INJEKSI INSULIN
Disusun Oleh :
Kelompok 1 Prak. Steril A
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan kekuatan, pikiran dan tenaga sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah ini. Ungkapan terima kasih juga tak lupa kami ucapkan kepada dosen
pengajar mata kuliah Praktikum Teknologi Sediaan Steril yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Adapun penyusunan makalah ini untuk memenuhi
tugas mata kuliah Praktikum Teknologi Sediaan Steril dan juga untuk memberikan
pengetahuan kepada pembaca, terutama mahasiswa program sarjana farmasi
mengenai pembuatan sediaan farmasi yang aman, bermutu, dan berkhasiat. Penulis
pun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu
penulis meminta maaf atas segala kekurangan dalam makalah ini. Semoga makalah
ini bermanfaat, khususnya bagi penulis dan bagi pembaca.
Tim Penulis
1
DAFTAR ISI
2
BAB 1
PENDAHULUAN
3
1.3 Tujuan
Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk pemenuhan tugas mata kuliah
Praktikum Teknologi Sediaan Steril yaitu untuk melaporkan hasil praktikum
formulasi sedian injeksi yang telah dilakukan. Makalah ini juga bertujuan
menginformasikan zat aktif yang terkandung serta zat tambahan yang
digunakan dalam injeksi beserta alasan pemilihannya, serta memberikan
informasi mengenai proses pembuatan injeksi tersebut dan evaluasi yang
dilakukan sehingga dapat dilakukan analisa terhadap injeksi tersebut.
4
4.2 Post Process Control
BAB 5 PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
5
BAB 2
LANDASAN TEORI
6
2.2 Insulin
Insulin merupakan pengobatan andalan untuk DM tipe 1 dan DM
tipe 2. Pemberian insulin secara subkutan merupakan pengobatan utama
untuk semua pasien DM tipe 1, untuk pasien DM tipe 2 yang tidak cukup
baik dikontrol melalui diet dan/atau senyawa hipoglikemi oral, dan untuk
pasien diabetes pascapankreatektomi atau diabetes gestasional. Pada
umumnya, tujuan terapi insulin adalah untuk normalisasi kadar glukosa
darah dan semua aspek metabolisme.
Insulin dapat diperoleh dari manusia, sapi, babi, maupun campuran
sapi dan babi. Insulin manusia (HUMULIN, NOVOLIN) diperoleh melalui
rekayasa genetika DNA rekombinan.
7
campuran insulin sapi dan babi yang mengandung 24 U/mg. Sementara,
sediaan homogen insulin manusia mengandung 25-30 U/mg. Hampir semua
sediaan insulin terdapat dalam bentuk larutan atau suspensi yang
mengandung 100 U/mg.
8
insulin kerja-sedang yang diberikan sebelum tidur dapat membantu
menormalkan glukosa darah puasa.
Sediaan insulin kerja-sedang yang sering digunakan adalah
NPH (neutral protamin Hagedorn) dan insulin lente. Insulin NPH
(suspensi insulin isophane) merupakan merupakan suspensi insulin
dalam bentuk kompleks dengan zink dan protamin dalam bufer fosfat.
Adanya konjugasi dengan protamin membentuk kompleks yang
kurang larut. Setelah diinjeksi secara subkutan, enzim proteolitik
harus mendegradasi protamin agar insulin terlepas dan bisa
terabsorpsi. Proses ini membuat insulin NPH terabsorpsi lambat.
c. Insulin Kerja-Lama
Insulin kerja-lama yang biasa ditemukan yaitu insulin ultralente
dan insulin glargin. Insulin ultralente merupakan suspensi zink
insulin diperpanjang. Memiliki onset yang sangat lambat dan puncak
kerja relatif ‘datar‘ yang lebih lama. Insulin ultralente diberikan
dengan tujuan konsentrasi insulin basal yang rendah sepanjang hari.
Waktu paruh insulin ultralente yang lama menyebabkan sulit
menentukan dosis optimal, karena dibutuhkan beberapa hari
pengobatan hingga dicapai konsentrasi insulin yang bersirkulasi
dalam keadaan tunak. Dosis yang diberikan biasanya sehari atau dua
kali sehari sesuai konsentrasi glukosa darah puasa.
