif, bakteri berspora
bersifat anaerob murni. Dalam bentuk spora, kuman ini tersebar luas di
tanah, debu jalanan, kotoran hewan (kuda, ayam, babi, anjing), dan
juga tinja manusia.

b. Cara penularan

Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia melalui


luka, misalnya luka tusuk, luka robek, luka tembak, luka bakar, luka
gigit, luka suntikan, infeksi telinga, rahim sesudah persalinan atau
keguguran, pemotongan tali pusat yang tidak steril (sebagai penyebab
utama Tetanus neonaratum). Bentuk spora yang menginfeksi luka
akan berubah menjadi bentuk negatif, yang kemudian mengeluarkan
dua macam racun, yaitu tetanolisin dan tetanospamin (merusak sel-sel
saraf).

c. Gejala Klinik
Dalam waktu 3 hari sampai 4 minggu setelah kuman masuk
melalui luka, racun Clostridium tetani akan merusak sistem saraf dan
segera memunculka gejala serta tanda-tanda tetanus, misalnya kejang
dan kekakuan otot rahang (lockjaw), postur badan kaku dan tidak
dapat ditekuk karena kekakuan otot leher dan punggung (opistotonus),
dinding perut mengeras seperti papan, gangguan menelan, dan muka
seperti menyeringai/tertawa (risus sardonicus). Pasien tetanus mudah
sekali mengalami kejang, terutama apabila mendapatkan rangsangan
seperti suara berisik, terkejut, sinar, dan sebagainya sehingga ia perlu
diisolasi dalam ruang tersendiri/ tetanus pada bayo baru lahir disebut
tetanus neonatorum, yang penularannya terjadi pada saat pemotongan
tali pusat yang dilakukan secara tidak steril. Tetanus neonatorumlebih
mudah terjadi bila bayi tidak mendapat imunisasi pasif atau bila pada
saat ibunya hamil tidak pernah mendapat imunisasi.

d. Pencegahan dan pengobatan


Pencegahan tetanus dilakukan melalui upaya sterilitas alat,
misalnya saat memotong tali pusat, pembersihan dan perawatan luka
dan segera mengobati luka infeksi. Tetapi, upaya pencegahan yang
paling efektif adalah melalui imunisasi pasif dan aktif. Pada penyakit
tetanus berat, resiko terjadinya kematian sangat tinggi. Obat antibiotik
dan imunisasi pasif atau antitetanus belum tentu mampu memperbaiki

35
keadaan penyakit. Cara yang palng efektif adalah mencegah sebelum
terkena tetanus melalui vaksinasi.

e. Imunisasi pasif
Imunisasi pasif diindikasikan pada seseorang yang mengalami
luka kotor, diperoleh dengan memberikan serum yang sudah
mengandung antitoksin heterolog (ATS) atau antitoksin homolog
(imunoglobulin antitetanus)

Tabel 1. Pemberian Vaksin Tetanus pada Orang yang Mengalami Luka

Vaksinasi Luka Bersih Luka Kotor


Sebelumnya Toksoid ATS Toksoid ATS
Tidak ada/tidak Ya* Tidak Ya* Ya
pasti
1x DT atau DPT Ya* Tidak Ya* Ya
2x DT atau DPT Ya* Tidak Ya* Ya
3x DT atau DPT Tidak + Tidak Tidak++ Tidak

Keterangan :
*seri imunisasi yang harus dilengkapi
+ kecuali booster terakhir sudah 10 tahun yang lalu atau lebih
+ + kecuali booster terakhir sudah 5 tahun yang lalu atau lebih
DT vaksinasi difteri tetanus
DPT vaksinasi difteri pertusis tetanus

f. Imunisasi Aktif
Imunisasi aktif didapat dengan menyuntikkan toksoid tetanus
dengan tujuan merangsang ubuh membentuk antibodi. Vaksin tetanus
diberikan pada :
1. Bayi dan anak usia kurang dari 10 tahun
2. Ibu hamil
3. Semua orang dewasa

Vaksin tetanus memiliki berbagai kemasan seperti preparat


tunggal (TT), kombinasi dengan toksoid difteri dan atau pertusis (dT,
DT, dTwP, dtaP) dan kombinasi dengan komponen lain seperti Hib
dan hepatitis B.

36
Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari
vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus). DPT diberikan satu seri terdiri
atas 5 suntikan pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan
terakhir saat sebelum masuk sekolah (4-6 tahun). Bagi orang dewasa,
sebaiknya menerima booster dalam bentuk TT (tetanus toksoid) setiap
10 tahun.

Untuk mencegah tetanus neonatorum, wanita hamil dengan


persalinan berisiko paling tidak mendapatkan 2 kali dosis dosis vaksin
TT. Dosis TT kedua sebaiknya diberikan paling tidak 4 minggu
setelah pemberian dosis pertama, dan dosis kedua sebaiknya diberiakn
paling tidak 2 minggu sebelum persalinan. Untuk ibu hamil yang
sebelumnya pernah menerima TT x pada waktu calon pengantin atau
pada kehamilan sebelumnya, maka diberikan booster TT 1 kali saja.

