Anda di halaman 1dari 9

Setetes darah

segenap cinta
Langit malam terlihat pucat kelabu tanpa sang dewi malam. Sinarnya tersembunyi
di balik awan hitam. Gemericik air hujan pun menetes di balik jendela mobilku.
Hembusan angin malam terasa mengusik tubuhku, membuatku ingin cepat turun dari
mobil dan masuk ke dalam rumahku yang baru. Dari teras rumahku terlihat Bi Inah
sedang berjalan dengan membawa payung untuk membukakan pintu gerbang untuk aku
dan Pak Ruli. Segeralah aku berterima kasih kepada mereka dan langsung menuju pintu
rumahku. Tetapi belum sempat aku masuk, Pak Ruli memanggilku.
”Non Bita, jas almamaternya tadi ketinggalan di mobil... ini non..”
”Oh..! terima kasih Pak...,” jawabku.
”Sama-sama non...”
Kulanjutkan langkah kakiku menuju kamar. Bita memang nama panggilanku.
Sejak kematian kakakku lima tahun yang lalu, orang tuaku selalu menginginkan aku agar
menjadi yang terbaik seperti jejak yang telah ditinggalkan kak Nevi, kakakku. Mereka
selalu bersikap keras terhadapku. Hingga aku pun merasa terkekang. Mulai dari belajar di
Kampus, mengikuti bimbingan belajar, latihan vokal, latihan melukis sampai latihan
memainkan biola. Sudah lima tahun lamanya aku menjalankan keinginan orang tuaku ini,
hingga sekarang aku telah beumur 20 tahun. Tidak ada waktu lagi bagiku untuk bermain
seperti sedia kala. Semua itu membuatku merasa lelah dan bosan.
”Huuh!! sungguh melelahkan..!! kak Nevi, sampai kapan aku akan terus begini..?
aku semakin putus asa menghadapinya. Seandainya saja kakak masih ada di sampingku,
mungkin kakak bisa menghiburku. Tapi, kini tak ada lagi orang yang selalu memberi
semangat, tak ada lagi orang yang selalu tersenyum.. kecuali kakak..!! aku sangat
kehilanganmu kakak..,” ungkapku sambil memandangi foto kakakku.
***
”Kriiiing........,” jam weker di kamarku berbunyi. Saat itu jam weker menunjukkan
pukul 05.00 pagi. Aku bangun dan segera membuka jendela kamarku. Aku merasakan
hembusan angin sejuk menggerakkan helai rambutku. Perlahan-lahan matahari pun mulai
terbit menampakkan sinarnya, membuat suasana pagi semakin cerah. Burung-burung di
luar sana bersiul-siul menyambut sinar mentari pagi. Aku pun beranjak dari kamar tidur.
Bersiap-siap untuk menimba ilmu di kampus meskipun dengan rasa malas.
”Pa.. Ma, aku berangkat dulu ya.... assalamu’alaikum...,” pamitku sambil
menyalami tangan mereka.
”Wa’alaikum salam... hati-hati ya Bita..,” jawab mereka.
”Ayo Pak Ruli..,” ajakku kepada Pak Ruli.
”Siap non..!!”
Aku pun menaiki mobilku yang siap mengantarkan aku kemana pun aku pergi.
Setelah 10 menit kemudian, aku sampai di kampus. Seperti biasa, Reva setia menunggu
kedatanganku. Aku pun menghampirinya.
”Doooor.......!!”
”Iih....!! Bita kamu ngagetin aja deh...,” kata Reva kepadaku.
”Maaph... he..he..”
”Teeeeeet................,” bel tanda pelajaran dimulai berbunyi.
”Eh...!! udah bel tuh.. masuk kelas yuuk...??” ajak Reva.
Tak lama kemudian Dosen Biomol datang memasuki kelas kami, Bu Muti
namanya. Kebetulan dia juga Wali Kelas kami.
”Pagi anak-anak...,” sapa Bu Muti.
”Pagi Dok..,” jawab kami serentak.