9
2.2.4. Efek Samping
Terapi insulin ini memiliki efek samping, yaitu:
a. Hipoglikemia
Hipoglikemia sangat mungkin terjadi karena pemberian
dosis besar yang tidak tepat, ketidaksesuaian antara waktu
puncak insulin dan asupan makanan, atau faktor lain yang
mempengaruhi ambilan glukosa tak bergantung insulin
(misalnya olahraga). Biasanya yang tampak adalah pasien
berkeringat, munculnya rasa lapar, palpitasi, tremor, dan rasa
cemas. Jika kadar glukosa tetap semakin rendah, muncul gejala
berikut: kesulitan konsentrasi, kebingungan, lemah, mengantuk,
pening, pandangan kabur, dan hilang kesadaran.
b. Alergi dan resistensi insulin
Insiden ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap sejumlah
kecil insulin yang teragregasi atau terdenaturasi di dalam
sediaan, terhadap kontaminan minor, atau karena sensitivitas
terhadap salah satu komponen yang ditambahkan ke formulasi
insulin (protamin, Zn2+, fenol, dll). Manifestasi yang sering
terjadi adalah reaksi kulit diperantarai-IgE. Untuk mengatasi
reaksi alergi kulit, dapat digunakan antihistamin. Pemakaian
glukokortikoid untuk pasien yang resisten insulin atau memiliki
reaksi sistemik yang lebih parah.
c. Lipoatrofi dan lipohipertrofi
Atrofi lemak subkutan kemungkinan dianggap sebagai
respons imun terhadap insulin, biasanya terjadi jika digunakan
insulin hewan—komplikasi ini jarang terjadi sejak
dikembangkannya preparat insulin manusia atau analog insulin
pH netral. Namun, hipertrofi jaringan lemak subkutan dapat
terjadi jika pasien menginjeksi insulin di tempat yang sama
secara berulang-ulang. Hal ini dapat menyebabkan absorpsi
insulin yang tidak teratur.
10
2.2.5. Dosis
Kebutuhan rata-rata pasien
diabetes melitus tipe I adalah sekitar
0,6-0,7 unit/kg berat badan per hari.
Pasien obes umumnya membutuhkan
lebih banyak, sekitar 2 unit/kg per hari
karena resistensi jaringan perifer
terhadap insulin. Pada diabetes melitus
tipe II, kebutuhannya lebih bervariasi
namun biasanya dimulai antara 0,3-0,7
unit/kg berat badan.
Gambar 4. Rejimen multidosis
penggunaan insulin kombinasi yang
umum.
2.2.6. Interaksi
Beberapa hormon melawan efek hipoglikemia insulin misalnya
hormon pertumbuhan, kortikosteroid, glukokortikoid, tiroid, estrogen,
progestin, dan glukagon. Adrenalin menghambat sekresi insulin dan
merangsang glikogenolisis. Peningkatan hormon-hormon ini perlu
diperhitungkan dalam pengobatan insulin.
Guanetidin menurunkan gula darah dan dosis insulin perlu disesuaikan bila
obat ini ditambahkan / dihilangkan dalam pengobatan. Beberapa antibiotik
(misalnya kloramfenikol, tetrasiklin), salisilat dan fenilbutason
meningkatkan kadar insulin dalam plasma dan mungkin memperlihatkan
efek hipoglikemik. Hipoglikemia cenderung terjadi pada penderita yang
mendapat penghambat adrenoseptor ß, obat ini juga mengaburkan takikardi
akibat hipoglikemia. Potensiasi efek hipoglikemik insulin terjadi dengan
penghambat MAO, steroid anabolik dan fenfluramin.
11
2.2.7. Cara Administrasi Insulin
Insulin umumnya diberikan dengan suntikan dibawah kulit
(subkutan). Pada keadaan khusus diberikan intramuskular atau intravena
secara bolus atau drip. Insulin dapat diberikan tunggal (satu
macam insulin kerja cepat, kerja menengah atau kerja panjang) tetapi juga
dapat diberikan kombinasi insulin kerja cepat dan kerja menengah, sesuai
dengan respons individu terhadap insulin, yang dinilai dari hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah harian.
Lokasi penyuntikan juga harus diperhatikan benar, demikian pula
mengenai rotasi tempat suntik. Apabila diperlukan, sejauh sterilitas
penyimpanan terjamin, semprit insulin dan jarumnya dapat dipakai lebih
dari satu kali oleh pasien yang sama. Harus diperhatikan kesesuaian
kosentrasi insulin (U40, U100) dengan semprit yang dipakai. Dianjurkan
dipakai konsentrasi yang tetap.