Vaksin tetanus tidak boleh diberikan pada orang dengan riwayat


reaksi alergi berat (anafilaksis) pada pemberian sebelumnya, pada orang
yang alergi terhadap komponen vaksin, dan wanita hamil. Pemberian
vaksin DPT pada anak-anak harus ditunda jika anak mengalami demam
tinggi, memiliki kelainan saraf, atau mengalami gangguan pertumbuhan.

g. Efek samping/ KIPI


Efek samping pemberian vaksinasi tetanus biasanya bersifat
ringan, berupa rasa nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat
penyuntikan, dan demam. Penggunaan kain lembap dingin di tepat yang
sakit dapat mengurangi rasa sakit. Parasetamol dapat diberikan untuk
mengurangi rasa sakit dan demam, serta minum air yang banyak. Segera
bawa ke dokter apabila dijumpai hal berikut ini :
1. Kejang- kejang dalam 3-7 hari setelah imunisasi
2. Kejang-kejang yang makin memburuk
3. Reaksi alergi
4. Kesulitan makan atau gangguan pada mulut, tenggorokan atau
muka
5. Panas badan > 40 derajad C
6. Pingsan dalam dua hari ppertama setelah imunisasi
7. Terus menangis lebih dari 3 jam di dua hari pertama setelah imunisasi

Nama Tetanus
Vaksinasi
Sasaran Bayi dan anak usia kurang dari 10 tahun, ibu hamil, dan semua
imunisasi orang dewasa

37
Macam Vaksin Toxoid
Dosis Anak-anak 5 dosis
Dewasa yang sudah mendapat imunisasi lengkap cukup diberikan
booster
Ibu hamil 2 dosis
Jadwal Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari
Pemberian vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus)
Usia 2 bulan
Usia 4 bulan
Usia 6 bulan
Usia 15-18 bulan
Usia 4-6 tahun
Bagi yang dewasa sebaiknya menerima booster dalam bentuk TT
(tetanus toksoid) setiap 10 tahun
Ibu hamil mendapatkan 2 dosis tetanus toxoid
Cara pemberian Suntikan intra muskular/otot
Efektifitas 90%
Kontraindikasi Ibu hamil
Alergi terhadap vaksin
Efek samping Rasa nyeri, warna kemerahan dan bengkak di tempat penyuntikan,
serta demam, reaksi alergi berat (jarang)

4.5.2 DPT
1. Arti

Imunisasi DPT (diphtheria, pertussis, tetanus) merupakan


imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri,
pertussis, dan tetanus. Vaksin DPTini merupakam vaksin yang
mengandung racun kuman difteri yang telah dihilangkan sifat racunny,
namun masih dapat merangsang pembentukan zat anti (toksoid).
Pemberian pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap
pengenalan) terhadap vaksin dan mengaktifkan organ – organtubuh
membut zat ini. Pada pemberian DPT dapat berefek samping ringan
ataupun berat. Efek ringan misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada
tempat penyuntikan, dan demam. Efek berat misalnya terjadi menangis
hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi
kejang, ensefalopati, dan syok. Upaya pencegahan penyakit difteri,
pertussis, dan tetanus perlu dilakukan sejak dini melalui imunisasi karena
penyakit tersebut sangat cepat serta dapat meningkatkan kematian bayi
dan anak balita.

Hasil penelitian muchalastrining (2005) menunjukan bahwa


jumlah kasus difteri rawat jalan di Indonesia selama 3 tahun paling banyak

38
dari golongan usia 15 -44 tahun (37,42 %). Pasien pertussis yang dirawat
inap paling banyak dari kalangan bayi dan anak-anak merupakan golongan
usia yang rentan terhadap penyakit pertussis. Pasien tetanus yang dirawat
inap paling banyak golongan usia di atas 45 tahun (44,16%)

2. Tujuan imunisasi DPT

Imunisasi DPT bertujuan untuk memberikan kekebalan terhadap 3


penyakit penting yaitu difteri, tetanus dan pertusis.

3. Jadwal imunisasi DPT

Imunisasi DPT termasuk salah satu imunisasi dasar di Indonesia.


Imunisasi DPT diberikan sebanyak 3 kali. Diberikan pada anak mulai usia
lebih dari 6 minggu dengan interval 1-2 bulan untuk pemberian
selanjutnya. Pemberian imunisasi DPT pada anak usia kurang dari 6
minggu tidak dianjurkan karena respon terhadap pertusis tidak optimal.

4. Kapan diberikan imunisasi DPT ulangan (booster)?

Imunisasi DPT ulangan diberikan 1 kali pada usia 18 bulan. Dan


diulang lagi ketika usia 5 tahun

5. Pemberian imunisasi DPT

Imunisasi DPT diberikan dengan cara menyuntikkan vaksin DPT


ke otot anak. Biasanya penyuntikan dilakukan di otot paha.

6. Biaya imunisasi DPT

Karena termasuk imunisasi dasar yang diwajibkan maka biaya


imunisasi DPT digratiskan pemerintah. Anda dapat melakukan imunisasi
DPT anak anda di posyandu atau puskesmas terdekat.

