Anda di halaman 1dari 14

KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA KLIEN

GANGGUAN JIWA
A. PENGERTIAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien (Depkes
RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah proses yang
digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan pada klien.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan
pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah
adanya saling membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam
komunikasi pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima
bantuan.
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik diarahkan pada
pertumbuhan klien meliputi :
1. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.
2. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
3. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling
tergantung dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
4. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai
tujuan Personal yang realistik.
Tujuan komunikasi terapeutik adalah :
1. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya
pada hal yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai berikut (Hamid,
1998) :
1. Kesadaran diri.
2. Klarifikasi nilai.
3. Eksplorasi perasaan.
4. Kemampuan untuk menjadi model peran.
5. Motivasi altruistik.
6. Rasa tanggung jawab dan etik
B. PENGERTIAN GANGGUAN JIWA
Menurut American Psychiatric Association (APA, 1994), gangguan mental adalah gejala atau pola
dari tingkah laku psikologi yang tampak secara klinis yang terjadi pada seseorang dari
berhubungan dengan keadaan distres (gejala yang menyakitkan) atau ketidakmampuan
(gangguan pada satu area atau lebih dari fungsi-fungsi penting) yang meningkatkan risiko
terhadap kematian, nyeri, ketidakmampuan atau kehilangan kebebasan yang penting, dan tidak
jarang respon tersebut dapat diterima pada kondisi tertentu.
Menurut Townsend (1996) mental illness adalah respon maladaptive terhadap stresor dari
lingkungan dalam/luar ditunjukkan dengan pikiran, perasaan, dan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan norma lokal dan kultural dan mengganggu fungsi sosial, kerja, dan fisik individu.
Konsep Gangguan Jiwa dari PPDGJ II yang merujuk ke DSM-III ( Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorder ) adalah sindrom atau pola perilaku, atau psikologi seseorang, yang secara
klinik cukup bermakna, dan yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan
(distres) atau hendaya (impairment/disability) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia (Maslim, 2002).
C. KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA KLIEN GANGGUAN JIWA
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien (Purwanto,1994). Teknik komunikasi
terapeutik merupakan cara untuk membina hubungan yang terapeutik dimana terjadi
penyampaian informasi dan pertukaran perasaan dan pikiran dengan maksud untuk
mempengaruhi orang lain (Stuart & sundeen,1995).
Adapun tujuan komunikasi terapeutik adalah:
1. Membantu pasien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila pasien percaya pada hal
yang diperlukan;
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya;
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Fungsi komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan mengajarkan kerja sama antara
perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Perawat berusaha mengungkap
perasaan, mengidentifikasi dan mengkaji masalah serta mengevaluasi tindakan yang dilakukan
dalam perawatan (Purwanto, 1994).
Prinsip-prinsip komunikasi adalah:
1. Klien harus merupakan fokus utama dari interaksi
2. Tingkah laku professional mengatur hubungan terapeutik
3. Membuka diri dapat digunakan hanya pada saat membuka diri mempunyai tujuan
terapeutik
4. Hubungan sosial dengan klien harus dihindari
5. Kerahasiaan klien harus dijaga
6. Kompetensi intelektual harus dikaji untuk menentukan pemahaman
7. Implementasi intervensi berdasarkan teori
8. Memelihara interaksi yang tidak menilai, dan hindari membuat penilaian tentang
tingkah laku klien dan memberi nasihat
9. Beri petunjuk klien untuk menginterprestasikan kembali pengalamannya secara
rasional
10. Telusuri interaksi verbal klien melalui statemen klarifikasi dan hindari perubahan
subyek/topik jika perubahan isi topik tidak merupakan sesuatu yang sangat menarik
klien.
Berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah teknik khusus, ada
beberapa hal yang membedakan berkomunikasi antara orang gangguan jiwa dengan gangguan
akibat penyakit fisik. Perbedaannya adalah :
1. penderita gangguan jiwa cenderung mengalami gangguan konsep diri, penderita gangguan
penyakit fisik masih memiliki konsep diri yang wajar (kecuali pasien dengan perubahan fisik,
ex : pasien dengan penyakit kulit, pasien amputasi, pasien pentakit terminal dll).
2. Penderita gangguan jiwa cenderung asyik dengan dirinya sendiri sedangkan penderita
penyakit fisik membutuhkan support dari orang lain.
3. Penderita gangguan jiwa cenderung sehat secara fisik, penderita penyakit fisik bisa saja
jiwanya sehat tetapi bisa juga ikut terganggu.
Sebenarnya ada banyak perbedaan, tetapi intinya bukan pada mengungkap perbedaan antara
penyakit jiwa dan penyakit fisik tetapi pada metode komunikasinya.
Komunikasi dengan penderita gangguan jiwa membutuhkan sebuah dasar pengetahuan tentang
ilmu komunikasi yang benar, ide yang mereka lontarkan terkadang melompat, fokus terhadap
topik bisa saja rendah, kemampuan menciptakan dan mengolah kata – kata bisa saja kacau
balau.
Ada beberapa trik ketika harus berkomunikasi dengan penderita gangguan jiwa :
1. Pada pasien halusinasi maka perbanyak aktivitas komunikasi, baik meminta klien
berkomunikasi dengan klien lain maupun dengan perawat, pasien halusinasi terkadang
menikmati dunianya dan harus sering harus dialihkan dengan aktivitas fisik.
2. Pada pasien harga diri rendah harus banyak diberikan reinforcement
3. Pada pasien menarik diri sering libatkan dalam aktivitas atau kegiatan yang bersama – sama,
ajari dan contohkan cara berkenalan dan berbincang dengan klien lain, beri penjelasan
manfaat berhubungan dengan orang lain dan akibatnya jika dia tidak mau berhubungan dll.
4. Pasien perilaku kekerasan, khusus pada pasien perilaku kekerasan maka harus direduksi atau
ditenangkan dengan obat – obatan sebelum kita support dengan terapi – terapi lain, jika
pasien masih mudah mengamuk maka perawat dan pasien lain bisa menjadi korban.
Kesehatan jiwa sering berpijak pada beberapa komponen, beberapa komponen tersebut adalah:
1. Support system : dukungan dari orang lain atau keluarga membantu seseorang
bertahan terhadap tekanan kehidupan, stresor yang menyerang seseorang akan
melumpuhkan ketahanan psikologisnya, dengan dukungan dari sahabat, orang -
orang terdekat, suami, istri, orang tua maka seseorang menjadi lebih kuat dalam
menghadapi stressor.
2. Mekanisme Koping : bagaimana cara seseorang berespon terhadap stressor menjadi
satu ciri khas bagi setiap individu, jika responnya adaptif maka hasilnya tentu
perlaku positif, jika responnya negatif hasilnya adalah perilaku negatif.
3. Harga Diri : jika dia merasa lebih baik dari orang lain maka akan menjadi sombong,
jika dia merasa orang lain lebih baik dari dia maka dia akan mengalami Harga Diri
Rendah.
4. Ideal Diri : Bagaimana cara seseorang melihat dirinya, bagaimana dia seharusnya : "
saya hanya akan menikah dengan seorang wanita anak pengusaha" comment
tersebut adalah ideal diri tinggi, " saya hanya lulusan SD, menjadi buruh saja saya
sudah maksimal" comment ini adalah ideal diri rendah.
5. Gambaran Diri : apakah seseorang menerima dirinya beserta semua kelebihan dan
kekurangan, meski cantik dia menerima kecantikannya tersebut satu paket dengan
keburukan lain yang menyertai kecantikan tersebut.
6. Tumbuh Kembang : Jika seseorang tidak pernah mengalami trauma maka dewasa
dia tidak akan mengalami memori masa lalu yang kelam atau yang buruk.
7. Pola Asuh : kesalahan mengasuh orang tua memicu perubahan dalam psikologis
anak.
8. Genetika : Schizofrenia bisa secara genetis menurun ke anak, bahkan pada saudara
kembar peluang nya 50 %.
9. Lingkungan : Lingkungan yang buruk menjadi salah satu faktor pendukung
munculnya gangguan jiwa.
10. Penyalahgunaan Zat : penyalahgunaan zat memicu depresi susunan saraf pusat,
perubahan pada neurotransmitter sehingga terjadi perubahan pada fungsi
neurologis yang berfungsi mengatur emosi.
11. Perawatan Diri : jika seseorang tidak pernah mendapatkan perawatan, ex : lansia
maka dia akan mengalami suatu perasaan tidak berguna jika perasaan ini
berlangsung lama bisa memicu gangguan jiwa.
12. Kesehatan Fisik : gangguan pada sistem saraf mampu merubah fungsi neurologis,
dampak jangka panjangnya jika yang terkena adalah pusat pengaturan emosi akan
memicu gangguan jiwa.
Seharusnya ada banyak faktor yang memicu gangguan jiwa, jika semua faktor bisa direduksi dan di