”Anak-anak, saya akan membagikan hasil ulangan kemarin. Ternyata, hasilnya
cukup menyedihkan. Hanya ada satu anak yang tertinggi di kelas ini dengan nilai 95...”
jelasnya.
”Waah.. itu pasti Bita kan Bu...?? secara dia kan murid paling pintar di kampus
ini, dapat beasiswa lagi..??” ceplos Reva.
”Nanti kamu juga akan tau sendiri Reva...” jawabnya.
Setelah satu persatu hasil tersebut dibagikan, ternyata yang memperoleh nilai 95
adalah Reva sendiri. Aku ikut bangga mendengarnya. Tetapi, dalam hatiku bercampur
rasa sedih dan takut. Nilai yang aku peroleh hanyalah angka 7 bulat, belum lagi masalah
beasiswa itu. Pasti Papa dan Mama semakin marah padaku.
***
”Teeeet... teeeet... teeeet....,” bel tanda pulang kampus berbunyi. Aku cepat-cepat
merapikan semua alat tulisku dan bergegas keluar area kampus. Aku pun menaiki mobil
yang sudah dari tadi menungguku. Seperti biasa aku masih harus menjalankan perintah
orang tuaku sampai pada pukul 20.30.
***
Akhirnya, kegiatan telah usai. Mobilku pun berjalan seiring jalan menuju ke
rumahku. Setelah beberapa menit kemudian, berhentilah mobil ini di depan pintu
gerbangku. Bi Inah sudah siap membukakan pintu gerbangku.
”Assalamu’alaikum...”
”Wa’alaikum salam. Non.. Bapak dan Nyonya sudah pulang loh non. Setelah
Bapak menerima telepon dari kampus non, mereka marah-marah tuh non.. terus mereka
sekarang berada diruang tengah.. Bibi jadi takut non..,” jelas Bi Inah dengan ketakutan.
”Apa...!! ya udah.. makasih ya Bi...”
Saat aku melewati ruang tengah, tiba-tiba Papa memanggilku.
”Bita... sini...!!!” kata Papa dengan muka marah.
”Bita! benarkah nilai Biomol adalah 7 ? jawab dengan jujur!” tanya Papa.
”Iya Pa...,” jawabku dengan seenaknya saja.
”Kamu tau, beasiswa kamu yang kedua kalinya.. dicabut oleh pihak sekolah..!!
apakah kamu tidak malu Bita..?? Siang-malam, Papa dan Mama bekerja hanya demi
kamu, tetapi kamu malah seenaknya begini. Apakah kamu tidak mengerti, kerja keras
Papa dan Mama selama ini..?” jelasnya.
”Pa.., kenapa sich.. sejak kematian Kakak, Papa dan Mama berubah..?? Papa
jahat..!! Bita tersiksa Pa.. Bita tersiksa..!!” jelasku sambil menangis.
”Oh... kalau kamu memang tersiksa berada di rumah ini, lebih baik kamu pergi
dari rumah ini.. kamu memang tidak bisa diandalakan...!!”
”Oke...!! jika memang itu yang Papa inginkan, aku akan pergi dari rumah ini...!!”
”Bita.. jangan Bita..,” cegah Mamaku.
”Ah....!!! Mama sama saja seperti Papa...! Mama tidak lembut lagi seperti dulu..!”
Aku berlari menuju pintu keluar rumah. Aku terus berlari, berlari dan berlari
tanpa sebuah tujuan yang pasti. Aku tidak tau, di manakah aku berada saat ini. Tempat ini
begitu asing bagiku. Aku tidak akan berhenti berlari sampai aku merasa lelah dan tak
sanggup lagi.
Sepertinya sudah cukup jauh aku berlari, hingga kakiku pun perlahan-lahan mulai
terhenti. Di bawah sebuah pohon aku berhenti sejenak, tak kusangka tubuhku basah
penuh dengan keringat. Detak jantungku pun terasa begitu cepat. Aku mencoba mengatur
napasku yang ngos-ngosan. Aku menghela napas dalam-dalam.
