Anda di halaman 1dari 3

Efisiensi Anggaran Pemerintah

  Oleh: Rizal Yaya, MSc, Akt

Efisiensi anggaran pemerintah selama ini merupakan permasalahan yang sepertinya sulit
direalisasikan. Karena demikian sulitnya, pemerintah hampir setiap tahun mengalami defisit
anggaran dan menutupinya dari utang maupun penjualan saham perusahaan pemerintah kepada
publik.

Berbagai harapan yang dilontarkan kepada pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran
dengan menekan pos yang tidak terkait langsung dengan kepentingan rakyat sering ditanggapi
sebagai angin lalu.Tidak heran jika semua pejabat baru, baik di pusat maupun di daerah,
menganggarkan pembelian berbagai fasilitas baru, termasuk mobil dinas dengan
mengesampingkan upaya efisiensi dengan menggunakan fasilitas lama yang masih baik.
Kebiasaan tersebut bisa jadi akan sedikit tertahan dalam satu dua tahun ke depan seiring
kenaikan harga minyak dunia dan pelaksanaan Pemilu 2009.

Tidak seperti di masa awal pemerintahan yang menyikapi kenaikan tajam harga minyak dunia
pada tingkat USD40 per barel dengan menaikkan BBM hingga 100%, pemerintahan SBY-JK
pada kenaikan minyak kali ini, yang mencapai USD100 per barel, justru langsung memberi
jaminan kepada masyarakat bahwa pemerintah tidak akan menaikkan harga bahan bakar minyak
(BBM).

Sudah bisa ditebak oleh masyarakat, kebijakan simpatik pemerintah tersebut terkait erat dengan
pelaksanaan Pemilu 2009.Elite politik Indonesia paham betul bahwa kebijakan menaikkan BBM
merupakan kebijakan yang sangat sensitif bagi masyarakat dan bisa memengaruhi kesempatan
mereka untuk memenangi Pemilu 2009 nanti.Dengan demikian,dalam situasi ini pemerintah
tidak memiliki pilihan lain selain mengupayakan penghematan anggaran nonsubsidi BBM.
Kasus penyusunan anggaran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam beberapa pekan ini
menggambarkan bahwa sebenarnya pemerintah mampu melakukan efisiensi jika benar-benar
ingin mewujudkan efisiensi anggaran.

Tidak berapa lama setelah KPU mengusulkan anggaran pemilu sebesar Rp47,9 triliun, yang ber-
barengan waktunya dengan kenaikan harga minyak dunia,pemerintah langsung merevisi
anggaran KPU tersebut hingga menjadi Rp10,4 triliun. Anggaran yang diajukan KPU memang
terlalu besar dan mengandung unsur pemborosan. Akan tetapi, cara penyusunan anggarannya,
pada dasarnya, tidak jauh berbeda dengan cara penyusunan anggaran pejabat pemerintah pada
umumnya.

Jika dibandingkan dengan anggaran pemilu sebelumnya sebesar Rp18,9 triliun (Rp2,3 triliun dari
APBN ditambah Rp16,6 triliun dari APBD),anggaran yang diajukan KPU saat ini mengalami
kenaikan sekitar 150%. Dalam teori perilaku penyusunan anggaran, hal ini biasa disebut dengan
istilah ”budget slack”, yaitu kecenderungan untuk mengendurkan anggaran dengan cara
meninggikan rencana biaya di atas pengeluaran yang diperlukan dan merendahkan rencana
pendapatan di bawah kemampuan yang sebenarnya dapat dilakukan.
Implikasinya,semakin tinggi kecenderungan organisasi pemerintah melakukan budget slack,
semakin tinggi pula kecenderungan terjadinya inefisiensi anggaran. Dalam hal ini, besarnya
ruang penurunan anggaran KPU dari Rp47,9 triliun menjadi Rp10,4 triliun menunjukkan
tingginya inefisiensi anggaran yang direncanakan. Dengan demikian, sekiranya pemerintah dan
DPR menyetujui anggaran yang diajukan KPU sama artinya dengan melegalkan pemborosan
uang rakyat.

