Anda di halaman 1dari 17

Definisi Tauhid Al-Asma wa Al-Sifat

Yaitu mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah Ta'ala sebagaimana disebutkan dalam Al-quran
dan hadist Nabi sallallahu alaihi wa sallam yang cocok dan sesuai untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala,
yaitu dengan cara menetapkan apa saja dari nama-nama dan sifat-sifat yang Allah tetapkan sendiri
untuk diri-Nya, atau yang ditetapkan oleh Rasul sallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana juga kita
menafikan apa yang Allah nafikan untuk diri-Nya dan dinafikan oleh Nabi sallallahu alaihi wa sallam,
dengan tanpa tahrif/penyelewengan makna, juga tanpa ta’thil/penghapusan nama dan sifat, serta
tanpa takyif/membagaimanakan/memvisualkan sifat, serta tidak men-tamtsil/menyamakan dengan
makhluk-Nya. Allah Ta'ala berfirman:

“Dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia yang maha mendengar lagi maha
melihat.” (Al-syuro: 11)

Kaidah –Kaidah Dalam Memahami

Nama-Nama Allah

1. Semua nama Allah Ta'ala itu husna/indah, sangat indah, Allah berfirman:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang terbaik/indah”. (Al-a’raf:180)

Dikatakan nama-nama Allah itu indah karena mengandung sifat-sifat yang sempurna, tidak ada
kekurangan dan aib dari sudut manapun.

2. Nama-nama Allah itu berlaku sebagai nama-

nama-Nya dan juga sifat-sifat-Nya, dikatakan

sebagai nama-nama Allah yaitu ditinjau karena

kesemuanya menunjukkan pada dzat Allah, dan

dikatakan nama-nama tersebut sebagai sifat-sifat

Allah ditinjau dari apa yang ditunjukkan oleh

nama-nama tersebut kepada makna terkandung

yang beragam, pada tinjauan pertama, semua

nama Allah itu bisa dikatakan bersinonim, karena kesemuanya menunjukkan kepada dzat

yang satu, yaitu Allah Azza wa Jalla, adalapun

menurut tinjauan kedua, maka nama-nama

tersebut berbeda antara satu dengan yang lain,

karena setiap nama mengandung makna sifat yg

berbeda dari yang lain.

3. Nama-nama Allah Ta'ala jika menunjukkan

pada sifat yang membutuhkan obyek, maka

mengandung 3 perkara:
A.Penetapan nama tersebut sebagai nama Allah.

B. Menetapkan sifat yang terkandung dalam

nama tersebut untuk Allah Ta'ala.

C.Menetapkan konsekuensi dari nama tersebut.

4. Nama-nama Allah itu tauqifiy yah (sesuai

penjelasan dari dalil), dan tidak ada peran akal

dalam penetapannya.

Dari penjelasan ini, kita tidak menetapkan

nama-nama Allah kecuali yang disebutkan

dalam Al-quran maupun hadist yang sahih, tidak

ditambah-tambahi maupun dikurannagi, karena

akal tidak mungkin bisa mengetahui nama yang

cocok dan pantas untuk Allah Ta'ala.

5. Nama-nama Allah tidak terbatas dengan

bilangan tertentu, berdasarkan sabda Nabi

sallallahu alaihi wa sallam:

“ Saya meminta kepada-Mu dengan seluruh Nama

yang Engkau miliki, yang Engkau menamakannya

untuk Diri-Mu atau yang Engkau ajarkan kepada

seseorang dari makhluk-Mu atau yang Engkau

turunkan dalam kitab-Mu atau yang Engkau

simpan dalam ilmu ghaib yang ada di sisi-Mu.” HR. Ahmad no.3712 dari ‘Abdullah bin Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu,

dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani

6. Beberapa kemungkaran terkait nama-nama

Allah, yaitu menyimpang dari hal yang

seharusnya, dan ini mempunyai beberapa

gambaran:

• Pengingkaran pada sebagian nama-nama Allah,

atau pada makna yang terkandung dalam nama-

nama tersebut berupa sifat-sifat dan hukum yang


terkait, ini sebagaimana dilakukan oleh para ahli

ta’thil7

dari kelompok jahmiyah dan selainnya,

bentuk pengingkaran dalam hal ini merupakan

penyimpangan dari hal yang seharusnya

dilakukan, yaitu dengan mengimaninya dan

menetapkannya.

• Menjadikan nama-nama Allah mempunyai

makna yang serupa dengan sifat makhluk,

sebagaimana yang dilakukan ahli tasybih8

, ini

juga merupakan bentuk penyimpangan dari

yang seharusnya dilakukan, yaitu menetapkan

sifat Allah dengan tanpa menyerupakan dengan

makhlukNya.

• Menamai Allah dengan nama yang tidak pernah

Dia sebutkan untuk diriNya, seperti perlakuan

orang-orang nashrony yang memberi nama

Allah dengan sebutan tuhan “ayah”, kenapa hal

demikian keliru? Karena nama-nama Allah itu

tauqifiyyah (berhenti pada dalil), ketika seorang menyematkan nama untuk Allah padahal Dia

sendiri tidak menamakan diriNya dengan nama

itu, ini merupakan bentuk penyimpangan dari

hal yang seharusnya dikerjakan, dan nama-nama

yang disematkan untuk Allah tersebut adalah

batil, dan Allah disucikan dari nama-nama yang

model demikian.

• Memecah akar kata/membuat turunan dari

nama Allah kemudian disematkan menjadi nama

berhala, sebagaimana perbuatan orang-orang

musyrik yang membuat nama berhala Uzza


‫ العزى‬yang dipecah dari asal nama Allah al-aziz

‫ز‬

�‫ العز ي‬, juga orang musyrik membuat turunan dari

nama Allah al-ilah ‫ إالهل‬menjadi al-laat ‫ االلت‬, hal

ini merupakan kekeliruan, karena nama-nama

Allah itu khusus untukNya saja, bukan untuk

penamaan berhala

Beberapa kaidah

terkait sifat-sifat

Allah

1. Sifat-sifat Allah kesemuanya adalah sifat yang

sempurna tanpa kekurangan, ditinjau dari

sudut manapun, Allah berfirman:

“Orang-orang yang tidak beriman kepada

kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk;

dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan

Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

(Al-nahl: 60)

Maksud dari al ‫ األعلى املثل‬adalah sifat yang

maha tinggi.

2. Bab pembahasan berkaitan dengan sifat-sifat

Allah lebih luas dari bab pembahasan tentang

nama-namaNya, karena setiap nama Allah pasti

mengandung makna sifat sebagaimana penjelasan yang telah lalu, namun tidak setiap sifat Allah

ada turunan nama yang disematkan untukNya.9

3. Si fat-si fat A l la h terba g i menjad i dua ,

tsubutiyah dan salbiyah:

A.Sifat tsubutiyah maksudnya: sifat-sifat yang

Allah tetapkan untuk diriNya dalam Alquran

atau melalui lisan RasulNya sallallahu alaihi


wa sallam, maka wajib untuk menetapkan

sifat-sifat tersebut secara hakikatnya, dengan

penetapan yang pantas untuk Allah.

B. Adapun sifat salbiyah maksudnya: adalah sifat

yang Allah nafikan untuk diriNya dalam Al-

quran atau melalui lisan NabiNya sallallahu

alaihi wa sallam, dan yang wajib bagi kita

adalah menafikan sifat-sifat tersebut dari

Allah, dengan tidak lupa menetapkan sifat lawannya dengan penuh kesempurnaan,

karena yang dimaksudkan adalah menafikan

sifat tersebut dan menetapkan sifat sempurna

dari kebalikan sifat yang dinafikan, karena

jika hanya sebatas menafikan saja, ini belum

dikatakan sempurna.

5. Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, dzatiyah

dan fi’liyah:

A.Sifat dzatiyah: maksudnya adalah sifat yang

senantiasa disematkan untuk Allah dan tidak

terpisah darinya, misalnya seperti sifat ilmu

‫السمع‬pendengaran, ‫ القدرة‬kemampuan/qudroh, ‫العمل‬

, penglihatan‫ البرص‬,kemuliaan‫ العزة‬,ketinggian

‫ العلو‬,juga beberapa sifat khobariah berupa

wajah, tangan dan kedua kaki, kesemuanya ini

senantiasa melekat dalam diri Allah Ta'ala,

tidak terpisah dariNya.

B. Sifat fi’liyah: yaitu sifat yang berkaitan dengan

kehendak Allah, jika Allah menghendaki

maka Allah melakukannya, dan jika Allah

tidak menghendakinya maka Allah tidak

melakukannya, seperti sifat istiwa di atas ‘arsy,

turun ke langit dunia, dan yang lainnya.


6. Dalam menetapkan sifat-sifat Allah wajib

menjauhkan diri dari dua hal yang terlarang,

yaitu tamtsil dan takyif.

