Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PORTOFOLIO

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

DISUSUN OLEH :
dr. MEGA AINI RAHMA

PENDAMPING :
dr. ALJUNED PRASETYO
dr. JAMALUDIN MALIK

DOKTER INTERNSIP WAHANA RSUD SALATIGA


PERIODE 15 SEPTEMBER 2017 – 15 SEPTEMBER 2018
KOTA SALATIGA
Borang Portofolio

Nama Peserta: dr. Mega Aini Rahma


Nama Wahana: RSUD Salatiga
Topik: Appendisitis
Tanggal (kasus): 20 Desember 2017
Nama Pasien: Sdr. MB (17 tahun) No. RM: 17-18-381xxx
Nama Pendamping: dr. Aljuned Prasetyo, dr. Jamaludin
Tanggal Presentasi : -
Malik
Tempat Presentasi: -
Obyektif Presentasi:

■ Keilmuan  Keterampilan  Penyegaran  Tinjauan Pustaka


■ DDiagnosti
■ MManajemen Masalah  Istimewa
k

 Neonatus  Bayi  Anak  Remaja  Dewasa  Lansia  Bumil

 Deskripsi:
Seorang laki-laki usia 17 tahun dengan nyeri perut sejak 2 hari SMRS
 Tujuan:
Menegakkan diagnosis kerja, melakukan penanganan awal serta konsultasi dengan spesialis penyakit bedah untuk penanganan lebih lanjut
terkait kasus appendisitis, serta memberikan edukasi tentang penyakit pada pasien dan keluarga.
Bahan bahasan:  Tinjauan Pustaka  Riset ■ Kasus  Audit

Cara membahas:  Diskusi  Presentasi dan diskusi  Email  Pos

Data pasien: Nama: Sdr. MB Nomor Registrasi: 17-18-381xxx

Nama klinik: RSUD Salatiga Telp:- Terdaftar sejak: 20 Desember 2017

Data utama untuk bahan diskusi:

1. Keluhan Utama:
Nyeri perut sejak 2 hari SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh lapang perut sejak 2 hari MRS. Keluhan dirasakan sangat mengganggu aktivitas
sehari-hari. Awalnya nyeri perut dirasakan di daerah pusar, lalu kemudian nyeri dirasakan di seluruh lapang perut. Pasien juga
mengeluhkan mual tetapi tidak disertai muntah. Pasien mengatakan nafsu makan berkurang. Keluhan juga disertai dengan demam. Demam
dirasakan terus-menerus, berkurang dengan pemberian obat. Adanya trauma disangkal.
Pasien mengatakan tidak ada keluhan mengenai BAK dan BAB. Namun selama 2 hari ini pasien tidak dapat kentut.
3. Riwayat Pengobatan: Pasien sudah berobat ke mantri 2 hari SMRS akan tetapi belum membaik

4. Riwayat Penyakit Dahulu :


Riwayat keluhan serupa : disangkal
Riwayat alergi : disangkal
5. Riwayat Keluarga : Riwayat keluhan serupa disangkal
6. Riwayat Pekerjaan : Pelajar

7. Kondisi Lingkungan Sosial dan Fisik : Pasien tinggal bersama orangtuanya di Sruwen. Pasien berobat dengan menggunakan fasilitas
BPJS.

8. Riwayat Kebiasaan : Merokok (-)

9. Pemeriksaan fisik
VITAL SIGN
 Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Frekuensi nadi : 88x/menit
 Frekuensi nafas : 20x/menit
 Suhu : 37,5oC
 Skor nyeri :7

PEMERIKSAAN FISIK

a. Kepala : Simetris, mesosefal


b. Mata : Konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (3mm/3mm), reflek cahaya direk dan indirek (+/+)
c. Mulut &Tenggorokan : Mukosa basah, tonsil T1-T1, tidak hiperemis, faring hiperemis (-)
d. Leher : KGB servikal tidak membesar, JVP tidak meningkat
e. Thoraks : simetris, tidak tampak jejas, retraksi (-)
Cor I : ictus cordis tidak tampak
P: ictus cordis tidak kuat angkat
P: batas jantung kiri atas : spatium intercostale II, linea parasternalis sinistra
batas jantung kiri bawah : spatium intercostale V, 1 cm medial linea medioklavicularis sinistra
batas jantung kanan atas : spatium intercostale II, linea sternalis dextra
batas jantung kanan bawah : spatium intercostale IV, linea parasternalis dextra
(Kesan: Batas jantung kesan tidak melebar)
A : Bunyi jantung I-II, intensitas normal, reguler, bising (-), gallop (-)

PulmoI : Pengembangan dada kanan = kiri


P : Fremitus raba kanan = kiri
P : Sonor / sonor
A : SDV (+/+), RBK (-/-), RBH (-/-), wheezing (-/-)

f. Abdomen :
I : DP =DD, Jejas (-), Vulnus (-) Distended (-), Sikatrik (-),
A: Bising usus (+) dalam batas normal
P : Timpani (+)
P: nyeri tekan (+) di titik McBurney, nyeri lepas (+), rovsing (+), defans muscular (-)
g. Genitourinaria : BAK darah (-), BAK nanah (-), nyeri BAK (-)
h. Ekstremitas :
Akral Dingin CRT < 2” Edema

- - + + - -

- -
- - + +
i. Tes Provokasi
Psoas sign : (+)
Obturator sign : (+)

10. Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan laboratorium darah tanggal 20 Desember 2017
Pemeriksaan Hasil Satuan Rujukan

Hematologi Rutin

Hemoglobin 15.5 g/dL 10.0 – 16.0

Hematokrit 45.1 % 40 – 50

Leukosit 17.1 103/mL 4.0 - 10.0


Trombosit 249 103/mL 150 – 450

Eritrosit 5.36 106/mL 4.00 – 5.50

INDEX ERITROSIT

MCV 84.3 fl 82.0 – 95.0

MCH 28.9 pg 27.0 – 31.0

MCHC 34.3 g/dl 32.0 – 36.0

RDW 14.2 % 11.5 – 14.5

MPV 9.5 fl 7.0 – 11.0

PDW 14.5 % 15.0 – 17.0

HITUNG JENIS

Granulosit 82.1 % 50.0 – 70.0

Limfosit 8.4 % 20.0 – 40.0

MID 9.5 % 3.0 – 9.0

Hasil USG 20 Desember 2017


Kesan: Menyokong apendisitis akut perforasi

11. Resume
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh lapang perut sejak 2 hari MRS. Awalnya nyeri perut dirasakan di daerah pusar, lalu
dirasakan di seluruh lapang perut. Pasien juga mengeluhkan mual tetapi tidak disertai muntah.. Keluhan juga disertai dengan demam.
Demam dirasakan terus-menerus, berkurang dengan pemberian obat. Adanya trauma disangkal. Selama 2 hari ini pasien tidak dapat kentut.
Pada pengukuran tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, HR 88x/menit, RR 20x/menit, suhu 37,5oC, dan skor
VAS 7. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan pada mc. Burney point, rovsing sign (+), psoas sign (+),
obturator sign (+). Hasil pemeriksaan lab didapatkan AL 17.1x103 ml, yang lain dalam batas normal.
12. Diagnosis kerja
Appendisitis akut perforasi
13. Penatalaksanaan
Usulan terapi:
- IVFL RL 20 tpm
- Injeksi ceftriaxone 1g/12 jam IV
- Inj Ranitidin 50 mg/12 jam IV
- Antasid syrup 3 dd C1 peroral
- Konsul TS Bedah  Pro Laparotomi cito
Hasil Pembelajaran:
1. Penegakkan diagnosis pada kasus appendisitis perforasi
2. Tatalaksana appendisitis perforasi

Rangkuman Hasil Pembelajaran Portofolio


1. Subyektif
Pasien datang dengan keluhan nyeri di seluruh lapang perut sejak 2 hari MRS. Awalnya nyeri perut dirasakan di daerah pusar, lalu
dirasakan di seluruh lapang perut. Pasien juga mengeluhkan mual tetapi tidak disertai muntah.. Keluhan juga disertai dengan demam.
Demam dirasakan terus-menerus, berkurang dengan pemberian obat. Adanya trauma disangkal. Selama 2 hari ini pasien tidak dapat
kentut.
2. Objektif
Pada pengukuran tanda vital didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, HR 88x/menit, RR 20x/menit, suhu 37,5oC, dan skor VAS
7. Hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya nyeri tekan pada mc. Burney point, rovsing sign (+), psoas sign (+), obturator
sign (+). Hasil pemeriksaan lab didapatkan AL 17.1x103 ml dengan peningkatan pada hitung jenis granulosit. Hitung jenis granulosit
sebanyak 82.1%. Selain itu terdapat MID mengalami kenaikan menjadi 11.5%. Hasil ini mendukung diagnosis appendisitis. Pada kasus
appendisitis didapatkan leukositosis dan peningkatan presentase neutrofil.