7. Jenis vaksin DPT

Imunisasi DPT merupakan salah satu jenis  vaksin combo.


Artinya, dalam satu vaksin mengandung beberapa jenis vaksin untuk
beberapa jenis penyakit. Saat ini terdapat 2 jenis vaksin DPT.

Yang pertama dengan kandungan seluruh sel kuman pertusis


(whole cell pertussis) disingkat dengan DTwP. Vaksin kombo inilah yang
tersedia di posyandu dan puskesmas.

39
Yang kedua , yang tidak mengandung  kuman pertusis, tapi berisi
komponen spesifik toksin dari kuman pertusin, disebut sebagai aseluler
pertusis, disingkat DTaP. Keuntungan vaksin yang ini, angka kejadian
komplikasi yang ditimbulkan lebih sedikit dibanding vaksin yang whole
cell. Artinya, lebih sedikit bikin demam , bengkak,nyeri atau komplikasi
lainnya. Kerugiannya, harganya relatif mahal.

Biasanya dokter akan menanyakan, bu mau yang bikin panas atau


yang tidak panas? Maksud dokternya, vaksin yang bikin panas yang whole
cell, sedang yang tidak bikin panas yang aseluler.

8. Komplikasi imunisasi DPT

1. Reaksi lokal pada bekas tempat penyuntikan berupa


kemerahan,bengkak dan nyeri. Kejadian ini terjadi pada 42,9%
penerima imunisasi DPT.
2. Demam ringan. Hanya sekitar 2,2% yang mengalami demam
tinggi
3. Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam
pasca suntikan
4. Kejang demam terjadi sebanyak 0,06%
5. Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang

9. Kapan anak tidak boleh diberikan imunisasi DPT?

1. Bila anak pada pemberian imunisasi DPT sebelumnya, 


menunjukkan reaksi alergi berat yang disebut anafilaksis.
2. Anak menderita gangguan otak yang disebut ensefalopati
( ditandai penurunan kesadaran dan kejang) pasca pemberian
imunisasi DPT sebelumnya.

BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Tetanus adalah penyakit akut, paralitik yang disebabkan oleh
tetanospasmin, eurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Tetanus

40
adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gambaran penyakit ini berupa : trismus (kaku pada
rahang  sulit membuka rahang bawah), rhesus sardonicus (muka seperti
monyet meringis), kaku kuduk (leher kaku, tidak bisa untuk mengangguk),
opistotonus (badan kaku seperti busur), kaku perut, kejang, dan kemungkinan
adanya luka sebagai tempat masuknya kuman. Penyakit tetanus biasanya
timbul di daerah yang mudah terkontaminasi dengan tanah dan dengan
kebersihan dan perawatan luka yang buruk.
Pengobatannya dengan merawat pasien di ruang yang tenang, kemudian
diberikan Anti Tetanus Serum (ATS) sesuai berat badannya secara intravena
dan sisanya intramuscular. Kejang diatasi dengan pemberian anti kejang
(misal diazepam) secara intravena. Juga diberikan antibiotika. Perawatan
pasien ini mungkin melibatkan berbagai bidang kedokteran, misalnya
penyakit dalam, bedah, gigi, dan THT.
5.2 Saran
Jangan sepelekan atau meremehkan luka kecil di tubuh, terutama di
bagian kaki atau tangan yang mudah terkena kotoran seperti debu atau tanah.
Luka kecil ini bisa menjadi pemicu tetanus, penyakit yang sudah jarang terjadi
tapi cukup mematikan. Tetanus merupakan penyakit yang disebabkan oleh
infeksi bakteri. Bakteri ini akan memproduksi racun yang menyebabkan
kejang otot kronis. Tetanus ini sangat berbahaya tapi mudah diatasi jika Anda
teliti dan bertindak cepat.

DAFTAR PUSTAKA

41
1. Cahyono B, Suharjo J.B.2010. Vaksinasi, Cara Ampuh Cegah
Penyakit Infeksi.Yogyakarta: Kanisius
2. Doenges, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3.Jakarta:
EGC
3. http://medicastore.com/penyakit/91/Tetanus.html di akses tanggal 20
September 2013
4. Lynda Juall C, 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan,
Penerjemah MonicaEster, EGC, Jakarta
5. Muttaqin, arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
6. Retarwan,Kiking.2004.Tetanus.http://library.usu.ac.id/download/fk/pe
nysaraf-kiking2.pdf. diakses pada tanggal 19 September 2013 pukul
11.00 WIB
7. Siti,2006, Buku Ilmu Penyakit Dalam, Penerbit Departemen Ilmu
Penyakit Dalam F.KUniversitas Indonesia.
8. Soeparman. 1990. Ilmu Penyakit Dalam. Universitas Indonesia
Press :Jakarta.
9. Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan
Anak Nelson Hal.1004-07. Edisi 15-Jakarta : EGC, 2000
10. Sudoyo W. Aru, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K. Simadibarata
Marellus, Setiati

42

Anda mungkin juga menyukai