Minimalisir maka ke depan jumlah penderita gangguan jiwa dapat ditekan

sekecil mungkin.
KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA LANSIA
BAB I
PENDAHALUAN

A.      Latar Belakang


Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut usia tidak
hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga tergantung dari perhatian terhadap
keadaan sosial, ekonomi, kultural dan psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan
kesehatansecara medis pada pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan
komunikasi yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam penanganan persoalan kesehatan
mereka. Komunikasi yang baik ini akan sangat membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional,
sosial, ekonomi, perilaku emosi yang labil pada pasien lanjut usia (William et al , 2007).

Komunikasi yang baik dalam konteks hubungan dokter dan pasien haruslah efektif, komunikasi yang
efektif antara dokter dan pasien akan sangat berpengaruh terhadap kesehatan pasien lanjut usia.
Komunikasi yang efektif ini dapat mengikutsertakan partisipasi aktif pasien dalam pengambilan
keputusan, hal ini membantu proses mengingat, berpengaruh terhadap ketaatan dan kepuasan pada
pasien lanjut usia, yang selanjutnya juga berpengaruh terhadapemosional bahkan fisik pasien lanjut
usia tersebut. Bentuk-bentuk komunikasi seperti itu seakan membangun hubungan yang
berkelanjutan antara dokter dan pasien dan terlihat penting dalam penurunan hospitalisasi pada
pasien lanjut usia (Stewart et al, 2000).

Komunikasi yang baik dengan pasien adalah kunci keberhasilan untuk masalah klinis, hubungan
dokter – pasien yang lebih baik, dan keluaran perawatan kesehatan. Keberhasilan komunikasi
memerlukan pendekatan efektif kepada pasien, kemampuan untuk mendengarkan dan
mempersilahkan pasien untuk bercerita, serta cakap dalam melakukan investigasi untuk
mengklarifikasi dan mendapatkan informasi yang penting.  Dokter seringkali kurang meluangkan
waktunya pada masalah psikososial, dan pasien lanjut usia sering kali tidak memunculkan masalah
ini karena menganggap hal tersebut sudah biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Disamping
kompleksitas masalahnya, pasien lanjut usia menerima lebih sedikit edukasi dan konseling kesehatan
daripada pasien yang lebih muda (Haug & Ory., 1987).
Tinjauan pustaka ini memaparkan beberapa kiat praktis untuk komunikasi yang efektif dalam
membantu dokter mengoptimalkan waktu yang digunakan selama kunjungan rawat jalan maupun
perawatan rawat inap pada pasien lanjut usia. Ditampilkan beberapa teknik umum
untuk memperbaiki komunikasi dengan pasien lanjut usia serta strategi untuk membantu
komunikasi dengan pasien yang mengalami kehilangan sensori atau kognitif atau pasien lanjut usia
yang hadir dengan orang ketiga, baik oleh anggota keluarga ataupun perawatnya serta sebuah
ilustrasi komunikasi dokter dengan pasien lanjut usia

B.       Tujuan
1.         Untuk mengetahui proses komunikasi yang tepat pada lansia
2.         Untuk meningkatkan kemampuan untuk membina hubungan interpersonal
3.         Untuk mengetahui fungsi dan kemampuan dalam berkomunikasi
 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A.      Pengertian komunikasi terapeutik


Indrawati (2003), mengemukakan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.

