1.1 Definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali
ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit endemis di Eropa pada
tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012).
Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan batuk rejan,
“whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan nafas
yang keras atau inspiratory whoop yang mengikuti serangan batuk yang hebat
sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan
oleh Bordatella pertussis.Pertussis-like syndrome disebabkan oleh spesies
Bordetella lain seperti B. parapertussis, B. bronchiseptica dan B. holmesii, dengan
gejala umum yang mirip dengan penyakit pertusis namun lebih ringan (Zouhari et
al., 2012).
Batuk pada pertussis dapat berlangsung beberapa hari, minggu,
hinggaberbulan-bulan. Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan dapat
menyebabkan gangguan tidur yang signifikan (Heininger, 2012).
1. 2 Epidemiologi
Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin, yaitu
sebelum pertengahan 1940 an).Pertussis bisa dicegah dengan vaksinasi dan sejak
adanya imunisasi rutin, morbiditas dan mortalitas batuk rejan telah menurun
tajam. Meskipun sudah ada vaksinasi, penyakit tersebut belum diberantas dan
dilaporkan terdapat peningkatan kejadian selama dua dekade terakhir pada tahun
1990 an. Hal tersebut masih berlangsung hingga saat ini (Muloiwa et al., 2015).
Menurut WHO (1999) terdapat 20 hingga 40 juta kasus batuk rejan setiap
tahunnya. Sembilan puluh persen kasus terjadi di negara berpendapatan rendah
dan mengakibatkan sekitar 200.000- 300.000 kematian tiap tahunnya. Sementara
menurut Espinoza et al (2015) dan Gabutti dan Rota (2012), di seluruh dunia,
setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95% diantaranya terjadi di
negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap tahunnya.
Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan angka peningkatan
yang bermakna, bahkan di negara-negara yang cakupan vaksinasinya tinggi
sekalipun (Cherry, 2012; Espinoza et al., 2015; Kayina et al., 2015). Puncak
insidensi pertusis terjadi setiap 2 – 5 tahun sekali (Crespo et al., 2011). Berdasar
data CDC, di Amerika Serikat saat ini terdapat kejadian pertusis terbanyak dalam
50 tahun terakhir. Jumlah kejadiannya mencapai 800.000 sampai 1 juta kasus
setiap tahunnya (Cherry, 2012).
Meskipun orang dewasa dan anak-anak memiliki gejala ringan hingga sedang,
bayi kurang dari 6 bulan, yang belum menerima 3 dosis vaksin DTP (Difteri-
Pertussis-Tetanus) dan anak pra-sekolah yang belum diimunisasi lengkap
memiliki resiko tinggi terjadinya pertussis berat dan berujung pada komplikasi
yaitu kematian. Batuk rejan sangat menular. 70-100% anggota rumah tangga yang
rentan dan 50-80% kontak sekolah yang retan menjadi terinfeksi setelah terpapar
kasus pertussis akut (Altunaiji, 2012).
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur, terutama pada anak-
anak, dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak berusia kurang dari 1
tahun (Gabutti dan Rota, 2012).CDC pada tahun 1997-2000 menunjukkan bahwa
29.048 orang dengan batuk rejan, 8.390 orang (29%) berusia < 1 tahun, 3.359
orang (12%) berusia 1-4 tahun, 2.835 orang (10%) berusia 5-9 tahun, 8.529 orang
(29%) berusia 10-19 tahun, dan 5.935 orang (20%) berusia > 20 tahun (Altunaiji,
2012).
Tingkat kejadian rata- rata tahunan yang tertinggi terjadi pada bayi berusia < 1
tahun (55,5 kasus per 100.000 penduduk). Anak usia 1-4 tahun lebih rendah, yaitu
5,5 kasus per 100.000 penduduk. Anak usia 5-9 tahun 3,6 kasus per 100.000
penduduk. Anak usia 10-19 tahun 5,5 kasus per 100.000 penduduk, dan individu
berusia > 20 tahun sebanyak 0,8 kasus per 100.000 penduduk (Altunaiji, 2012).
Angka kematian di negara berkembang diperkirakansekitar 3% hal ini
dikarenakan negara terbatas dalam hal sumber daya karenasejumlah faktor,
termasuk misdiagnosis, kurangnya pengetahuan, dan pelaporan kasus(Hartzel dan
Joshua, 2014).
Sebelum adanya antibiotik dan imunisasi, insidensi dan case fatality rate dari
penyakit ini sangat tinggi. Adanya terapi antibiotik dan imunisasi sangat jauh
menurunkan angka kejadian dan kematian dari penyakit ini. Vaksinasi juga
menggeser insidensi penyakit dari yang pada awalnya umum menyerang anak-
anak dengan usia dini, menjadi lebih sering pada dewasa. Hal tersebut karena
munculnya imunitas tubuh pasca vaksinasi dan menghilangnya kekebalan setelah
4 – 12 tahun (Gabutti dan Rota, 2012). Sementara apabila seseorang terinfeksi
pertusis secara alami, maka kekebalan alaminya akan menghilang setelah 4 – 20
tahun (Zepp, et al., 2011).