Penyerapan paling cepat terjadi di daerah abdomen yang kemudian
diikuti oleh daerah lengan, paha bagian atas bokong. Bila disuntikan secara
intramuskular dalam maka penyerapan akan terjadi lebih cepat dan masa
kerja akan lebih singkat. Kegiatan jasmaniyang dilakukan segera setelah
penyuntikan akan mempercepat onset kerja dan juga mempersingkat masa
kerja. Indikasi pemberiaan insulin pada pasien DM lanjut usia seperti pada
non lanjut usia, uyaitu adanya kegagalan terapi ADO, ketoasidosis, koma
hiperosmolar, adanya infeksi (stress) dll. Dianjurkan memakai insulin kerja
menengah yang dicampur dengan kerja insulin kerja cepat, dapat diberikan
satu atau dua kali sehari.
Kesulitan pemberiaan insulin pada pasien lanjut usia ialah karena
pasien tidak mau menyuntik sendiri karena persoalnnya pada matanya,
tremor, atau keadaan fisik yang terganggu serta adanya demensia. Dalam
keadaan seperti ini tentulah sangat diperlukan bantuan dari keluarganya.
12
2.3. Monografi Bahan
2.3.1. Insulin ( FI IV hal 464, Martindale 288 hal 844)
13
2.3.2. Gliserin
2.3.3. Fenol
14
Rumus molekul : C6H5OH
BM : 94,11
Pemerian : Cairan tidak berwarna sampai merah muda, dapat
menjadi merah jika kena udara atau cahaya. Bau
khas, sedikit aromatis. Memutihkan dan membakar
kulit dan membran mukosa
Kelarutan : Dapat bercampur dengan etanol, eter dan
gliserin. Campuran sama banyak fenol cair dan
gliserin dapat bercampur dengan air.
Fungsi : Desinfektan, antimikroba
Konsentrasi : 0,5 % (sebagai pengawet injeksi )
pH : 6.0
Titik Didih : 181.8 ºC
Berat jenis : 1,071 g/cm3
Sterilisasi : Oven
Stabilitas :
Stabil dalam tempat penyimpanan yang kedap udara dan terlindung
dari cahaya
Peningkatan pH dapat menurunkan aktivitas antimikroba
Lebih aktif dalam suasana asam
Oleh udara dan cahaya berubah warna menjadi merah atau coklat,
perubahan terjadi karena adanya senyawa logam. Senyawa
pengoksidasi juga dapat menyebabkan perubahan warna.
Inkompabilitas :
Fenol inkompatibel dengan garam alkali
Efek antimikroba fenol dapat berkurang dengan pH yang lebih
tinggi atau kombinasi dengan darah dan senyawa organik
Fenol inkompatibel dengan albumin dan gelatin, akan.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik, tidak tembus cahaya,
pada suhu tidak lebih dari 15ºC
15
2. 4. Injeksi
2.4.1. Definisi Injeksi
Formularium Nasional Edisi Kedua
• Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi atau suspensi atau
serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum
digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit
atau melalui kulit atau selaput lendir.
• Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan
sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut atau dengan mengisikan
sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda
16
2.4.2. Penggolongan Injeksi
17
Larutan, hanya digunakan untuk keadaan gawat, disuntikkan ke dalam
otot jantung atau ventrikulus. Tidak boleh mengandung bakterisida.
7. Injeksi intrateka atau injeksi subaraknoid, injeksi intrasisterna, dan injeksi
peridura
Larutan, umumnya tidak lebih dari 20 ml. Tidak boleh mengandung
bakterisida dan diracik dalam wadah dosis tunggal.
8. Injeksi intrartikulus
Larutan atau suspensi dalam air, disuntikkan ke dalam cairan sendi dalam
rongga sendi.
9. Injeksi intrabursa
Larutan atau suspensi dalam air, disuntikkan ke dalam bursa subacromilis
atau bursa olecranon.
10. Injeksi subkonjungtiva
Larutan atau suspensi dalam air untuk injeksi selaput lendir mata bawah,
umumnya tidak lebih dari 1 ml
1. Sterilisasi Uap
Proses sterilisasi termal menggunakan uap jenuh dibawah tekanan
berlangsung disuatu bejana yang disebut autoklaf, dan mungkin merupakan
proses sterilisasi yang paling banyak digunakan (suatu siklus autoklaf yang
ditetapkan dalam farmakope untuk media atau pereaksi adalah selama 15
menit pada suhu 121°C kecuali dinyatakan lain). Prinsip dasar kerja alat
adalah udara di dalam bejana sterilisasi diganti dengan uap air jenuh, dan hal
ini dapat dicapai dengan menggunakan alat pembuka atau penutup khusus.
Untuk mengganti udara secara lebih efektif dari bejana sterilisasi dan dari
dalam bahan yang disterilisasi, siklus sterilisasi dapat meliputi tahap evakuasi
udara dan uap. Desain atau pemilihan suatu siklus untuk produk atau
komponen tertentu tergantung kepada beberapa faktor, termasuk
18
ketakstabilan panas bahan, pengetahuan tentang penetrasi panas ke dalam
bahan dan faktor lain yang tercantum dalam proses validasi. Selain deskripsi
tentang parameter siklus sterilisasi dengan menggunakan suhu 121°C; konsep
F0 dapat juga diterapkan. F0 pada suhu tertentu selain suhu 121°C adalah
waktu dalam menit yang diperlukan untuk mendapatkan kesetaraan letalitas
seperti pada suhu 121°C untuk waktu tertentu.
3. Sterilisasi Gas
Pilihan untuk menggunakan sterilisasi gas sebagai alternate dari
sterilisasi termal sering dilakukan jika bahan yang akan disterilkn tidak tahan
terhadap suhu tinggi pada proses sterilisasi uap atau panas kering. Bahan aktif
yang umumnya digunakan pada sterilisasi gas adalah etilen oksida dengan
kualitas mensterilkan yang dapat diterima. Keburukan dari bahan aktif ini
antara lain sifatnya yang sangat mudah terbakar, walaupun sudah dicampur
dengan gas inert yang sesuai; bersifat mutagenik dan kemungkinan adanya
residu toksik di dalam bahan yang disterilkan terutama yang mengandung ion
klorida. Proses sterilisasi pada umumnya berlangsung di dalam bejana
19
bertekanan yang di desain sama seperti autoklaf, tetapi dengan tambahan
bagian khusus yang hanya terdapat pada alat sterilisasi yang menggunakan
gas. Fasilitas yang menggunaka bahan sterilisasi, mampu untuk memantau
mikroba yang masih hidup, dan mengurangi paparan gas yang sangat
berbahaya terhadap petugas yang menangani alat tersebut.
20
dosis yang lebih rendah untuk peralatan, bahan obat dan bentuk sediaan akhir.
Dalam hal lain mungkin diperlukan dosis yang lebih tinggi.
21
obat, penyerapan obat, pengawet dana tau zat tambahan lainnya, dan
pengeluaran awal kandungan endotoksin.
Efektivitas penyaringan juga dipengaruhi oleh beban mikroba
larutan yang akan disaring, penetapan kualitas mikrobiologi larutan sebelum
penyaringan, merupakan aspek penting proses penyaringan sebagai tambahan
pada penetapan parameter lain dari prosedur penyaringan, seperti tekanan,
laju alir dan karakteristik unit penyaring. Cara lain untuk menguraikan
kemampuan penahanan penyaring adalah menggunakan log nilai reduksi
(LNR). Umpamanya, suatu penyaring berukuran 0,2 µm yang dapat menahan
107 mikroba per galur tertentu akan memiliki LNR tidak kurang dari 7, pada
kondisi yang ditetapkan.
Proses sterilisasi larutan dengan cara penyaringan, pada akhir-akhir
ini telah menghasikan tingkat kepuasan yang baru. Penyaringan untuk tujuan
sterilisasi umumnya dilaksanakan menggunakan rakitan yang memiliki
membran dengan porositas nominal 0,2 µm atau kurang, berdasarkan pada
pembanding yang telah divalidasi tidak kurang dari 107 suspensi
Pseudomonas diminuta (ATCC 19146) tiap cm2 dari luas permukaan
penyaring. Media membrane penyaring yang tersedia saat ini yaitu, selulosa
asetat, selulosa nitrat, fluorokarbonat, polimer akrilik, polikarbonat, polyester,
polivinil klorida, vinil, nilon, politef dan juga membran logam, dan ini dapat
ditunjang oleh bahan berserat internal.
2.6. Kemasan
2.6.1. Kemasan Kaca Untuk Sediaan Parenteral
Kemasan kaca telah banyak digunakan untuk sediaan LVP (Large
Volume Parenteral). Kemasan kaca bertutup sekrup tidak lagi digunakan
sebagai wadah LVP tetapi masih digunakan untuk larutan irigasi.
Kemasan Kaca memberikan beberapa keuntungan untuk larutan
parenteral antara lain:
1. Kaca tahan terhadap interaksi kimia dengan zat pengisi dan tidak
mengabsorpsi serta melepas zat-zat kimia.
22
2. Kaca merupakan bahan yang tidak permeabel (tidak mudah bocor).
Dengan penutupan yang benar maka keluar atau masuknya gas dapat
diabaikan.
3. Wadah kaca mudah dalam pencucian saat pengisian karena
permukaannya yang halus.
4. Transparan sehingga mudah dalam pengamatan isinya.
5. Kaku, kuat dan stabil dalam bentuk. Tahan terhadap tusukan. Dapat
dibuat vakum. Dapat digunakan untuk sterilisasi uap sampai suhu
121oC atau sterilisasi kering sampai suhu 260oC tanpa penguraian.
6. Dapat dipasang pada alat sediaan.
23
zat basa yang terekstraksi dari kaca. Tes ini dapat mengukur stabilitas kimia
yang dimiliki kaca.
24
4. Kemasan Kaca tipe NP
Wadah ini diperuntukkan untuk produk selain parenteral. Pada
dasarnya tipe I, II dan III memiliki spesifikasi yang mirip tipe NP juga.
Beberapa kemasan yang berwarna memenuhi ciri-ciri tipe NP tetapi
tidak tipe III. Apabila produk obat bereaksi dengan kemasan tipe III,
maka sebaiknya digunakan kemasan tipe I atau II.
25
b. Kesesuaian Dimensi
Meliputi tinggi, diameter, variasi ketebalan dinding, tegak lurusnya,
konsentris lubangnya, bentuk ujungnya (kecuali ampul), diameter leher
dalam, kapasitas laju alir.
c. Penampang permukaan
Tidak ada permukaan yang kasar, retakan kecil, dan ujung yang
sumbing.
d. Kualitas Kaca
Bebas dari cords (bagian yang lebih tebal dibandingkan dengan bagian
yang lain), bebas dari partikel kristal, bebas dari gelembung kecil dan
blisters (gelembung besar biasanya ada di permukaan)
e. Keseluruhan Kemasan
Kekerasan wadah dan daya tahan terhadap perubahan suhu.
26
Pengisian
Penyegelan
27
BAB 3
FORMULASI
3. 1. Formulasi Resep
Volume sediaan per vial = 10 mL
Jumlah sediaan yang diproduksi = 4 vial
Volume total yang diproduksi = 42 mL
Tipe Resep / cara pembuatan : Aseptis
Menurut Formularium Nasional Edisi II Tahun 1978, halaman 164.
Komposisi injeksi insulin, tiap mL mengandung :
Insulinum 20 UI
Glycerolum 16 mg
Zat tambahan yang cocok(*) secukupnya
Aqua pro Injectione hingga 1 mL
(*zat tambahan yang cocok digunakan bakterisida kresol 0,1% - 0,25% b/v.
tambahkan asam klorida 0,5 N secukupnya hingga pH 3,0 sampai 3,5.
Sterilkan dengan Cara Sterilisasi C)
Menurut Martindale, tiap mg insulin setara dengan 23 UI
3. 2. Perhitungan Bahan
Dibuat larutan injeksi insulin 10 mL vial, dengan kekuatan 100 UI/mL
Perhitungan bahan per vial (10 mL)
R/ Injeksi Insulin
Insulin 100 UI
Gliserolum 16 mg
Fenol 0,1 %
Aqua Pro Injection ad 1 mL
Dibuat dalam bentuk sediaan vial 10 mL
23 UI 100 UI
Insulin = = x mg = 4,348 mg/mL
mg x mg
28
Fenol = 0,1%
0,1 %
Yang tersedia di lab, fenol 10% = × 10 mL = 0,1 mL
10 %
3. 3. Sterilisasi Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini beserta cara sterilisasinya dapat
dilihat pada tabel.
Alat Ukuran Jumlah Cara Sterilisasi
(mL)
Vial 10 4 Oven 170°C, 30 menit
Beaker glass 100 2 Oven 170°C, 30 menit
Kaca arloji 3 Oven 170°C, 30 menit
Cawan penguap 1 Oven 170°C, 30 menit
Pinset 2 Oven 170°C, 30 menit
Batang pengaduk 2 Oven 170°C, 30 menit
Spatel 1 Oven 170°C, 30 menit
Pipet tetes 2 Oven 170°C, 30 menit
Gelas ukur 25 mL dan 1 dan 1 Autoklaf 121°C, 15 menit
100 mL
G3 filter 1 Autoklaf 121°C, 15 menit
Bakteri filter 1 Autoklaf 121°C, 15 menit
Tutup vial 4 Autoklaf 121°C, 15 menit
29
3. 4. Cara Pembuatan
Semua proses produksi dilakukan pada ruangan steril. Proses produksi yang
meliputi penimbangan bahan, kalibrasi alat, sterilisasi bahan baku (dianggap
sudah steril), sterilisasi alat, sterilisasi pengemas, filtrasi campuran, pelabelan,
pengemasan, dan penyegelan dilakukan pada ruangan grey area. Sementara itu,
pelarutan bahan baku dan pencampuran bahan baku dilakukan secara manual di
ruangan white area. Dalam hal ini, cara pembuatan injeksi insulin secara
konvensional adalah sebagai berikut:
1. Kalibrasi 2 botol vial 10,5 mL. Kalibrasi 1 beaker glass 60 mL.
2. Sterilkan alat dan bahan sesuai dengan metode sterilisasi masing-masing.
3. Siapkan aqua pro injeksi bebas CO2.
4. Timbang 260,88 mg insulin dalam kaca aroji; dan 960 mg gliserol dalam
cawan penguap.
5. Larutkan insulin dalam gliserol.
6. Tambahkan 20 mL API bebas CO2, cek pH menggunakan indikator
universal (range pH 3,0-3,5).
7. Jika perlu adjust pH menggunakan asam klorida 0,5 N hingga pH sesuai.
8. Tambahkan 12 tetes fenol.
9. Cukupkan volume hingga 60 mL menggunaka Aqua Pro Injection Bebas
CO2
10. Saring larutan dengan G3 filter dan filter bakteri.
11. Masukkan ke dalam vial masing-masing sebanyak 10,5 mL
12. Segel vial dengan alumunium cap
13. Beri label dan masukkan ke dalam kemasan sekunder
30
BAB 4
EVALUASI
4. 1. In Process Control
1. Uji pH
Tujuan untuk mengetahui pH sediaan (reproducible)
Alat kertas indikator universal
Cara Kerja Dengan kertas indikator universal
Celupkan kertas indikator universal ke dalam larutan uji.
Hasil pH 3-4
31
harus benar-benar bebas dari partikel kecil yang dapat
dilihat dengan mata.
Hasil Jernih dan bening
32
2. Uji Keseragaman Volume
Tujuan untuk mengetahui keseragaman volume antar sediaan.
Cara Kerja Diletakkan pada permukaan yang rata secara sejajar
lalu dilihat keseragaman volume secara visual.
Hasil Tidak dilakukan
33
Jika telah bebas dari gelembung udara, ukur volume
dari tiap campuran: volume rata-rata larutan,
suspensi, atau sirup yang diperoleh dari 10 wadah
tidak kurang dari 100%, dan tidak satupun volume
wadah yang kurang dari 95% dari volume yang
dinyatakan pada etiket (memenuhi syarat).
5. Uji Sterilitas
Uji sterilitas memiliki keterbatasan untuk mendeteksi kontaminasi
karena tes ini menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit. Oleh
karena itu dalam uji sterilitas ini diperlukan sampel yang dapat mewakili
seluruh batch dan kondisi pembuatan. Sampel harus diambil pada awal,
pertengahan dan akhir proses aseptis, atau saat sebelum intervensi atau
penyimpangan.
34
Pengujian dilakukan secara mikrobiologis dengan menggunakan
medium pertumbuhan tertentu. Penetapan jumlah wadah yang diuji pada
setiap kelompok dalam masing-masing Farmakope berbeda-beda. Produk
dikatakan bebas mikroorganisme bila Sterility Assurance Level (SAL) =
10-6 atau 12 log reduction (over kill sterilization). Bila proses pembuatan
produk menggunakan aseptik (aseptic processing), maka SAL = 10-4.
Karena sifat bahan yang akan diuji bervariasi dan faktor lain yang
mempengaruhi pada waktu melakukan uji sterilitas maka perlu
diperhatikan ketentuan berikut dalam melakukan uji sterilitas.
a. Cara Membuka Wadah
Bersihkan permukaan luar tutup botol menggunakan bahan
dekontaminasi yang sesuai, dan ambil secara aseptik.
b. Pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi
Untuk bahan cair, gunakan volume bahan dan media untuk setiap
unit dan jumlah wadah per media tidak kurang dari seperti yang tertera
pada Tabel Jumlah Untuk Bahan Cair. Jika kuantitas isi cukup, bahan
dapat dibagi dan ditambahkan pada kedua media, gunakan wadah
sejumlah dua kali.