Komunikasi terapeutik adalah hubungan kerja sama yang ditandai dengan tukar menukar perilaku,
perasaan, fikiran dan pengalaman dalam membina hubungan intim terapeutik (Stuart dan Sundeen)

B.       Manfaat Komunikasi Terapeutik


Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara
perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan
dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati, 2003 : 50).

C.       Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada lansia


1.         Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak”, “ibu”, kecuali apabila sebelumnya pasien telah meminta
anda untuk memanggil panggilan kesukaannya.
2.         Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien
3.         Pertahankan kontak mata dengan pasien
4.         Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif
5.         Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya
6.         Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat yang
sederhana.
7.         Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien
8.         Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien
9.         Menyederhanakan atau menuliskan instruksi
10.     Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien
11.     Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri penerangan yang cukup saat
berinteraksi.
12.     Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan, atau bahu.
13.     Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi.
(adelman, et al 2000)

D.      Hambatan  Komunikasi terapeutik pada lansia


1.         Pasien dengan Defisit Sensorik 
Beberapa pasien menunjukkan defisit pendengaran dan penglihatan yang terkait denganusia,
keduanya memerlukan adaptasi dalam berkomunikasi. Penelitian mengindikasikan bahwa16% - 24%
individu berusia lebih dari 65 tahun mengalami pengurangan pendengaran yangmempengaruhi
komunikasi (Crews & Campbell, 2004 ; Mitchell, 2006)
Bagi mereka yang berusia diatas 80 tahun, jumlah gangguan sensorik meningkat menjadi lebih dari
60% (Chia et al., 2006).
Aging/penuaan mengakibatkan penurunan fungsi pendengaran yang dikenal sebagai presbyacussis,
yang terutama berkenaan dengan suara berfrekuensi tinggi. Suara berfrekuensi tinggi adalah suara
konsonan yang berdampak pada pemahaman pasien diawal dan akhir kata.Sebagai contoh, jika anda
berkata “Take the pill in the morning (Minumlah pil dipagi hari)”, pasien akan mendengar vokal
dalam kata tetapi pasien dapat berpikir anda berkata “ Rake the hill in the morning  (Dakilah bukit
dipagi hari)” (Fook & Morgan, 2000 ; Ross et al ., 2007).
Gangguan visual yang berhubungan dengan usia meliputi reduksi diameter pupil; lensamata
menguning, yang mempersulit untuk membedakan warna dengan panjang gelombang pendek
seperti lavender, biru, dan hijau; dan menurunkan elastisitas ciliary muscles, yang mengakibatkan
penurunan akomodasi ketika bahan cetakan dipegang diberbagai jarak. Kebanyakan pasien lanjut
usia mengalami penyakit mata yang menurunkan ketajaman penglihatan (mis. katarak, degenerasi
macular, glaucoma, komplikasi ocular pada diabetes). Lebih dari 15% orang tua berusia lebih dari 70
tahun melaporkan penglihatannya yang buruk,dan 22% lagi melaporkan penglihatannya hanya
cukup untuk jarak tertentu (Crews & Campbell,2004). Bagi mereka yang berusia diatas 80 tahun,
30% melaporkan penglihatannya yang terganggu (Chia et al., 2006).

2.           Pasien dengan Demensia


Amerika Serikat pada tahun 2008 diprediksi memiliki lebih kurang 5,2 juta penduduk  berusia lanjut
yang diantaranya menderita beberapa bentuk demensia, dan jumlahnya diprediksiakan meningkat
dua kali lipat pada 30 tahun yang akan datang (Hingle & Sherry, 2009).
Sebagai akibatnya, dokter dapat berharap untuk menemui lebih banyak pasien demensia dan pasien
tersebut datang berkunjung ke dokter ditemani oleh anggota keluarga atau perawat nonformallain 
(Vieder  et al .,2002).

(istilah caregiver  digunakan dari point ini untuk merujuk pada setiaporang yang menemani
kunjungan yang merupakan informal caregiver ). Penilaian dan pengobatan pasien lanjut usia
dengan demensia juga akan sangat membantu bila melibatkan caregiver (Roter, 2000).