A.Tamtsil‫ التمثيل‬adalah: keyakinan seorang

ketika menetapkan sifat untuk Allah bahwa

sifat yang ia tetapkan semisal dan sama dengan

sifat makhluk, ini adalah ideologi bathil,

B. Adapun takyif‫ التكييف‬ialah: seorang yang

menetapkan sifat untuk Allah meyakini

bahwa gambaran bagaimana sifat Allah

adalah begini dan begitu, seakan sifat

tersebut “bagaimananya” bisa dikhayalkan

dan diketahui oleh akal, yang seperti ini juga

termasuk ideologi yang bathil.

7. Sifat-sifat Allah itu tauqifiyyah, tidak ada

peran akal dalam menetapkannya, sehingga

kita tidak menetapkan sifat-sifat untuk Allah

kecuali sesuai yang ditunjukkan oleh Al-quran

dan sunnah.

Pernyataan

kelompok-kelompok

menyimpang dalam

nama-nama dan

sifat-sifat Allah

beserta bantahannya

Sekte-sekte menyimpang dari pemahaman salaf

pada tema asma wa sifat ada dua golongan: musyabbihah

dan mu’atthilah

1. Musyabbihah ‫بة‬

‫�املش‬

12: mereka adalah sekte yang


menyamakan Allah dengan makhluknya, mereka

menjadikan sifat-sifat Allah sama dan serupa

dengan para makhluk, oleh karenanya mereka

diberi nama musyabbihah, dari asal kata ‫ِه‬

ّ
‫ب‬
َ
ُ‫ش‬
َ#َّ‫ي‬-‫ه‬
‫ب‬
َ
‫ش‬

syabbaha-yusyabbihu (menyerupakan).

2. Mu’atthilah ‫ة‬

13‫املعطل‬: mereka adalah sekte yang

menafikan sifat-sifat sempurna yang Allah

sendiri tetapkan untuk diriNya dan yang Rasul

tetapkan, mereka beranggapan bahwa ketika sifat-

sifat tersebut kita tetapkan akan berkonsekuensi

menyamakan Allah dengan makhluknya, jadi

sekte ini justru menjadi lawan dan kebalikan dari

sekte musyabbihah, dan kelompok mu’atthilah

ini juga ada beragam, diantaranya:

A. Al-jahmiyyah14 ‫ اجلهمية‬:mereka menafikan

nama-nama dan sifat Allah secara total.

Jadi menurut ideologi mereka, nama-nama

dan sifat-sifat Allah yang ada dalam Al-quran

dan hadist tidaklah disematkan untuk Allah.

B. Al-mu’tazilah ‫ة‬

15‫تزل�املع‬: mereka menetapkan

nama-nama saja untuk Allah dan kosong dari


makna, mereka menafikan sifat-sifat Allah.

C.Al-asya’iroh16 dan al-maturidiyah17 ‫شاعرة أ‬

‫ال‬

‫ يدية ت� وامال‬:mereka menetapkan sebagian dari

nama-nama Allah dan beberapa sifat-sifatNya

namun juga menafikan sebagian yang lain.

Syubhat yang menjangkiti otak kelompok

mu’atthilah adalah karena mereka beranggapan

bahwa makhluk juga mempunyai nama-nama

dan sifat-sifat yang sekilas sama dengan milik

Allah, kemudian mereka berpikir bahwa

berserikat dan samanya nama-nama dan sifat

Allah dengan makhluk akan mengakibatkan

persamaan dan keserupaan secara hakikat,

yang seperti ini melazimkan adanya tasybih/

penyerupaan Allah dengan makhlukNya

menurut pandangan mereka.

Da r i dasa r ini kemud ian merek a

berpendapat harus adanya penafian dan

ta’thil/penghapusan nama atau sifat Allah

sebagai bentuk tanzih/penyucian kepada

Allah dari penyerupaan dengan makhluknya,

kemudian mereka menyikapi nash-nash dalil

yang menunjukkan pada penetapan sifat-sifat

Allah dengan dua metode:

• Ta’wil ‫ التأويل‬: yaitu dengan memalingkan

makna nash yang datang dari makna

dhohirnya (yang langsung dipahami) ke

makna yang lain, seperti ta’wil sifat wajah

‫ الوجه‬dengan kenikmatan ‫ النعمة‬, atau istiwa

‫ االستواء‬kepada makna menguasai ‫االستيالء‬


atau sifat tangan ‫ اليد‬dengan makna kekuatan

.‫القوة‬

• Tafwidh ‫التفويض‬: yaitu menyerahkan kepada

Allah Ta'ala makna-makna nash yang

mengandung sifat, mereka mengatakan:

Allah yang mengetahui maknanya, kita

serahkan saja padaNya, sembari mereka

meyakini dalam hati, sejatinya nash

tersebut tidak dimaknai secara dhohirnya,

lebih tegasnya, sejatinya mereka menafikan

makna sifat yang ditunjukkan oleh nash

tersebut.

