Anda di halaman 1dari 10

Referensi Artikel

Gangguan Keseimbangan Elektrolit

Oleh:

Fadhillah Ardiana Azmi G991906012

Rizki Ardiansyah G992003128


Tiara Mahza Wardhani G992003146

Pembimbing:
Arifin, dr., SpPD-KIC, FINASIM

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD DR MOEWARDI
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Telah disetujui dan dibacakan jurnal untuk memenuhi


persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret / RSUD Dr. Moewardi
dengan judul “Gangguan Keseimbangan Elektrolit”

Oleh :

Fadhillah Ardiana Azmi G991906012

Rizki Ardiansyah G992003128


Tiara Mahza Wardhani G992003146

Pada
Hari, tanggal : Rabu, 1 Juni 2020

Pembimbing
Arifin, dr., SpPD-KIC, FINASIM

1. HIPONATREMIA
a. Definisi

Kadar Na+ plasma <136 mmol/L merupakan gangguan keseimbangan


air yang sering menimbulkan tantangan pada diagnostik ataupun
terapeutik.

b. Klasifikasi
Tabel 1. Klasifikasi hiponatremia

c. Etiologi

Dapat dikelompokkan berdasarkan status volume cairan pasien yaitu


hipovolemik, euvolemik dan hiponatremia hipervolemik. Penyebab
paling umum adalah sindrom antidiuresis yang tidak tepat (SIAD),
penggunaan diuretic, polydipsia, insufisiensi adrenal, hypovolemia,
gagal jantung, dan sirosis hati. Hiponatremia non hipotonik biasanaya
disebabkan oleh hiperglikemia, tetapi bisa juga disebabkan oleh
administrasi mannitol atau radiokontras hipertonik.

d. Tatalaksana

Pendekatan umum untuk pengobatan dengan menggunakan batas


waktu 48 jam biasanya digunakan untuk membedakan hyponatremia
akut dan kronis. Tatalaksana hipoatremia secara gais besar terdiri atas
dua hal utama yaitu koreksi kadar Na+ serum dan mengatasi etiologi
yang mendasari. Tatacara koreksi kadar Na+ serum bergantung dari
kondisi pasien :

 Hiponatremia asimtomatik : koreksi Na+ dengan kecepatan <0.5


mEq/L/jam dengan larutan NA isotonic IV (NaCl 0.9%)
 Hiponatremia akut : koreksi Na dilakukan secara cepat dengan
pemberian larutan Na hipertonik IV (NaCl 3%). Kadar Na plasma
ditingkatkan sebanyak 5 mEq/L dari kadar Na awal dalam waktu
1 jam. Setelah itu kadar Na plasma ditingkatkan sebesar 1 mEq/L
setiap 1 jam sampai mencapai 130 mEq/L
 Hiponatremia kronis : .48 jam, koreksi dilakukan dengan cara
perlahan dengan kecepatan koreksi 0.5-1 mEq/L/jam. Biasaya
total koreksi maksimal 10-12 mEq/24 jam dan <18 mEq/48 jam
pertama untuk menghindari sindrom demyelidnasi osmotic atau
serelepontin mielinolikosis.

Tabel 2. Jenis Cairan untuk Terapi Hiponatremia

Jenis Cairan Kandungan Na+ (mEq/l)


NaCl 3% 513
NaCl 0.9% 154
Ringer Laktat 130
e. Rumus
- Rumus Kebutuhan Koreksi :

Na+ = 0.5 x BB (kg) x target [Na+] – konsentrasi [Na+] awal

- Kadar Na+ serum pasca koreksi dapat diperkirakan dengan


menggunakan rumus :

∆Na+ serum = (kandungan Na+ cairan infus – kadar Na+ serum) / (Jumlah air
tubuh* + 1)
*jumlah air tubuh = BB (kg) x 0.6 (laki-laki) / 0.5 (lanjut usia)
BB (kg) x 0.5 (perempuan) / 0.45 (lanjut usia)
- Menggunakan cairan infus yang mengandung ion K+, maka
kadar Na+ pasca koreksi dapat diperkirakan dengan rumus :

Perubahan Na serum = [(kandungan Na+ cairan infus + kadnungan K+ cairan infus) –


Kadar Na+ serum] / (Jumlah air tubuh* = 1 )

2. HIPERNATREMIA
a. Definisi

Konsentrasi natrium serum yang melebihi 145 mmol/L. Hipernatremia


merupaan kondisi hiperosmolalitas plasma karena penurunan relatif
kandungan air total dalam tubuh terkait kandungan elektrolit.
Sehingga, hypernatremia disimpulkan sebagai masalah cairan, bukan
masalah pada homeostatis sodium.(Muhsin, 2016).

b. Etiologi

Mekanisme dasar terjadinya hypernatremia adalah kurangnya air,


kurangnya asupan cairan, dan bertambahnya asupan sodium.
Hipernatremia sering dikaitkan dengan hypovolemia yang dapat
terjadi pada kondisi yang menyebabkan hilangnya kombinasi air dan
zat terlarut, dimana hilangnya air lebih besar dari sodium, atau pada
hilangnya air bebas. Pada gastroenteritis, muntah, suction
berkepanjangan, luka bakar, dan berkeringat dalam jumlah banyak
dapat terjadi kondisi kombinasi. Selain itu, kondisi hipernatremi bisa
dilihat pada penyakit ginjal kronis, diabetes mellitus, post-obstructive
diuresis, dan pada penggunaan diuretic osmotic. Pada diabetes
insipidus, terdapat kehilangan air bebas karena produksi ADH yang
tidak adekuat atau karena tubuler tidak merespon ADH.
Hipernatremia karena kekurangan cairan biasanya terjadi pada bayi,
anak-anak, atau pada orang tua dengan sensorik haus yang berkurang.
Selain itu, bisa terjadi pemberian sodium berlebihan yang biasanya
terjadi pada pasien dengan perawatan di rumah sakit dengan formula
yang tidak sesuai, terlalu banyak sodium bicarbonate, hiperaldosteron,
dan pada kondisi tenggelam di laut (Das, 2018; Yano, 2019)

c. Tatalaksana

Tatalaksana dengan menghentikan hilangnya air sesuai dengan etiologi


yang mendasari serta mengoreksi defisit air dan mengoreksi kondisi
hipertonik. Pada pasien dengan dehidrasi berat atau syok, langkah awal
yang dilakukan adalah resusitasi dengan cairan isotonic sebelum koreksi
air bebas (Koch, 2017).

Tujuan akhir koreksi adalah untuk menurunkan sodium serum tidak


lebih dari 12 mEq/24 jam untuk menghindari edema serebral karena
perpindahan air dari serum ke sel otak yang terlalu cepat. Sodium harus
dimonitor setiap 2-4 jam pada fase akut. Perkiraan defisit air bebas
dilakukan dalam kurun waktu 48-72 jam tidak lebih dari 0,5mEq/jam.
Rute pemberian cairan yang paling aman adalah per oral atau melalui
selang nasogastric (Gossman, 2020).

d. Rumus
1. Defisit air
a. Estimasi total cairan tubuh: 50-60% BB
b. Hitung defisit air: ((Na plasma-140)/140) x jumlah air dalam tubuh
c. Hasil defisit air diberikan dalam 48-72 jam
2. Ongoing water loss (OWL)
Bersihan air= v (1-Na urin+ K urin/Na serum)
3. Insensible water loss (IWL)
5-10 ml/ kgBB/hari
4. Jumlah OWL dan IWL diberikan setiap harinya. Cairan yang
digunakan adalah salin hipotonik (NaCl 4,5% atau dextrose 5%).

(Tanto, 2014).

3. HIPOKALEMIA
a. Definisi
Hipokalemia secara umum digambarkan sebagai kondisi dimana
potassium serum kurang dari 3.5 mEq/L atau 3.5 mmol/L (Castro,
2020).
b. Klasifikasi
Derajat hipokalemia dibagi menjadi ringan, sedang, dan berat.
Hipokalemia ringan adalah ketika potassium serum 3 to 3.4 mmol/L,
hipokalemia sedang ketika potassium serum 2.5 to 3 mmol/L, dan
hipokalemia berat saat potassium serum 2.5 mmol/L (Castro, 2020).
c. Etiologi
Hipokalemia bisa disebabkan ambilan potassium yang tidak adekuat,
peningkatan ekskresi potassium, dan pergeseran potassium dari
ekstraseluler ke intraseluler. Peningkatan ekskresi adalah mekanisme
yang paling sering (Lederer, 2018).
 Ambilan potassium yang tidak adekuat
Bisa disebabkan karena gangguan makan seperti anoreksia atau
bulimia. Selain itu, masalah pada gigi menyebabkan
ketidakmampuan mengunyah atau menelan sehingga ambilan
potassium tidak maksimal. Kemiskinan menyebabkan
kurangnya kuantitas dan kualitas makanan sehingga nilai gizi
tidak terpenuhi.
 Peningkatan ekskresi potassium
Jumlah mineralkortikoid endogen maupun eksogen berlebihan
dapat meningkatkan pengeluaran mineralkortikoid seperti pada
hiperaldosteron, cushing syndrome, depresi imun karena
penggunaan kortikosteroid, tubular disorder, genetik. Selain itu,
hipokalemia bisa disebabkan peningkatan pengluaran
potassium gastrointestinal seperti pada muntah dan diare yang
biasanya terjadi pada penyakit tropis seperti malaria dan
leptospirosis. Penggunaan obat diuretik (Karbonic anhydrase
inhibitor, loop diuretic, thiazide) meningkatkan permeabilitas
duktus kolektikus dan meningkatkan gradient sekresi
potassium sehingga menyebabkan kehilangan potassium dalam
tubuh, selain itu obat seperti manitol dan kondisi hiperglikemia
dapat menyebabkan diuresis osmotic. Obat lain yang dapat
menyebabkan hipokalemia adalah verapamil, diltiazem, beta
blocker, gentamicin, amphicilin, dan agen antifungal.
Hiperrenism dan kelainan genetic seperti kongenital adrenal
hyperplasia dan sindrom bartter juga dapat menyebabkan
hipokalemia.
 Pergeseran potassium dari ruang ekstraseluler ke intraseluler
Kondisi ini disebabkan alkalosis, penggunaan insulin,
hipotermia, stimulasi beta-adrenergik secara intensif, gangguan
makan, kondisi lapar, dan alkoholisme.