Alvarado score pada pasien ini adalah sebagai berikut:


Manifestasi Skor

Gejala Adanya migrasi nyeri ke RLQ 0

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2

Nyeri lepas RLQ 1

Febris 1

Laboratorium Leukositosis 2

Shift to the left 1


Total poin 9

Dari penghitungan Alverado score didapatkan nilai 9 yang berarti pasien hampir pasti menderita appendisitis. Dan dari hasil
pemeriksaan USG juga menunjukkan gambaran yang menyokong apendisitis akut perforasi.
3. Assesment
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien didiagnosis dengan appendisitis perforasi
4. Plan
Diagnosis: Upaya diagnosis yang dilakukan sudah sesuai pedoman penatalaksanaan yang berlaku

Pengobatan:
Penanganan awal di IGD pada pasien appendisitis diberikan terapi farmakologis berupa infus, antibiotic, dan obat-obatan
simptomatik dan suportif. Pemberian antibiotik mencegah terjadinya peritonitis pada pasien dan sebagai antibiotik profilaksis sebelum
dilakukan operasi laparotomi. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan USG abdomen untuk menegakkan diagnosis dan kemudian
dikonsultasikan kepada TS Bedah.
Pendidikan: Pendidikan dilakukan kepada pasien dan keluarganya untuk membantu proses penyembuhan dan pemulihan,untuk itu
pada tahap awal pasien dan keluarganya diminta datang agar mendapat edukasi yang lengkap. Anjuran pasien dan keluarganya
segera menghubungi dokter terkait hal-hal yang harus ditanyakan. Serta informed consent terhadap tindakan yang akan dilakukan
(laparotomi)
TINJAUAN PUSTAKA
APPENDISITIS

A. DEFINISI
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks vermiformis, penyebab sumbatan lumen yang paling
sering adalah fecolit, diikuti hiperplasia jaringan limfoid submukosa yang dikenal dengan gut associate limphoid tissue (GALT), tumor,
parasit usus atau benda asing seperti biji buah-buahan atau bubur barium dari pemeriksaan radiologi sebelumnya. Faktor lain yang sangat
berperan dalam perjalanan penyakit appendisitis akut adalah kuman dalam lumen appendiks. Kuman yang ada dalam lumen apendiks
sama dengan kuman yang ada di dalam kolon, seperti kuman E.coli, Klebsiella, Pseudomonas, Peptostrepcoccus, dll.
Setelah terjadi obstruksi lumen, appendiks akan menyerupai suatu kantong tertutup yang disebut closed loop, di dalam lumen akan
terjadi penumpukan sekret appendiks dan pada saat bersamaan terjadi perkembangbiakan kuman-kuman dalam lumen, yang
mengakibatkan terjadinya reaksi peradangan dan distensi appendiks. Distensi ini mengakibatkan bendungan aliran limfe, aliran vena dan
arteri, yang pada akhir proses peradangan ini akan mengenai seluruh dinding appendiks.

B. INSIDENSI
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendisitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-
10 tahun. Appendisitis lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih
sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendisitis akut lebih sering terjadi selama musim panas.
Insidensi Appendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka
kejadiannya menurun secara bermakna. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.
Appendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada
kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur 20-30
tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.

C. ETIOLOGI
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan
akibatnya terjadi infeksi. Appendisitis umumnya terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith.
Fecolith ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi appendiks meliputi (Price, 2005):
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai
spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien appendicitis yaitu7:
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob

 Escherichia coli  Bacteroides fragilis


 Viridans streptococci  Peptostreptococcus micros
 Pseudomonas aeruginosa  Bilophila species
 Enterococcus  Lactobacillus species

D. PATOGENESIS
Appendisitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala, kemudian
diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3 hari.
Appendisitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh
cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses peradangan.
Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan
appendicitis akut dan 30-40% pada anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat menyababkan
obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi
jaringan limfatik baik lokal atau general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit seperti
Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris. Appendisitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus
enteric atau sistemik, seperti measles, chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan insidensi
appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks,
khususnya jika tumor berlokasi di 1/3 proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu cherry
dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga mempengaruhi terjadinya appendisitis.
Apendisitis mukosa