Bantahan-bantahan

untuk mereka dari

beberapa sisi

1. Allah Subhanahu wa Ta'ala mena fi k an

penyerupaan dengan-Nya dalam Al-quran:

ٌ
ْ‫ء‬
‫َ�ۦ‬
ِِ‫ل ش‬
ْ
ِ‫ث‬
َ
ْ َ‫س ك‬
‫ي‬
َ
‫ل‬

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia”.

(Al-syuro:11)

Atau dalam ayat:


ٌ
َ‫د‬
‫ح‬
َ
ً‫اأ‬
‫و‬
ُ
‫ف‬
ُ
ُ‫ۥك‬
َّ
‫نل‬
ُ
َ‫ك‬
ْ‫ي‬
َ
َ‫ل‬
‫و‬

“Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan

Dia”. (Al-ikhlas: 4)

Juga dalam ayat:

ً#ًّ ‫ا‬
ِ‫ي‬
َ
ُ‫ۥس‬
َ
ُ‫ل‬
َ
ْ‫ل‬
‫ع‬
َ
ْ‫ت‬
َ‫ل‬
‫ه‬

“Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama

dengan Dia (yang patut disembah)?” (Maryam :

65)

Barangsiapa yang menyerupakan sifat Allah

dengan sifat makhluk-Nya maka ia tidak

menjadi hamba Allah yang hakiki, namun

sejatinya ia justru malah menyembah berhala

yang digambarkan dalam khayalannya, akhirnya

ia termasuk dari penyembah para berhala, dan

mereka serupa dengan orang-orang nashoro yang

menyembah Al-masih bin Maryam.

Berkata Nuaim Ibnu Hamad guru Al-Imam

Al-Bukhory rohimahumallahu:

‫ ومن ن� ف ما وصف الهل به‬،‫بخ لقه فقد كفر‬


‫� بخ من شبه الهل‬
‫ وليس ف� وصف الهل‬،‫ي نفسه أو وصف به رسوهل فقد كفر‬
‫به نفسه أو وصف به رسوهل تشبيه‬

“Barangsiapa yang menyamakan Allah dengan

makhluknya maka ia telah kufur, dan barangsiapa

menafikan apa yang Allah sifatkan untuk diriNya

atau sifat yang Rasul sematkan untuk Allah

maka ia juga telah kufur, dan tidaklah sifat

yang Allah tetapkan untuk diriNya, atau yang

ditetapkan Rasul untuk Allah merupakan tasybih

(penyerupaan dengan makhluk)”.18

Ini bantahan untuk para musyabbihah.

2. Sifat-sifat ini ditetapkan dalam nash alquran dan

sunnah, sedangkan kita diperintahkan untuk

mengikuti al-quran dan sunnah, Allah berfirman:


ُْ
ِ‫ك‬
ّ
‫ب‬
َّ
ِ‫نر‬
ّ
‫م‬
ُ
ْ‫ك‬
‫ي‬
َ
ِ‫ل‬
َ‫إ‬
ِ‫ل‬

�‫نز‬

ُ
َ‫اأ‬
ُ ‫وا م‬
ِ‫ع‬
‫ب‬
َّ
‫ات‬

“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu”.

(Al-a’raf: 3)

َُ‫وا‬
َ‫ٱن�ت‬
ُ‫ف‬
‫ه‬
ْ
‫ن‬
َ
ُْ‫ع‬
ٰ‫ك‬
ََ ‫ى‬
َ‫ا�ن‬
َ‫م‬
‫و‬
ُ
‫وه‬
ُ
‫ُخذ‬
َ
‫ف‬

ُ
ُ ‫ول‬
ُ ‫ٱلرَّ س‬
ُ
ٰ‫ك‬
‫ى‬
َ
َ ‫ات‬
َ‫اء‬
َ‫م‬
‫و‬

“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka

terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu”.