Aku memandang langit pada malam itu. Kelap-kelip cahaya bintang terhampar
luas menghiasi hitamnya langit. Mereka bersinar terang saling menyapa satu sama lain.
Saat aku termenung, aku mendengar suara isakan tangis. Aku pun mencari sumber suara
itu. Mataku tertuju pada seorang gadis kecil kira-kira berumur tujuh tahun berpakaian
compang-camping. Aku pun mendekatinya dan mengajaknya bicara.
”Maaf adik kecil.. nama adik siapa..?”
”Mu.. Mutiara kak..” jawabnya dengan tersedu-sedu.
”Mutiara kenapa menangis..? lapar ya.. kebetulan kakak punya roti.. ini dik..”
”Makasih kak..,” dia pun memakan roti itu dengan sangat lahapnya.
”Mmm... orang tua adik di mana..?” lanjutku.
”Mereka sudah meninggal kak..”
”Ma.. maafkan kakak ya, kakak gak tau. Terus adik tinggal sama sapa donk..?”
“Gak pa-pa kok kak. Aku tinggal sendirian..”
“Hah.. sendirian...?? tapi, tenang aja kok dik.. habis ini Mutiara gak akan
sendirian lagi.. kan udah ada kakak..”
”Maksud kakak..?”
”Iya, kakak akan tinggal bersama adik..”
”Tapi kak, rumah Mutiara hanya rumah kardus biasa..”
”Ah.. gak pa-pa kok.. Nah, sekarang Mutiara tersenyum donk..”
”Terima kasih ya kak.. ayo kak kita kerumahku..,”
***
”Kak, ini rumahku.. jelek ya kak.. panas lagi..”
”Ah..enggak kok. Loh adik, ini semua buku apa..? ini milik adik..?”
”Iya kak, itu semua buku sekolah bekas yang aku pungut dari tempat pembuangan
sampah..? Ibu pernah berpesan kepadaku, aku harus menjadi anak yang pintar. Maka dari
itu aku harus sekolah. Aku harus menjadi anak yang selalu ceria dan tetap tegar
menghadapi apapun karena hidup itu hanya satu kali dan pasti banyak cobaan yang
datang. Itulah pesan terakhir Ibuku dan aku tidak ingin mengecewakannya...,” jelasnya
dengan panjang lebar.
Tak terasa air mataku menetes begitu saja. Hatiku tergetar saat mendengar
pengabdian seorang gadis kecil yang masih polos itu terhadap Ibunya. Kejujuran yang
begitu ikhlas selalu melekat pada dirirnya. Ia masih terlalu kecil untuk menjalankan ini
semua, tetapi dengan semangatnya itu dia bisa mengalahkan hantaman ombak dalam
kehidupannya yang nyata dan takkan pernah menyia-nyiakan hidup yang hanya sekali.
”Loh kak, mata kakak kenapa..? kakak nangis..?”
”Hah..! enggak, mata kakak hanya terasa pedih aja kok..” jawabku berbohong.
”Oh... Kak.. aku ngantuk, kita tidur yuk..”
”Oke...”
Aku pun merebahkan diri bersama adik kecil itu. Ia terlelap. Namun, mataku tak
kunjung terpejam juga. Aku masih terjaga. Berpikir tentang keputusanku lari dari rumah.
Bermacam pertanyaan hinggap di benakku. Apakah tindakanku ini salah..? Apakah
Mama Papa merindukanku dan tengah panik mencariku, atau justru tak peduli sama
sekali..? Aah... pikiranku kalut. Biarkanlah semua ini berjalan begitu saja seperti air
mengalir tanpa ada dam yang membendunganya.
***
Jemari fajar mengetuk dinding yang terbuat dari kertas kardus ini, menandakan
suasana pagi telah tiba. Aku terbangun. Aku kaget ketika melihat Mutiara tak ada di
dekatku. Kulurik jam di tanganku, 05.10. Masih pagi sekali. Aku cari-cari dia, tapi aku
tak berani terlalu jauh mencarinya. Aku pun kembali ke rumah kardus itu.