Ada banyak tingkatan demensia, yang memiliki berbagai kesulitan komunikasi. Pasien pada stadium
awal sering mengalami masalah untuk menemukan kata yang ingin disampaikan, pasien banyak
menggunakan kata-kata yang tidak memiliki makna, seperti “hal ini”, “sesuatu”,dan “anda tahu”.
Pada demensia parah, pasien dapat menggunakan jargon yang tidak dapat dipahami atau bisa hanya
berdiam diri (Orange & Ryan,2000). Demensia memiliki efek yang merugikan pada penerimaan dan
ekspresi komunikasi pasien. Sebagian besar pasien mengalami kehilangan memori dan mengalami
kesulitan mengingat kejadian yang baru terjadi. Sebagian pasien demensia memiliki rentang
konsentrasi yang sangat singkat dan sulit untuk tetap berada dalam satu topik tertentu (Miller,
2008).

Faktor yang paling kritis dalam berkomunikasi dengan pasien demensia adalah memantapkan
hubungan perawatan sesegera mungkin. Diatas segalanya yang paling penting adalah merawat
pasien dengan penuh martabat dan hormat. Ada kecenderungan untuk memperlakukan pasien
demensia seperti anak-anak atau berbicara dengan mereka sepertinya mereka adalah anak-anak.
Harus diingat bahwa pasien demensia kehilangan kemampuannya untuk berkomunikasi, bukan
kehilangan kepandaiannya. Mereka adalah orang dewasa yanghidup produktif dan layak
mendapatkan penghormatan. Pasien demensia juga sangat sensitif terhadap emosi orang lain. Pada
umumnya pasien tersebut, lebih merespon kepada bagaimana cara seseorang  berbicara kepada
mereka daripada apa yang sebetulnya dikatakan (Smith et al .,2006 ; Miller, 2008).

E.       Pendekatan untuk Berkomunikasi pada lansia

Ketika berkomunikasi dengan pasien lanjut usia dengan pendengaran yang berkurang, tataplah
pasien sehingga pasien dapat membaca bibir dan menggunakan isyarat mata. Meminimalkan
kebisingan, dan berbicara pelan, jelas, dan dalam nada yang normal. Berteriak akan menghambat
komunikasi, mengubah nada berfrekuensi tinggi, dan mempersulit pasien untuk memahami kata-
kata anda. Jika suara anda melengking, meredam lengkingan ketika anda berbicara dapat membantu
pasien untuk mendengar anda dengan lebih baik. Ketika memberikan instruksi untuk medikasi, tes,
atau pengobatan, hindarkan untuk bertanya kepada pasien apakahdia mengerti. Orang dengan
gangguan pendengaran mungkin akan menjawab “ya” tanpa menyadari bahwa mereka belum
mendengar apapun atau salah memahami beberapa informasi.Pendekatan yang lebih baik untuk
mengecek pemahaman pasien adalah dengan meminta pasienuntuk mengulang instruksi (Adelman
et al ., 2000). Akhirnya, karena pendengaran memburuk dikemudian hari,appointment yang lebih
awal umumnya lebih baik (Veras & Mattos, 2007).

Jika tersedia, pengeras suara (alat portable yang memperkuat suara dokter dan memancarkannya ke
headphones yang dipakai oleh pasien) diketahui sangat memudahkan komunikasi dengan pasien
yang mengalami gangguan pendengaran (Fook & Morgan, 2000).

Ketika berkomunikasi dengan pasien dengan gangguan penglihatan, lingkungan klinik dapat


diperbaiki dengan memperbanyak pencahayaan, menggunakan warna-warna kontras
untuk membuat objek lebih jelas (mis. kerangka pintu, kursi yang berada dilantai klinik), dan
menggunakan huruf yang besar serta berwarna kontras untuk setiap tanda. Setiap bahan dengan
tulisan harus dicetak paling  tidak dengan huruf berukuran 14 diatas kertas berwarna.
Direkomendasikan untuk menggunakan dua sumber cahaya, pencahayaan untuk latar belakang dan
lampu tertutup (Roter, 2000)

Ketika membahas rencana pengobatan, ingatlah masalah keamanan potensial yaitu gangguan
penglihatan. Sebagai contoh, pasien lanjut usia kadang-kadang akan meletakkan obatnya dalam satu
wadah dan tergantung pada satu warna untuk mengenalinya. Ini dapatmenjadi masalah keamanan,
karena banyak obat yang berwarna putih, biru muda, hijau muda,yang akan terlihat berwarna abu-
abu oleh mata yang telah menua. Warna merah, oranye, dan kuning paling baik dilihat dan dapat
digabungkan kedalam perawatan. Pada contoh lain, pasienyang mengalami kesulitan memastikan
dosis insulin dapat diinstruksikan untuk ditempatkan pada warna merah diatas meja, yang akan
mempermudahnya untuk melihat jarum dan vial.

