Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH PRAKTIKUM

TEKNOLOGI SEDIAAN STERIL

INJEKSI INSULIN

Disusun Oleh :
Kelompok 1 Prak. Steril A

Adam Arditya Fajriawan 1306377096


Intan Fikri Purnama Sari 1306396971
Jessica Maria 1306403541
Metah Putri Mulia 1306396946

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kekuatan, pikiran dan tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Ungkapan terima kasih juga tak lupa kami ucapkan kepada dosen
pengajar mata kuliah Praktikum Teknologi Sediaan Steril yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Adapun penyusunan makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Praktikum Teknologi Sediaan Steril dan juga untuk memberikan
pengetahuan kepada pembaca, terutama mahasiswa program sarjana farmasi
mengenai pembuatan sediaan farmasi yang aman, bermutu, dan berkhasiat. Penulis
pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis meminta maaf atas segala kekurangan dalam makalah ini. Semoga makalah
ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi pembaca.

Depok, Desember 2016

Tim Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 2
1.4 Sistematika Penulisan ............................................................................. 2
BAB 2 LANDASAN TEORI .............................................................................. 4
2.1 Diabetes Melitus ...................................................................................... 4
2.2 Insulin ...................................................................................................... 5
2.3 Monografi Bahan ................................................................................... 11
2.4 Injeksi .................................................................................................... 14
2.5 Cara Sterilisasi ....................................................................................... 16
2.6 Kemasan ................................................................................................ 20
BAB 3 FORMULASI ......................................................................................... 26
3.1 Formulasi Resep .................................................................................... 26
3.2 Perhitungan Bahan ................................................................................. 26
3.3 Sterilisasi Alat ........................................................................................ 27
3.4 Cara Pembuatan ..................................................................................... 28
BAB 4 EVALUASI ............................................................................................ 29
4.1 In Process Control ................................................................................. 29
4.2 Post Process Control .............................................................................. 30
BAB 5 PENUTUP .............................................................................................. 40
5.1 Pembahasan ............................................................................................ 40
5.2 Kesimpulan ............................................................................................ 41
5.3 Saran ...................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 42
LAMPIRAN ....................................................................................................... 43

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Diabetes melitus (DM) adalah gangguan metabolisme yang ditandai
dengan hiperglikemia yang berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
karbohidrat, lemak, protein yang disebabkan oleh penurunan sekresi insulin atau
penurunan sensitivitas insulin (Yulinah dkk, 2008). Gangguan atau defisiensi
produksi insulin oleh sel beta Langerhans kelenjar pankreas menyebabkan kurang
responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. (WHO, 1999).
Berbagai penelitian menunjukan bahwa kepatuhan pada pengobatan penyakit
yang bersifat kronis baik dari segi medis maupun nutrisi, pada umumnya rendah.
Dan penelitian terhadap penyandang diabetes mendapatkan 75 % diantaranya
menyuntik insulin dengan cara yang tidak tepat, 58 % memakai dosis yang salah,
dan 80 % tidak mengikuti diet yang tidak dianjurkan.(Endang Basuki dalam
Sidartawan Soegondo, dkk 2004).
Diabetes melitus merupakan penyakit yang banyak diderita masyarakat saat
ini. World Health Organization (WHO) memprediksi kenaikan pasien diabetes di
Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
(Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus, 2006). Berdasarkan data IDF
(International Diabetes Federation) tahun 2002, Indonesia merupakan negara ke-4
terbesar untuk prevalensi diabetes melitus. Untuk itu, diperlukan penanganan yang
tepat bagi penderita Diabetes melitus. Diabetes melitus kini menjadi ancaman yang
serius bagi manusia dan telah menjadi penyebab kematian urutan ketujuh di dunia
(Lampost.co, 2012)

1.2 Rumusan Masalah


Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini:
1.2.1. Zat aktif apa yang digunakan dan komposisinya?
1.2.2. Bagaimana cara pembuatan injeksi insulin?
1.2.3. Bagaimana kualitas sediaan injeksi ditinjau dari evaluasinya?
1.2.4. Apa wadah atau kemasan yang cocok untuk sediaan injeksi insulin?

3
1.3 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Praktikum Teknologi Sediaan Steril yaitu untuk melaporkan hasil praktikum
formulasi sedian injeksi yang telah dilakukan. Makalah ini juga bertujuan
menginformasikan zat aktif yang terkandung serta zat tambahan yang
digunakan dalam injeksi beserta alasan pemilihannya, serta memberikan
informasi mengenai proses pembuatan injeksi tersebut dan evaluasi yang
dilakukan sehingga dapat dilakukan analisa terhadap injeksi tersebut.

1.4 Sistematika Penulisan


KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Metodologi Penulisan
1.5 Sistematika Penulisan
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1 Diabetes Melitus
2.2 Insulin
2.3 Monografi Bahan
2.4 Injeksi
2.5 Cara Sterilisasi
2.6 Kemasan
BAB 3 FORMULASI
3.1 Formulasi Resep
3.2 Perhitungan Bahan
3.3 Sterilisasi Alat
3.4 Cara Pembuatan
BAB 4 EVALUASI
4.1 In Process Control

4
4.2 Post Process Control
BAB 5 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

5
BAB 2
LANDASAN TEORI

2.1 Diabetes Melitus


Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis diabetes melitus
umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas diabetes melitus
berupapoliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak
dapat dijelaskan sebabnya. Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak
terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya adalah sebelum tujuh
tahun diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi
pada kasus yang tidak terdeteksi.
Diabetes melitus jika tidak dikelola dengan baik akan dapat
mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit menahun, seperti penyakit
serebrovaskular, jantung kroroner, pembuluh darah tungkai, penyakit pada
mata, ginjal, dan saraf. Jika kadar glukosa darap dapat selalu dkendalikan
dengan baik, diharapkan semua penyakit menahun tersebut dapat dicegah,
atau setidaknya dihambat. Berbagai faktor genetik, lingkungan dan cara
hiidup berperan dalam perjalanan penyakit diabetes melitus
Diabetes mellitus adalah sekelompok sindrom yang ditandai dengan
hiperglikemia; perubahan metabolisme lipid, karbohidrat, dan protein; dan
peningkatan resiko komplikasi penyakit pembuluh darah. (Goodman and
Gilman’s). Pada tahun 1979, WHO mempublikasikan klasifikasi
berdasarkan kombinasi manifestasi klinik atau perawatan yang dilakukan,
yakni indulin dependent diabetes mellitus (IDDM) dan non-insulin
dependent diabetes mellitus (NIDDM). Kemudian pada tahun 1997
American Diabetes Associations (ADA) mengkategorikan 4 kelas utama
penyakit diabetes : tipe 1, dikarakterisasi dengan defisiensi insulin absolut;
tipe 2, dikarakterisasi denga resistensi insulin dan defek sekresi insulin; tipe
3, tipe diabetes lainnya; dan tipe 4, diabetes gestasional.

6
2.2 Insulin
Insulin merupakan pengobatan andalan untuk DM tipe 1 dan DM
tipe 2. Pemberian insulin secara subkutan merupakan pengobatan utama
untuk semua pasien DM tipe 1, untuk pasien DM tipe 2 yang tidak cukup
baik dikontrol melalui diet dan/atau senyawa hipoglikemi oral, dan untuk
pasien diabetes pascapankreatektomi atau diabetes gestasional. Pada
umumnya, tujuan terapi insulin adalah untuk normalisasi kadar glukosa
darah dan semua aspek metabolisme.
Insulin dapat diperoleh dari manusia, sapi, babi, maupun campuran
sapi dan babi. Insulin manusia (HUMULIN, NOVOLIN) diperoleh melalui
rekayasa genetika DNA rekombinan.

Gambar 1. Insulin berdasarkan sumbernya: insulin manusia, insulin babi,


dan insulin sapi.

Gambar 2. Insulin babi dan insulin manusia.

2.2.1. Satuan Unit


Untuk tujuan terapeutik, dosis dan konsentrasi insulin dinyatakan
dalam unit (U). Satu unit insulin setara dengan jumlah yang dibutuhkan
untuk menurunkan konsentrasi glukosa darah pada kelinci yang berpuasa
menjadi 45mg/dl. Standar internasional yang saat ini digunakan adalah

7
campuran insulin sapi dan babi yang mengandung 24 U/mg. Sementara,
sediaan homogen insulin manusia mengandung 25-30 U/mg. Hampir semua
sediaan insulin terdapat dalam bentuk larutan atau suspensi yang
mengandung 100 U/mg.