“Mutiara...” sambutku ketika melihatnya datang.
“Maaf kak, aku tadi cari sarapan untuk kita berdua....,” ujarnya sambil
menyerahkan sebungkus nasi untukku. Dia pun membuka bungkusan nasi miliknya. Lalu
makan dengan lahap. Sama sekali tanpa dosa.
”Maaf dik, kakak mau tanya. Dari mana kamu dapat uang...?”
”Mmm.... sisa mengemis kemarin kak...,” jawabnya singkat.
Deg. Jantungku seolah berhenti berdetak. Malang sekali nasib gadis kecil ini,
untuk bisa makan pun dia harus mengemis dulu. Jauh berbeda denganku. Di rumah, aku
bisa minta lauk apa saja untuk makan. Tanpa terkecuali. Dari makanan Indonesia, Eropa
bahkan masakan Thailand. Tak terasa air mataku menggenang di pelupuk mataku.
”Kak..,” Mutiara membuyarkan lamunanku. ”Ayo, makan kak, tapi maaf cuma
seadanya..,”
”I.. iya dik..,” ku buka bungkusan itu. Hanya terdapat nasi dengan sepotong tempe
dan daun ubi. Tapi aku tak mau mengecewakan Mutiara. Nasi itu aku makan meski
dengan setengah hati. Kemudian ia mengajakku mengemis, kadang mengamen.
Kebetulan aku telah berpengalaman dalam masalah suara. Jadi, aku bisa mengajarkan
Mutiara untuk bernyanyi.
Sehari, dua hari, tiga hari, lama-lama aku terbiasa dengan kehidupan keras anak
jalanan seperti Mutiara.
Ketika malam tiba Tuhan menutup jendela bumi, membuat semua orang terlena
dalam mimpi. Aku dan Mutiara pun langsung merebahkan diri. Kami merasa capek,
setelah seharian mengamen. Mata kami pun terpejam dengan mudahnya.
***
Memasuki hari ke-empat, kami kembali bersemangat mencari uang. Hanya
bermodal beberapa tutup botol yang dipipihkan lalu di paku pada sebatang kayu, kami
menyanyi di balik jendela setiap mobil yang berhenti saat lampu merah menyala. Ketika
kami menyanyi, seorang laki-laki tengah memanggil namaku. Sepertinya aku mengenali
suara itu. Aku pun menoleh, aku terkejut setelah mengetahui orang itu adalah Pak Ruli.
Aku pun mengajak Mutiara berlari. Tapi, langkahku tetap saja dapat dijangkau oleh Pak
Ruli.
”Non, tolong pulang ke rumah non..,” ujarnya dengan raut muka yang melas.
”Enggak...!!” jawabku dengan tegas.
”Non, tolong non. Nyonya sekarang sakit non...?”
”Apa..!! Mama sakit.. terus Mama di mana sekarang..?”
”Nyonya masih di mobil, mau ke rumah sakit. Non tolong non, temui nyonya
sekarang..” pinta Pak Ruli.
Akhirnya aku dan Mutiara berjalan menuju tempat di mana mobil itu di parkir.
Aku terkejut melihat Papa berdiri di samping mobil.
”Bita..!!” ujar Papa sambil memeluk tubuhku.
”Mm.. Pa, Mama mana..?” tanyaku meski masih ada rasa kesal terhadap Papa.
”Bita, anakku....,” kata seorang perempuan yang ada di dalam mobil.
”Mama...!!” aku pun memeluk tubuh Mama melepaskan rasa kangenku. ”Ma,
kenapa keadaan Mama jadi seperti ini...?”
”Ibumu sakit karena terlalu memikirkan kamu Bita...” sahut Papa.
”Ma... Pa... maafkan Bita. Bita memang anak yang tidak bisa diandalkan. Bita
telah mengecewakan Papa dan Mama. Tolong maafkan Bita..”