Gambar 2. Epidemiologi pertusis pre dan post imunisasi (Gabutti dan Rota,
2012)
Penelitian di Belanda pada tahun 2007, menyatakan bahwa saudara yang lebih
tua (usia 9 – 13 tahun) dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam
penularan penyakit kepada bayi yang baru lahir (Gabutti dan Rota, 2012).
Di Asia Pasifik, persebaran penyakit pertusis digambarkan seperti dalam
gambar di bawah ini pada rentang usia anak-anak. Di Indonesia penderita
penyakit pertusis terbanyak adalah usia di bawah satu tahun (Hartzel dan Joshua,
2014).
1.3 Etiologi
Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah penyebab pertussis dan biasanya
menyebabkan pertussis sporadic (Altunaiji, 2012).B.pertussis adalah bakteri
coccobacillus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah menular melalui
droplet (Espinoza, 2015; Gabutti dan Rota, 2012). McGirr dan Fisman (2015)
menyebutkan bahwa B.pertussis adalah bakteri gram negatif yang menjadi
patogen bagi manusia, dengan tidak diketahui adanya reservoir hewan maupun
lingkungan. Bordetella pertusis pertama kali ditemukan oleh Bordet dan Gengou
pada tahun 1906(Malvin dan Jeffrey, 2014).Menurut Bolanos et al. (2011),
B.pertussis pertama kali disebutkan oleh Guillaume de Baillou (1538-1616)
sebagai epidemi di Perancis. Catatan Nils Rosen von Reosenstein menyebutkan
bahwa penyakit dimulai di Perancis pada tahun 1414.
Spesies lainBordetella, terutama Bordetella parapertussis danBordetella
bronchiseptica, dapat menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan.
Variasi dalam ekspresi faktor pertusis mempengaruhi virulensi (Malvin dan
Jeffrey, 2014).
1.4 Patogenesis
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu: fase kataral,
paroksismal, dan konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase kataral dan awal
fase paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini terjadi melalui droplet
respiratorik (Bolanos et al., 2011). Masa inkubasinya berkisar antara 7 – 10 hari,
gejala klinis yang terjadi bergantung pada usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh,
vaksinasi, dan terapi antibiotik yang diterima (Gabutti dan Rota, 2012), sementara
menurut Altuniaji (2012), masa inkubasi sekitar 7 hingga 10 hari (range 4-21 hari)
dan bisa terjadi namun jarang, selama 42 hari.
1.7 Diagnosis
Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai (Gabutti dan Rota,
2012) :
a. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
b. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu, dengan minimal 1 dari gejala:
1. Serangan batuk yang hebat
2. Tarikan nafas yang keras/berat
3. Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
Kriteria laboratorum:
1. Isolasi Bordatella pertussis
2. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan PCR
3. Pemeriksaan serologi positif
Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14 hari
dengan minimal 1 dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Suara nafas keras/berat
3. Muntah pasca batuk
Kriteria laboratorium:
1. Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen klinis
2. Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis
Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik pada
penyakit pertusis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium kataralis dan
stadium paroksismal. Waktu yang paling tepat untuk melakukan biakan adalah
kurang dari 2 minggu pasca batuk terjadi (Snyder dan Fisher, 2012).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis pertusis
antara lain (Gabutti dan Rota, 2012) :
a. Anamnesis
1. Waktu muncul gejala
2. Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara
tarikan nafas berat, memburuk ketika malam hari
3. Riwayat kontak dengan pasien pertussis pada masa inkubasi (7 – 21
hari)
4. Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terdahulu
b. Konfirmasi biologis
1. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time PCR pada
aspirasi nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilkukan untuk
menganalisis evolusi populasi bakteri
2. Anak-anak, remaja, dan dewasa:
a. Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, kultur
b. Durasi batuk > 21 hari:
PCR dan kultur tidak lagi bermakna
Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah pasien
pertama, maka PCR harus dilakukan pada pasien kedua
Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus dilakukan
untuk memberi antibodi toxin anti-pertussis jika pasien belum
pernah mendapatkan vaksinasi pertussis sebelumnya, atau
dalam 2 tahun terakhir.
3. Kultur
a. Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
b. Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat,
pasien yang belum mendapat vaksinasi, dan pada balita
c. Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi
sebelumnya
4. PCR
a. Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi dengan
kultur
b. PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase
paroksismal
c. Akurasi diagnostik mungkin bervariasi pada berbagai laboratorium
5. Serologi
a. Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit (3
– 4 minggu setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan
dengan pengambilan spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya
dapat membantu penegakan diagnosis
b. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertussis atau filamentous
haemagglutinin dapat ditemukan di serum
c. Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis yang tinggi (>100 –
125 U/ml pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
d. Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru
saja mendapat imunisasi.
