Anda di halaman 1dari 46

TUGAS BESAR

JALAN RAYA 2
“PERENCANAAN PERKERASAN JALAN”
DOSEN
JOHN FRANS ST. MT

OLEH :

FEBRIAN B PERANG (1706010036)

REZA MARFRET SUILIMA (1706010127)

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS SAINS DAN TEKNIK
UNIVERSITAS NUSA CENDANA
KUPANG
2020
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS BESAR

JALAN RAYA 2

Telah diperiksa dan disetujui

Kupang, ..............................

Dosen Mata Kuliah :

JOHN HENDRIK FRANS, ST, MT.

NIP. 197550602 200112 1 002


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas izin
dan perkenaan-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas besar Jalan Raya 2 tentang Perkerasan
Jalan.
kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak John Hendrik Frans, ST, MT yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan dengan
bidang studi yang saya tekuni.

kami menyadari, tugas ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan tugas ini.

Kupang, Mei 2020


Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan pengikat yang
digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai adalah batu pecah atau batu
belah atau batu kali ataupun bahan lainnya. Bahan ikat yang dipakai
adalah aspal, semen ataupun tanah liat sebagai bahan ikatnya sehingga lapis konstruksi
tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta kestabilan tertentu
agar mampu menyalurkan beban lalulintas diatasnya ke tanah dasar secara aman.
Fungsi utama dari perkerasan sendiri adalah untuk menyebarkan atau mendistribusikan
beban roda ke area permukaan tanah-dasar (sub-grade) yang lebih luas dibandingkan
luas kontak roda dengan perkerasan, sehingga mereduksi tegangan maksimum yang
terjadi pada tanah-dasar. Perkerasan harus memiliki kekuatan dalam menopang beban
lalu-lintas. Permukaan pada perkerasan haruslah rata tetapi harus mempunyai
kekesatan atau tahan gelincir (skid resistance) di permukaan perkerasan. Perkersasan
dibuat dari berbagai pertimbangan, seperti: persyaratan struktur, ekonomis, keawetan,
kemudahan, dan pengalaman (Crhistiady, 2011).

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan tugas Perkerasan Jalan ini adalah:


1. Mengetahui Tebal Konstruksi Perkerasan dengan Metode CBR
2. Mengetahui Tebal Konstruksi Perkerasan dengan Metode Analisa Komponen
Bina Marga

1.3 Ruang Lingkup Tugas

Adapun ruang lingkup dalam tugas perancangan geometrik jalan ini adalah sebagai
berikut:

1. Merencanakan Tebal Konstruksi Perkerasan dengan Metode CBR


2. Merencanakan Tebal Konstruksi Perkerasan dengan Metode Analisa Bina
Marga
BAB II
PERMASALAHAN

2.1 Permasalahan Umum Perkerasan Jalan

Kegiatan perekonomian sangat di dukung dengan tersedianya prasarana


jalan.Jalan yang baik memperlancar hubungan antara berbagai daerah. Sebaliknya
jala yang rusak pastinya akan menghambat kegiatan ekonomi dan bias menjadi
penyebab terjadinya kecelakaan. Kerusakan jalan memang menjadi salah satu
masalah di Indonesia yang seringkali terjadi terutama di jalan jalan yang volume lalu
lintasnya padat. Terdapat beberapa permasalahan umum yang banyak terjadi saat
ini terhadap akses jalan,antara lain :

1. Retak lelah dan deformasi pada semua lapisan perkerasan aspal


2. Retak

3. Distori

4. Kegemukan

5. Lubang – Lubang

6. Pengausan

7. Stripping

Setiap jenis kerusakan yang terjadi di jalan-jalan perkerasan aspal perlu


diobservasi terlebih dahulu sebelum dilakukan langkah-langkah perbaikan atapun
pembuatan jalan baru agar perbaikan yang dilakukan bisa benar-benar sesuai
dengan kerusakan yang terjadi. Dengan observasi, perbaikan dapat dikerjakan
dengan lebih efektif dan efisien.
BAB III
LANDASAN TEORI

3.1 Perkerasan Jalan

Perkerasan jalan adalah bagian jalan raya yang diperkeras dengan agregat dan
aspal atau semen (Portland Cement) sebagai bahan ikatnya sehingga lapis konstruksi
tertentu, yang memiliki ketebalan, kekuatan, dan kekakuan, serta kestabilan tertentu
agar mampu menyalurkan beban lalulintas diatasnya ke tanah dasar secara aman.
Fungsi utama dari perkerasan sendiri adalah untuk menyebarkan atau mendistribusikan
beban roda ke area permukaan tanah-dasar (sub-grade) yang lebih luas dibandingkan
luas kontak roda dengan perkerasan, sehingga mereduksi tegangan maksimum yang
terjadi pada tanah-dasar. Perkerasan harus memiliki kekuatan dalam menopang beban
lalu-lintas. Permukaan pada perkerasan haruslah rata tetapi harus mempunyai
kekesatan atau tahan gelincir (skid resistance) di permukaan perkerasan. Perkersasan
dibuat dari berbagai pertimbangan, seperti: persyaratan struktur, ekonomis, keawetan,
kemudahan, dan pengalaman (Crhistiady, 2011).

3.1.1 Jenis Konstruksi Perkerasan Berdasarkan Bahan ikatnya

Menurut Sukirman (1999), berdasarkan bahan pengikatnya kontruksi


perkerasan jalan dapat dibedakan atas:

1. Kontruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan


yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu-lintas.

2. Konstruksi perkerasan kaku (Rigrid Pavement), yaitu perkerasan yang


menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikat.
Pelat beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan di atas tanah
dasar dengan
atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu-lintas sebagian beasr
dipikul oleh pelat beton.
3. Kontruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu
perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentu dapat
berupa perkerasan lentur di atas perkerasan kaku, atau perkerasan di
atas perkerasan lentur yang ada di lapangan.
3.2 KONSTRUKSI PERKERASAN LENTUR (Flexible Pavement)
Perkerasan lentur merupakan campuran agregat batu pecah, pasir, material
pengisi (filler), dan aspal yang kemudian dihamparkan lalu dipadatkan. Perkerasan
lentur dirancang untuk melendut dan kembali lagi ke posisi semula bersama-sama
dengan tanah-dasar pada saat menerima beban. Perancangan perkerasan lentur
didasarkan pada teori elastis dan pegalaman lapangan. Teori elastis pada
perkerasan sendiri untuk menganalisis regangan dalam setiap lapisan agar defleksi
permanen tidak terjadi (Christiady, 2011). Perkerasan lentur (Flexible Pavement),
yaitu perkerasan yang ,menggunakan aspal sebagai bahan pengikat. Lapisan-lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu-lintas (Sukirman,
1999).
Sesuai dengan konsep perkerasan lentur, perkerasan ini akan melendut /
melentur bila diberikan beban maka perkerasan. Karena sifat penyebaran gaya
maka muatan yang diterima oleh masing-masing lapisan berbeda dan semakin
kebawah semakin kecil. Gaya yang di terima masing-masing lapisan berbeda-beda
dan akan semakin kecil. Lapisan permukaan harus mampu menerima seluruh jenis
gaya yang bekerja, lapis pondasi atas menerima gaya vertikal dan getaran,
sedangkan tanah dasar akan menerima gaya vertikal saja (Sukirman, 1999), seperti
yang ditunjukkan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Distribusi Beban Roda Pada Perkerasan (sumber: wiryanto, 2011)
Berdasarkan dari Gambar 3.1 distribusi beban dari roda keperkerasan, kerusakan
yang biasa terjadi di lapangan adalah kerusakan bagian lapis atas, seperti terjadi
cracking atau bleeding akibat kualitas aspal yang tidak dapat melayani kebutuhan
jalan. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggunakan Aspal Starbit E-55 dan
Retona Blend E-55 sebagai alternatif peningkatan kualitas aspal yang tidak hanya
berupa peningkatan titik lembek, namun juga elastic recovery (sangat penting untuk
daerah dengan lalulintas berat), kelengketan terhadap agregat, ketahanan terhadap
oksidasi, ketahanan terhadap fatigue (kerekatan) dan ketahanan terhadap
deformasi.
3.2.1 Jenis Lapisan Pada Perkerasan Lentur
Struktur perkerasan jalan terdiri dari beberapa lapis material yang
diletakkan pada tanah-dasar. Kompenen material tersebut akan
memberikan sokongan penting dari kapasitas struktur perkerasan
(Christiady, 2011). Untuk mendapatkan kekuatan struktur perkerasan
yang optimal dan ekonomis, maka struktur perkerasan dibuat berlapis-
lapis berdasarkan besar beban yang diterima dari roda kendaraan sampai
ke tanah-dasar. Setiap lapis pada perkerasan mempunyai fungsi yang
berbeda-beda. Setiap lapisan juga harus bias mendistribusikan beban
sampai kebawah, jika salah satu lapisan tidak bisa mendistribusikan beban
dengan baik, maka akan merusak lapisan yang lain. Lapisan paling atas
terdiri dari 2 lapisan, yaitu: wearing course, kemudian binder course, lalu
lapisan pondasi atas (base course), lapisan pondasi bawah (sub-base),
kemudian tanah dasar (sub-grade). Gambar 3.2 adalah gambar dari lapis
perkerasan lentur

Gambar 3.2 lapisan perkerasan lentur

3.3 Material Perkerasan Jalan


Material yang terdapat dalam perkerasan beton aspal meliputi agregat, bahan
pengisi (filler), dan aspal. Material tersebut kemudian dicampur berdasarkan
standarisasi yang sudah ada. Bahan ikat pada struktur perkerasan dapat berupa
semen portland (PC) atau aspal. Aspal yang digunakan pada penelitian ini adalah
aspal modifikasi. Aspal modofikasi yang digunakan ada 2 jenis, yaitu aspal Starbit E-
55 dan aspal Retona Blend E-55 sebagai bahan ikatnya.
3.3.1 Aspal
Aspal didefiniskan sebagai material perekat ,berwarna hitam atau coklat
tua, dengan unsur utama bitumen. Aspal dapat diperoleh di alam atau
pun merupakan residu dari pengilangan minyak bumi. Bitumen sering juga
di sebut aspal. Aspal adalah material yang pada temperatur ruang
berbentuk padat sampaii agak padat, dan bersifat termoplastis. Jadi aspal
akan mencair jika dipanaskan sampai temperatur tertentu, dan kembali
membeku jika temperatur turun. Bersama dengan agregat, aspal
merupakan material pembentuk campuran perkerasan jalan. Banyaknya
aspal dalam campuran perkerasan berkisar antara 4-10% berdasarkan
berat campuran, atau 10-15% berdasarkan volume campuran (Sukirman,
1999).
3.3.1.1 Asbuton (Aspal Batu Buton)
Asbuton merupakan singkat dari aspal batu buton. Asbuton
adalah aspal alam yang depositnya terdapat di Pulau Buton,
Sulawesi Tenggara. Pulau Buton memiliki panjang sekitar 130 km
dan lebar 50 km. Asbuton pertama kali ditemukan oleh warga
berkebangsaan Belanda bernama Hetzel pada tahun 1920.
Asbuton tersebar dibanyak daerah di Pulau Buton, antara lain
Kabungka, Lawake, Ereke, Wariti, Waisu dan sekitarnya. Asbuton
merupakan aspal alam yang depositnya lebih dari 300.000.000
ton, atau sebanding dengan deposit aspal lainnya di dunia.
Melihat peluang dari asbuton ini pada peneliti, investor,
pemerintah, dan universitas banyak melakukan penelitian dan uji
laboratorium untuk asbuton tersebut.
Penggunaan asbuton sebagai bahan ikat pada perkerasan jalan
tidak sederhana atau sebudah seperti aspal minyak pada
umumnya. Beberapa uji coba dengan menggunakan asbuton
terlah dilakukan dan hasilnya cukup baik. Meski hasil yang
dihasilkan cukup baik, tidak mudah bagi pabrik asbuton dalam
memproduksi asbuton dengan karakteristik yang diinginkan oleh
para peneliti di laboratorium dan pelaksana perkerasan di
lapangan. Sebagai bahan alam pada umumnya, asbuton memiliki
sifat bitumen, kadar minyak ringan, kadar air, dan kadar lainnya
yang bervariasi. Berdasarkan hal tersebut, seharusnya asbuton
dapat dimodifikasi sesuai dengan karakteristik yang digunakan
pada penelitian. Asbuton merupakan campuran antara bitumen
dan mineral sehingga menyebabkan asbuton tidak dapat
diperlakukan seperti biasa. Asbuton tidak dapat dicairkan dan
dipompa seperti aspal minyak biasa dengan suhu yang biasa
digunakan pada proses pencampuran hot-mix. Asbuton juga
mudah menggumpal selama masa penyimpanan, terutama
beberapa asbuton dengan nilai penetrasi tinggi sehingga selalu
terhambur.
Proses pencampuran asbuton dengan aspal minyak adalah cara
para produsen pengelola asbuton agar asbuton tersebut lebih
mudah dalam pengerjaannya. PT. Olah Bumi Mandiri kemudian
membuat aspal modifikasi yang mencampurkan aspal minyak
biasa dengan asbuton yang diberi nama Retona Blend E-55.
Retona Blend 55 merupakan gabungan antara asbuton butir yang
telah diekstraksi sebagian dengan aspal keras pen 60 atau pen 80.
Komposisi yang ada di dalam campuran Retona Blend E-55 adalah
80% Pen 60/70 dan 20% Asbuton. Komposisi ini dalam satuan
berat (Kg). Pembuatannya dilakukan secara fabrikasi dengan alat
pengaduk aspal tambahan pada unit pencampur aspal yang
dilengkapi alat pemanas, berfungsi untuk menjamin homogenitas
serta mencegah terjadinya pengendapan mineral Retona Blend E-
55. Proses pembuatan dapat dilihat seperti pada gambar di bawah
ini.

Gambar 3.3 Proses Pencampuran Retona Blend E-55


Sumber: PT. Olah Bumi Mandiri, Jakarta (2008)
3.3.1.2 Aspal Modifikasi Polimer
Sejak tahun 1980, polimer banyak dipakai untuk
memodifikasi aspal. Polimer sendiri beragam macamnya,
namun sejak tahun 1985an, polimer dalam golongan
elastomerlah yang banyak digunakan untuk memodifikasi
aspal. Modifikasi aspal berbasis elastomer ini sudah
berkembang jauh dan telah digunakan sebagai standar aplikasi
baru di Eropa, Amerika, Jepang, Australia, dan banyak negara
maju lainnya. Penggunaan elastomer sebagai modifier aspal ini
disukai karena terbukti mampu memberikan peningkatan yang
signifikan hampir pada seluruh parameter properties aspal
yang dibutuhkan untuk dunia konstruksi jalan. Peningkatan ini
tidak hanya meliputi titik lembek, tapi juga elastic recovery,
daya dukung struktural, ketahanan terhadap air dan sinar ultra
violet, kelengketan terhadap agregat, dsb. Hasil pengalaman
selama ini di berbagai dunia, tidak ada modifier lain yang
memberikan kualitas peningkatan yang setara dengan
elastomer ini. Misalnya, aditif/modifier A akan menaikkan titik
lembek namun ternyata mengurangi kelengketan aspal
terhadap batuan dan lainnya.
Elastomer adalah sejenis polimer yang bersifat kenyal
yang menjadi suatu sifat yang ciri bagi getah karet. Elastomer
juga sering digunakan menjadi bahan baku pada pembuatan
ban kendaraan. Elastomer boleh diubahkan bentuknya dan
boleh ditarik hingga berganda-ganda panjangnya, tetapi balik
kepada bentuk asal pula. Elastomer juga mengandungi
molekul-molekul yang panjang dan halus, dan menjadi teratur
apabila ditarik (http://ms.wikipedia.org/wiki/Elastomer).
Berdasarkan dari sifat elastomer tersebut, aspal modifikasi
berbasis elastomer telah dikembangkan oleh PT Bintang Jaya
dan mulai dipasarkan pertengahan tahun 2005. Beberapa uji
lapangan telah pula dilakukan sebelumnya dan kini telah
berumur satu tahun lebih dan praktis belum mengalami
distress/kerusakan. Starbit E-55 diproduksi untuk memenuhi
persyaratan spesifikasi baru dari Bina Marga tersebut. Bedanya
dengan aspal modifikasi yang lain, Starbit merupakan aspal
yang dimodifikasi dengan polimer jenis elastomer. Seperti yang
tersebut dalam butir 14, peningkatan kualitas aspal yang
didapat tidak hanya berupa peningkatan titik lembek, namun
juga elastic recovery (sangat penting untuk daerah dengan lalu
lintas beban berat), kelengketan terhadap agregat, ketahanan
terhadap oksidasi, ketahanan terhadap fatigue (keretakan),
dan ketahanan terhadap deformasi. Ketahanan terhadap air
dan cuaca juga merupakan nilai tersendiri yang ditawarkan
oleh produk ini.
Sumber: PT. Bintang Indra Jaya, Semarang (2005).
Tabel 3.1 Ketentuan untuk Aspal Keras

Aspal Modifikasi
No Jenis Pengujian Metode Pengujian Pen 60/70 Elastomer
Asbuton
Sintetis
1 Penetrasi pada 25°C SNI 06-2456-1991 60-70 40-55 Min 40
(dmm)
2 Viskositas 135°C SNI 06-6441-2000 385 385-2000 <3000
3 Titik lembek (°C) SNI 06-2434-1991 > 48 - >54
4 Indeks penetrasi - > -1,0 >-0,5 >-0,4
5 Duktilitas pada 25°C SNI 06-2432-1991 >100 >100 >100
(cm)
6 Titik nyala (°C) SNI 06-2433-1991 >232 >232 >232
7 Kelarutan dalam ASTM D5546 >99 >90 >99
Tolueno (%)
8 Berat jenis SNI 06-2441-1991 >1,0 >1,0 >1,0
9 Stabilitas ASTM D 5976 PART - <2,2 <2,2
Penyimpanan (°C) 6.1
Pengujian Residu hasil TFOT atau RTFOT :
10 Berat yang hilang SNI 06-2442-1991 <0,8 <0,8 <0,8
11 Penetrasi pada 25°C SNI 06-2456-1991 >54 >54 >54
12 Indeks penetrasi - >1,0 >0 >0,4
13 Keelastisan setelah AASHTO T 301-98 - - >60
pengembalian (%)
14 Duktilitas pada 25°C SNI 06-2432-1991 >100 >50 -
(cm)
15 Partikel yang lebih
halus dari 150 (pm) (%) - Min 95 Min 95

Sumber : Divisi VI Bina Marga, 2010

3.4 Agregat
Agregat merupakan salah satu komponen yang sangat penting di dalam
pekerjaan perkerasan jalan. Agregat merupakan batuan-batuan yang terdapat di
tanah yang berasal dari kulit bumi. Material agregat yang digunakan untuk
konstruksi perkerasan jalan tugas utamanya untuk memikul beban lalu lintas.
Agregat dengan kualitas dan sifat yang baik dibutuhkan untuk lapiosan
permukaan yang langsung memikul beban dan mendistribusikan ke lapisan di
bawahnya. Oleh karena itu, sifat agregat yang menentukan kualitasnya sebagai
bahan perkerasan jalan dapat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu :
(Sukirman, 1999)
1. Kekuatan dan keawetan lapisan perkerasan dipengaruhi oleh :
a. Gradasi,
b. Ukuran maksimum,
c. Kadar lempung,
d. Kekerasan dan ketahanan,
e. Bentuk butir, dan
f. Tekstur permukaan.
2. Kemampuan dilapisi aspal dengan baik dipengaruhi oleh :
a. Porositas,
b. Kemungkinan basah, dan
c. Jenis agregat.
3. Kemudahan dalam pelaksanaan dan menghasilkan lapisan yang aman dan
nyaman dipengaruhi oleh :
a. Tahanan gesek (skid resistance), dan
b. Campuran yang memberikan kemudahan dalam pelaksanaan.

3.4.1 Gradasi Agregat


Gradasi adalah susunan butir agregat sesuai ukuran partikelnya
dan dinyatakan dalam presentase terhadap total beratnya, diperoleh
dari hasil analisa saringan (1 set saringan) dengan cara melewatkan
sejumlah material melalui serangkaian saringan dari ukuran besar ke
ukuran kecil dan menimbang berat material yang tertahan pada
masing-masing saringan. Gragasi atau distribusi partikel-partikel
berdasarkan agregat merupakan hal yang penting dalam menentukan
stabilitas perkerasa. Gradasi agregat mempengaruhi besarnya rngga
antar butir dalam proses pelaksanaan (Sukirman, 1999).
Gradasi agregat secara umum dapat dikelompokkan, sebagai berikut :
1. Gradasi Seragam (uniform graded)

Adalah agregat yang hanya terdiri atas butir-butir agregat


berukuran sama atau hampir sama atau mengandung agregat
halus yang sedikit jumlahnya sehingga tidak dapat mengisi
rongga antar agregat. Campuran beton aspal yang dibuat dari
agregat bergradasi ini memiliki sifat banyak rongga udara (void),
permeabilitas yang tinggi, stabilitas rendah dan berat isi (density)
yang kecil.
2. Gradasi Rapat (dense graded)

Adalah agregat yang ukuran butirannya kasar sampai dengan


butiran halus terdistribusi secara merata dalam satu rentang
ukuran butir atau sering disebut dengan gradasi menerus.
Campuran dengan gradasi ini akan memiliki stabilitas tinggi, sifat
kedap air bertambah dan memiliki berat isi lebih besar.
Ketentuan gradasi rapat dapat dilihat

3. Gradasi Senjang (poorly graded)

Adalah agregat dengan distribusi ukuran butirannya tidak


menerus, atau ada bagian ukuran yang tidak ada, jika ada
hanya sedikit sekali. Agregat dengan gradasi timpang akan
menghasilkan lapis perkerasan yang mutunya terletak
diantara kedua jenis di atas.
Dalam penelitian ini gradasi yang digunakan dalam campuran
AC-WC adalah jenis Laston Gradasi Rapat dan Gradasi Senjang
berdasarkan spesifikasi umum Bina Marga 2010, yang
ditunjukkan pada Tabel3.4 dan Tabel 3.5.

Tabel 3.4 Ketentuan Gradasi Rapat

Ukuran Saringan Berat yang Lolos (%)

ASTM (mm)
1" 25 -
3/4 " 19 100
1/2 " 12,5 90 - 100
3/8 " 9,5 72 - 90
No. 4 4,75 43 - 63
No. 8 2,36 28 - 39,1
No. 16 1,18 19 - 25,6
No. 30 0,600 13 - 19,1
No. 50 0,300 9 - 15,5
No. 100 0,150 6 - 13
No. 200 0,075 4 - 10
Sumber: Divisi VI Bina Marga. 2010

Tabel 3.5 Ketentuan Gradasi Senjang

Ukuran Saringan Berat yang Lolos (%)

ASTM (mm)
1" 25 -
3/4 " 19 100
1/2 " 12,5 90 - 100
3/8 " 9,5 75 - 85
No. 4 4,75 -
No. 8 2,36 50 - 72
No. 16 1,18 -
No. 30 0,600 35 - 60
No. 50 0,300 -
No. 100 0,150 -
No. 200 0,075 6 - 10
Sumber: Divisi VI Bina Marga, 2010
3.5 BAHAN PENGISI / FILLER
Bahan pengisi mineral adalah abu mineral tembus ayakan No.200 mesh. Jenis
bahan filler secara umum terdiri dari : debu batu kapur, debu dolomit, semen
portland, abu layang atau fly ash, atau bahan bahan mineral tidak plastis
lainnya. Berdasarkan Spesifikasi Umum Bina Marga 2010, bahan pengisi (Filler)
untuk beton aspal, mempunyai ketentuan bahwa bahan pengisi yang
ditambahkan harus bebas dari bahan yang tidak dikehendaki dan tidak
menggumpal. Debu batu (stone dust) dan bahan pengisi yang ditambahkan
harus kering dan bebas dari gumpalan-gumpalan serta bila diuji dengan
penyaringan sesuai ketetapan Divisi VI Bina Marga, 2010 harus mengandung
bahan yang lolos saringan No.200 (75 mikron) tidak kurang dari 75% terhadap
beratnya.
3.6 MARSHALL TEST
Pengujian Marshall adalah suatu metode pengujian untuk mengukur
stabilitas dan kelelehan plastis campuran beraspal dengan menggunakan
Marshall. Merupakan metode yang paling umum digunakan dan sudah
distandarisasi. Dalam metode tersebut terdapat tiga parameter penting dalam
pengujian tersebut, yaitu beban maksimum yang dapat dipikul benda uji sebelum
hancur atau sering disebut dengan Marshall stability dan deformasi permanen
dari benda uji sebelum hancur yang disebut dengan Marshall Flow serta turunan
yang merupakan perbandingan antara keduanya (Marshall Stability dengan
Marshall Flow) yang disebut dengan Marshall Quotient (MQ).
Untuk mengetahui karateristik campuran beton aspal dapat diketahui dari sifat-
sifat Marshall yang ditunjukan dengan parameter di bawah ini:
1. Stabilitas (stability),
2. Kelelehan (flow),
3. MQ (Marshal Quotient),
4. VITM (Void in the Total Mix),
5. VFWA (Void Filled With Asphalt),
6. VMA (Void in Mineral Aggregate), dan
7. Kepadatan (density).

3.6.1 Stabilitas (stability)


Stabilitas merupakan kemampuan lapis perkerasan untuk menahan
deformasi yang terjadi akibat beban lalu lintas yang bekerja diatasnya
tanpa mengalami perubahan bentuk tetap seperti gelombang dan alur.
Stabilitas sendiri dipengaruhi oleh bentuk, kualitas, tekstur permukaan dan
gradasi agregat yaitu gesekan antar butiran agregat dan penguncian antar
agregat, daya lekat dan kadar aspal dalam campuran. Nilai stabilitas
diperoleh berdasarkan nilai masing-masing yang ditunjukkan oleh jarum
dial. Untuk nilai stabilitas, nilai yang ditunjukkan pada jarum dial perlu
dikonversikan terhadap alat Marshall. Selain itu pada umumnya alat
Marshall yang digunakan bersatuan Lbf (pound force), sehingga harus
disesuaikan satuannya terhadap satuan kilogram. Selanjutnya nilai tersebut
juga harus disesuaikan dengan angka koreksi terhadap ketebalan atau
volume benda uji.

3.6.2 Kelelehan (flow)


Kelelehan menunjukkan besarnya deformasi yang terjadi pada lapis
keras akibat beban yang diterimanya. Nilai Flow yang tinggi menandakan
campuran bersifat plastis, sebaliknya nilai Flow yang rendah maka
campuran akan bersifat kaku. Seperti halnya cara memperoleh nilai
stabilitas seperti di atas Nilai flow berdasarkan nilai masing-masing yang
ditunjukkan oleh jarum dial. Hanya saja untuk alat uji jarum dial flow
biasanya sudah dalam satuan mm (milimeter).
3.6.3 MQ (Marshal Quotient)
Marshall Quotient yaitu perbandingan antara nilai stabilitas dengan nilai
flow. Nilai Marshall Quotient (MQ) didapat dari hasil bagi antara nilai
stabilitas dengan nilai flow. Nilai dari Marshall Quotient (MQ) akan
memberikan nilai fleksibilitas campuran. Semakin besar nilai Marshall
Quotient berarti campuran semakin kaku, sebaliknya bila semakin kecil
nilainya maka campuran semakin lentur. Fleksibilitas akan naik
diakibatkan oleh penambahan kadar aspal dan akan turun setelah sampai
pada batas optimum.
3.6.4 VITM (Void in the Total Mix)
VITM (Void in the Total Mix) adalah persentase antara rongga udara
dengan volume total campuran setelah dipadatkan. Nilai VITM akan
semakin kecil apabila kadar aspal semakin besar. Nilai VITM berpengaruh
terhadap keawetan lapisan perkerasan jalan raya, semakin tinggi nilai
VITM menunjukan semakin besar rongga dalam campuran sehingga
campuran bersifat porous. Hal ini akan menyebabkan campuran menjadi
kurang rapat sehingga air dan udara mudah memasuki rongga-rongga
dalam campuran yang menyebakan aspal mudah teroksidasi sehingga
menyebabkan lekatan antar butir agregat berkurang dan terjadi
pelepasan butiran serta pengelupasan permukaan.
3.6.5 VFWA (Void Filled With Asphalt)
VFWA (Void Filled With Asphalt) VFWA yaitu persentase rongga dalam
campuran yang terisi aspal yang nilainya akan naik berdasarkan naiknya
kadar aspal sampai batas tertentu, dimana rongga telah penuh. Nilai
VFWA berpengaruh pada sifat kekedapan campuran terhadap air dan
udara serta sifat elastisitas campuran. Dengan kata lain VFWA
menentukan stabilitas, fleksibilitas dan durabilitas. Semakin besar nilai
VFWA, maka semakin banyak aspal yang terisi di dalam rongga, sehingga
kekedapan campuran terhadap air dan udara semakin besar juga dan
menyebabkan bleeding. Sebaliknya semakin kecil nilai VFWA, maka
kekedapan perkerasan terhadap air dan udara akan semakin kecil juga,
sehingga aspal akan mudah teroksidasi sehingga keawetan akan
berkurang.
3.6.6 VMA (Void in Mineral Aggregate)
VMA (Void in Mineral Aggregate) adalah persentase rongga udara antar
butiran agregat dalam campuran agregat aspal padat, termasuk rongga
udara dan kadar aspal efektif dalam total volume campuran. Jika VMA
terlalu besar maka campuran bisa memperlihatkan masalah stabilitas dan
tidak ekonomis untuk diproduksi, sebaliknya jika terlalu kecil maka
campuran bisa mengalami masalah durabilitas.

3.6.7 Kepadatan (density)


Nilai kepadatan (density) menunjukkan tingkat kerapatan campuran yang
telah dipadatkan. Semakin besar nilai density, maka kerapatannya
semakin baik. Dengan semakin meningkatnya kadar aspal, jumlah aspal
yang dapat mengisi rongga antar butir semakin besar, sehingga campuran
menjadi semakin rapat dan padat.
3.7 UJI PERENDAMAN (Immersion Test)
Uji perendaman (Immersion Test) bertujuan untuk mengetahui perubahan
karakteristik dari campuran akibat pengaruh air, suhu, dan cuaca. Pengujian ini
pada prinsipnya sama dengan pengujian Marshall standar, hanya waktu
perendaman saja yang membedakan. Benda uji pada Immersion Test direndam
selama 24 jam pada suhu konstan 60°C sebelum pembebanan diberikan.
Hasil perhitungan indeks tahanan campuran aspal (Index of retained strength)
adalah persentase nilai stabilitas campuran yang direndam selama 24 jam yang
dibandingkan dengan stabilitas campuran biasa. Apabila indeks tahanan campuran
lebih atau sama dengan 75%, campuran tersebut dapat dikatakan memiliki tahanan
yang cukup baik dari kerusakan akibat pengaruh air, suhu, dan cuaca.

3.8 UJI TARIK TIDAK LANGSUNG (Indirect Tensile Strength Test)


Uji tarik tidak langsung Indirect Tensile Strength Test adalah suatu metode
untuk mengetahui nilai gaya tarik dari asphalt concrete. Sifat uji ini adalah
kegagalan gaya tarik yang berguna untuk memperkirakan tegangan maksimum
yang bisa ditahan oleh sebuah beton aspal ketika diregangkan atau ditarik,
sebelum bahan tersebut timbul retakan kemudian patah. Kekuatan tarik adalah
kebalikan dari kekuatan tekan, dan nilainya bisa berbeda. Karena perkerasan
lentur mempunyai sifat kelenturan (flexible), benda uji perkerasan lentur akan
mengalami deformasi sebelum patah atau pecah.
Campuran lapisan perkerasan yang baik dapat menahan beban maksimum,
sehingga dapat mencegah terjadinya retakan. Gaya tarik tidak langsung
menggunakan benda uji yang berbentuk silindris yang mengalami pembebanan
tekan dengan dua plat penekan pada satu titik yang menciptakan tegangan tarik
yang tegak lurus sepanjang diameter benda uji sehingga menyebabkan pecahnya
benda uji. Pengujian gaya tarik tidak langsung secara normal dilaksanakan
menggunakan Marshall yang telah dimodifikasi dengan plat berbentuk cekung
dengan lebar 12,5 mm pada bagian penekan Marshall. Pengukuran kekuatan
tarik dihentikan apabila jarum pengukur pembebanan telah berbalik arah atau
berlawanan dengan arah jarum jam.
3.9 MODULUS KEKAKUAN
Modulus kekakuan aspal ( Stiffness Bittumen ) adalah perbandingan antara
tegangan dan regangan pada aspal yang besarnya tergantung nilai indeks
penetrasi, temperatur, dan lama pembebanan akibat pengaruh beban kendaraan
yang melintas (Brown dan Brunton, 1983). Untuk menentukan nilai modulus
kekakuan nilai kekakuan aspal (Stiffness Bittumen) dapat diperkirakan dengan
bantuan Nomograf Stiffness Bittumen. Begitu juga dengan modulus kekakuan
campuran (Stiffness Mix), nilai modulus kekakuan campuran bertujuan untuk
menunjukan campuran tersebut bersifat kaku atau elastis. Semakin besar nilai
modulus kekakuan campuran (Stiffness Mix) maka campuran tersebut mempunyai
sifat kaku.
BAB VI. PERHITUNGAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Perencanaan Konstruksi Perkerasan Lentur Dengan Metode CBR


Hendak di rancang perkerasan lentur dengan metoda CBR untuk umur rencana 10
tahun. Maka hal pertama yang dilakukan ialah menentukan nilai CBR dari tanah yang akan
di buat perkerasan jalan tersebut.

4.1.1 Menentukan Nilai CBR Perkerasan


Berdasarkan persentase nilai CBR di lapangan dari data perencanaan yang telah
diketahui, maka dilakukan perhitungan untuk mengetahui nilai CBR perkerasan jalan pada
Tabel 4.1. berikut.
Tabel 4. 1. Nilai CBR Perkerasan Jalan

CBR Jumlah yang sama atau Persen yang sama atau lebih
No (%) lebih besar besar
1 2.3 24 24/24 x 100% = 100%
2 2.8 23 23/24 x 100% = 96%
3 2.8 - -
4 3.0 21 21/24 x 100% = 88%
5 3.5 20 20/24 x 100% = 83%
6 3.7 19 19/24 x 100% = 79%
7 3.8 18 18/24 x 100% = 75%
8 3.9 17 17/24 x 100% = 71%
9 4.2 16 16/24 x 100% = 67%
10 4.2 - -
11 4.3 14 14/24 x 100% = 58%
12 4.3 - -
13 4.3 - -
14 4.6 11 11/24 x 100% = 46%
15 4.7 10 10/24 x 100% = 42%
16 4.8 9 9/24 x 100% = 38%
17 5.1 8 8/24 x 100% = 33%
18 6.0 7 7/24 x 100% = 29%
19 6.5 6 6/24 x 100% = 25%
20 7.0 5 5/24 x 100% = 21%
21 7.2 4 4/24 x 100% = 17%
22 7.7 3 3/24 x 100% = 13%
23 8.4 2 2/24 x 100% = 8%
24 8.9 1 1/24 x 100% = 4%
Berdasarkan Tabel 4.1 di atas, maka dibuat grafik yang menghubungkan nilai
CBR dengan persentase nilai CBR di lapangan. Grafik dapat dilihat pada Gambar 4-1.
di bawah ini.

100% 100%
96%
90% 88%
80% 83%
79%
75%
70% 71%
67%
60% 58%
50%
46%
40% 42%
38%
30% 33%
29%
25%
20% 21%
17%
10% 13%
8%
4%
0%
2.3%2.8%3.0%3.5%3.7%3.8%3.9%4.2%4.3%4.6%4.7%4.8%5.1%6.0%6.5%7.0%7.2%7.7%8.4%8.9%

Gambar 4-1. Grafik Penentuan Nilai CBR


Dari grafik di atas didapat nilai CBR yang mewakili adalah 2,85%.

4.1.2 Menentukan Tekanan Gandar Tunggal


Untuk kasus ini, diasumsikan jalan yang akan di bangun ialah jenis arteri primer
Klas I. Berdasarkan Tabel 4.2. Kelas Jalan di Indonesia Yang Masih Berlaku, diperoleh
tekanan gandar tunggal sebesar 7 ton
Tabel 4.2. Klas Jalan di Indonesia Yang Masih Berlaku

No Kelas Jalan Tekanan Gandar Tunggal

1. Kelas I 7 Ton

2. Kelas II 5 Ton

3. Kelas III 3,5 Ton

4. Kelas Ma 2,75 Ton

5. Kelas N 2 Ton

6. Kelas V 1,50 Ton


4.1.3 Menentukan Faktor Curah Hujan
` Penentuan faktor curah hujan diperoleh dari Tabel 4.3 di bawah. Sehingga
untuk daerah dengan curah hujan sebesar 634 mm/tahun dan nilai PI adalah 25 maka
diambil nilai 𝜂 = 5

4.1.4 Menentukan Faktor Drainase


Penentuan faktor drainase diperoleh dari Tabel 4.4 di bawah. Maka untuk
daerah dengan jenis tanah berbutir halus, kondisi air tanah dalam dan klasifikasi tanah
jelek, diambil faktor drainase diambil 𝛿 = 2,5.
Tabel 4.4. Faktor Drainase (δ)

4.1.5 Menentukan Jumlah Lalu Lintas Rencana


 Menghitung LHR (Lintas Harian Rata-Rata)
- Data volume lalu lintas awal umur rencana (Tahun Survei 2010)
1. Data Volume Lalu Lintas awal umur rencana (tahun survei 2010)
a. Mobil penumpang = 2097 Kend/hari
b. Mobil pick up (6 ton) = 97 Kend/hari
c. Bus sedang (6 ton) = 43 Kend/hari
d. Bus besar (9 ton) = 59 Kend/hari
e. Truck sedang (13 ton) = 80 Kend/hari
f. Truck 2 As (18 ton) = 93 Kend/hari
g. Truck 3 As (25 ton) = 117 Kend/hari
h. Trailler (40 ton) = 53 Kend/hari
LHR = 2639 Kend/hari

i selama masa pelaksanaan = 6%


- Menghitung LHR pada awal umur rencana jalan (LHR 2010)

LHR awal  LHR pada awal tahun pelaksanaa n x (1  i) n


dimana : i  angka pertumbuha n lalu lintas selama masa pelaksanaa n (%)
n  waktu pelaksanaa n (tahun)

a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 2097 x (1+0.06)^1 = 2222.82


b. Mobil pick up 6 ton (3+3 = 97 x (1+0.06)^1 = 102.82
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 43 x (1+0.06)^1 = 45.58
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 59 x (1+0.06)^1 = 62.54
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 80 x (1+0.06)^1 = 84.80
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 93 x (1+0.06)^1 = 98.58
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 117 x (1+0.06)^1 = 124.02
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 53 x (1+0.06)^1 = 56.18

i selama masa layan = 8%

- Menghitung LHR pada awal umur rencana jalan (LHR 2020)


LHR awal  LHR pada awal tahun pelaksanaan x (1  i) n
dimana : i  angka pertumbuhan lalu lintas selama masa pelaksanaan (%)
n  waktu pelaksanaan (tahun)

a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 2222,82 x (1+0.08)^10 = 4798.90


b. Mobil pick up 6 ton (3+3 = 102,82 x (1+0.08)^10 = 221.98
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 45,58 x (1+0.08)^10 = 98.40
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 62,54 x (1+0.08)^10 = 135.02
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 84,80 x (1+0.08)^10 = 183.08
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 95,58 x (1+0.08)^10 = 212.83
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 124,02 x (1+0.08)^10 = 267.75
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 56,18 x (1+0.08)^10 = 121.29
4.1.6 Menentukan Koefisien Distribusi Kendaraan
Direncanakan akan dibangun jalan dengan lebar perkerasan 14 m, kemudian
direncanakan jumlah jalur berdasarkan Tabel 4.5. Untuk lebar perkerasan 14 m,
ditentukan jumlah lajur (n) adalah 4 lajur.

Tabel 4.5 Jumlah Lajur Berdasarkan Lebar Perkerasan

Untuk menentukan koefisien distribusi kendaraan (C) maka dapa dilihat pada
tabel 4.6. Koefisien Distribusi Kendaraan (C).

Tabel 4.6. Koefisien Distribusi Kendaraan (C)

Dari tabel 4.6. dapat dilihat bahwa koefisien distribusi kendaraan ialah:
Mobil penumpang ringan = 0,3
Truck berat = 0,45
4.1.7. Menentukan Angka Ekivalen Beban Sumbu (E)
Untuk menentukan angka ekivalen beban sumbu kendaraan, dilihat pada tabel
4.7. berdasarkan asumsi beban sumbu masing-masing kendaraan.

Tabel 4.7. Angka Ekivalen (E) Beban Sumbu Kendaraan

a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 0.0004


b. Mobil pick up 6 ton (3+3) = 0.0366
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 0.0613
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 0.3106
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 1.0648
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 4.9693
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 4.652
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 10.4481

4.1.8. Menghitung Lintas Ekivalen Permulaan (LEP)

n
LEP   LHRj x CjxEj
i 1

dimana : E  angka ekivalen masing - masing kendaraan


C  koefisien distribusi kendaraan
j  jenis kendaraan yang melintasi jalan
ctt : LHR yang dipergunak an adalah LHR awal pelaksanaa n
a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 0.27
b. Mobil pick up 6 ton (3+3) = 1.13
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 0.84
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 8.74
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 40.63
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 220.44
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 259.62
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 264.14
LEP 795.81

4.1.9. Menghitung Lintas Ekivalen Akhir (LEA)

a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 0.58


b. Mobil pick up 6 ton (3+3) = 2.44
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 1.81
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 18.87
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 87.72
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 475.92
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 560.51
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 570.26
LEA 1718.10

4.1.10. Menghitung Lintas Ekivalen Tengah (LET)

LET = (LEP + LEA) = 2513.91 = 1256.957


2 2

4.1.11. Menghitung Lintas Ekivalen Rencana (LER)

LER = LET x FP

= 1256.96

4.1.12. Mennghitung Tebal Perkerasan


Untuk menentukan tebal perkerasan dengan metoda CBR dicari dengan
rumus:

𝑃 𝑥 ( 1 + 0,7 log(𝛿 𝑥 𝜂 𝑥 𝑛)
ℎ𝑒𝑘 = √ − Δ
2 𝑥 𝜋 𝑥 0,8 𝐶𝐵𝑅
hek = 7000(1+0,7 log (2,5 x 4 x 4342004))
-
2 x π x o,8 CBR 19.62266

= 35.96 cm 36 cm

Digunakan bantuan Tabel 4.8. untuk menentukan tebal D 1 dan D2 perkerasan


jalan dengan menggunakan metode CBR.

Tabel 4.8. Penentuan Tebal Perkerasan Jalan D1 dan D2

Diasumsikan lapisan perkerasan sebagai berikut:


 Beton Aspal
 Batu Pecah Kelas A
 Sirtu Kelas B
a1 (beton aspal) = 2 ; D1 diambil = 9 cm (berdasarkan tabel 4.8.)
a2 (batu pecah) = 1 ; D2 diambil = 16 cm ; a3 =0,75
Maka, D3 adalah

hek = a1 x d1 + a2 x d2 + a3 x d3

36 = (2 x 10) + (1 x 15) + 0.75 x d3


36 = 34 + 0.75 x d3
0.75d3 = 2

d3 = 2.666666667 → 3 cm

Maka diperoleh tebal konstruksi perkerasan dengan metode CBR adalah:

1. Lapis permukaan D1 = 9 cm
2. Lapis pondasi D2 = 16 cm
3. Lapis pondasi bawah D3 = 3 cm
4.2. Perencanaan Konstruksi Perkerasan Lentur Metoda Bina Marga Dengan Konstruksi
Langsung
Untuk merencanakan konstruksi perkerasan lentur dengan metoda Bina Marga
dapat dilakukan dengan langkah berikut.
4.2.1 Menentukan Nilai DDT

4.2.2 Menentukan Angka Indeks Akhir Permukaan


Pada perhitungan bagian 4.1.11 telah didapat nilai LER sebesar 1256.96. Untuk
menentukan angka indeks akhir permukaan, didasarkan pada tabel di bawah.

Tabel 4.9. Indeks Permukaan Pada Akhir Umur Rencana (IP)


Pada tabel 4.9 di atas, untuk jalan dengan LER >1000 dan jalan yang
direncanakan merupakan jalan arteri, maka didapat angka indeks akhir permukaan
sebesar 2,5.

4.2.3 Menentukan Faktor Regional (FR)


Untuk menentukan faktor regional, didasarkan pada tabel 4.10. berikut.
Tabel 4.10. Faktor Regional (FR)

Karena curah hujan ialah 634 mm/tahun maka diambil iklim II. Diasumsikan
menggunakan kelandaian jalan I dan setelah dilakukan perhitungan diketahui bahwa
presentasi kendaraan berat < 30% maka berdasarkan Tabel 4.10. Faktor Regional (FR),
didapat nilai FR = 0,5.

4.2.4 Menentukan Indeks Permukaan Awal (IPo)


Untuk nilai IPo dapat ditentukan berdasarkan tabel 4.11. di bawah.
Tabel 4.11. Indeks Permukaan Pada Awal Umur Rencana (Ipo)

Diaasumsikan material perkerasan yang ada ialah

 Laston
 Lapen (Manual)
 Sirtu (kelas A)

Maka nilai ipo adalah 4


4.2.5 Menghitung Nlai ITP
Karena nilai Ipt = 2,5 dan Ipo =4 , maka untuk menentukan nilai ITP menggunakan
nomogram 1 pada gambar 4-4 di bawah ini.

Grafik 4-4. Nomogram 1 Untuk Menentukan Nilai ITP


Dari grafik 4-4 diatas didapat nilai ITP = 10,6
4.2.6. Menentukan Koefisien Kekuatan Relatif
Tabel 4-12. Koefisien Kekuatan Relatif (a)

dengan demikian didapat :


a1 = 0,4
a2 = 0,19
a3 = 0,13
4.2.7. Menentukan Tebal Perkerasan
Untuk menentukan tebal perkerasan didasarkan pada tabel 4.13. di bawah ini.
Tabel 4.13. Batas-batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan

Berdasarkan Tabel 4.13. diperoleh :


1. Lapis permukaan D1 didapat 10 cm
2. Lapis pondasi D2 didapat 20 cm
Sehingga D3 :
maka D3 :
ITP = a1 x D1 + a2 x D2 + a3 x D3
10.6 = (0,4 x 10) + (0,19 x 20) + (0,13 x D3)
10.6 = 7.8 + D3 x 0,11
2.8 = D3 x 0.13
D3 = 21.54 = 22 cm
Maka diperoleh tebal konstruksi perkerasan dengan metode analisa Bina Marga
konstruksi langsung adalah:

1. Lapis permukaan D1 = 10 cm
2. Lapis pondasi D2 = 20 cm
3. Lapis pondasi bawah D3 = 22 cm

Gambar hasil desain tebal perkerasan jalan dengan metode Bina Marga Konstruksi
Langsung:

Gambar 4-5. Perencanaan Tebal Perkerasan dengan Metode Bina Marga Konstruksi
Langsung

4.3. Perencanaan Konstruksi Perkerasan Lentur Metode Bina Marga Dengan Konstruksi
Bertahap
Setelah dilakukan perhitungan pada bagian 4.1, maka didapat nilai CBR tanah
dasar sebesar 2,85 % dan nilai FR yang didapat sebesar 0,5.
1. Data Volume Lalu Lintas awal umur rencana (tahun survei 2010)
a. Mobil penumpang = 2097 Kend/hari
b. Mobil pick up (6 ton) = 97 Kend/hari
c. Bus sedang (6 ton) = 43 Kend/hari
d. Bus besar (9
ton) = 59 Kend/hari
e. Truck sedang (13 ton) = 80 Kend/hari
f. Truck 2 As (18 ton) = 93 Kend/hari
g. Truck 3 As (25 ton) = 117 Kend/hari
h. Trailler (40
ton) = 53 Kend/hari
LHR = 2639 Kend/hari

Perkembangan lalu lintas i = 6%


Selama masa layan 2021 = 8%

Bahan perkerasan
Laston = 0.4
Batu pecah (Kelas A) = 0.14
Sirtu (Kelas C) = 0.11

4.3.1 Menghitung LHR pada awal umur rencana jalan (LHR 2021)
LHR awal  LHR pada awal tahun pelaksanaan x (1  i) n
dimana : i  angka pertumbuhan lalu lintas selama masa pelaksanaan (%)
n  waktu pelaksanaan (tahun)

a. Mobil penumpang 2 ton 2097 x


(1+1) = (1+0.06)^1 = 2222.82
b. Mobil pick up 6 ton (3+3 = 97 x (1+0.06)^1 = 102.82
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 43 x (1+0.06)^1 = 45.58
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 59 x (1+0.06)^1 = 62.54
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 80 x (1+0.06)^1 = 84.80
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 93 x (1+0.06)^1 = 98.58
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 117 x (1+0.06)^1 = 124.02
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 53 x (1+0.06)^1 = 56.18

4.3.2 LHR pada tahun ke 10 dan ke 6 tahun (akhir umur rencana)


Tabel 4.14. Data Pertumbuhan Kendaraan (LHR)

6 tahun 10 tahun
a. Mobil penumpang 2 ton
(1+1) 3527.34 kend 4798.90 kend
b. Mobil pick up 6 ton (3+3 163.16 kend 221.98 kend
c. Bus sedang 6 ton (2+4) 72.33 kend 98.40 kend
d. Bus besar 9 ton (3+6) 99.24 kend 135.02 kend
e. Truck sedang 13 ton (5+8) 134.57 kend 183.08 kend
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) 156.43 kend 212.83 kend
g. Truck 3 As 25 ton
(5+10+10) 196.80 kend 267.75 kend
h. Trailler 40 ton
(7+11+11+11) 89.15 kend 121.29 kend
4.3.3 Angka Ekivalen Beban Sumbu (E)

a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 0.0004


b. Mobil pick up 6 ton (3+3) = 0.0366
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 0.0613
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 0.3106
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 1.0648
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 4.9693
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 4.652
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 10.4481

4.3.4 Menghitung LEP


n
LEP   LHR
j 1
j x C j x Ej

a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 0.3 x 2222.82 x 0.0004 = 0.27


b. Mobil pick up 6 ton (3+3) = 0.3 x 102.82 x 0.0366 = 1.13
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 0.3 x 45.58 x 0.0613 = 0.84
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 0.45 x 62.54 x 0.3106 = 8.74
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 0.45 x 84.8 x 1.0648 = 40.63
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 0.45 x 98.58 x 4.9693 = 220.44
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 0.45 x 124.02 x 4.652 = 259.62
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 0.45 x 56.18 x 10.4481 = 264.14
LEP = 795.81
4.3.5 Menghitung LEA
6 tahun
a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 0.3 x 3527.34 x 0.0004 = 0.42
b. Mobil pick up 6 ton (3+3) = 0.3 x 163.16 x 0.0366 = 1.79
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 0.3 x 72.33 x 0.0613 = 1.33
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 0.45 x 99.24 x 0.3106 = 13.87
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 0.45 x 134.57 x 1.0648 = 64.48
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 0.45 x 156.43 x 4.9693 = 349.82
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 0.45 x 196.80 x 4.652 = 411.99
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 0.45 x 89.15 x 10.4481 = 419.15
LEA6 = 1262.86

10 tahun
a. Mobil penumpang 2 ton (1+1) = 0.3 x 4798.90 x 0.0004 = 0.58
b. Mobil pick up 6 ton (3+3) = 0.3 x 221.98 x 0.0366 = 2.44
c. Bus sedang 6 ton (2+4) = 0.3 x 98.40 x 0.0613 = 1.81
d. Bus besar 9 ton (3+6) = 0.45 x 135.02 x 0.3106 = 18.87
e. Truck sedang 13 ton (5+8) = 0.45 x 183.08 x 1.0648 = 87.72
f. Truck 2 As 18 ton (6+12) = 0.45 x 212.83 x 4.9693 = 475.92
g. Truck 3 As 25 ton (5+10+10) = 0.45 x 267.75 x 4.652 = 560.51
h. Trailler 40 ton (7+11+11+11) = 0.45 x 121.29 x 10.4481 = 570.26
LEA10 = 1718.10

4.3.6 Menghitung LET

LET6 = 1/2 (LEP + LEA4) = 0.5 x 795.8129034 + 1262.855 = 1029.33


LET10 = 1/2 (LEP + LEA10) = 0.5 x 795.8129034 + 1718.1 = 1256.96
4.3.7 Menghitung LER
LER4 = LET6 x UR/10 = 1029.333983 x 0.6 = 617.60

LER10 = LET10 x UR/10 = 1256.956637 x 1 = 1256.96

1.67 LER6 = 1031.39

2.5 LER10 = 3142.39

4.3.8. Mencari ITP


CBR = 2,85 %
DDT = 3,8
IP = 2,5
FR = 0,5
Gambar 4-6. Nomogram 1 untuk Menentukan Nilai ITP Dengan Nilai 1,67 LER6 dan
Nomogram 1 untuk Menentukan Nilai ITP Dengan Nilai 2,5 LER10

Dari Gambar 4-6 dan Gambar 4.7 di atas, maka diperoleh:

1,67 LER6 = 1031.39...........ITP6 = 9,4 (IPo ≥ 4)


2,5 LER10 = 3142.39 ...........ITP10= 10,6 (IPo ≥ 4)

4.3.9 Menetapkan Tebal Perkerasan (Tahap Pertama)


UR = (6+4 tahun)
Untuk 6 Tahun

ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)


9,4 = (0,4 x 10) + (0,19 x 20) + (0,13 x D3)

9,4 = 7,8+0,13xD3

1,6 = D3x 0,13

D3 = 12,31 ≈ 13

4.3.10 Menetapkan Tebal Perkerasan (Tahap Kedua)


Untuk 10 Tahun
ITP = (a1 x D1) + (a2 x D2) + (a3 x D3)
10,6 = (0,4 x 10) + (0,19 x 20) + (0,13 x D3)

10,6 = 7,8+0,13xD3

2,8 = D3x 0,13

D3 = 21,54 ≈ 22

4.4. Perencanaan Konstruksi Perkerasan Kaku


4.4.1. Data Parameter Perencanaan

F'c= 40 MPa

Fcf = 4,427 MPa

4.4.2. Analisis Lalu Lintas


Tabel 4.15. Perhitungan Jumlah Sumbu Berdasarkan Jenis dan Bebannya

KBS (ton) STRT STRG STdRG


Jenis Kendaraan LHR 2012 JMSPK JMS (bh)
RD RB RGD RGB BS (ton) JS (bh) BS (ton) JS (bh) BS (ton) JS (bh)
a. Mobil penumpang 2 ton 1 1 - - 2222.82 - - - - - - - -
b. Mobil pick up 6 ton 3 3 - - 102.82 2 205.64 3 102.82 - - - -
c. Bus sedang 6 ton 2 4 - - 45.58 2 91.16 2 45.58 4 45.58 - -
d. Bus besar 9 ton 3 6 - - 62.54 2 125.08 3 62.54 6 62.54 - -
e. Truck sedang 13 ton 5 8 - - 84.80 2 169.60 5 84.80 8 84.80 - -
f. Truck 2 As 18 ton 6 12 - - 98.58 2 197.16 6 98.58 12 98.58 - -
g. Truck 3 As 25 ton 5 20 - - 124.02 2 248.04 5 124.02 - - 20 124.02
h. Trailler 40 ton 7 11 11 11 56.18 4 224.72 7 56.18 - - 11 56.18
11 56.18
11 56.18
∑ 1261.40 686.88 291.50 56.18

Maka, jumlah sumbu kendaraan niaga (JSKN) ialah:


i= 6%

(1+i)n − 1
R= = 87,218337
log(1+i)

JSKN = 365 x JSKNH x R = 40156281,53

Tabel 4.16. Penentuan Koefisien Distribusi

4.4.3. Perhitungan repetisi sumbu yang terjadi


Tabel 4.17. Perhitungan Repetisi Sumbu Rencana

Jenis Jumlah Proporsi Proporsi JSKN Repetisi yang


Beban sumbu (ton)
sumbu sumbu beban sumbu rencana terjadi
STRT 3 102.82 0.29 18070327 5314801.97
2 45.58 0.12 0.29 18070327 652961.38
6 98.58 0.27 0.29 18070327 1412218.81
5 124.02 0.33 0.29 18070327 1776662.37
∑ 371.00 0.72
4 45.58 0.16 0.23 18070327 652961.38
6 62.54 0.21 0.23 18070327 895923.76
STRG 8 84.80 0.29 0.23 18070327 1214811.88
12 98.58 0.34 0.23 18070327 1412218.81
291.50 1.00
∑ 20 124.02 0.69 0.14 18070327 1776662.37
STdRG 11 56.18 0.69 0.14 18070327 1776662.37
∑ 11 180.20 1.38
Komulatif 16885885.11
4.5. Perencanaan Penulangan Plat Perkerasan Kaku
4.5.1. Perencanaan Tebal Plat

perhitungan tebal plat beton


Sumber data beban = hasil survei
Jenis perkerasan = BBDT
Jenis bahu = Beton
Umur rencana = 20 tahun
JSK = 18070326.69
Faktor keamanan beban (Fkb) = 1.1
Kuat tarik lentur = 4.427 Mpa
stabilisasi semen 15 cm
jenis dan tebal lapis pondasi = bp
CBR tanah dasar = 2.85 %
CBR efektif = 19.5 %
Tebal taksiran pelat beton = 16 mm

Tabel 4.18. Faktor Keamanan Beban (Fkb)

Gambar 4-10. CBR Tanah Dasar Efektif dan Tebal Pondasi Bawah
Tabel 4.19. Analisa Fatik dan Erosi

Beban Analisa Fatik Analisa Erosi


Jenis Rencana Repetisi Faktor Tegangan Persen Persen
Beban sumbu Repetisi Repetisi
Sumbu Per Roda yang terjadi dan Erosi rusak rusak
ijin ijin
(kN) (%) (%)
STRT 30 16.5 5.E+06 TE 1.560 TT
20 11 7.E+05 FE 2.590 TT
60 33 1.E+06 FRT 0.352 1.E+06 112.9775 1.E+05 1412.219
50 27.5 2.E+06 TT

STRG 40 22 7.E+05 TE 2.430 TT


60 33 9.E+05 FE 3.200 TT
80 44 1.E+06 FRT 0.549 TT
120 66 1.E+06 TT
200 110 2.E+06 TT
STdRG 110 60.5 2.E+06 TE 1.970 TT
FE 3.260
FRT 0.445
∑ 112.9775 1412.219

Karena % rusak fatik (telah) lebih besar 100%, maka tebal pelat diambil 17 cm. Untuk
memperoleh analisa fatik, menggunakan Gambar 4-11. seperti yang terlihat di bawah
ini.
Gmabar 4-11. Analisis Fatik dan Beban Repetisi Ijin Berdasarkan Rasio Tegangan
Dengan/Tanpa Bahu Beton (untuk yang pertama)

Sedangkan untuk menentukan analisis erosi, dapat menggunakan Gambar 4-13.


seperti yang terlihat di bawah ini.

Gambar 4-13 Analisis Erosi dan Jumlah Repetisi Beban Berdasarkan Faktor Erosi,
Dengan/Tanpa Bahu Beton ( yang pertama)
4.5.2. Perhitungan Tulangan

tebal pelat = 16 cm = 0.16


lebar pelat = 2 x 3.5 m
panjang pelat = 15 m
koefisien gesek antara pelat beton dengan pondasi bawah = 1.3
kuat tarik ijin baja = 320 Mpa
berat isi beton = 2400 Mpa
gravitasi = 9.81 m/dt2

4.6. Perencanaan Sambungan Dan Penulangan Sambungan

Tulangan Memanjang

  L M  g h
As 
2  fs

As = 114,777 mm2/m'

As min = 0,10 % x 160 x 1000 = 160 mm2/m' > As perlu

Diameter yang digunakan:

D = 10

1
A = 4 𝑥 𝜋 𝑥 102 = 78,54 mm2

Jarak = 10 cm

Jumlah/m’ = 10 buah

As/m’ = 78,54 x 10 = 785,40 mm2


Tulangan Melintang

  L M  g h
As 
2  fs

As = mm2/m'

As min = 0,10 % x 160 x 1000 = 160 mm2/m' > As perlu

Diameter yang digunakan:

D = 8 mm

1
A = 4 𝑥 𝜋 𝑥 82 = 50,27 mm2

Jarak = 20 cm

Jumlah/m’ = 5 buah

As/m’ = 78,54 x 10 = 251,327 mm2


BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
1. Untuk metode CBR, perkerasan yang direncanakan setebal 35,96 cm ≈ 36 cm
2. Untuk metode Bina Marga dengan kontruksi langsung dan umur rencana 10 tahun,
tebal perkerasan yang direncanakan ialah D1 = 10 cm, D2 = 20 cm , D3 = 22 cm.
3. Untuk metode Bina Marga dengan konstruksi bertahap dengan umur rencana 10
tahun dan konstruksi tahap kedua pada tahun ke-5 ialah:
Pada tahap pertama, dengan nilai ITP 10, didapat tebal perkerasan D1 = 10 cm, D2 =
20 cm dan D3 = 13 cm. Dan pada tahap kedua sdengan nilai ITP 11 didapat tebal
perkerasan D1 = 10 cm, D2 = 20 cm dan D3 = 22 cm.
4. Untuk perkerasan kaku, tebal pelat yang direncanakan ialah 16 cm , dengan lebar
pelat 2 x 3,5 cm dan panjang 15 m. Tulangan yang direncanakan ialah untuk tulangan
memanjang digunakan tulangan diameter 10 mm dengan jarak 100 mm dan untuk
tulangan melintang digunakan tulangan diameter 8 mm dengan jarak 200 mm.
4.2. Saran
Pada perencanaan perkerasan ini, baik dengan metode apapun juga masih
ditemukan adanya human error. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar lebih teliti
lagi dalam membaca grafik.
DAFTAR PUSTAKA

Tenriajeng, Andi Tenrisuki. Rekayasa Jalan Raya 2

Rekayasa Jalan Raya. Penerbit: Gunadarma.

Anda mungkin juga menyukai