Anda di halaman 1dari 3

Komunikasi Publik Pemerintah Indonesia dalam Menghadapi Wabah COVID-19

oleh: Ashlaha Baladina


Pemerintah secara resmi mengumumkan kasus pertama COVID-19 di Indonesia pada 2 Maret 2020.
Hingga 18 Juni, jumlah kasus yang dikonfirmasi mencapai 42.762 dengan 2.339 kasus meninggal dan
16.798 kasus sembuh. Pemerintah mengklaim telah menyiapkan berbagai upaya untuk menangani
pandemi COVID-19 mulai dari memperketat pintu masuk ke Indonesia di banyak titik seperti bandara,
pelabuhan, dan juga menyiapkan fasilitas kesehatan.

Tetapi apakah benar Indonesia siap menghadapi wabah COVID-19?

Sebelum COVID-19 menyebar di Indonesia, dikutip oleh CNN Indonesia bahwa lembaga think tank
Australia, Lowy Institute, menyoroti upaya pemerintahan Presiden Jokowi dalam menangani pandemi
COVID-19 di Indonesia. Badan tersebut menganggap pemerintah Indonesia tidak siap dan kurang
transparan dalam mengendalikan COVID-19 yang mulai mewabah sejak awal Maret di Indonesia.
Sebelumnya, Kementerian Kesehatan melalui menterinya mengatakan bahwa, pemerintah Indonesia
siap menghadapi pandemi, termasuk COVID-19 yang baru muncul. Kesiapannya pun sesuai dengan
standar badan kesehatan dunia atau WHO. Tetapi sekarang, dapat kita lihat bahwa pemerintah
tampaknya lamban dalam menangani wabah COVID-19 di Indonesia. Selain itu pemerintah kerap terlihat
tidak siap dalam melakukan komunikasi public terkait COVID-19 yang berdampak pada masyarakat.
Berikut adalah alasan yang dapat penulis rangkum mengenai komunikasi publik pemerintah di tengah
wabah COVID-19:

Pertama, sejak awal pandemi ini muncul pemerintah Indonesia kerap menyangkal atau meremehkan
keberadaan penyakit tersebut. Ketika Indonesia belum mengumumkan kasus pertamanya, Menteri
Kesehatan Republik Indonesia, Terawan Agus Putranto, mengatakan bahwa hal tersebut bisa terjadi
karena doa seluruh rakyat Indonesia. Pernyataan tersebut dikutip dari Suara.com dan disampaikan oleh
Terawan ketika ditanya tentang faktor-faktor pendukung yang menyebabkan Indonesia belum memiliki
kasus positif COVID-19. Selain itu, dikutip dari palpos.id, Menteri Perhubungan Budi Karya juga sempat
menyampaikan candaan bahwa orang Indonesia tidak akan terkena COVID-19 karena sering makan ‘nasi
kucing’ sehingga masyarakat menjadi kebal. Meskipun itu hanyalah gurauan, namun hal itu tidak pantas
dikatakan seorang pejabat publik karena COVID-19 adalah wabah yang serius dan perkataannya tersebut
akan mempengaruhi pemikiran masyarakat terhadap wabah COVID-19. Sayangnya, beberapa waktu
kemudian Menteri Budi Karya sempat dinyatakan terinfeksi COVID-19 meskipun saat ini sudah
dinyatakan sembuh. Kemudian dilaporkan oleh tempo.co, Menurut Ma'ruf Amin, Wakil Presiden
Republik Indonesia, salah satu peran terpenting dalam mencegah korona adalah doa para ulama yang
selalu membaca doa qunut. Pernyataan tersebut rasanya kurang pantas disampaikan karena penyakit
corona sendiri berhubungan erat dengan dunia kesehatan, jadi narasi yang disampaikan pun harusnya
berdasarkan sumber kesehatan yang terpercaya dan bukan asumsi yang dikaitkan dengan agama.

Kedua, pemerintah terkesan tidak fokus menangani COVID-19 dan cenderung mengalihkannya ke hal
lain. Tirto.id melaporkan dalam artikelnya bahwa di tengah wabah COVID-19, pemerintah pusat juga
mengadakan wacana untuk membuka kembali pintu pariwisata bagi wisatawan asing. Rencana ini
diumumkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kelautan dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, yang
menganggap bahwa Indonesia perlu mengambil kesempatan ketika negara-negara donor asing seperti
China telah pulih dari COVID-19. Kemudian dua hari setelah statement tersebut dikeluarkan, Presiden
Joko Widodo optimis bahwa wabah COVID-19 tidak akan melanda Indonesia sampai akhir tahun. Ariyo
Dharma Pahla, seorang peneliti dari Institut Pengembangan Ekonomi dan Keuangan (Indef) menganggap
bahwa optimisme tersebut terlalu berlebihan dan sangat mungkin untuk meleset. Menurutnya, sektor
pariwisata belum dapat diandalkan untuk tahun 2020 dan pemerintah perlu memikirkan kembali untuk
menyambut wisatawan asing. Jika dipaksa, maka taruhannya adalah keselamatan masyarakat dan
pekerja wisata agar tidak terkena COVID-19. Selain itu, pemulihan pariwisata sangat tergantung pada
bagaimana pemerintah menekan penyebaran COVID-19. Sementara sampai sekarang, pemerintah
belum memiliki terobosan khusus dalam mengendalikan wabah dan pasien positif COVID-19 terus
mengalami peningkatan. Dalam hal ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa pemerintah tampaknya
tidak fokus pada pemberantasan wabah COVID-19, sebagaimana dibuktikan oleh tindakan pemerintah
yang tampaknya 'terburu-buru' untuk mempersiapkan sektor pariwisata daripada menghilangkan wabah
COVID-19 di Indonesia.