1.8 Penatalaksanaan
Tabel 2. Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis (Snyder dan
Fisher, 2012)
Obat Dosis dan sediaan
Azitromisin - < 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari
- ≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5
mg/kg selama 1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5
hari
- Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari
selama 2 – 5 hari
Claritromisin - < 1 bulan: tidak direkomendasikan
- > 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis
selama 7 hari
- Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis.
Monitoring ketat karena beresiko stenosis pylorica
- > 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4
dosis selama 14 hari
- Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari
TMP – SMX - < 2 bulan: kontraindikasi
- >2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 14 hari
- Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 14 hari
B.pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari nasofaring
dalam waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan
penyakit, selama tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkatgejala dan
mengurangi keparahan pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif
dalam mengubah perjalanan penyakit. Dengan initahap, manifestasi klinis
penyakit yang disebabkan oleh toksin Bordetella pertussis, dan dengan demikian
tidak terpengaruh oleh terapi antimikroba.Meskipun perjalanan klinis pertusis
tidak mudah dipengaruhi oleh pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat
mengurangi masa penularan (Snyder dan Fisher, 2012).
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak
berusia lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin, claritromisin, dan
azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1 tahun lebih
direkomendasikan menggunakan azitromisin atau claritromisin intravena (Bayhan
et al., 2012).
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan azitromisin
adalah obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit,
karena tidak menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu, eritromisin telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan untuk bayi di
pertama 2 minggu setelah kelahiran.Sementara menurut Bayhan et al. (2012),
claritromisin sangat efektif dan aman untuk terapi pada pasien dengan apnea,
hipoksia dan kesulitan makan.
Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan
pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis agar tidak menular tetapi tidak
mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik yang efektif antara
lain:
1. Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
2. Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hinga hari ke-15 terapi).
3. Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
4. Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
5. Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
6. Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
7. Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek
samping adalah sebagai berikut :
1. Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
2. Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hingga hari ke-15 terapi), atau
3. Claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari
1.9 Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi
profilaksis pertussis memberikan keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik
berhubungan dengan efek samping dan tidak secara signifikan memperbaiki
gejala klinis, whoop, batuk paroksismal, jumlah kasus yang berkembang menjadi
kultur positif B. pertussis atau batuk paroksismal lebih dari 2 minggu. Karena
resiko tinggi terjadinya morbiditas dan kematian pada bayi < 6 bulan yang belum
diimunisasi lengkap, profilaksis kontak direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan
antibiotik dan dosisnya sama dengan regimen terapi (Altuniaji, 2012).
Menurut Zepp et al. (2011), penyebaran infeksi hanya dapat dicegah dengan
meningkatkan cakupan imunisasi di atas 92%. Menurut Witt et al., (2013),
pertusis merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang kejadiannya dapat
dicegah dengan vaksinasi. Vaksin pertusis ada 2 jenis yaitu whole pertussis (wP)
dan acellular pertussis (aP). Vaksin wP terbukti lebih baik dibandingkan vaksin
aP karena memiliki efektifitas yang lebih tinggi dan waktu perlindungan yang
lebih lama dibandingkan aP.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Glansz et al. (2013) menunjukkan
bahwa pencegahan pertussis dapat dilakukan dengan vaksinasi DTaP tepat waktu.
Dalam penelitian Glansz et al. (2013) disebutkan bahwa status undervaccination
terhadap vaksin DTaP menempatkan bayi dan anak-anak pada peningkatan resiko
terjadinya pertussis. Hal tersebut juga mengancam populasi sekitarnya yang
beresiko tinggi untuk terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
Vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan pertusis.
Pada tahun 2008, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di
seluruh dunia, 95% diantaranya terdapat di negara berkembang, dan terjadi sekitar
195.000 kematian. Pada tahun tersebut, imunisasi telah berhasil mencegah sekitar
680.000 kematian (Gabutti dan Rota, 2012).
Menurut Tiwari et al. (2015), selama wabah pertussis, perlu dilakukan
vaksinasi pertussis dosis pertama tepat waktu pada usia 6 minggu dan segera
diberikan terapi antibiotik yang sudah direkomendasikan secara dini Rekomendasi
tersebut berlaku secara global, khususnya di negara-negara dimana vaksinasi
DTP/DaTP rutin dimulai pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat
usia untuk vaksinasi akan mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B.
pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupun didapat
dengan imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yang didapat dari vaksin
hanya melindungi selama 4 – 12 tahun saja (Gabutti dan Rota, 2012). Sedangkan
imunitas yang diperoleh secara alami bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). Di
Amerika Serikat, setiap anak mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus dan
pertusis aseluler (DTaP) sebelum usia 7 tahun dan kekebalannya mulai
menghilang setelah 5 tahun (Klein et al., 2012). Menurut penelitian oleh McGirr
dan Fisman (2015), vaksinasi pertussis perlu diulang saat dewasa, hal tersebut
juga termasuk untuk menjaga agar cakupan populasi yang tercover dengan vaksin
tetap tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa durasi imunitas protektif
terhadap pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun, dengan rata-rata
perlindungan selama 3 tahun dengan sumsi efikasi vaksin 85%. Dengan hilangnya
perlindungan oleh vaksin, diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang divaksinasi
DaTP akan terlindung 8,5 tahun setelah vaksin terakhir. Dengan diberikannya
booster untuk anak prasekolah usia 4-6 tahun diperkirakan akan sangat sedikit
anak > 10 tahun yang terlindung dari pertussis, sehingga diperlukan booster Tdap
untuk remaja awal.
1.10 Komplikasi
Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan
mengarah pada komplikasi seperti apneu, sianosis, kesulitan intake, pneumonia,
dan ensefalopati.Menurut Bayhan et al. (2012), komplikasi dari pertusis yang
paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media), gagal
napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena serangan batuk
yang hebat (fracture costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang,
ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius dan
membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat bentu
pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani (2013), kematian akibat pertussis
banyak dihubungkan dengan pneumonia.
1.11 Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada saluran
respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada anak dengan usia
lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap, hal ini disebabkan
memiliki angka kematian lebih besar. Pada anak yang terkena pertusis dapat
mengalami gangguan disabilitas akibat enselopati (Marcdante et al., 2011).
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua kehidupan
dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi (Case Fatality
Rate 0,2% dan 4% pada negara maju dan negara berkembang). Pada anak yang
sudah mendapat imunisasi, gejala biasanya ringan dan tidak spesifik, sehingga
jarang terdiagnosis (Gabutti dan Rota, 2012).
1.12 Asuhan Keperawatan Pertusis
1. Pengkajian
1) Identitas ( Ngastiyah, 1997 ; 32 )
(1) Mengenai semua golongan umur, terbanyak mengenai anak umur 1-5th
(2) Lebih banyak anak laki –laki dari pada anak perempuan.
2) Keluhan Utama
Batuk disertai muntah
3) Riwayat Penyakit Sekarang.
Batuk makin lama makin bertambah berat dan diikuti dengan muntah terjadi
siang dan malam. Awalnya batuk dengan lendir jernih dan cair disertai panas
ringan, lama–kelamaan batuk bertambah hebat (bunyi nyaring) dan sering,
maka tampak benjolan, lidah menjulur dan dapat terjadi pendarahan sub
conjungtiva.
4) Riwayat Penyakit Dahulu.
(1) Adanya gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas.
(2) Batuk dan panas ringan, batuk mula-mula timbul pada malam hari,
kemudian siang hari dan menjadi hebat.
5) Riwayat Penyakit Keluarga.
Dalam keluarga atau lingkungan sekitarnya, biasanya didapatkan ada yang
menderita penyakit pertusis.
6) Riwayat Imunisasi
JENIS UMUR CARA JUMLAH
BCG 0 – 2 bulan 1C 1x
DPT 2, 3, 4 bulan 1M 3x
Polio 1-5 bulan Refisi 4x
Capak 9 bulan 5C 4x
Heportits 0, 1, 6 bulan 1M 3x
LATIHAN SOAL
Buatlah intervensi keperawatan dan evaluasi dari diagnosa keperawatan no 2,3,
dan 4!
DAFTAR PUSTAKA
Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for
whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health 7:3: 893–956
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
(2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554
Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN (2012). The clinical
characteristics and treatment of pertussis patients in a tertiary center over a
four-year period. The Turkish Journal of Pediatrics, 54 : 596-60
Cherry JD (2012). Epidemic Pertussis in 2012: The Resurgence of a Vaccine-
Preventable Disease. The New England Journal of Medicine, 2012 (367) : 9
Cherry JD, Paddock CD (2014). Pathogenesis andhistopathology of pertussis :
implications for immunizationExpert Rev. Vaccines, 13 (9) : 1115–112
Crespo I, Cardenosa N, Godoy P, Carmona G, Sala MR, Barrabeig I, et al (2011).
Epidemiology of pertussis in a country with high vaccination coverage.
Vaccine, 2011 (29) : 4244 – 4248
Cherry JD, Paddock CD (2014). Pathogenesis andhistopathology of pertussis :
implications for immunizationExpert Rev. Vaccines, 13 (9) : 1115–112
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
(2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554
Gabutti G, Rota MC (2012). Pertussis: A Review of Disease Epidemiology
Worldwide and in Italy. International Journal of Environmental Research anf
Public Health, 9: 4626-4638
Glanz JM, Narwaney KJ, Newcomer SR, Daley MF, Hambidge SJ, Rowhani-
Rahbar A, Lee GM, Nelson JC, Naleway AL, Nordin JD, Lugg MM,
Weintraub ES (2013). Association Between Undervaccination With
Diphtheria,Tetanus Toxoids, and Acellular Pertussis (DTaP) Vaccine andRisk
of Pertussis Infection in Children 3 to 36 Months of Age. JAMA Pediatr.
167(11):1060-1064
Hartzell, Joshua Det al (2014). Whooping Cough in 2014 and BeyondAn Update
and Review.CHEST, 146 (1) : 205-214
Heininger U (2012). Pertussis:What the Pediatric Infectious Disease Specialist
Should Know. The Pediatric Infectious Disease Journal. 31 (1) : 78-79
Jackson DW, Rohani P (2013). Review Article: Perplexities of pertussis: recent
global epidemiological trends and their potential causes. Epidemiol. Infect. 1-
13.
Kayina V, Kyobe S, Katabazi FA, Kigozi E, Odongkara B, Babikako HM,
Whalen CC, Okee M, Joloba ML, Musoke PM, Mupere E (2015). Pertussis
Prevalence and Its Determinantsamong Children with Persistent Cough
inUrban Uganda, PLOS ONE, 2015: 1-12
Klein NP, Bartlett J, Rahbar AR, Fireman B, Baxter R (2012). Waning Protection
after Fifth Dose of Acellular Pertussis Vaccine in Children. The New England
Journal of Medicine, 367: 11
Marcdante, Karen J et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.
Elsevier : Singapura, pp: 523-525
McGirr A, Fisman DN (2015). Duration of Pertussis Immunity AfterDTaP
Immunization: A Meta-analysis. Pediatrics. 135 (2): 1-15
Melvin, Jeffrey A (2014). Bordetella pertussis pathogenesis:current and future
challenges.
Miyashita N, Akaike H, Teranishi H, Kawai K, Ouchi K, Kato T, et al (2013).
BioMed Central Infectious Disease, 13: 129
Muloiwa R, Kagina BM, Engel ME, Hussey GD (2015). The burden of pertussis
in low- andmiddle-income countries since the inceptionof the Expanded
Programme on Immunization(EPI) in 1974: a systematic review protocol. .
Systematic Reviews (2015) 4:62
Pérez-Bolaños C, Proenza-AlfonzoLL, Fando-Calzada R (2011). Epidemiology,
reemergence of pertussis and vaccinedevelopment in Latin America: an
overview. Revista CENIC Ciencias Biológicas, 42 (3) :153-158
Skof Th, Kenyon C, Cocoros N, Liko J, Miller L, Kudish K, Baumbach J, Zansky
S, Faulkner A, Martin SW (2015). Sources of Infant Pertussis Infection inthe
United States. Pediatrics, 136 (4) :1-9
Snyder J, Fisher D (2012). Pertussis in Childhood. Pediatrics in Review, 33 : 412
Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA (2015). First Pertussis Vaccine Dose
andPrevention of Infant Mortality. Pediatrics, 135 (6) : 1-12
Witt MA, Arias L, Katz PH, Truong ET, Witt DJ (2013). Reduced Risk of
Pertussis Among Persons Ever Vaccinated with Whole Cell Pertussis Vaccine
Compared to Recipients of Acellular Pertussis Vaccines in a Large US Cohort.
Clinical Infectious Disease, 56: 1248 – 1254
Zeep F, Heininger U, Mertsola J, Bernatowska E, Guiso N, Roord J, Tozzi AE, et
al (2011). Rationale for pertussis booster vaccination throughout life in
Europe. The Lancet, 2011 (11) : 557 – 570
Zouhari A, Smaoi H, Kechrid A (2012). The diagnosis of pertussis: which method
to choose? Informa Healthcare, 38(2): 111–121
TOPIK 2
ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI
2. 2 Etiologi
Disebabkan oleh Corynabacterium Diphteria, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan dapat
memproduksi eksotoksin (Sudoyo Aru,2009). Klasifikasi penyakit difteri secara
klinis adalah menurut lokasinya :
1. Difteri Nasal Anterior
2. Difteri Nasal Posterior
3. Difteri Fausial (Farinks)
4. Difteri Laryngeal
5. Difteri Konjungtiva
6. Difteri Kulit
7. Difteri Vulva / Vagina
Menurut tingkat keparahannya (Sudoyo Aru,2009) :
1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mokosa hidung
dengan gejala hanya pilek dan gangguan menelan
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan
laringsehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan
nefritis
2.5 PENATALAKSANAAN
1. Memperhantikan intake cairan dan makanan
2. Pastikan kemudahan depekasi
3. Pemberian antitusif untuk mengurangi batuk
4. Aspirasi skret secara periodik
5. Berikan oksigen dan trakeostomi
6. Pemberian serum anti difteri (SAD)
7. Antibiotik
8. Kortikostiroid (Hidayat,2006)
2.6 Asuhan Keprawatan Difteri
1. Pengakjian
Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur tapi sering dijumpai pada
anak (usia 1-10 tahun).