(Castro, 2020; Kardalas, 2018)

d. Tatalaksana
Prinsip tatalaksana pada hipokalemia adalah mereduksi kehilangan
potassium, meningkatkan penyimpanan potassium, mengevaluasi
toksik yang potensial, dan merencanakan pencegahan lebih lanjut
(Lederer, 2018).
Hipokalemia ringan sampai sedang biasanya diberikan suplemen
potassium oral 60-80 mmol/hari selama beberapa hari-1 minggu untuk
hasil yang cukup baik (Castro, 2020). Pada hipokalemia ringan bisa
diberikan tablet potassium 72 mmol/hari atau secara intravena 25 ml
(75 mmol/hari). Pada hipokalemia sedang, diberikan tablet potassium
96 mmol/hari atau secara intravena 25 ml (100 mmol/hari) (Kardalas,
2018). Pemberian oral memiliki risiko hyperkalemia yang rendah,
namun memiliki efek samping seperti iritasi mukosa gastrointestinal
yang menyebabkan perdarahan atau ulserasi. Sehingga, pemberian
oral harus diberikan dalam dosis terbagi. Pemberian secara intravena
diberikan jika tidak memungkinkan secara oral (Castro, 2020;
Kardalas, 2018).
Pada hipokalemia berat, harus diberikan terapi pengganti berupa
potassium klorida 40 mmol setiap 3-4 jam secara oral atau IV
sebanyak 3 dosis jika dibutuhkan. Pemberian K intravena dalam
bentuk larutan KCl disarankan melalui vena yang besar dengan
kecepatan 10-20 mEq/jam, kecuali disertai aritmia atau kelumpuhan
otot pernafasan, diberikan dengan kecepatan 40-100 mEq/jam. KCl
dilarutkan sebanyak 20 mEq dalam 100 cc NaCl isotonik. Terapi tidak
direkomendasikan diberikan dengan dekstrosa karena dapat memicu
sekresi insulin yang memperparah hipokalemia melalui pergeseran ke
intraseluler. Potasium serum harus dicek setiap 2-4 jam (Castro,
2020).
DAFTAR PUSTAKA

Chris Tanto, Eka Adip Pradipto, N. M. H. (2014). Kapita Selekta Kedokteran,


Edisi II. Media Aesculapius, pp. 620–621.
Hoorn, E. J. and Zietse, R. (2017). Diagnosis and treatment of hyponatremia:
Compilation of the guidelines. Journal of the American Society of
Nephrology, 28(5), pp. 1340–1349. doi: 10.1681/ASN.2016101139.
Lindner, G. and Funk, G. C. (2013). Hypernatremia in critically ill patients.
Journal of Critical Care. Elsevier Inc., 28(2), pp. 216.e11-216.e20. doi:
10.1016/j.jcrc.2012.05.001.
Castro, D. and Sharma, S. (2020). Hypokalemia. In: StatPearls [Internet].
Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482465/
Das, M.K., Ali, M.A., Latif, T., Islam, M.N., Hossain, M.A., Moniruzzaman,
M.M., et al.(2018). Comparison of Serum Electrolytes Abnormality and
Renal Function Status in Asphyxiated and Normal Baby in a Tertiary Level
Hospital. Mymensingh Med J, 27(4):723-729.
Gossman, W., Naganathan, S., Al-Dhahir, M.A. Hypernatremia. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441960/
Kardalas, E., Paschou, S. A., Anagnostis, P., Muscogiuri, G., Siasos, G., and
Vryonidou, A. (2018). Hypokalemia: a clinical update. Endocrine
connections, 7(4), R135–R146. https://doi.org/10.1530/EC-18-0109
Koch, C.A. and Fulop, T. (2017). Clinical aspects of changes in water and sodium
homeostasis in the elderly. Rev Endocr Metab Disord, 18(1):49-66. 
Lederer, E. (2020). Hypokalemia. Louisville: Medscape.
Muhsin, S.A., Mount, D.B. (2016). Diagnosis and treatment of
hypernatremia. Best Pract Res Clin Endocrinol Metab, 30 (2):189-203. 
Yano, T., Uchimura, S., Nagahama, M., Yonaha, T., Taniguchi, M., Tsuneyoshi,
I. (2019). Continuous hemodiafiltration for hypernatremia and a simple
formula for stepwise regulation of the sodium concentration in a dialysate. J
Clin Anesth, 55:144-145. 

Anda mungkin juga menyukai