Sembuh
Apendisitis flegmentosa
(radang akut jaringan
mukosa)

Apendisitis dengan
nekrosis setempat

Apendisitis supurativa
Perforasi
(radang dengan
pembentukan nanah)

Apendisitis gangrenosa
(kematian jaringan)

Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang
minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia berperan penting pada diagnosis appendisitis, khususnya pada anak-anak.
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical.
Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam, tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah menyebabkan mual
dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan
intraluminal, terjadi gangguan aliran limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi vena,
yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam,
takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari
dinding appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi dan nyeri akan dirasakan lokal pada
lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral
sebelumnya. Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat inflamasi tidak mengenai
peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung
atau pinggang. Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan peningkatan frekuensi BAK,
nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica urinaria pada appendisitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau
nyeri seperti terjadi retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abses lokal atau peritonitis umum. Proses ini tergantung pada kecepatan
progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup
peningkatan suhu melebihi 38.6oC, leukositosis >14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik. Pasien dapat tidak bergejala
sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga >48 jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan
dengan peningkatan risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan lemak omentum. Anak
yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan pada anak-anak, dalam jangka waktu
sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum. Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abses pelvis.

E. GAMBARAN KLINIS
Appendisitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada neonatus dan bayi, appendisitis akut kadang-
kadang dapat terjadi dan diagnosis appendisitis jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul.
Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi seiring dengan waktu akan berlokasi di
abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada anak-anak, dengan letak appendiks yang
retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri
punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan appendicitis retrocecal arau pelvis.
Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa nyeri saat kencing atau perasaan tidak
nyaman pada saat menahan kencing dan distensi kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare
dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi sebelum
onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendisitis. Meskipun demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau
perubahan bowel habit dapat terjadi pada anak dengan appendisitis.
Pada appendisitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5˚C). Jika suhu tubuh diatas 38,6˚C, menandakan terjadi
perforasi. Anak dengan appendisitis kadang-kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan
menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau
menghilang.
Anak dengan appendisitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung untuk berbaring di tempat tidur dengan
kadang-kadang lutut diflexikan. Anak yang menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendisitis, kecuali pada anak dengan
appendisitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.
Tabel 3.1. Gejala Appendicitis Akut
Gejala Appendicitis Akut Frekuensi (%)
Nyeri perut 100

Anorexia 100

Mual 90

Muntah 75

Nyeri berpindah 50

Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian


anorexia/mual/muntah kemudian nyeri berpindah ke RLQ 50
kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)

*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam

F. PEMERIKSAAN FISIK
Pada Apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi
perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
1. Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ),
menggambarkan iritasi peritoneum. Sering positif tapi tidak spesifik.
2. Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini
menggambarkan iritasi pada otot psoas kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abses. Dasar
anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada
saat dilakukan manuver ini.
3. Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri
pada cara ini menunjukkan peradangan pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk
menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi. Dasar anatomis terjadinya obturator sign adalah appendiks
yang terinflamasi yang terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan manuver ini.
4. Blumberg’s sign: nyeri lepas kontralateral (tekan di LLQ kemudian lepas dan nyeri di RLQ)
5. Baldwin test: nyeri di flank bila tungkai kanan ditekuk.
6. Nyeri pada daerah cavum Douglas bila ada abses di rongga abdomen atau Appendix letak pelvis.
7. Nyeri pada pemeriksaan rectal toucher.
8. Dunphy sign: nyeri ketika batuk.
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis akut perlu dilakukan penghitungan skor Alvarado dan diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu: skor <6 dan >6. Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah sebaiknya
dilakukan. Selanjutnya setelah dilakukan Appendectomy, dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan hasilnya
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.
Tabel 3.2 Alvarado score
Manifestasi Skor

Gejala Adanya migrasi nyeri RLQ 1

Anoreksia 1

Mual/muntah 1

Tanda Nyeri RLQ 2


Nyeri lepas RLQ 1

Febris 1

Laboratorium Leukositosis 2

Shift to the left 1

Total poin 10

Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis akuta. Jumlah leukosit pada penderita
appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm. Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal
leukosit menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada pasien dengan appendicitis.
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian,
hematuria ringan dan pyuria dapat terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang diagnosis pada kebanyakan pasien dengan
gejala appendicitis. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix dengan diameter anteroposterior 7 mm atau
lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya cairan atau massa periappendix.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari salphingitis atau inflammatory bowel
disease. False negatif juga dapat muncul karena letak appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang
menghalangi appendix.
3. CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis appendisitis akut jika presentasi klinis tidak jelas.
Sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abses,
maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7 mm pada diameternya. Dinding pada
appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga memberi gambaran “halo”.

H. DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding dari appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis kelamin.
1. Pada anak-anak balita: intususepsi, divertikulitis, dan gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan
appendisitis. Nyeri divertikulitis hampir sama dengan appendisitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang agak sukar ditegakkan
adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan
leukosit pada feses.
2. Pada anak-anak usia sekolah: gastroenteritis, konstipasi, infark omentum.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendisitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis.
Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum
juga dapat dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendisitis. Pada infark omentum, dapat terraba massa
pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah
3. Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, kolitis ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan
fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya.
4. Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendisitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti
pelvic inflammatory disease (PID), kista ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
5. Pada usia lanjut
Apendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang sering terjadi pada kelompok usia ini adalah
keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat
pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada apendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan
dengan apendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan
nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

I. KOMPLIKASI
1. Appendicular infiltrat
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus atau usus besar.
2. Appendicular abses
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari appendix yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus
halus, atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen ke dalam rongga abdomen, biasanya diakibatkan dan peradangan,
iskemia, trauma atau perforasi peritoneal diawali terkontaminasi material. Awalnya material masuk ke dalam rongga abdomen adalah
steril (kecuali pada kasus peritoneal dialisis) tetapi dalam beberapa jam terjadi kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edem jaringan
dan pertambahan eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya sejumlah protein, sel-sel darah putih,
sel-sel yang rusak dan darah. Respon yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotil tetapi segera dikuti oleh ileus paralitik
dengan penimbunan udara dan cairan di dalam usus besar.
Gejala dan tanda:
a. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa penderita peritonitis umum.
b. Demam
c. Distensi abdomen
d. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum, tergantung pada perluasan iritasi peritonitis.
e. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya.
f. Nausea
g. Vomiting
h. Penurunan peristaltik.
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abses Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus

J. PENATALAKSANAAN
Untuk pasien yang dicurigai Appendisitis :
1. Puasakan
2. Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala
3. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan gejala saat pemeriksaan fisik.
4. Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia reproduksi.
5. Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang membutuhkan Laparotomy
Rujuk ke dokter spesialis bedah.
DAFTAR PUSTAKA

De Jong, W., Sjamsuhidajat, R.,(editor). 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. EGC: Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk (editor). 2000. Kapita Selekta Kedokteran. EGC: Jakarta.
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Jilid II. EGC : Jakarta.
Sabiston, Devid C. 1994. Buku Ajar Bedah. EGC:Jakarta.
She Warts, Seymour I. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. EGC: Jakarta.
Brunicardi, F.C., Anderson, D.K., Billiar, T.R., Dum, D.L., Hunter, J.G., Mathews, J.B., Podlock, R.E., 2010. The Appendix dalam Schwartz's
Principles of Surgery9th Ed. USA:The McGraw Hill Companies. p: 2043-74.
Grace, P.A., Borley, N.R. Apendisitis Akut dalam At A Glance. Jakarta: Erlangga; 2006. p:106.
Saputra, L. 2002. Mulut dan Gastrointestinal dalam Intisari Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Binarupa Aksara. h:380.
Kumar, V., Cotran, R.S., Robbins, A.L., 2007. Rongga Perut dan Saluran Gastrointestinal dalam Buku Ajar Patologi Ed.7. Jakarta: EGC.
h:660-61.
Tjandra, J.J., 2006. The Appendix and Meckel’s Diverticulum dalam Textbook of Surgery 3rd Ed. UK: Blackwell Publishing Ltd. p:179.
Morris, J.A., Sawyer. J.L. 1995.Abdomen Akuta dalam Buku Ajar Bedah (Sabiston’s Essential Surgery). Jakarta:EGC. h:497.

Anda mungkin juga menyukai