Hal yang menarik dari kasus ini adalah ketika pemerintah tidak memiliki pilihan lain selain
melakukan penghematan, anggaran lama yang biasanya dijadikan sebagai dasar kenaikan
anggaran yang baru oleh suatu lembaga pemerintah dapat diabaikan. Pada Pemilu 2004, KPU
menghabiskan dana sebesar Rp18,9 triliun. Penurunan anggaran pemilu menjadi Rp10,4 triliun
untuk melakukan hal yang sama, bahkan lebih rumit karena bertambahnya wilayah pemekaran
dan jumlah pemilih di tahun 2009, menunjukkan sebenarnya pemerintah dapat melakukan
efisiensi dalam anggarannya saat ini hingga 45% untuk melakukan berbagai program pemerintah
yang sama dengan yang sekarang.

Angka inefisiensi 45% ini merupakan hal yang sangat mungkin terjadi, mengingat pada masa
Orde Baru dulu, Prof Soemitro Djojohadikusumo sudah mendeteksi tingkat kebocoran anggaran
pemerintah hingga 30%. Setelah Orde Baru, melihat makin tingginya tingkat korupsi dan kolusi
dari pemerintah pusat hingga pemerintah daerah termasuk di lembaga seperti KPU, inefisiensi
anggaran hingga 45% merupakan suatu yang sangat mungkin sedang terjadi pada anggaran
pemerintah saat ini.

Dalam konteks ini, kenaikan harga minyak yang terjadi pada tahun-tahun menjelang
diadakannya pemilu merupakan berkah tersendiri bagi masyarakat Indonesia.Tanpa susah payah
berdemonstrasi mengingatkan pemerintah untuk melakukan efisiensi, pemerintah suka atau tidak
suka harus bergerak untuk mengefisienkan diri agar dapat memenuhi kebutuhan subsidi BBM
bagi masyarakat. Sejatinya, kondisi ini bukanlah kondisi yang diinginkan masyarakat, karena
upaya efisiensi adalah mandat yang harus dilaksanakan oleh pemerintah dan para wakil rakyat
yang memiliki hak bujet.

Dengan demikian, tidak seharusnya pemerintah melakukan efisiensi hanya pada saat terpaksa.
Efisiensi anggaran mestinya menjadi kesadaran pemerintah dalam situasi apa pun agar dapat
mengoptimalkannya untuk kesejahteraan rakyat dan bukan kesejahteraan pelaksana anggaran.
Tanpa motivasi internal pemerintah untuk melakukan efisiensi anggaran, bisa dipastikan langkah
ini tidak akan diikuti oleh pemerintah daerah karena beban subsidi BBM hanya ditanggung oleh
pemerintah pusat.

Di samping itu, sangat mungkin setelah Pemilu 2009 praktik inefisiensi anggaran di pemerintah
pusat akan kembali terjadi karena dengan berakhirnya tekanan pemilu pemerintah berkuasa
memiliki keleluasaan untuk menaikkan harga minyak. Dalam situasi inefisiensi anggaran sudah
menjadi budaya, mengubahnya dari intern pemerintah sendiri memang tidak mudah.

Momentum kenaikan harga minyak dan tekanan pemilu ini setidaknya bisa dimanfaatkan untuk
menciptakan budaya baru yang dapat mengeliminasi perilaku budget slack. Karenanya,
masyarakat perlu mendorong pemerintah untuk menciptakan budaya yang tidak menoleransi
praktik budget slack.

Pemerintah, dalam hal ini, perlu mendorong setiap atasan suatu lembaga pemerintah baik di
pusat maupun di daerah untuk senantiasa cermat mengidentifikasi potensi budget slack di setiap
pos mata anggaran,menjauhkan diri dari kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya
kepentingan subjektif terhadap pos mata anggaran tersebut dan dapat bersikap tegas untuk
menolak menyetujui anggaran yang diajukan sekiranya ditemukan praktik budget slack.
Sekiranya kondisi ini dapat diwujudkan, musibah kenaikan harga minyak akan bisa menjadi
berkah tersendiri dalam upaya mengatasi masalah inefisiensi anggaran. Dengan demikian,
pengalaman dalam menangani anggaran KPU mestinya juga diterapkan pada penanganan
terhadap usulan anggaran instansi dan lembaga pemerintah lain di masa mendatang. (*)

URL Source: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/opini/efisiensi-anggaran-pemeri

Rizal Yaya, MSc, Akt


Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai