Pendahuluan
A. Latar Belakang
Sudah sejak dahulu telah ada peraturan mengenai pewarisan meskipun semula
bukan peraturan hukum melainkan peraturan kebiasaan atau adat, yang menentukan apa
yang harus terjadi dengan harta kekayaan yang tidak lagi mempunyai pemilik, dan
keluarga sedarahlah yang menggantikan pemilik lama.
Di dalam hukum waris, setiap hak didukung oleh suatu subjek hukum baik itu
merupakan orang atau badan hukum. Apabila subjek hukum itu hilang harus ada yang
menggantikannya sebab jika tidak maka semua hak itu tidak ada aktivanya yang akan
menjadi rebutan dan para krediturnya akan kehilangan debitur.
Peraturan-peraturan yang mengatur tentang perpindahan harta kekayaan dari
seseorang yang meninggal dunia kepada seseorang atau beberapa orang lain, bersama-
sama merupakan hukum waris. Harta kekayaan yang berpindah itu dinamakan ahli
waris. Kepindahannya itu sendiri dinamakan pewarisan. Jadi pengertian warisan adalah
soal apakah dan bagaimana berbagai hak-hak kewajiban tentang kekayaan sesorang
pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.
Untuk dapat mewaris maka ahli waris itu ada yang karena ditunjuk oleh UU dan
ada yang karena ditunjuk oleh surat wasiat yang dapat mewaris berdasarkan UU dibagi
atas 4 (empat) golongan yaitu:
1. Anak dan suami/isteri;
2. Adanya pembelahan (kloving) ½ untuk keluarga ibu dan ½ - nya untuk keluarga
ayah khususnya untuk leluhur ke atas;
3. Saudara kandung dan orang tua;
4. Keluarga dalam garis menyimpang sampai ke 6 (enam) kalau semuanya tidak ada
akan jatuh pada negara.
Penggolongan pewarisan anak luar kawin dibagi atas :
1. Anak sah (anak yang lahir dalam perkawinan yang sah).
2. Anak luar kawin yang dapat dibagi atas:
a. Anak luar kawin dapat diakui sahnya yaitu: anak yang lahir dimana antara
laki-laki dan perempuan itu belum kawin atau keduanya tidak ada hubungan
darah;
b. Anak luar kawin yang tidak dapat diakui sah, yaitu: anak sumbang (anak yang
lahir dimana anak laki-laki dan perempuan itu mempunyai hubungan darah)
dan anak zinah yaitu anak laki-laki dan perempuan itu yang keduanya atau
salah satunya telah terikat oleh suatu perkawinan yang sah.
Anak luar kawin inilah yang dapat diakui sah dan boleh mendapatkan harta
warisan sedangkan anak luar kawin yang tidak dapat diakui sah hanyalah mempunyai hak
atas biaya hidup. Pasal 862 sampai dengan pasal 873 KUH Perdata adalah mengenai
hubungan hukum antara anak luar kawin dengan orang tuanya. Dengan kata “natuurlijk
kind” (anak luar kawin), orang menggantikan: semua anak tidak sah, kecuali yang
dihasilkan dari zinah dan anak sumbang. Kelahiran itu sendiri hanya ada hubungan antara
ibu dan anak. Hubungan anak dengan laki-laki yang membuahkannya tidak ada. Barulah
karena pengakuannya lahirlah hubungan-hubungan hukum antara anak dan laki-laki yang
mengakuinya. Walaupun kedudukannya tetap terbelakang di bandingkan dengan anak
sah, terutama dalam hukum waris. Selain itu anak luar kawin baik yang diakui maupun
tidak berada dibawah kekuasaan orang tua melainkan dibawah perwalian.
Pasal 862 KUHPerdata hanya memberikan hak mewaris kepada anak luar kawin
yang ada hubungan perdata dengan si pewaris berdasarkan pasal 281 KUH Perdata. Sejak
kelahiran seorang anak, terjadilah hubungan perdata antara orang tua dan anak. Hubungan
yang demikian terhadi dengan sendirinya karena kelahiran. Jadi dengan kelahirannya
maka anak yang tidak sah itu menjadi anak luar kawin dari si ibu. Dengan pengakuan si
ayah ia menjadi anak luar kawin dari si ayah. Anak luar kawin tidak akan pernah dapat
mewaris dari sanak keluarga orang tuanya, dan sebaliknya sanak keluarga orang tuanya,
dan tidak dapat bertindak dalam harta peninggalan anak luar kawin dari salah seorang
anggota keluarganya. Akan tetapi pasal 873 KUHPerdata memungkinkan terjadi
pewarisan.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
BAB II
Pembahasan
1
Wirjono Prodjodikoro., Hukum Warisan di Indonesia, cetakan ke-4, Sumur Bandung, hal. 8
sedarah yang dipanggil untuk menerima harta peninggalan, maka harta peninggalan itu
jatuh pada negara.