2.2.2. Klasifikasi Insulin


Berdasarkan durasi kerjanya, penggunaan insulin diklasifikasikan
menjadi insulin kerja-singkat, insulin kerja-sedang, dan insulin kerja-lama.
a. Insulin Kerja-Singkat
Insulin yang termasuk ke dalam insulin kerja-singkat adalah insulin
regular (insulin manusia) dan analognya: insulin lispro, aspart, dan
glulisin. Insulin regular adalah insulin zink kristal yang biasanya
dilarutkan dalam bufer pada pH netral. Insulin regular ini biasanya
diinjeksikan 30-45 menit sebelum makan. Ketika kondisi metabolik
stabil, insulin kerja-singkat biasanya diberikan secara subkutan dalm
kombinasi dengan sediaan insulin kerja-sedang atau kerja-lama untuk
mempertahankan insulin pada level insulin basal selama jeda dua
waktu makan dan mencegah hiperglikemia pada dini hari..

Gambar 3. Contoh sediaan insulin lispro.


b. Insulin Kerja-Sedang
Insulin kerja-sedang diformulasi agar dapat larut secara
berangsur-angsur setelah diberikan secara subkutan, sehingga durasi
kerjanya menjadi lebih lama. Insulin kerja-sedang biasanya dalam
bentuk suspensi. Insulin kerja-sedang umumnya diberikan satu kali
sehari sebelum sarapan atau dua kali sehari. Pada pasien DM tipe 2,

8
insulin kerja-sedang yang diberikan sebelum tidur dapat membantu
menormalkan glukosa darah puasa.
Sediaan insulin kerja-sedang yang sering digunakan adalah
NPH (neutral protamin Hagedorn) dan insulin lente. Insulin NPH
(suspensi insulin isophane) merupakan merupakan suspensi insulin
dalam bentuk kompleks dengan zink dan protamin dalam bufer fosfat.
Adanya konjugasi dengan protamin membentuk kompleks yang
kurang larut. Setelah diinjeksi secara subkutan, enzim proteolitik
harus mendegradasi protamin agar insulin terlepas dan bisa
terabsorpsi. Proses ini membuat insulin NPH terabsorpsi lambat.

c. Insulin Kerja-Lama
Insulin kerja-lama yang biasa ditemukan yaitu insulin ultralente
dan insulin glargin. Insulin ultralente merupakan suspensi zink
insulin diperpanjang. Memiliki onset yang sangat lambat dan puncak
kerja relatif ‘datar‘ yang lebih lama. Insulin ultralente diberikan
dengan tujuan konsentrasi insulin basal yang rendah sepanjang hari.
Waktu paruh insulin ultralente yang lama menyebabkan sulit
menentukan dosis optimal, karena dibutuhkan beberapa hari
pengobatan hingga dicapai konsentrasi insulin yang bersirkulasi
dalam keadaan tunak. Dosis yang diberikan biasanya sehari atau dua
kali sehari sesuai konsentrasi glukosa darah puasa.

2.2.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi absorpsi insulin


a. Tempat injeksi
b. Tipe insulin
c. Aliran darah subkutan
d. Aktivitas muskular di tempat injeksi
e. Volume dan konsentrasi insulin yang diinjeksikan
f. Kedalaman injeksi

9
2.2.4. Efek Samping
Terapi insulin ini memiliki efek samping, yaitu:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia sangat mungkin terjadi karena pemberian
dosis besar yang tidak tepat, ketidaksesuaian antara waktu
puncak insulin dan asupan makanan, atau faktor lain yang
mempengaruhi ambilan glukosa tak bergantung insulin
(misalnya olahraga). Biasanya yang tampak adalah pasien
berkeringat, munculnya rasa lapar, palpitasi, tremor, dan rasa
cemas. Jika kadar glukosa tetap semakin rendah, muncul gejala
berikut: kesulitan konsentrasi, kebingungan, lemah, mengantuk,
pening, pandangan kabur, dan hilang kesadaran.
b. Alergi dan resistensi insulin
Insiden ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap sejumlah
kecil insulin yang teragregasi atau terdenaturasi di dalam
sediaan, terhadap kontaminan minor, atau karena sensitivitas
terhadap salah satu komponen yang ditambahkan ke formulasi
insulin (protamin, Zn2+, fenol, dll). Manifestasi yang sering
terjadi adalah reaksi kulit diperantarai-IgE. Untuk mengatasi
reaksi alergi kulit, dapat digunakan antihistamin. Pemakaian
glukokortikoid untuk pasien yang resisten insulin atau memiliki
reaksi sistemik yang lebih parah.
c. Lipoatrofi dan lipohipertrofi
Atrofi lemak subkutan kemungkinan dianggap sebagai
respons imun terhadap insulin, biasanya terjadi jika digunakan
insulin hewan—komplikasi ini jarang terjadi sejak
dikembangkannya preparat insulin manusia atau analog insulin
pH netral. Namun, hipertrofi jaringan lemak subkutan dapat
terjadi jika pasien menginjeksi insulin di tempat yang sama
secara berulang-ulang. Hal ini dapat menyebabkan absorpsi
insulin yang tidak teratur.

10
2.2.5. Dosis
Kebutuhan rata-rata pasien
diabetes melitus tipe I adalah sekitar
0,6-0,7 unit/kg berat badan per hari.
Pasien obes umumnya membutuhkan
lebih banyak, sekitar 2 unit/kg per hari
karena resistensi jaringan perifer
terhadap insulin. Pada diabetes melitus
tipe II, kebutuhannya lebih bervariasi
namun biasanya dimulai antara 0,3-0,7
unit/kg berat badan.
Gambar 4. Rejimen multidosis
penggunaan insulin kombinasi yang
umum.

2.2.6. Interaksi
Beberapa hormon melawan efek hipoglikemia insulin misalnya
hormon pertumbuhan, kortikosteroid, glukokortikoid, tiroid, estrogen,
progestin, dan glukagon. Adrenalin menghambat sekresi insulin dan
merangsang glikogenolisis. Peningkatan hormon-hormon ini perlu
diperhitungkan dalam pengobatan insulin.
Guanetidin menurunkan gula darah dan dosis insulin perlu disesuaikan bila
obat ini ditambahkan / dihilangkan dalam pengobatan. Beberapa antibiotik
(misalnya kloramfenikol, tetrasiklin), salisilat dan fenilbutason
meningkatkan kadar insulin dalam plasma dan mungkin memperlihatkan
efek hipoglikemik. Hipoglikemia cenderung terjadi pada penderita yang
mendapat penghambat adrenoseptor ß, obat ini juga mengaburkan takikardi
akibat hipoglikemia. Potensiasi efek hipoglikemik insulin terjadi dengan
penghambat MAO, steroid anabolik dan fenfluramin.

11
2.2.7. Cara Administrasi Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan dibawah kulit
(subkutan). Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena
secara bolus atau drip. Insulin dapat diberikan tunggal (satu
macam insulin kerja cepat, kerja menengah atau kerja panjang) tetapi juga
dapat diberikan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah, sesuai
dengan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
Lokasi penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula
mengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas
penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih
dari satu kali oleh pasien yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian
kosentrasi insulin (U40, U100) dengan semprit yang dipakai. Dianjurkan
dipakai konsentrasi yang tetap.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen yang kemudian
diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas bokong. Bila disuntikan secara
intramuskular dalam maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan masa
kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang dilakukan segera setelah
penyuntikan akan mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa
kerja. Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia seperti pada
non lanjut usia, uyaitu adanya kegagalan terapi ADO, ketoasidosis, koma
hiperosmolar, adanya infeksi (stress) dll. Dianjurkan memakai insulin kerja
menengah yang dicampur dengan kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan
satu atau dua kali sehari.
Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia ialah karena
pasien tidak mau menyuntik sendiri karena persoalnnya pada matanya,
tremor, atau keadaan fisik yang terganggu serta adanya demensia. Dalam
keadaan seperti ini tentulah sangat diperlukan bantuan dari keluarganya.

12
2.3. Monografi Bahan
2.3.1. Insulin ( FI IV hal 464, Martindale 288 hal 844)

Rumus molekul : C257H383N65O77S6


BM : 5807,6
Pemerian : Serbuk; putih atau hampir putih.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, etanol, kloroform dan
eter; larut dalam larutan encer asam-asam mineral
dan larutan alkali hidroksida diikuti dengan
penguraian.
pH : 3 – 3.5
Titik Lebur : 233 ºC
Berat jenis : 1,09 g/cm3
Sterilisasi : Larutan, segera setelah preparasi, disterilisasi
dengan filtrasi.
Stabilitas dan Inkompatibilitas
Insulin harus disimpan di lemari pendingin dan di lindungi dari
pembekuan. Pembekuan pada insulin akan mengubah struktur
proteinnya dan terjadi penurunan potensi insulin. Insulin dengan
formulasi PH netral lebih stabil daripada menggunakan asam. Pada
suhu 25°C insulin stabil dalam 30 bulan. Dengan protein lain dan
peptide, insulin mengalami agregasi dengan berkurangnya bioaktivitas
insulin. Agregasi juga dapat terjadi di permukaan air
Penyimpanan : Dalam wadah kedap udara, terlindung cahaya,
pada suhu tidak lebih dari -20°

13
2.3.2. Gliserin

Rumus molekul : C3H8O3


BM : 92,09
Pemerian : Cairan; jernih seperti sirup; tidak berwarna; rasa
manis; hanya boleh berbau khas lemah (tajam atau
tidak enak). Higroskopik; netral terhadap lakmus..
Kelarutan : Dapat bercampur dengan air dan dengan
etanol; tidak larut dalam kloroform, dalam eter,
dalam
minyak lemak dan dalam mimyak menguap
Titik Didih : 290 ºC
Berat jenis : 1,2656 g/cm3
Osmolaritas : Larutan 2,6% (w/v) iso-osmotik dengan serum.
Sterilisasi : Oven 150oC selama 1 jam
Stabilitas :
Bersifat higroskopis, dekomposis oleh pemanasan. Gliserin akan
mengkristal pada suhu rendah.
Inkompabilitas :
Kromium trioksida, potasium klorat, potasium
Penyimpanan : Dalam wadah kedap udara

2.3.3. Fenol

14
Rumus molekul : C6H5OH
BM : 94,11
Pemerian : Cairan tidak berwarna sampai merah muda, dapat
menjadi merah jika kena udara atau cahaya. Bau
khas, sedikit aromatis. Memutihkan dan membakar
kulit dan membran mukosa
Kelarutan : Dapat bercampur dengan etanol, eter dan
gliserin. Campuran sama banyak fenol cair dan
gliserin dapat bercampur dengan air.
Fungsi : Desinfektan, antimikroba
Konsentrasi : 0,5 % (sebagai pengawet injeksi )
pH : 6.0
Titik Didih : 181.8 ºC
Berat jenis : 1,071 g/cm3
Sterilisasi : Oven
Stabilitas :
 Stabil dalam tempat penyimpanan yang kedap udara dan terlindung
dari cahaya
 Peningkatan pH dapat menurunkan aktivitas antimikroba
 Lebih aktif dalam suasana asam
 Oleh udara dan cahaya berubah warna menjadi merah atau coklat,
perubahan terjadi karena adanya senyawa logam. Senyawa
pengoksidasi juga dapat menyebabkan perubahan warna.
Inkompabilitas :
 Fenol inkompatibel dengan garam alkali
 Efek antimikroba fenol dapat berkurang dengan pH yang lebih
tinggi atau kombinasi dengan darah dan senyawa organik
 Fenol inkompatibel dengan albumin dan gelatin, akan.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya,
pada suhu tidak lebih dari 15ºC

(FI IV hal. 663 ;Handbook of Pharmacnutical Excipient second edition


hal 336)

15
2. 4. Injeksi
2.4.1. Definisi Injeksi
Formularium Nasional Edisi Kedua
• Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir.
• Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan
sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan
sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda

Farmakope Indonesia Edisi IV


• Sediaan steril untuk kegunaan parenteral digolongkan menjadi 5 jenis
yang berbeda yaitu :
1. Obat atau larutan atau emulsi yang digunakan untuk injeksi, ditandai
dengan nama, Injeksi ……
2. Sediaan padat kering atau cairan pekat tidak mengandung dapar,
pengencer atau bahan tambahan lain dan larutan yang diperoleh setelah
penambahan pearut yang sesuai memenuhi persyaratan Injeksi, dan dapat
dibedakan dari nama bentuknya, …… Steril
3. Sediaan seperti tertera pada (2) tetapi mengandung satu atau lebih dapar,
pengencer, atau bahan tambahan lain, dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya, …… untuk Injeksi
4. Sediaan berupa suspensi serbuk dalam medium cair yang sesuai dan tidak
disuntikan secara intravena atau ke dalam saluran spinal, dan dapat
dibedakan dari nama bentuknya, Suspensi …… Steril
5. Sediaan padat kering dengan bahan pembawa yang sesuai membentuk
larutan yang memenuhi semua persyaratan untuk suspensi steril stelah
penambahan bahan pembawa yang sesuai dan dapat dibedakan dari nama
bentuknya, …… Steril untuk Suspensi

16
2.4.2. Penggolongan Injeksi

1. Injeksi intraderma / intrakuitis


Umumnya larutan atau suspensi dalam air, digunakan untuk diagnosa,
volume lebih kurang 100 µl sampai 200 µl.
2. Injeksi subkutan / hipoderma
Umumnya larutan isotonus dengan kelarutan sedemikian rupa hingga
volume yang disuntikkan tidak lebih dari 1 ml. Dapat ditambahkan
vasokontraktor seperti Epinefrina untuk melokalisasi efek obat.
Jika tidak mungkin disuntikkan infus, volume injeksi 3 l sampai 4 l sehari
masih dapat disuntikkan secara subkutan dengan penambahan
hialuronidase ke dalam injeksi atau jika sebelumnya disuntik
hialuronidase. Cara ini disebut hipodermolisa.
3. Injeksi intramuskulus
Larutan atau suspensi dalam air atau dalam minyak, volume sedapat
mungkin tidak lebih dari 4 ml. penyuntikkan volume besar dilakukan
dengan perlahan-lahan untuk mencegah rasa sakit.
4. Injeksi intravenous
Umumnya larutan, dapat mengandung cairan noniritan yang dapat
bercampur dengan air, volume 1 ml sampai 10 ml. Injeksi intravenous
yang diberikan dalam volume besar, umumnya lebih dari 10 ml, disebut
infusi. Emulsi minyak-air dapat diberikan intravenous jika dilakukan
pemeriksaan yang teliti terhadap ukuran butiran minyak. Sediaan berupa
emulsi air-minyak tidak boleh disuntikkan dengan cara ini.
Jika volume dosis tunggal lebih dari 15 ml, injeksi intravenous tidak boleh
mengandung bakterisida dan jika lebih dari 10 ml harus bebas pirogen.
5. Injeksi intraterium
Umumnya larutan, dapat mengandung cairan noniritan yang dapat
bercampur dengan air, volume 1 ml sampai 10 ml, digunakan jika efek
obat diperlukan segera dalam daerah perifer. Tidak boleh mengandung
bakterisida.
6. Injeksi intrakor

17
Larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat, disuntikkan ke dalam
otot jantung atau ventrikulus. Tidak boleh mengandung bakterisida.
7. Injeksi intrateka atau injeksi subaraknoid, injeksi intrasisterna, dan injeksi
peridura
Larutan, umumnya tidak lebih dari 20 ml. Tidak boleh mengandung
bakterisida dan diracik dalam wadah dosis tunggal.
8. Injeksi intrartikulus
Larutan atau suspensi dalam air, disuntikkan ke dalam cairan sendi dalam
rongga sendi.
9. Injeksi intrabursa
Larutan atau suspensi dalam air, disuntikkan ke dalam bursa subacromilis
atau bursa olecranon.
10. Injeksi subkonjungtiva
Larutan atau suspensi dalam air untuk injeksi selaput lendir mata bawah,
umumnya tidak lebih dari 1 ml

2.5. Cara Sterilisasi


Menurut Farmakope Indonesia IV halaman 1112-1116, terdapat 5 cara
sterilisasi akhir, termasuk cara pemisahan mikroba melalui penyaringan dan
pedoman untuk proses aseptik.

1. Sterilisasi Uap
Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh dibawah tekanan
berlangsung disuatu bejana yang disebut autoklaf, dan mungkin merupakan
proses sterilisasi yang paling banyak digunakan (suatu siklus autoklaf yang
ditetapkan dalam farmakope untuk media atau pereaksi adalah selama 15
menit pada suhu 121°C kecuali dinyatakan lain). Prinsip dasar kerja alat
adalah udara di dalam bejana sterilisasi diganti dengan uap air jenuh, dan hal
ini dapat dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus.
Untuk mengganti udara secara lebih efektif dari bejana sterilisasi dan dari
dalam bahan yang disterilisasi, siklus sterilisasi dapat meliputi tahap evakuasi
udara dan uap. Desain atau pemilihan suatu siklus untuk produk atau
komponen tertentu tergantung kepada beberapa faktor, termasuk

18
ketakstabilan panas bahan, pengetahuan tentang penetrasi panas ke dalam
bahan dan faktor lain yang tercantum dalam proses validasi. Selain deskripsi
tentang parameter siklus sterilisasi dengan menggunakan suhu 121°C; konsep
F0 dapat juga diterapkan. F0 pada suhu tertentu selain suhu 121°C adalah
waktu dalam menit yang diperlukan untuk mendapatkan kesetaraan letalitas
seperti pada suhu 121°C untuk waktu tertentu.

2. Sterilisasi Panas Kering


Proses sterilisasi termal untuk bahan yang tertera di Farmakope
dengan menggunakan panas kering biasanya dilakukan dengan suatu proses
bets di dalam suatu oven yang didesain khusus untuk tujuan itu.
Oven modern dilengkapi dengan udara yang dipanaskan dan disaring,
didistribusikan secara merata ke seluruh bejana dengan cara sirkulasi atau
radiasi menggunakan sistem semprotan dengan peralatan sensor, pemantau
dan pengendali parameter kritis. Validasi fasilitas sterilisasi panas kering
dilakukan dengan cara yang sama seperti sterilisasi uap. Unit yang digunakan
untuk sterilisasi komponen seperti wadah untuk larutan intravena, harus
dijaga agar dapat dihindari akumulasi partikel di dalam bejana sterilisasi.
Rentang suhu khas yang dapat diterima di dalam bejana sterilisasi kosong
adalah lebih kurang 15°C; jika alat sterilisasi beroperasi pada suhu tidak
kurang dari 250°C.

3. Sterilisasi Gas
Pilihan untuk menggunakan sterilisasi gas sebagai alternate dari
sterilisasi termal sering dilakukan jika bahan yang akan disterilkn tidak tahan
terhadap suhu tinggi pada proses sterilisasi uap atau panas kering. Bahan aktif
yang umumnya digunakan pada sterilisasi gas adalah etilen oksida dengan
kualitas mensterilkan yang dapat diterima. Keburukan dari bahan aktif ini
antara lain sifatnya yang sangat mudah terbakar, walaupun sudah dicampur
dengan gas inert yang sesuai; bersifat mutagenik dan kemungkinan adanya
residu toksik di dalam bahan yang disterilkan terutama yang mengandung ion
klorida. Proses sterilisasi pada umumnya berlangsung di dalam bejana

19
bertekanan yang di desain sama seperti autoklaf, tetapi dengan tambahan
bagian khusus yang hanya terdapat pada alat sterilisasi yang menggunakan
gas. Fasilitas yang menggunaka bahan sterilisasi, mampu untuk memantau
mikroba yang masih hidup, dan mengurangi paparan gas yang sangat
berbahaya terhadap petugas yang menangani alat tersebut.

4. Sterilisasi dengan Radiasi Ion


Sterilisasi radiasi dapat digunakan sebagai proses sterilisasi pada alat
kesehatan, bahan obat dan bentuk sediaan akhir yang tidak tahan panas dan
kekhawatiran tentang keamanan etilen oksida. Keunggulan sterilisasi iradiasi
meliputi reaktivitas kimia rendah, residu rendah yang dapat diukur dan
kenyataan yang membuktikan bahwa variable yang dikendalikan lebih
sedikit. Kenyataannya sterilisasi radiasi adalah suatu kekhususan dalam dasar
pengendalian yang penting adalah dosis radiasi yang diserap, dan dapat diukur
secara tepat. Ada dua jenis radiasi ion yang digunakan, yaitu disintegrasi
radioaktif dari radiasi radioisotop (radiasi gamma) dan radiasi berkas elektron.
Pada kedua jenis tersebut, dosis radiasi yang dapat menghasilkan derajat
jaminan sterilitas yang diperlukan harus ditetapkan sedemikian rupa hingga
dalam rentang satuan dosis minimum dan maksimum, sifat bahan yang
disterilkan dapat diterima.
Untuk iradiasi gamma, validasi prosedur meliputi penetapan
kesesuaian bahan, kesesuaian cara memasukkan produk dan penyelesaian
penataan jumlah produk di dalam wadah sterilisasi (termasuk identifikasi
zona dosis minimum dan maksimum), penetapan pengaturan waktu, dan
petunjuk pemberian dosis sterilisasi yang diperlukan. Untuk iradiasi berkas
elektron, sebagai tambahan, perlu divalidasi pengendalian voltase, arus listrik,
kecepatan ban berjalan, dan dimensi pengamat berkas elektron.
Untuk sterilisasi radiasi gamma, harus dipilih dosis sterilisasi yang
efektif dan dapat ditoleransi tanpa menimbulkan kerusakan. Walaupun
berdasarkan pengalaman dipilih dosis 2,5 megarad (Mrad) radiasi yang
diserap, tetapi dalam beberapa hal, diinginkan dan dapat diterima penggunaan

20
dosis yang lebih rendah untuk peralatan, bahan obat dan bentuk sediaan akhir.
Dalam hal lain mungkin diperlukan dosis yang lebih tinggi.

5. Sterilisasi dengan Penyaringan


Sterilisasi larutan yang labil terhadap panas sering dilakukan dengan
penyaringan menggunakan bahan yang dapat menahan mikroba, hingga
mikroba yang dikandung dapat dipisahkan secara fisika. Perangkat penyaring
umumnya terdiri dari suatu matriks berpori tertutup kedap atau dirangkaikan
pada wadah yang tidak permeabel. Efektivitas suatu penyaring media atau
penyaring substrat tergantung pada ukuran pori bahan dan dapat tergantung
pada daya adsorpsi bakteri pada atau di dalam matriks penyaring atau
tergantung pada mekanisme pengayakan. Ada beberapa bukti yang
menyatakan bahwa pengayakan merupakan komponen yang lebih penting
dari mekanisme. Penyaring yang melepas serat, terutama yang mengandung
asbes, harus dihindarkan penggunaannya kecuali tidak ada cara penyaringan
alternatif lain yang mungkin digunakan. Jika penyaring yang melepas serat
diletakkan pada arah hilir atau sesudah langkan penyaringan awal.
Ukuran penyaring. Pengukuran porositas membrane penyaring
dilakukan dengan pengukuran nominal yang menggambarkan kemampuan
membran penyaring untuk menahan mikroba dari galur tertentu dengan
ukuran yang sesuai, bukan dengan penetapan dari suatu ukuran rata-rata pori
dan penyataan tentang distribusi ukuran. Membran penyaring untuk sterilisasi
(yang digunakan untuk memisahkan sebagian besar kontaminan mikroba)
adalah membran yang mampu menahan 100% biakan dari 107 mikroba galur
Pseudomonas diminuta (ATCC 19146) tiap cm2 permukaan membran pada
tekanan tidak kurang dari 30 Psi (2,0 bar). Membran penyaring semacam itu
berukuran nominal 0,22 µm atau 0,2 µm tergantung pad acara pembuatan
produsen.
Pemakai harus menetapkan parameter penyaringan yang digunakan
dalam pembuatan yang mempengaruhi efisiensi retensi mikroba secara
bermakna. Beberapa hal penting lain yang perlu diperhatikan pada validasi
proses penyaringan, meliputi, kemampuan kompatibilitas produk, penyerapan

21
obat, penyerapan obat, pengawet dana tau zat tambahan lainnya, dan
pengeluaran awal kandungan endotoksin.
Efektivitas penyaringan juga dipengaruhi oleh beban mikroba
larutan yang akan disaring, penetapan kualitas mikrobiologi larutan sebelum
penyaringan, merupakan aspek penting proses penyaringan sebagai tambahan
pada penetapan parameter lain dari prosedur penyaringan, seperti tekanan,
laju alir dan karakteristik unit penyaring. Cara lain untuk menguraikan
kemampuan penahanan penyaring adalah menggunakan log nilai reduksi
(LNR). Umpamanya, suatu penyaring berukuran 0,2 µm yang dapat menahan
107 mikroba per galur tertentu akan memiliki LNR tidak kurang dari 7, pada
kondisi yang ditetapkan.
Proses sterilisasi larutan dengan cara penyaringan, pada akhir-akhir
ini telah menghasikan tingkat kepuasan yang baru. Penyaringan untuk tujuan
sterilisasi umumnya dilaksanakan menggunakan rakitan yang memiliki
membran dengan porositas nominal 0,2 µm atau kurang, berdasarkan pada
pembanding yang telah divalidasi tidak kurang dari 107 suspensi
Pseudomonas diminuta (ATCC 19146) tiap cm2 dari luas permukaan
penyaring. Media membrane penyaring yang tersedia saat ini yaitu, selulosa
asetat, selulosa nitrat, fluorokarbonat, polimer akrilik, polikarbonat, polyester,
polivinil klorida, vinil, nilon, politef dan juga membran logam, dan ini dapat
ditunjang oleh bahan berserat internal.

2.6. Kemasan
2.6.1. Kemasan Kaca Untuk Sediaan Parenteral
Kemasan kaca telah banyak digunakan untuk sediaan LVP (Large
Volume Parenteral). Kemasan kaca bertutup sekrup tidak lagi digunakan
sebagai wadah LVP tetapi masih digunakan untuk larutan irigasi.
Kemasan Kaca memberikan beberapa keuntungan untuk larutan
parenteral antara lain:
1. Kaca tahan terhadap interaksi kimia dengan zat pengisi dan tidak
mengabsorpsi serta melepas zat-zat kimia.

22
2. Kaca merupakan bahan yang tidak permeabel (tidak mudah bocor).
Dengan penutupan yang benar maka keluar atau masuknya gas dapat
diabaikan.
3. Wadah kaca mudah dalam pencucian saat pengisian karena
permukaannya yang halus.
4. Transparan sehingga mudah dalam pengamatan isinya.
5. Kaku, kuat dan stabil dalam bentuk. Tahan terhadap tusukan. Dapat
dibuat vakum. Dapat digunakan untuk sterilisasi uap sampai suhu
121oC atau sterilisasi kering sampai suhu 260oC tanpa penguraian.
6. Dapat dipasang pada alat sediaan.

NF V mengelompokkan kaca berdasarkan spesifikasinya. Tipe I, II, dan


III digunakan untuk produk parenteral. Tipe NP bukan untuk sediaan
parenteral.

Tabel 2.6. Spesifikasi Tipe Kaca menurut NF-USP

Tipe Deskripsi Tipe Tes

I Tahan Kuat, Kaca Borosilikat Powdered glass

II Treated soda-lime glass Water attack

II Soda lime glass Powdered glass

NP General purpose soda-lime glass Powdered glass

Tes Powdered Glass

Dengan tes ini, wadah dihancurkan hingga menjadi serbuk dengan


bobot 10 g. Serbuk ini harus dapat lolos di ayakan no.40 tetapi tertahan pada
ayakan no.50. Serbuk kemudian dicampur dengan 50 ml aquades dan
dipanaskan di autoklaf dengan suhu 121oC selama 30 menit. Lalu filtrat
yang diperoleh dititrasi dengan 0,02 N asam sulfur menggunakan indikator
metil merah. Titran yang dibutuhkan dicatat. Jumlah titran ini setara dengan

23
zat basa yang terekstraksi dari kaca. Tes ini dapat mengukur stabilitas kimia
yang dimiliki kaca.

Water Attack pada suhu 121oC


Pada tes ini, kemasan kaca dicuci dengan aquades dan diisi dengan
aquadest hingga 90 % volum dan dipanaskan di autoklaf pada suhu 121oC
selama 60 menit. Setelah dikeluarkan dari autoklaf, 100 ml filtrat dititrasi
dengan 0,02 N asam Sulfur menggunakan indikator metil merah.

1. Kemasan Kaca Tipe I


Kaca Borosilikat memiliki kandungan Na2O yang rendah dan
Al2O3 yang tinggi. Karena kandungannya ini menyebabkan daya tahan
paling kuat terhadap produk basa. Jenis kaca ini sering digunakan dalam
pembuatan kemasan blown (kemasan yang dibuat dengan peniupan
udara) seperti vial, ampul, syringe dan bagian alat-alat LVP (Large
Volume Parenteral). Tipe ini memiliki kelebihan dibandingkan tipe lain
yaitu koefisien pemuaiannya yang kecil. Koefisien pemuaiannya 32 x
10-7/oC. Kaca tipe I lebih mahal dan biasanya digunakan untuk produk
khusus dengan pH yang tinggi.

2. Kemasan Kaca Tipe II


Terbuat dari soda-lime glass yang sudah mengalami proses
dealkalisasi pada lapisan dalam agar memiliki daya tahan yang lebih
kuat. Proses ini sering disebut juga sulfur treatment. Penggunaan wadah
kaca jenis ini sebagai kemasan larutan parenteral sudah ada sejak tahun
1930an. Wadah jenis ini mempunyai sifat yang inert dengan biaya
pembuatan yang terjangkau.

3. Kemasan Kaca Tipe III


USP merekomendasikan wadah jenis ini untuk sediaan injeksi
karena aman dalam penyimpanan. Sediaan injeksi yang dimaksudkan
disini adalah sediaan dengan volume kecil yang dibuat secara aseptis.
Wadah ini biasanya disterilisasi dengan sterilisasi kering.

24
4. Kemasan Kaca tipe NP
Wadah ini diperuntukkan untuk produk selain parenteral. Pada
dasarnya tipe I, II dan III memiliki spesifikasi yang mirip tipe NP juga.
Beberapa kemasan yang berwarna memenuhi ciri-ciri tipe NP tetapi
tidak tipe III. Apabila produk obat bereaksi dengan kemasan tipe III,
maka sebaiknya digunakan kemasan tipe I atau II.

USP XXI (halaman 1139) menyebutkan bahwa volume wadah


parenteral dosis tunggal tidak boleh lebih dari 1 liter. Sedangkan volume
wadah parenteral dosis ganda tidak boleh lebih dari 30 ml kecuali
disebutkan lain dalam monografi. Larutan irigasi boleh dikemas dalam
kemasan dengan volume lebih dari 1 liter. Komposisi dan perlakuan untuk
larutan irigasi mirip dengan sediaan LVP (Large Volume Parenteral).

Pengemasan dan Pendistribusian

Kemasan besar biasanya dimasukkan ke dalam kertas karton yang


tebal. Penggunaan bahan plastik untuk pengemasan sediaan kecil seperti
vial, ampul dan botol kecil tipe 1 mencegah kontaminasi serat-serat kertas.
Beberapa vial dan botol disusun berbentuk persegi panjang yang disegel
dengan palstik yang mudah dibentuk dengan pemanasan. Beberapa syringe
dicuci dan dikeringkan serta disegel dengan plastik lalu disimpan di ruang
yang bersih. Ampul biasanya dikemas dalam kotak plastik yang ringan.

Sebelum membeli kemasan, kita dapat mengecek spesifikasi dan


kualitas dari kemasan tersebut. Apakah kemasan tersebut sudah memenuhi
spesifikasi dari USP atau belum. Beberapa aspek perlu dipertimbangkan
oleh perusahaan obat sebelum membeli kemasan. Aspek-aspek tersebut
meliputi:

a. Stabilitas terhadap zat kimia


Dapat diuji dengan Powdered Glass test (untuk Tipe I dan III) ataupun
Water Attack pada suhu 121oC (untuk tipe II)

25
b. Kesesuaian Dimensi
Meliputi tinggi, diameter, variasi ketebalan dinding, tegak lurusnya,
konsentris lubangnya, bentuk ujungnya (kecuali ampul), diameter leher
dalam, kapasitas laju alir.

c. Penampang permukaan
Tidak ada permukaan yang kasar, retakan kecil, dan ujung yang
sumbing.

d. Kualitas Kaca
Bebas dari cords (bagian yang lebih tebal dibandingkan dengan bagian
yang lain), bebas dari partikel kristal, bebas dari gelembung kecil dan
blisters (gelembung besar biasanya ada di permukaan)

e. Keseluruhan Kemasan
Kekerasan wadah dan daya tahan terhadap perubahan suhu.

Dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, kita dapat


memastikan efisiensi pengisian, proses, penyimpanan dan pendistribusian
produk steril tanpa kerusakan apapun.

Hal yang menantang adalah bagaimana pengemasan zat-zat nutrisi


parenteral seperti karbohidrat dan asam amino. Saat ini keduanya dikemas
dalam wadah yang terpisah sebagai larutan. Campuran keduanya tidak dapat
bertahan lama sehingga campuran tersebut biasanya untuk penggunaan
jangka waktu pendek. Dewasa ini ada teknologi terbaru tentang wadah
plastik dengan kompartemen terpisah. Kompartemen tersebut dipisahkan
oeh lapisan membran yang dapat dihancurkan atau dipecahkan.
Kompartemen pertama berisi asam amino dan yang kedua berisi karbohidrat
dan seluruh kemasan disterilisasi dengan sterilisasi uap panas. Saat akan
digunakan, membran dihancurkan agar kedua larutan tersebut dapat
bercampur.