Jika tidak dinyatakan lain di dalam monografi atau bab ini, inkubasi
campuran uji dengan media tioglikolat cair (atau media tioglikolat
35
alternatif, jika dinyatakan) selama 14 hari pada suhu 30o hingga 35o dan
dengan soybean – casein digest medium pada suhu 200 hingga 25o.
Asas:
Media:
Media untuk pengujian dapat dibuat seperti yang tertera di bawah ini atau
dapat digunakan formulasi kering yang jika direkonstitusi sesuai petunjuk
pabrik atau distributor menghasilkan formulasi yang sama, yang
merangsang pertumbuhan bakteri aerob, bakteri anaerob, dan fungi.
a. Media Tioglikolat cair
Media ini umumnya untuk kultur bakteri aerob. Akan tetapi, juga
dapat digunakan untuk kultur bakteri anaerob.
Komposisi: (FI IV)
L-Sistin P 0,5 g
NaCl P 2,5 g
Glukosa P (C6H12O6.H2O)* 5,5 g
Agar P, granul (kadar air tidak lebih dari 15%) 0,75 g
Ekstrak Ragi P (larut dalam air) 5,0 g
Digesti Pankreas Kasein P 15,0 g
Natrium Tioglikolat P atau 0,5 g
Asam Tioglikolat P 0,3 ml
Larutan Natrium Resazurin P 1,0 ml
(1 dalam 1000) dibuat segar
Air hingga 1000 ml
36
Jika perlu saring selagi panas menggunakan kertas saring.
Tempatkan media dalam tabung yang sesuai, yang memberikan
perbandingan permukaan dengan kedalaman media sedemikian
rupa sehingga tidak lebih dari 1/2 bagian atas media yang
mengalami perubahan warna sebagai indikasi masuknya oksigen
pada akhir masa inkubasi.
Sterilisasi dalam otoklaf.
Jika lebih dari 1/3 bagian atas terjadi warna merah muda, media
dapat diperbaiki 1 kali dengan pemanasan di atas tangas air atau
dalam uap yang mengalir bebas hingga warna merah muda hilang.
Media siap digunakan jika tidak lebih dari 1/10 bagian atas media
berwarna merah muda.
Metode Uji:
37
Teknik penyaringan dengan fiter membran (dibagi menjadi 2
bagian) lalu diinkubasi.
Unit penyaring membran yang sesuai terdiri dari satu
perangkat yang dapat memudahkan penanganan bahan uji secara
aseptik dan membran yang telah diproses dapat dipindahkan secara
aseptik untuk inokulasi ke dalam media yang sesuai atau satu
perangkat yang dapat ditambahkan media steril ke dalam
penyaringnya dan membran diinkubasi in situ. Membran yang sesuai
umumnya mempunyai porositas 0,45 μm, dengan diameter ± 47mm,
dan kecepatan penyaringan air 55 ml – 75 ml per menit pada tekanan
70 cmHg. Unit keseluruhan dapat dirakit dan disterilkan bersama
dengan membran sebelum digunakan, atau membran dapat disterilkan
terpisah dengan cara apa saja yang dapat mempertahankan
karakteristik penyaring dan menjamin sterilitas penyaring dan
perangkatnya.
Jika teknik penyaringan membran digunakan untuk bahan cair
yang dapat diuji dengan cara inokulasi langsung ke dalam media uji,
uji tidak kurang dari volume dan jumlah seperti yang tertera pada
Pemilihan spesimen uji dan masa inkubasi.
Secara aseptik inokulasikan sejumlah tertentu bahan dari tiap
wadah uji ke dalam tabung media. Campur cairan dengan media tanpa
aerasi berlebihan. Inkubasi dalam media tertentu seperti yang tertera
pada “Prosedur Umum”, selama tidak kurang dari 14 hari. Amati
pertumbuhan pada media secara visual sesering mungkin sekurang-
kurangnya pada hari ke-3 atau ke-4 atau ke-5 , pada hari ke-7 atau ke-
8 dan pada hari terakhir dari masa uji.
Jika zat uji menyebabkan media menjadi keruh sehingga ada
atau tidaknya pertumbuhan mikroba tidak segera dapat ditentukan
secara visual, pindahkan sejumlah memadai media ke dalam tabung
baru berisi media yang sama, sekurangnya 1 kali antara hari ke-3 dan
ke-7 sejak pengujian dimulai. Lanjutkan inkubasi media awal dan
38
media baru selama total waktu tidak kurang dari 14 hari sejak
inokulasi awal.