Kertas kontak berwarna merah dapat dibalutkan pada pegangan untuk berjalan, tongkat atau tabung
oksigen untuk membantu pasien lanjut usia untuk mengambilnya (Adelman et al ., 2000).

Sebagai akibatnya, sangat penting untuk mendekati pasien dengan cara yang tenang
danmenyenangkan. Pasien demensia sangat bergantung pada komunikasi nonverbal, maka
pentinguntuk tidak membiarkan bahasa tubuh anda memberikan kesan bahwa anda sedang tergesa-
gesa (Orange, 2000 ; Smith et al ., 2006).

Saat memasuki ruangan pemeriksaan, anda sebaiknya langsung mengarah ke pasiendengan tenang,
menjaga kontak mata dan menampilkan ekspresi yang bersahabat. Pergunakan nada suara yang
tenang dan lembut sembari menyentuh bahu pasien dengan lembut akan menunjukkan anda peduli
dan ingin berbagi. Anda harus memperkenalkan diri, walaupun anda telah mengenal pasien ini
cukup lama. Akan cukup efektif bila anda menghabiskan beberapa menit untuk mengobrol dan
mengingatkan pasien pada keadaan sosialnya. Proses mengingatkan ini merupakan tehnik
komunikasi yang cukup efektif pada pasien demensia, karena hal ini akan membangkitkan memori
jangka panjang mereka, membuat kilas balik masa lalu, saat ini dan masa akan datang dalam pikiran
mereka serta mengurangi ketegangan (Puentes, 1998).

BAB III
PEMBAHASAN
Terdapat banyak bukti bahwa kesehatan yang optimal pada pasien lanjut usia tidak
hanya bergantung pada kebutuhan biomedis akan tetapi juga tergantung dari perhatian terhadap
keadaan sosial, ekonomi, kultural dan psikologis pasien tersebut. Walaupun pelayanan kesehatan
secara medis pada pasien lanjut usia telah cukup baik tetapi mereka tetap memerlukan komunikasi
yang baik serta empati sebagai bagian penting dalam penanganan persoalan kesehatan mereka.
Komunikasi yang baik ini akan sangat membantu dalam keterbatasan kapasitas fungsional, sosial,
ekonomi, perilaku emosi yang labil pada pasien lanjut usia (William et al , 2007).
A.      Pengertian komunikasi terapeutik
Indrawati (2003), mengemukakan bahwa komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang
direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
B.       Manfaat Komunikasi Terapeutik
Manfaat komunikasi terapeutik adalah untuk mendorong dan menganjurkan kerja sama antara
perawat dan pasien melalui hubungan perawat dan pasien. Mengidentifikasi. mengungkap perasaan
dan mengkaji masalah dan evaluasi tindakan yang dilakukan oleh perawat (Indrawati, 2003 : 50).
C.       Hal-hal yang perlu diperhatikan saat berinteraksi pada lansia
1.         Menunjukkan rasa hormat, seperti “bapak”, “ibu”, kecuali apabila sebelumnya pasien telah meminta
anda untuk memanggil panggilan kesukaannya.
2.         Hindari menggunakan istilah yang merendahkan pasien
3.         Pertahankan kontak mata dengan pasien
4.         Pertahankan langkah yang tidak tergesa-gesa dan mendengarkan adalah kunci komunikasi efektif
5.         Beri kesempatan pasien untuk menyampaikan perasaannya
6.         Berbicara dengan pelan, jelas, tidak harus berteriak, menggunakan bahasa dan kalimat yang
sederhana.
7.         Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti pasien
8.         Hindari kata-kata medis yang tidak dimengerti pasien
9.         Menyederhanakan atau menuliskan instruksi
10.     Mengenal dahulu kultur dan latar belakang budaya pasien
11.     Mengurangi kebisingan saat berinteraksi, beri kenyamanan, dan beri penerangan yang cukup saat
berinteraksi.
12.     Gunakan sentuhan lembut dengan sentuhan ringan di tangan. Lengan, atau bahu.
13.     Jangan mengabaikan pasien saat berinteraksi.

Selain itu juga terdapat beberapa hambatan dalan komunikasi terapeutik pada lansia ini, misalnya
pasien menunjukkan defisit pendengaran dan penglihatan yang terkait denganusia, keduanya
memerlukan adaptasi dalam berkomunikasi. Aging/penuaan mengakibatkan penurunan fungsi
pendengaran yang dikenal sebagai presbyacussis, yang terutama berkenaan dengan suara
berfrekuensi tinggi. Suara berfrekuensi tinggi adalah suara konsonan yang berdampak pada
pemahaman pasien diawal dan akhir kata.

Ada banyak tingkatan demensia, yang memiliki berbagai kesulitan komunikasi


Pasien pada stadium awal sering mengalami masalah untuk menemukan kata yang ingin
disampaikan, pasien banyak menggunakan kata-kata yang tidak memiliki makna, seperti “hal ini”,
“sesuatu”,dan “anda tahu”. Ada kecenderungan untuk memperlakukan pasien demensia seperti
anak-anak atau berbicara dengan mereka sepertinya mereka adalah anak-anak.

Faktor yang paling kritis dalam berkomunikasi dengan pasien demensia adalah memantapkan
hubungan perawatan sesegera mungkin. Diatas segalanya yang paling penting adalah merawat
pasien dengan penuh martabat dan hormat

BAB IV
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Komunikasi yang baik dengan pasien adalah kunci keberhasilan untuk masalah klinis, hubungan
dokter – pasien yang lebih baik, dan keluaran perawatan kesehatan. Keberhasilan komunikasi
memerlukan pendekatan efektif kepada pasien, kemampuan untuk mendengarkan dan
mempersilahkan pasien untuk bercerita, serta cakap dalam melakukan investigasi untuk
mengklarifikasi dan mendapatkan informasi yang penting. Dokter sering kali kurang meluangkan
waktunya pada masalah psikososial, dan pasien lanjut usia sering kali tidak memunculkan masalah
ini karena menganggap hal tersebut sudah biasa dan tidak perlu dipermasalahkan. Disamping
kompleksitas masalahnya, pasien lanjut usia menerima lebih sedikit edukasi dan konseling kesehatan
dari pada pasien yang lebih muda (Haug & Ory., 1987).

Dengan komunikasi yang efektif antara dokter – pasien lanjut usia :


Pasien dan keluarganya dapat menceritakan gejala dan masalahnya, yang akanmemungkinkan
dokter untuk membuat diagnosis yang lebih akurat. Instruksi dan saran dokter akan lebih mungkin
untuk ditaati. Kemungkinkan untuk melewatkan dosis atau menghentikan obat karena efek samping,
merasakan non efikasi, atau biaya obat dapat diminimalisir. Lebih memungkinkan untuk edukasi
dalam memanajemen diri sendiri seperti pada pasien diabetes dengan diet, olah raga, monitoring
gula darah, dan perawatan kaki. Penurunan biaya tes diagnostik juga dihubungkan dengan
komunikasi yang lebih baik antara dokter dan pasien lanjut usia.

B.       Saran
Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari kata sempurna maka dari itu sangat diharapkan kritik
dan sarannya dari para pembaca yang bersifat membangun agar kedepan penulis dapat
menyempurnakan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Potter, P.A & Perry, A.G. (1993) Fundamental of Nursing Concepts, Process and
Practice. Thrd edition. St.Louis: Mosby Year Book
http://sebastianus-doo.blogspot.com/2011/04/makalah-komunikasi-terapeutik-role-paly.html
http://jancokan.comhttp://creasoft.wordpress.com/2008/04/15/komunikasi-terapeutik.htm

Anda mungkin juga menyukai