26
Pengisian

USP merekomendasikan sediaan parenteral yang memiliki volume


50 ml atau lebih dapat diisi dengan volume tambahan sebanyak 2% bagi
cairan encer dan 3% bagi cairan yang kental. Akan tetapi dalam
penerapannya kadang-kadang sediaan LVP tidak mengikuti peraturan ini.
Pipet fillers dan sistem volume transfer cup dapat digunakan pada pengisian
sediaan yang berkecepatan rendah atau volume kecil. Kemasan plastik yang
fleksibel biasanya diisi menggunakan volumetric displacement systems
yang terdiri atas silinder dan piston. Cairan diambil dengan jumlah yang
tepat lalu dimasukkan ke dalam wadah. Metode pengisian yang lain adalah
digabung saat proses pencetakan kemasan. Setelah kemasan dicetak dan
sudah jadi maka proses pengisian dilakukan. Volume pengisian harus selalu
dicek agar tidak ada perbedaan volume. Uji ini dilakukan biasanya setelah
penyegelan.

Penyegelan

Penyegelan kemasan bervariasi dan bergantung pada desain dan


komposisi kemasan itu sendiri. Kemasan kaca inravena membutuhkan tutup
karet dan bagian kosong di atas cairan dialiri gas (Nitrogen atau
Karbondioksida). Pengisian vakum dapat dilakukan dengan mengisi larutan
yang panas dan menyegel rapat menggunakan alat mekanik. Tutup segel
aluminium sering digunakan pada leher botol. Hal yang harus diperhatikan
adalah tekanan penyegelan tidak boleh terlalu kuat atau terlalu lemah.

27
BAB 3
FORMULASI

3. 1. Formulasi Resep
Volume sediaan per vial = 10 mL
Jumlah sediaan yang diproduksi = 4 vial
Volume total yang diproduksi = 42 mL
Tipe Resep / cara pembuatan : Aseptis
Menurut Formularium Nasional Edisi II Tahun 1978, halaman 164.
Komposisi injeksi insulin, tiap mL mengandung :
Insulinum 20 UI
Glycerolum 16 mg
Zat tambahan yang cocok(*) secukupnya
Aqua pro Injectione hingga 1 mL
(*zat tambahan yang cocok digunakan bakterisida kresol 0,1% - 0,25% b/v.
tambahkan asam klorida 0,5 N secukupnya hingga pH 3,0 sampai 3,5.
Sterilkan dengan Cara Sterilisasi C)
Menurut Martindale, tiap mg insulin setara dengan 23 UI

3. 2. Perhitungan Bahan
Dibuat larutan injeksi insulin 10 mL vial, dengan kekuatan 100 UI/mL
Perhitungan bahan per vial (10 mL)
R/ Injeksi Insulin
Insulin 100 UI
Gliserolum 16 mg
Fenol 0,1 %
Aqua Pro Injection ad 1 mL
Dibuat dalam bentuk sediaan vial 10 mL
23 UI 100 UI
 Insulin = =  x mg = 4,348 mg/mL
mg x mg

Dibuat dalam 10 mL = 10 mL × 4,348 mg/mL = 43,48 mg


 Gliserol = 16 mg/mL
Dibuat dalam 10 mL = 10 mL × 16 mg/mL = 160 mg

28
 Fenol = 0,1%
0,1 %
Yang tersedia di lab, fenol 10% = × 10 mL = 0,1 mL
10 %

1 mL = 20 tetes  0,1 mL = 2 tetes


 Aqua pro Injection ad 10 mL
Perhitungan bahan total :
Volume yang dibuat = 4 × 10 mL = 40 mL
Volume yang dilbeihkan 50%, sehingga 40 mL + (50% × 40 mL) = 60 mL
60 mL
 Insulin = 10 mL × 43,48 mg = 260,88 mg
60 mL
 Gliserol = × 160 mg = 960 mg
10 mL
60 mL
 Fenol =10 mL × 2 tetes = 12 tetes

 Aqua pro injection ad 60 mL

3. 3. Sterilisasi Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini beserta cara sterilisasinya dapat
dilihat pada tabel.
Alat Ukuran Jumlah Cara Sterilisasi
(mL)
Vial 10 4 Oven 170°C, 30 menit
Beaker glass 100 2 Oven 170°C, 30 menit
Kaca arloji 3 Oven 170°C, 30 menit
Cawan penguap 1 Oven 170°C, 30 menit
Pinset 2 Oven 170°C, 30 menit
Batang pengaduk 2 Oven 170°C, 30 menit
Spatel 1 Oven 170°C, 30 menit
Pipet tetes 2 Oven 170°C, 30 menit
Gelas ukur 25 mL dan 1 dan 1 Autoklaf 121°C, 15 menit
100 mL
G3 filter 1 Autoklaf 121°C, 15 menit
Bakteri filter 1 Autoklaf 121°C, 15 menit
Tutup vial 4 Autoklaf 121°C, 15 menit

29
3. 4. Cara Pembuatan

Semua proses produksi dilakukan pada ruangan steril. Proses produksi yang
meliputi penimbangan bahan, kalibrasi alat, sterilisasi bahan baku (dianggap
sudah steril), sterilisasi alat, sterilisasi pengemas, filtrasi campuran, pelabelan,
pengemasan, dan penyegelan dilakukan pada ruangan grey area. Sementara itu,
pelarutan bahan baku dan pencampuran bahan baku dilakukan secara manual di
ruangan white area. Dalam hal ini, cara pembuatan injeksi insulin secara
konvensional adalah sebagai berikut:
1. Kalibrasi 2 botol vial 10,5 mL. Kalibrasi 1 beaker glass 60 mL.
2. Sterilkan alat dan bahan sesuai dengan metode sterilisasi masing-masing.
3. Siapkan aqua pro injeksi bebas CO2.
4. Timbang 260,88 mg insulin dalam kaca aroji; dan 960 mg gliserol dalam
cawan penguap.
5. Larutkan insulin dalam gliserol.
6. Tambahkan 20 mL API bebas CO2, cek pH menggunakan indikator
universal (range pH 3,0-3,5).
7. Jika perlu adjust pH menggunakan asam klorida 0,5 N hingga pH sesuai.
8. Tambahkan 12 tetes fenol.
9. Cukupkan volume hingga 60 mL menggunaka Aqua Pro Injection Bebas
CO2
10. Saring larutan dengan G3 filter dan filter bakteri.
11. Masukkan ke dalam vial masing-masing sebanyak 10,5 mL
12. Segel vial dengan alumunium cap
13. Beri label dan masukkan ke dalam kemasan sekunder

30
BAB 4
EVALUASI

4. 1. In Process Control
1. Uji pH
Tujuan untuk mengetahui pH sediaan (reproducible)
Alat kertas indikator universal
Cara Kerja  Dengan kertas indikator universal
Celupkan kertas indikator universal ke dalam larutan uji.

Hasil pH 3-4

Gambar 5. pH sediaan injeksi insulin


2. Uji Kejernihan (Lachman halaman 1355)
Tujuan untuk mengetahui kejernihan sediaan
Cara Kerja memeriksa wadah bersih dari luar di bawah penerangan
cahaya yang baik, terhalang terhadap refleksi ke dalam
mata, dan berlatar belakang hitam dan putih, dengan
rangkaian isi dijalankan dengan suatu aksi memutar,

31
harus benar-benar bebas dari partikel kecil yang dapat
dilihat dengan mata.
Hasil Jernih dan bening

Gambar 6. Uji kejernihan sediaan injeksi insulin

4. 2. Post Process Control


1. Organoleptis
Bentuk : cairan
Warna : tidak berwarna
Bau : tidak berbau

32
2. Uji Keseragaman Volume
Tujuan untuk mengetahui keseragaman volume antar sediaan.
Cara Kerja Diletakkan pada permukaan yang rata secara sejajar
lalu dilihat keseragaman volume secara visual.
Hasil Tidak dilakukan

3. Uji Kebocoran (Lachman 1354)


Tujuan Untuk mengetahui integritas kemasan
Cara Kerja  Wadah-wadah yang tidak dapat disterilkan,
kebocorannya harus diperiksa dengan
memasukkan wadah-wadah tersebut ke dalam
desikator, yang kemudian divakumkan. Jika ada
kebocoran, larutan akan diserap keluar. Harus
dijaga agar jangan sampai larutan yang telah keluar
terhisap kembali setelah vakum dihilangkan.
 Inspeksi visual
Hasil Tidak dilakukan

4. Uji Volume Terpindahkan


Tujuan Untuk menjamin bahwa larutan tersebut jika
dipindahkan dari wadah aslinya memberikan volume
yang sama seperti yang tertera pada etiket
Cara Kerja  Tuang isi perlahan-lahan dari tiap wadah ke dalam
gelas ukur kering terpisah dengan kapasitas gelas
ukur tidak lebih dari dua setengah kali volume yang
diukur dan telah dikalibrasi, secara hati-hati untuk
menghindarkan pembentukan gelembung udara
pada waktu penuangan dan diamkan selama tidak
lebih dari 30 menit.