Syarat:
Tidak tumbuh mikroorganisme
b. Tahap Kedua
Jumlah spesimen uji yang diseleksi minimum dua kali jumlah
Tahap Pertama. Volume minimum tiap spesimen yang diuji dan media
dan periode inkubasi sama seperti yang tertera pada Tahap Pertama.
Jika tidak ditemukan pertumbuhan mikroba, bahan yang diuji
memenuhi syarat. Jika ditemukan pertumbuhan, hasil yang diperoleh
membuktikan bahwa bahan uji tidak memenuhi syarat. Jika dapat
dibuktikan bahwa uji pada Tahap Kedua tidak absah karena kesalahan
atau teknik aseptik tidak memadai, maka Tahap Kedua dapat diulang.
39
6. Tes untuk pirogen (FI Ed. III)
3 1,20o 2,7o
6 2,80o 4,3o
9 4,5o 6,0o
12 6,6o 6,6o
2) Tes Limulus
Lisat yang diperoleh dari butir darah kepiting, Limulus
polyphemus, mengandung sistem enzim dan protein. Apabila ada
40
polisakarida dalam jumlah kecil dari pirogen bakteri gram negatif,
maka akan menyebabkan terjadinya penggumpalan. Tes hanya
memerlukan waktu 90 menit dan tidak positif terhadap seluruh
pirogen hasil reaksi. Oleh karena itu, hasil tes yang positif menjadi
bukti adanya pirogen, tetapi bila negatif, maka bukan jaminan bebas
pirogen.
41
BAB 5
PENUTUP
5.1. Pembahasan
Sediaan injeksi insulin yang dibuat adalah sediaan yang mengandung
insulin bovine yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah pada
penderita diabetes tipe 1 dan 2. Teknik yang digunakan pada pembuatan
sediaan ini yaitu dengan cara teknik aseptic karena zat aktif yang digunakan
berupa enzim sehingga tidak tahan dengan sterilisasi cara panas. Zat aktif yang
digunakan dalam sediaan injeksi ini adalah insulin bovine dengan penambahan
gliserol sebagai pelarut dan pengawet yaitu fenol.
Walaupun sediaan ini dilakukan dengan teknik aseptic, namun pada akhir
pembuatan sebelum dimasukkan ke dalam wadah, larutan terlebih dahulu
disaring dengan saringan G3 filter untuk memastikan bahwa tidak partikel yang
berada dalam sediaan. Setelah sediaan disaring, kemudian larutan dimasukkan
ke dalam vial berukuran 10 mL.
42
Uji kebocoran dan uji sterilitas juga termasuk ke dalam evaluasi yang
harus dilakukan pada sediaan injeksi insulin. Tetapi karena keterbatasan alat
dan waktu, uji-uji tersebut tidak dapat dilakukan.
5.2. Kesimpulan
Injeksi insulin merupakan sedian jenis injeksi yang digunakan untuk
mengontrol kadar gula darah pada pasien yang menderita penyakit diabetes
mellitus tipe 1 dan 2. Teknik yang digunakan pada pembuatan sediaan ini yaitu
dengan cara teknik aseptik karena zat aktif yang digunakan berupa enzim
sehingga tidak tahan dengan sterilisasi cara panas. Namun, dilakukan juga cara
sterilisasi penyaringan menggunakan G3 Filter dan bakteri Filter untuk
memastikan kejernihan sediaan serta memastikan sediaan bebas bakteri. Zat
aktif yang digunakan dalam sediaan injeksi ini adalah insulin bovine dengan
penambahan gliserol sebagai pelarut dan pengawet yaitu fenol. Sediaan dibuat
dalam vial 10 mL, dan diuji sterilitas, kejernihan dan pH dari sediaan, serta uji
kebocoran wadah.
5.3. Saran
Injeksi insulin merupakan sedian jenis injeksi yang mengandung
insulin dan digunakan untuk mengontrol kadar gula darah pada pasien yang
menderita penyakit diabetes melitus. Penggunaan serta pelarutan zat aktif
insulin juga perlu diperhatikan karena sifatnya yang praktis tidak larut dalam
air, sehingga perlu dilarutkan dalam pelarut yang sesuai. Untuk dapat
menghasilkan sediaan injeksi yang baik juga perlu diperhatikan dalam proses
penyesuaian pH serta proses penyaringan sediaan. Penyimpanan sediaan juga
perlu diperhatikan karena sediaan injeksi insulin perlu disimpan pada suhu 2 –
10º C, karena insulin dapat terdegradasi pada suhu tinggi.
43
DAFTAR PUSTAKA
44
LAMPIRAN
45