Ahli waris yang lain yaitu anak luar kawin. Sanak keluarga sedarah yang tidak sah
hanya bertindak sebagai sanak keluarga dalam hukum waris sepanjang ada hubungan
perdata antara mereka dengan sanak keluarga. Bagian ke ahli waris yang lain yaitu anak
luar kawin. Sanak keluarga sedarah yang tidak sah hanya bertindak sebagai sanak
keluarga dalam hukum waris sepanjang ada hubungan perdata antara mereka dengan
sanak keluarga. Saat kelahiran, seorang anak sudah ada hubungan perdata antara ibu dan
anak, sebab seorang ibu adalah tidak mungkin untuk melahirkan anak yang tidak sah.
Antara ayah dengan anak ini hubungan terjadi telah ada, nanti ada pengakuan dari si ayah.
Anak yang tidak sah, yang hubungan perdata dengan satu orang tuanya,
dinamakan anak luar kawin dari orang tua itu. Dengan kelahirannya, maka anak yang
tidak sah itu menjadi anak luar kawin dari si ibu, dan dengan pengakuan si ayah ia
menjadi anak luar kawin dari si ayah. Antara anak luar kawin dengan keluarga sedarah
dari orang tuanya itu, pada asasnya tidak ada timbul hubungan perdata. “Antara anak
yang tidak sah dengan sanak keluarga sedarah dari orang tuanya, hanyalah ada hubungan
perdata, apabila antara anak yang tidak sah itu dengan orang tua ada hubungan perdata.
Jadi di pihak ibu selalu ada, dan pihak ayah hanyalah ada apabila si ayah mengakuinya”.2
Seorang anak luar kawin dapat mewaris bersama-sama dengan golongan ke 2, ke 3 dan ke
4 apabila anak luar kawin tadi telah sampai pada taraf pengesahan yang dikuatkan di
Pengadilan Negeri.
Sesudah pasal pendahuluan 862, maka pasal 863 KUH Perdata, memberikan
untuk bagian yang mana anak luar kawin itu bertindak dalam harta peninggalan dari
orang tuanya. Pasal 863 telah menetapkan bagian dari warisan anak luar kawin apabila ia
mewaris bersama-sama dengan golongan I, II, III dan IV.
Apabila pewaris meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris yang sah, maka
anak luar kawin memperoleh seluruh harta peninggalan. Ia menyampingkan negara.
Dalam pasal 866 diatur mengenai penggantian bagi anak luar kawin. Apabila anak
luar kawin meninggal lebih dahulu dari pewaris, maka keturunannya yang sah dapat
menggantikan kedudukannya untuk mewaris. Tetapi anak luar kawin tidak boleh
A. Pitlo., Hukum Waris menurut KUHPerdata, Intermasa, Jakarta 1979, hal. 52.
2
menggantikan kedudukan dari orang tuanya, sebab salah satu syarat mengenai
penggantian kedudukan adalah ahli waris yang sah.
Apabila anak luar kawin menjadi pewaris, maka ahli waris yang I yaitu anak-anak
dan suami/istri dari pewaris (anak luar kawin yang meninggal dan meninggalkan
keturunan): kalau golongan I ini tidak ada, barulah golongan II atau III atau 1V.
3
O. Moechthar, S. H., M. Kn. Perkembangan Hukum Waris.cetakan 1, Pernadamedia Grup, Jakarta 13220 ,
Hal 74
Dalam KUHP (bagian ketiga dari BAB duabelas) mengatur cara mewarisi
harta peninggalan, di kenal pula anak-anak luar kawin yand diakui sah dan cara mewaris
harta peninggal seorang anak luar kawin .
Pasal 862 KUHP perdata mengatur khusus mengenai bagian anak luar kawin
yang menurut pasal 281 mempunyai hubungan Perdata dengan si pewaris. Apabila anak
luar kawin tidak di akui oleh ayahnya, maka mereka tidak dapat menuntut hak haknnya
atas harta peninggalan. Setelah adanya pengakua, maka menrut pasal 280 KUHP lahirlah
hubungan perdata antara si anak dengan si ayah 4. Dalam pewaris adanya anak luar kawin
pertama di sebut Aktif dan kedua di sebut waris pasif.
a. Hak Waris Aktif Anak Luar Kawin
Hak waris aktif diatur dalam pasal 862 sampai dengan pasal 866 KUHP, pasal
872 dan pasal 873 ayat (1) KUHP. Menueru pasal 863 KUHP jika anak-anak luar kawin
mewarsi bersama-sama dengan keturunan yang dapat si pewaris atau dengan suami atau
istri, maka anak luar kawin mewaris sepertiga dari bagian, yang sedianya mereka akan
mendapat bagain andaikata mereka anak-anak sah.