33
 Jika telah bebas dari gelembung udara, ukur volume
dari tiap campuran: volume rata-rata larutan,
suspensi, atau sirup yang diperoleh dari 10 wadah
tidak kurang dari 100%, dan tidak satupun volume
wadah yang kurang dari 95% dari volume yang
dinyatakan pada etiket (memenuhi syarat).

 Sedangkan, syarat tidak memenuhi jika kondisi A


adalah volume rata-rata kurang dari 100% dari yang
tertera pada etiket akan tetapi tidak ada satu
wadahpun yang volumenya kurang dari 95% dari
volume yang tertera dalam etiket, atau B tidak lebih
dari satu wadah volume kurang dari 95%, tetapi
tidak kurang dari 90% dari volume yang tertera
pada etiket, lakukan pengujian terhadap 20 wadah
tambahan.

 Volume rata-rata larutan, suspensi, atau sirup yang


diperoleh dari 30 wadah tidak kurang dari 100%
dari volume yang tertera pada etiket, dan tidak lebih
dari satu dari 30 wadah volume kurang dari 95%,
tetapi tidak kurang dari 90% seperti yang tertera
dalam etiket.
Hasil Tidak dilakukan

5. Uji Sterilitas
Uji sterilitas memiliki keterbatasan untuk mendeteksi kontaminasi
karena tes ini menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit. Oleh
karena itu dalam uji sterilitas ini diperlukan sampel yang dapat mewakili
seluruh batch dan kondisi pembuatan. Sampel harus diambil pada awal,
pertengahan dan akhir proses aseptis, atau saat sebelum intervensi atau
penyimpangan.

34
Pengujian dilakukan secara mikrobiologis dengan menggunakan
medium pertumbuhan tertentu. Penetapan jumlah wadah yang diuji pada
setiap kelompok dalam masing-masing Farmakope berbeda-beda. Produk
dikatakan bebas mikroorganisme bila Sterility Assurance Level (SAL) =
10-6 atau 12 log reduction (over kill sterilization). Bila proses pembuatan
produk menggunakan aseptik (aseptic processing), maka SAL = 10-4.

Karena sifat bahan yang akan diuji bervariasi dan faktor lain yang
mempengaruhi pada waktu melakukan uji sterilitas maka perlu
diperhatikan ketentuan berikut dalam melakukan uji sterilitas.
a. Cara Membuka Wadah
Bersihkan permukaan luar tutup botol menggunakan bahan
dekontaminasi yang sesuai, dan ambil secara aseptik.
b. Pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi
Untuk bahan cair, gunakan volume bahan dan media untuk setiap
unit dan jumlah wadah per media tidak kurang dari seperti yang tertera
pada Tabel Jumlah Untuk Bahan Cair. Jika kuantitas isi cukup, bahan
dapat dibagi dan ditambahkan pada kedua media, gunakan wadah
sejumlah dua kali.

Jika tidak dinyatakan lain di dalam monografi atau bab ini, inkubasi
campuran uji dengan media tioglikolat cair (atau media tioglikolat

35
alternatif, jika dinyatakan) selama 14 hari pada suhu 30o hingga 35o dan
dengan soybean – casein digest medium pada suhu 200 hingga 25o.
Asas:

Larutan uji + media perbenihan, diinkubasi pada suhu tertentu. Kekeruhan


atau pertumbuhan mikroorganisme menunjukkan ketidaksterilan.

Media:
Media untuk pengujian dapat dibuat seperti yang tertera di bawah ini atau
dapat digunakan formulasi kering yang jika direkonstitusi sesuai petunjuk
pabrik atau distributor menghasilkan formulasi yang sama, yang
merangsang pertumbuhan bakteri aerob, bakteri anaerob, dan fungi.
a. Media Tioglikolat cair
Media ini umumnya untuk kultur bakteri aerob. Akan tetapi, juga
dapat digunakan untuk kultur bakteri anaerob.
Komposisi: (FI IV)
 L-Sistin P 0,5 g
 NaCl P 2,5 g
 Glukosa P (C6H12O6.H2O)* 5,5 g
 Agar P, granul (kadar air tidak lebih dari 15%) 0,75 g
 Ekstrak Ragi P (larut dalam air) 5,0 g
 Digesti Pankreas Kasein P 15,0 g
 Natrium Tioglikolat P atau 0,5 g
 Asam Tioglikolat P 0,3 ml
 Larutan Natrium Resazurin P 1,0 ml
(1 dalam 1000) dibuat segar
 Air hingga 1000 ml

Prosedur pembuatan: (FI IV)

 Campur dan panaskan hingga larut.


 Atur pH larutan hingga setelah sterilisasi 7,1 + 0,2 menggunakan
NaOH 1N.

36
 Jika perlu saring selagi panas menggunakan kertas saring.
 Tempatkan media dalam tabung yang sesuai, yang memberikan
perbandingan permukaan dengan kedalaman media sedemikian
rupa sehingga tidak lebih dari 1/2 bagian atas media yang
mengalami perubahan warna sebagai indikasi masuknya oksigen
pada akhir masa inkubasi.
 Sterilisasi dalam otoklaf.
 Jika lebih dari 1/3 bagian atas terjadi warna merah muda, media
dapat diperbaiki 1 kali dengan pemanasan di atas tangas air atau
dalam uap yang mengalir bebas hingga warna merah muda hilang.
Media siap digunakan jika tidak lebih dari 1/10 bagian atas media
berwarna merah muda.

b. Soybean-Casein Digest Medium


Media ini cocok untuk kultur fungi dan bakteri aerob.
Komposisi: (FI IV)
 Digesti Pankreas Kasein P 17,0 g
 Digesti Papaik Tepung Kedelai 3,0 g
 NaCl P 5,0 g
 Kalium Fosfat Dibasa P (K2HPO4) 2,5 g
 Glukosa P (C6H12O6.H2O)* 2,5 g
 Air hingga 1000 ml

Prosedur pembuatan: (FI IV)

 Larutkan semua bahan padat dalam air, hangatkan hingga larut.


 Dinginkan larutan hingga suhu kamar, dan jika perlu atur pH larutan
hingga setelah sterilisasi 7,3 + 0,2 menggunakan NaOH 1N.
 Saring jika perlu, dan bagikan dalam tabung yang sesuai.
 Sterilisasi dengan uap air.

Metode Uji:

37
Teknik penyaringan dengan fiter membran (dibagi menjadi 2
bagian) lalu diinkubasi.
Unit penyaring membran yang sesuai terdiri dari satu
perangkat yang dapat memudahkan penanganan bahan uji secara
aseptik dan membran yang telah diproses dapat dipindahkan secara
aseptik untuk inokulasi ke dalam media yang sesuai atau satu
perangkat yang dapat ditambahkan media steril ke dalam
penyaringnya dan membran diinkubasi in situ. Membran yang sesuai
umumnya mempunyai porositas 0,45 μm, dengan diameter ± 47mm,
dan kecepatan penyaringan air 55 ml – 75 ml per menit pada tekanan
70 cmHg. Unit keseluruhan dapat dirakit dan disterilkan bersama
dengan membran sebelum digunakan, atau membran dapat disterilkan
terpisah dengan cara apa saja yang dapat mempertahankan
karakteristik penyaring dan menjamin sterilitas penyaring dan
perangkatnya.
Jika teknik penyaringan membran digunakan untuk bahan cair
yang dapat diuji dengan cara inokulasi langsung ke dalam media uji,
uji tidak kurang dari volume dan jumlah seperti yang tertera pada
Pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi.
Secara aseptik inokulasikan sejumlah tertentu bahan dari tiap
wadah uji ke dalam tabung media. Campur cairan dengan media tanpa
aerasi berlebihan. Inkubasi dalam media tertentu seperti yang tertera
pada “Prosedur Umum”, selama tidak kurang dari 14 hari. Amati
pertumbuhan pada media secara visual sesering mungkin sekurang-
kurangnya pada hari ke-3 atau ke-4 atau ke-5 , pada hari ke-7 atau ke-
8 dan pada hari terakhir dari masa uji.
Jika zat uji menyebabkan media menjadi keruh sehingga ada
atau tidaknya pertumbuhan mikroba tidak segera dapat ditentukan
secara visual, pindahkan sejumlah memadai media ke dalam tabung
baru berisi media yang sama, sekurangnya 1 kali antara hari ke-3 dan
ke-7 sejak pengujian dimulai. Lanjutkan inkubasi media awal dan