Keluhan utama : biasanya klien dating dengan keluhan kesulitan bernapas
pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan , dan bengkak pada tenggorokan
/leher.
Pemeriksaan fisik
- Pada difteri tonsil-faring terdapat malise, suhu tubuh > 38,9 C, terdapat
LATIHAN SOAL
Buatlah intervensi keperawatan dan evaluasi dari diagnosa keperawatan no 2,3,
dan 4!
DAFTAR PUSTAKA
Bulechrck, Goria M., dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Ed. 6.
United Kingdom: Elsevier
Herdman, T Heater. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. Jakarta : EGC
Hidayat, A. A. 2005. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC
Moorhead, Sue., dkk. 2013. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Ed.5. Uniteed
Kingdom : Elsevier
TOPIK 3
ASUHAN KEPERAWATAN BRONCHIOLITIS
3.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit inflamasi akut dari saluran atas dan bawah
menyebabkan obstruksi dari saluran napas kecil.(3)
3. 2 Etiologi
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang
ditemukan dalam isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 th yang
menderita bronkiolitis dan dirawat di rumah sakit. Penyebab lain yang
menyebabkan bronkiolitis termasuk didalamnya adalah virus para influenza tipe 1
dan 3, influenza B, para influenza tipe 2, adenovirus tipe 1,2,5 dan mycoplasma
yang paling sering pada anak-anak usia sekolah. Terdapat pembuktian bahwa
kompleks imunologis yang memainkan peranan penting dari patogenesis dari
bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh antibodi Ig E hal ini
dapat dihitung untuk signifikansi dari bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI
dengan colustrum tinggi yang didalamnya terdapat Ig A tampaknya lebih relaktif
terproteksi dari bronkiolitis.(4)
Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk
bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom Swyer-
James).
1. Virus sinsisial respiratorik
VSR adalah virus RNA terikat membran berukuran medium yang berkembang
dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan matang dengan pertunasan dari membran
plasma. Berbagai strain VSR menunjukan beberapa heterogenitas antigenik.
Variasi ini terutama ditemukan pada hanya satu dari dua glikoprotein permukaan
dari virus menunjukan reaksi pada hospes manusia seperti satu serotip. VSR
menghasilkan sitopatologis sinsitial khas dalam biakan jaringan spesimen dikirim
dengan cepat dalam es basah karena labil. (4)
2. Adeno virus
Adenovirus adalah virus DBA ukuran sedang, yang diklasifikasikan menjadi
subgena A sampai G. Tipe 1-39 ada dalam subgena A sampai E, tipe 40 adalah
subgenus F, dan tipe 41 adalah subgenus G, virion mempunyai pembungkus
ikosahedral yang tersusun dari berbagai protein, yang paling berlebihan darinya
adalah “hexon”, antigen biasa yang bereaksi silang dengan semua adenovirus
mammalia. “penton” memberi spesifisitas tipe, dan antibodi terhadapnya adalah
protektif. Penton ini juga sitotoksik pada biakan jaringan, dan sifat sofatoksik
telah dianggap berasal darinya juga in vivo. Adenovirus dapat juga
diklasifikasikan dengan mencetakkan “sidik jari” DNAnya pada jelli sesudah
terdigesti dengan pembatasan endonuklease, dan klasifikasi ini biasanya sesuai
dengan tipe-tipe antigeniknya. (4)
Semua tipe adenovirus kecuali tipe 40 dan 41 tumbuh dalam sel ginjal
embrional manusia primer, dan kebanyakan tumbuh pada sel Hep-2 atau HeLa,
menghasilkan pengaruh sitopatik, destruktif khas. Tipe 40 dan 41 (dan serotip lain
juga), tumbuh pada 293 sel, deretan sel ginjal embrional manusia yang kepadanya
telah dimasukkan gena adenovirus “awal” tertentu.