1. Contoh:
A meninggal dunia meninggalkan seorang anak B dan seorang anak luar
kawin yang di akui sah X. Buatlah pembagian peninggalan harta A!
Jawab:
Pembagian; kalau X adalah anak sah, maka X mendapat ½ bagian dari harta
peninggalan, karena X yaitu 1/3 x ½ = 1/6 bagian dari hara peningglan A, dan sisianya
bagian B sebagai anak sah dari A. Jadi B mendapat 5/6 bagian dan X mendapat 1/6
bagian. Apabila anak di luar kawin diakui sah, dua orang atu lebih maka anak itu di
anggap dahulu sebagai anak yang sah dan kemudian di tetapkan bagiannya masing-
masing 1/3 bagian dari seorang anka yang sah.
2. Conto dua:
A meninggal dunia meninggalkan dua orang anak laki-laki yang sah B dan C
serta dua orang anak luar kawin yang diakui sah, X laki-laki dan Y perempuan. Buatlah
hatra peninggalan A!
Jawab:
4
R.H. S. Wongsowidjoyo, Hukum Waris Perdata Barat (BW), jilid 1, op.cit., hlm 28.
Pembagian: X Dan Y di anggap dulu sebagai anak-anak yang sah, sehingga X
dan Y mendapat bagian masing-masing ¼ bagain. Karena X dan Y anak luarf kawin yang
di akui sah, maka X dan Y masing-masing menerima1/3 x ¼ = 1/12 bagian. B dan C
bersama-sama menerima sisianya yaitu masing-masing ½ x ( 1-2/12) = 5/12 bagian jadi
pembagiannya:
B menerima = 5/12 bagian
C menerima = 5/12 bagian
X menerima = 1/12 bagian
Y menerima = 1/12 bagian
Jumlah = 24/24 = 1
b. Hak Waris Pasif
Hak waris pasif terdapat dalam pasal 870, 871 dan 873 ayat (2) dan (3)
KUHP. Pasal-pasal ini mengenai bagaimana cara mewaris harta peninggalan seorang
anak luar kawin yang di akui sah. Menurut pasal 866 KUHP, jika seorang anak luar kawin
meninggal dunia, maka sekalian anak dan keturunannya yang menuntut hak bagian-
bagian yang di berikan kepada mereka menurut pasal 863 dan pasal 865 KUHP
1. Contoh
A dan B suami istri mengakui sah seorang anak luar kawin X, X meninggal
dunia meninggalkan seorang anak Luar Kwain laki-laki dan dua orang anak sah laki-laki
D dan E. Maka buatlah peninggalan harta pembagian X!
Jawab:
A dan B bapak dan ibu tidak menerima bagian, Y menerima 1/3 x 1/3 = 1/9
bagian. Sisanya 8/9 di bagi untuk D dan E, masing- masing 8/18. Jadi pembagiannya:
Y menerima 1/9 = 2/18 bagian
D menerima = 8/18 bagian
E menerima = 8/18 bagian
Jumlah = 18/18 = 1
Jika seorang anak luar kawin meninggal dunia tanpa meninggalkan keturunan jika sah
dan atau suami atau isrti dan kedua orang tuannya telah meningalkan lebih dahulu, maka
berlaku pasal 871 KUHP.
c. Pengakuan Sepanjang Perkawinan
harus perhatikan ketentuan yang termuat dalam pasal 285 ayat1 yang
menyebutkan bahwa anak luar kawin yang diakui tidak boleh merugikan ahli waris yang
ada dalam perkawinan di mana anak luar kawin di akui.
1. Contoh
A meninggal dunia, meninggalkan istrinya B, seorang anak laki-laki sah C
dan seoarng anak luar kawin X yang di akui sah selama perkawinan A dan B. Buatalah
peembagian harta peninggalan A!
Jawab;
B dan C masing-masing mendapat ½ bagian dari harta peninggalan A,
sedangkan X tidak mendapatkan bagian dari harta peninggalan A. Menurut pasal 181
KUHP, suami atau istri kadua atau selanjutnya berdasarakan harta persatuan tidak boleh
menerima bagian lebih dari pembagian yang terkecil bagaian seorang anak yang di
lahirkan dalam perkawinan pertama atau perkawinan sebelumnya. Pembahasan ini juga
berlaku untuk hak waris karena kematian{852 ayat(1)} beradasarkan wasiat pasal 902
ayat 1