38
media baru selama total waktu tidak kurang dari 14 hari sejak
inokulasi awal.
Syarat:
Tidak tumbuh mikroorganisme

Penafsiran Hasil Uji


a. Tahap Pertama
Pada interval waktu tertentu dan pada akhir periode inkubasi,
amati isi semua wadah akan adanya pertumbuhan mikroba seperti
kekeruhan dan atau pertumbuhan pada permukaan. Jika tidak terjadi
pertumbuhan, maka bahan uji memenuhi syarat.
Jika ditemukan pertumbuhan mikroba, tetapi peninjauan dalam
pemantauan fasilitas pengujian sterilitas, bahan yang digunakan,
prosedur pengujian dan kontrol negatif menunjukkan tidak memadai
atau teknik aseptik yang salah digunakan dalam pengujian, tahap
pertama dinyatakan tidak absah dan dapat diulang.
Jika pertumbuhan mikroba teramati tetapi tidak terbukti uji
tahap pertama tidak absah, lakukan tahap kedua.

b. Tahap Kedua
Jumlah spesimen uji yang diseleksi minimum dua kali jumlah
Tahap Pertama. Volume minimum tiap spesimen yang diuji dan media
dan periode inkubasi sama seperti yang tertera pada Tahap Pertama.
Jika tidak ditemukan pertumbuhan mikroba, bahan yang diuji
memenuhi syarat. Jika ditemukan pertumbuhan, hasil yang diperoleh
membuktikan bahwa bahan uji tidak memenuhi syarat. Jika dapat
dibuktikan bahwa uji pada Tahap Kedua tidak absah karena kesalahan
atau teknik aseptik tidak memadai, maka Tahap Kedua dapat diulang.

39
6. Tes untuk pirogen (FI Ed. III)

Pengujian dilakukan dengan tes kelinci dan tes Limulus Amebocyte


Lysate (LAL).
1) Tes terhadap kelinci
Pengujian dilakukan dengan mengukur peningkatan suhu badan
kelinci melalui rektal yang disebabkan penyuntikan intavena sediaan
uji steril.

Tes menggunakan sekelompok hewan percobaan, yaitu 3 ekor kelinci


yang memenuhi syarat. Suhu larutan yang diuji adalah 38,5°C.
Suntikkan produk yang akan diuji pada vena telinga setiap kelinci
tidak kurang dari 0,5 ml dan tidak lebih dari 10 ml per kg berat badan.
Selesaikan tiap suntikan dalam waktu 4 menit dihitung dari awal
pemberian. Jika gagal, kita dapat mengulangi hingga 4 kali. Tiap kali
tes menggunakan sekelompok kelinci, yang terdiri dari 3 ekor kelinci.
Catatlah temperatur pada 1, 2, dan 3 jam sesudah penyuntikan.

Daftar Hasil Uji Pirogen

Jumlah Larutan yang diuji memenuhi Larutan uji tidak memenuhi


Kelinci syarat bila jumlah respon tidak syarat jika jumlah respon
melebihi melebihi

3 1,20o 2,7o

6 2,80o 4,3o

9 4,5o 6,0o

12 6,6o 6,6o

2) Tes Limulus
Lisat yang diperoleh dari butir darah kepiting, Limulus
polyphemus, mengandung sistem enzim dan protein. Apabila ada

40
polisakarida dalam jumlah kecil dari pirogen bakteri gram negatif,
maka akan menyebabkan terjadinya penggumpalan. Tes hanya
memerlukan waktu 90 menit dan tidak positif terhadap seluruh
pirogen hasil reaksi. Oleh karena itu, hasil tes yang positif menjadi
bukti adanya pirogen, tetapi bila negatif, maka bukan jaminan bebas
pirogen.

Prosedur dasar pengujian LAL adalah kombinasi 0,1 ml sampel


uji dengan 0,1 ml reagen LAL. Setelah 1 jam inkubasi pada suhu 370C,
campuran dianalisis untuk melihat adanya sebuah gumpalan gel. Uji
LAL positif, menunjukkan adanya endotoksin, jika gumpalan gel
menjaga integritasnya setelah inversi lambat dari tabung reaksi berisi
campuran.

41
BAB 5
PENUTUP

5.1. Pembahasan
Sediaan injeksi insulin yang dibuat adalah sediaan yang mengandung
insulin bovine yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah pada
penderita diabetes tipe 1 dan 2. Teknik yang digunakan pada pembuatan
sediaan ini yaitu dengan cara teknik aseptic karena zat aktif yang digunakan
berupa enzim sehingga tidak tahan dengan sterilisasi cara panas. Zat aktif yang
digunakan dalam sediaan injeksi ini adalah insulin bovine dengan penambahan
gliserol sebagai pelarut dan pengawet yaitu fenol.

Penambahan pengawet dibutuhkan pada suatu sediaan untuk mencegah


timbulnya bakteri. Untuk sediaan injeksi insulin, pengawet yang umum
digunakan yaitu fenol dan kresol, sehingga yang digunakan adalah fenol
dengan konsentrasi 0.1%. Penggunaan pengawet ini bertujuan untuk mencegah
pertumbuhan bakteri pseudomonas sp.

Walaupun sediaan ini dilakukan dengan teknik aseptic, namun pada akhir
pembuatan sebelum dimasukkan ke dalam wadah, larutan terlebih dahulu
disaring dengan saringan G3 filter untuk memastikan bahwa tidak partikel yang
berada dalam sediaan. Setelah sediaan disaring, kemudian larutan dimasukkan
ke dalam vial berukuran 10 mL.

Dalam pembuatan sediaan ini, perlu diperhatikan faktor-faktor yang harus


dipenuhi sebagai sediaan steril, yakni sterilitas dan kejernihan serta uji pH
stabilitas sediaan. Pada uji yang dilakukan, awalnya di dapat pH netral sekitar
6-7 sedangkan pH stabilitas dari insulin yaitu sekitar pH 3-4. Oleh karena itu,
pada larutan ditambahkan HCl 0.5 N hingga didapat pH yang diinginkan.
Untuk uji kejernihan, larutan dimasukkan dalam wadah bening yang tembus
pandang, agar dapat dilihat kejernihannya. Untuk menguatkan asumsi bahwa
larutan jernih, digunakan berbagai latar untuk memastiskannnya, yakni latar
hitam dan latar putih seperti yang tertera pada foto pada bagian evaluasi.

42
Uji kebocoran dan uji sterilitas juga termasuk ke dalam evaluasi yang
harus dilakukan pada sediaan injeksi insulin. Tetapi karena keterbatasan alat
dan waktu, uji-uji tersebut tidak dapat dilakukan.

5.2. Kesimpulan
Injeksi insulin merupakan sedian jenis injeksi yang digunakan untuk
mengontrol kadar gula darah pada pasien yang menderita penyakit diabetes
mellitus tipe 1 dan 2. Teknik yang digunakan pada pembuatan sediaan ini yaitu
dengan cara teknik aseptik karena zat aktif yang digunakan berupa enzim
sehingga tidak tahan dengan sterilisasi cara panas. Namun, dilakukan juga cara
sterilisasi penyaringan menggunakan G3 Filter dan bakteri Filter untuk
memastikan kejernihan sediaan serta memastikan sediaan bebas bakteri. Zat
aktif yang digunakan dalam sediaan injeksi ini adalah insulin bovine dengan
penambahan gliserol sebagai pelarut dan pengawet yaitu fenol. Sediaan dibuat
dalam vial 10 mL, dan diuji sterilitas, kejernihan dan pH dari sediaan, serta uji
kebocoran wadah.

5.3. Saran
Injeksi insulin merupakan sedian jenis injeksi yang mengandung
insulin dan digunakan untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien yang
menderita penyakit diabetes melitus. Penggunaan serta pelarutan zat aktif
insulin juga perlu diperhatikan karena sifatnya yang praktis tidak larut dalam
air, sehingga perlu dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Untuk dapat
menghasilkan sediaan injeksi yang baik juga perlu diperhatikan dalam proses
penyesuaian pH serta proses penyaringan sediaan. Penyimpanan sediaan juga
perlu diperhatikan karena sediaan injeksi insulin perlu disimpan pada suhu 2 –
10º C, karena insulin dapat terdegradasi pada suhu tinggi.

43
DAFTAR PUSTAKA

 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1978. Formularium Nasional


Edisi Kedua. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1979. Farmakope Indonesia
Edisi III. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1994. Farmakope Indonesia
Edisi IV. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.

44
LAMPIRAN

Gambar 7. Etiket Bonsulin®

Gambar 8. Kemasan Sekunder Bonsulin®

45

Anda mungkin juga menyukai