Ketiga, kurangnya koordinasi antarpejabat pemerintah dalam menyajikan suatu informasi atau kebijakan
membuat masyarakat bingung sehingga komunikasi publik terkait wabah COVID-19 tidak dipersiapkan
dengan baik. Dikutip dari detik.com bahwa Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES) menemukan 37 blunder pemerintah mengenai penanganan wabah COVID-19. Akibat
sikap pemerintah yang cenderung meremehkan, masyarakat gagal mempersiapkan diri menghadapi
wabah COVID-19. Sehingga kepanikan publik muncul dengan berbagai stigma mulai dari panic buying,
penolakan terhadap jenazah yang terinfeksi COVID-19, penolakan kegiatan ibadah di rumah saja, dan
sebagainya. Selain itu, tidak ada komunikasi kepada publik untuk mempersiapkan diri menghadapi krisis
karena pemerintah sendiri belum menyiapkan langkah-langkah pencegahan terhadap wabah COVID-19
sejak awal. Selain itu, seperti dilansir Katadata, Menteri Sekretaris Negara Pratikno sempat mengoreksi
pernyataan Juru Bicara Presiden Fadjroel Rachman yang menyatakan bahwa pemerintah mengizinkan
masyarakat mudik dengan beberapa syarat. Menurut Pratikno, pernyataan Fadjroel tidak akurat.
Padahal yang benar adalah pemerintah bekerja keras sehingga masyarakat tidak perlu pulang ke
kampung halamannya. Sebelumnya, Fadjroel mengatakan pemerintah tidak akan melarang masyarakat
untuk mudik. Ini menggambarkan bahwa pemerintah tidak memiliki koordinasi dan persiapan yang
tepat sebelum mengajukan suatu informasi atau kebijakan tertentu mengenai wabah COVID-19. Hal
tersebut berdampak pada kurangnya kredibilitas informasi di mata masyarakat yang selama ini
disampaikan oleh pemerintah. Dilansir dari Katadata, bahwa tingkat kepercayaan publik terhadap
kemampuan pemerintah untuk mengatasi pandemi COVID-19 semakin menurun.

Singkatnya, pemerintah Indonesia kurang sigap dalam menghadapi wabah COVID-19 sehingga ketika
berhadapan dengan pandemi ini, pemerintah tampak lambat, lalai, dan tidak fokus dalam
menanggulanginya. Ketidaksiapan ini juga menjadi bumerang karena mencerminkan kinerja pemerintah
yang tidak memadai dalam menangani wabah COVID-19. Dalam konteks komunikasi publik, pemerintah
juga kurang optimal dalam menyampaikan informasi terkait wabah ini, terbukti dengan perbedaan
pendapat yang disampaikan oleh beberapa pejabat publik yang menunjukkan kurangnya koordinasi
sebelum menyampaikan rilis pers tertentu. Selain itu, pemerintah pusat dan daerah beberapa kali tidak
sepakat dalam mengambil keputusan sehingga masyarakat menjadi bingung dan kehilangan arah dalam
menghadapi wabah. Sebaiknya pemerintah dapat melakukan tindakan preventif semaksimal mungkin
sejak awal adanya penyakit ini sehingga dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Selain itu, lebih baik bagi pemerintah untuk fokus pada penanganan wabah ini dan tidak membahas hal-
hal lain terlebih dahulu seperti sektor pariwisata, rencana ibukota baru, kartu pra-kerja, dan lain-lain
karena menunjukkan sikap pemerintah yang tidak fokus pada penanganan wabah COVID-19 di
Indonesia.

Profil penulis:

Ashlaha Baladina merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya Malang yang sedang
menempuh semester keenam. Kecintaannya pada dunia jurnalistik membuatnya dapat meraih beberapa
prestasi yang berkaitan dengan jurnalistik seperti 2 nd Runner Up pada Newscasting Competition di
Brawijaya English Tournament, sempat menjadi Juri pada lomba News Reading yang diselenggarakan
oleh Universitas Muhammadiyah Malang, serta pemateri kelas jurnalistik yang diselenggarakan oleh
Mahasiswa Wirausaha Universitas Brawijaya. Kritik dan saran mengenai tulisan di atas dapat dikirimkan
melalui email baladina20@gmail.com.

Anda mungkin juga menyukai