(Al-hasyr: 7)

3. Tuhan yang tidak memiliki sifat sempurna

tidak pantas menjadi tuhan sesembahan, oleh

karenanya Nabi Ibrahim alaihissalam berkata

kepada ayahnya: “Mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak

mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong


kamu sedikitpun?” (Maryam: 42)

Bantahan Bagi Orang

Menganggap Bahwa

Nama-Nama Allah

Sebatas Nama Saja

Tanpa Mengandung

Makna

Barangsiapa yang berfikir bahwa nama-nama Allah

sebatas nama saja tanpa mengandung makna maka

ini adalah ideologi yang batil, dan konsekuensi dari

keyakinan ini beberapa poin berikut:

1. Menjadikan nama-nama Allah tidak husna

(indah), karena hanya sebatas lafadz saja tanpa

makna.

2. A k h i r ny a n a m a-n a m a ter s e but t id a k

menunjukkan pujian dan kesempurnaam untuk

Allah.

3. Menjadikan bolehnya peletakan nama-nama

Allah yang mengandung makna bertemakan

balasan, kemurkaan dan yang semisal pada

tempat yang harusnya bertemakan kasih sayang

dan perbuatan baik, begitupula sebaliknya.

M isa l nya: da la m doa seseora ng, ia

memanjatkan doanya “Ya Allah aku mendzolimi

diriku, maka ampunilah aku, sesungguhnya

engkau adalah dzat yang maha perkasa ‫ز‬

lagi ‫�ي العز‬

maha kuasa‫ جلبار ا‬, yang sangat dahsyat hukumannya


. ”‫شديد العقاب‬

Atau misalnya dalam doa: “Ya Allah

berikanlah anugrah kepadaku sesungguhnya

engkau adalah dzat yang memberikan mudhorrot

‫ الضار‬dan yang menghalangi ‫ امالنع‬,” dan doa-doa

semisal.

Jadi, ketika nama-nama Allah dianggap

tidak bermakna, maka penyebutan nama-nama

tersebut dalam kondisi tertentu tidak perlu

memperhatikan makna yang terkandung, padahal

seharusnya setiap kondisi yang dimintakan kepada

Allah hendaklah dimintakan dengan nama yang

memiliki makna sesuai dengan kondisi tersebut

4. Jika nama Allah kosong dari makna, harusnya

tidak diperkenankan bagi A llah untuk

mengabarkan tentang nama-nama tersebut

dengan sumbernya kemudian Allah disifati

dengannya, tetapi nyatanya justru Allah

mengabarkan sendiri tentang dirinya dengan

sifat-sifat tertentu dan menetapkan sifat tersebut

untuk diriNya, sebagaimana Rasulullah sallallahu

alaihi wa sallam juga melakukan demikian,

seperti dalam Firman Allah:

ُ‫ن‬
ِ‫�تي‬
َ
ْ
ِ‫ة ٱل‬
َّ
‫و‬
ُ
‫ق‬
ْ
ُ‫و ٱل‬
‫ذ‬
ُ
َ#َّ ‫اق‬
َ ‫ٱلرَّ ز‬
‫و‬
ُ
َ‫ه‬
َّ
َ#َّ ‫ٱلل‬
ِ‫ن‬
‫إ‬

“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezeki

Yang mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh”.

(Al-dzariyat: 58)

5. Jika nama-nama Allah kosong dari makna sifat,

maka tidak sah dan tidak dibenarkan seseorang

mengabarkan tentang perbuatan yang dilakukan

Allah, tidak boleh orang mengatakan: Allah

mendengar, melihat, mengetahui, mampu,

menginginkan dst, kenapa? Karena penyebutan

dan penetapan hukum-hukum perbuatan yang

berkaitan dengan sifat sejatinya adalah bagian

dari menetapkan sifat tersebut, jika pokok sifat

saja sudah dinafikan harusnya hukum/perbuatan

yang terkait dengan sifat tersebut juga dihapuskan,

padahal Allah Ta'ala telah mengabarkan kepada

kita tentang sifat-sifat dengan perbuatannya

dalam firmanNya:
َ‫ا‬
ْ ‫ِ �ج‬
َ‫و‬
ِ‫ز‬
‫ف‬

�َ

‫ك‬
ُ
ِ‫دل‬
ٰ
َ
‫ج‬
ُ
‫ت‬
‫� ِ �ت‬
َّ
َ ‫ٱل‬
ْ‫ل‬
‫و‬
َ
ُ‫ق‬
َّ
َ ‫ٱلل‬
ِ‫ع‬
َ
ْ‫س‬
‫د‬
َ
‫ق‬

“Sesungguhnya Allah telah mendengar24 perkataan

wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu

tentang suaminya”. (Al-mujadilah: 1)

Anda mungkin juga menyukai