”Bita, kamu tidak perlu merasa bersalah. Seharusnya Mama dan Papa yang minta
maaf kepada kamu. Karena kamilah yang terlalu keras terhadap kamu sehingga kamu
merasa terkekang dan kabur dari rumah. Mulai hari ini kegiatan kamu akan Mama
kurangi dan kamu bebas memilih kegiatan yang lain.., ya kan Pa..,” jelas Mama.
”Betul itu Ma..,” jawab Papa.
”Pa.. Ma, terima kasih. Aku sayang sekali sama Mama dan Papa. Oh ya, Ma.. Pa,
selama ini aku tinggal bersama Mutiara. Seorang gadis kecil yang telah mengajarkan aku
banyak hal tentang arti hidup yang sesungguhnya..,” kataku mangalihkan pembicaraan.
”Benarkah...?? mana dia..??” kata Mamaku.
Saat aku keluar mobil, ternyata aku melihat Pak Ruli dan Mutiara tengah terharu
melihat aku, Mama dan Papa.
”Mutiara, tolong temui Mama dan Papaku ya..,” ajakku.
“Baik kak..,” jawab Mutiara.
Akhirnya aku mengenalkan Mutiara kepada orang tuaku dan menceritakan semua
hal yang telah aku kerjakan bersama Mutiara. Mama dan Papa pun ikut senang serta
bangga terhadap Mutiara.
”Ma.. Pa, idzinkan Mutiara untuk tinggal bersama kita ya dan tolong daftarkan
Mutiara di kampus agar dia bisa belajar bersama aku.., dia ingin sekali kuliah seperti
anak yang lain..,” pintaku sambil memasang wajah melas.
”Boleh..!!” jawab Mama dan Papa serentak.
”Hore...!! terima kasih ya..,” jawabku dengan semangat. Oh ya, Mama nggak jadi
ke rumah sakit..??”
”Tidak..!! Mama sudah sembuh karena bisa bersama kamu lagi..,” jawabnya
dengan ceria.
Akhirnya mobil yang kami naiki pun berjalan seiring lika-liku lintasan menuju
rumah. Di perjalanan, aku, Mama, Papa, Mutiara dan Pak Ruli pun saling bercerita yang
di iringi dengan canda tawa. Aku sangat bersyukur atas kembalinya keluargaku seperti
dulu. Terima kasih Ya Allah.
Dalam hati aku berkata, kak.., akhirnya aku mengerti akan hidup yang selalu
berhias rintangan menjebak. Sesuatu yang telah terjadi adalah sebuah kenangan, di mana
kenangan itu selalu membayangi kita. Masa sekarang adalah kenyataan dan masa depan
adalah impian. Di mana impian itu semakin membuat kita percaya akan diri kita yang
sekarang. Suatu masalah jangan di buat beban karena beban itu memberatkan kita untuk
gapai impian itu. Kita akan terjebak di dalamnya jika terus terlarut dalam beban hidup.
Meskipun kita merasa telah kalah sekalipun, akan tetep ada cinta yang menghampiri kita.
Karena semua masalah pasti ada hikmah dan makna.
Tetapi tidak semua orang dapat mengambil hikmah dan makna tersebut. Hanya
orang yang sabar, tabah dan sadar akan kesalahannya sendirilah yang dapat
menggapainya. Kesabaran Mutiara telah mengajarkan aku untuk selalu sabar dan
senyum, hingga hariku kembali ceria. Bukan begitu kak...?
Desiran angin yang berhembus, berbisik kata lembut kepadaku. Seakan-akan kak
Nevi mendengar bisikan hatiku. Hati yang mendung ini pun berbalik cerah, tersenyum
menebarkan pesona. Aku sungguh bersyukur bisa mengenal Mutiara. Aku bertekad untuk
mencintai Mutiara dan menjadi kakak yang baik baginya. Sebagaimana cinta kak Nevi
terhadapku.

Anda mungkin juga menyukai