Banyak tipe adenovirus, tetapi terutama tipe anak biasa (1,2 dan 5), dilepas
selama masa yang panjang dari saluran pernafasan maupun saluran cerna. Tipe ini
juga menyebabkan infeksi tonsil ringan dan kronik. (4)
3. Virus para influenza
Ada empat virus dalam famili parainfluenza yang menyebabkan sakit pada
manusia, ditandai tipe 1-4. Virus mempunyai genom RNA helai tunggal, tidak
bersegmen dengan pembungkus mengandung lipid yang berasal dari pertunasan
melalui membran sel. Bagian antigenik utama adalah tonjolan-tonjolan protein
pembungkus yang menunjukan sifat-sifat hemaglutinasi (protein HN) dan fusi sel
(protein F). (4)
3.3 Klasifikasi
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
Bronkiolitis akut
Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus
dan saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan
menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan
fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada
transplantasi paru.(1)
3.4 Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan
menjelang kemarau, dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan
dengan menjangkitnya para-influenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di
daerah sub tropis dari Asia Tenggara sepanjang tahun , dan memuncak antara
bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada bulan Maret sampai Juli. 2
dari sub tipe RSV telah di ketahui, yaitu tipe A dan tipe B, dengan tipe yang
paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya mendominasi
apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular, penularan
disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari ke 6
sampai hari ke 21 setelah gejala muncul. Waktu inkubasi antara 2 - 5 hari. Infeksi
terjadi pada anggota keluarga sebanyak 46 %, 98 % pada anak yang dititipkan
pada perawatan harian, 42 % pada staff rumah sakit dan sebanyak 45 % pada bayi
yang dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan
penggunaan sarung tangan, sedangkan baju khusus dapat mengurangi penyebaran
infeksi nosokomial. 25 % anak umur dibawah 1 tahun dan 13 % anak umur antara
1 sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi saluran nafas. Separuh dari angka
tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas.
RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di RS yang menderita
infeksi tersebut dan 80 % nya berumur kurang dari 6 bulan. Diantaranya bayi
yang sehat 80 % dirawat di RS pada tahun pertama kehidupannya dan sekitar 50
% perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5 %
perawatan di RS pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang
masih terdapat dari transplasental-maternal. Faktor resiko untuk onset yang dini
dari penyakit ini dan kemungkinan perawatan intensif dihubungkan dengan berat
badan lahir rendah, prematuritas, sosio-ekonomi rendah, hidup didaerah padat,
orang tua perokok, tidak diberikannya ASI ekslusif, dan perawatan harian.(4)
Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggih dilakukan terhadap
populasi besar bayi-bayi normal. Analisis tindak lanjut menunjukan bahwa
penyakit paru mengi secara bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi yang
hantaran pernafasan total awalnya ada pada sepertiga terendah dari mereka yang
diuji. Penurunan fungsi paru dapat memainkan peran penting dalam menentukan
bayi mana yang dengan infeksi virus yang akan berkembang bronkiolitis.(1)
3.5 Patogenesis
Bronkiolitis akut ditandai dengan obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh
edema dan kumpulan mukus dan oleh invasi bagian-bagian bronkus yang lebih
kecil oleh virus. Karena tahanan/ resistensi terhadap aliran udara didalam saluran
besarnya berbanding terbalik dengan radius/ jari-jari pangkat empat, maka
penebalan yang sedikit sekali pun pada dinding bronkiolus bayi dapat sangat
mempengaruhi aliran udara. Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama
fase inspirasi dan ekspirasi, namun karena selama ekspirasi jalan nafas menjadi
lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup yang menimbulkan
udara terperangkap dan overinflasi. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi
menjadi total dan udara yang terperangkap diabsorbsi.(1)
Proses patologis menggangu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi
ventilasi yang tidak seimbang mengakibatkan hipoksemia, yang terjadi pada awal
perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnia) biasanya tidak terjadi
kecuali pada pasien yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernapasan
melebihi 60/menit; selanjutnya hiperkapnia berkembang menjadi takipnea.(1)
Beberapa fakta memberi kesan cidera imunologis sebagai faktor faktor pada
patogenesis bronkiolitis yang disebabkan VSR : (1) bayi yang sekarat karena
bronkitis telah menunjukkan imunoglobulin maupun virus dalam jaringan
bronkiolus yang terjejas; (2) anak yang mendapat vaksin RSV yang diberikan
secara parenteral sangat antigenik, inaktif pada pemajanan RSV berikutnya,
penyakitnya menjadi lebih berat dan lebih sering kambuh dibandingkan anak-anak
lainnya ; (3) bronkiolitis yang bergabung kedalam asma pada bayi yang lebih tua,
dan RSV seringkali merupakan serangan asma akut yang dikenali pada anak usia
1-5 tahun; dan (4) antibodi imunoglobulin E (IgE) yang mengarah langsung ke
RSV ditemukan pada sekresi konvalesen pada bayi dengan bronkiolitis.(1)
Disamping pengruh destruktif virus dan respons hospes yang menyertai,
belum jelas peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada
kebanyakan bayi dengan bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial,
pengalaman klinis memberi kesan bahwa bakteri memainkan peran yang tidak
berarti.(1)
Penyakit ini juga berkembang pada bayi-bayi yang biasanya terdapat titer
antibodi maternal (IgG) menetralkan RSV tetapi tidak terdapat antibodi sekretorik
(IgA) pada saluran nafas, sehingga terdapat pada sekret hidung yang memproteksi
terhadap infeksi RSV. Fakta tersebut telah mengarah ke spekulasi bahwa fakta
tersebut penyebab alamiah terjadinya bronkiolitis.(5)
Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi udem
saluran napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan orang
dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus.(2)
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun
antara antibodi non-neutralizing dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan
pengamatan di mana terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda,
terutama kurang dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara pasif didapatkan dari
ibu masih cukup tinggi.(2)
3.8 Diagnosis
Bronkiolitis adalah diagnosa klinis. Keterlibatan VSR pada setiap penyakit
anak tertentu dapat dicurigai pada berbagai tingkat kepastian dari musim tahunan
dan adanya wabah khas pada saat tersebut. Tanda lain yang mungkin membantu
adalah umur anak ( selain VSR, satu-satunya virus respiratori yang sering
menyerang bayi umur beberapa bulan pertama adalah virus parainfluenza tipe-3 )
dan epidemiologi keluarga.(10)
Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan
keterlibatan infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan
atau infiltrat tidak tampak pada roentgenogram, ada kemungkinan infeksi
komponen dengan bakteri. Pada bayi usia 1-4 bulan, pneumonitis interstisial dapat
disebabkan oleh chlamydia trakhomatis. Pada keadaan ini mungkin riwayat
konjungtivitis, dan penyakit cenderung subakut. Terdapat keluhan batuk sering
tetapi tidak ada mengi dan tanpa demam.(10)
Konsolidasi tanpa tanda-tanda lain atau dengan efusi pleura dianggap berasal
dari bakteri sampai terbukti lain. Tanda-tanda lain yang mengarah pada
pneumonia bakteri adalah kenaikan angka neutrofil, depresi jumlah sel darah
putih bila ada penyakit berat, ileus atau tanda-tanda perut lain, demam tinggi, dan
kolaps sirkulasi.(10)
Diagnosis pasti infeksi VSR didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus
dalam sekresi pernafasan. Spesimen harus diletakkan diatas es, dan langsung
dibawa ke laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan
pada suatu sel yang rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior ( nasal
washing ) merupakan spesimen yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok
juga dapat diterima. Aspirat trakhea tidak perlu.(10)
LATIHAN SOAL
Buatlah intervensi keperawatan bronkiolitis!
TOPIK 4
PNEUMONIA
4.1 Defenisi
Pneumonia adalah suatu penyakit peradangan akut pada parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit (Standar Profesi Ilmu Kesehatan Anak
FK Unsri Palembang, 2000).
Pneumonia adalah suatu proses peradangan dimana terdapat konsolidasi yang
disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat.Pertukaran gas tidak dapat
berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi dan darah dialirkan
kesekitar alveoli yang tidak berfungsi. Hipoksemia dapat terjadi tergantung
banyaknya jaringan paru-paru yang sakit ( Doenges & Moorhouse, 2000 : 67 )
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh
bakteri; merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling
sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita (Said 2007).
4. 2 Klasifikasi
Menurut buku pneumonia komuniti, pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003 menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia.
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :
1) Pneumonia komuniti
2) Pneumonia nasokomial
3) Pneumonia aspirasi
4) Pneumonia pada penderita immunocompromised
b. Berdasarkan penyebab
1) Pneumonia bakteri/tipikal
Dapat terjadi pada semua usia. Pneumonia sering diistilahkan
dengan pneumonia akibat kuman. Pneumonia jenis itu bisa menyerang
siapa saja, dari bayi hingga mereka yang telah lanjut usia, para
peminum alkohol, pasien yang terbelakang mental, pasien pasca
operasi, orang yang menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi
virus adalah yang mempunyai sistem kekebalan tubuh rendah dan
menjadi sangat rentan terhadap penyakit itu. Pada saat pertahanan
tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi,
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak
paru-paru.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, atau
pun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru
(tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi
cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah
kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia bakteri
tersebut.
Biasanya pneumonia bakteri itu didahului dengan infeksi saluran
nafas ringan satu minggu sebelumnya. Misalnya, karena infeksi virus
(flu), infeksi virus pada saluran pernapasan dapat mengakibatkan
pneumonia disebabkan mukus (cairan/lendir) yang mengandung
pneumokokus dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru. Beberapa
bakteri mempunyai tedensi menyerang seseorang yang peka, misalnya
klebsiella pada penderita alkoholik, staphylococcus pada penderita
pasca infeksi influenza, pneumonia atipikal. Disebabkan mycoplasma,
legionella, dan chalamydia.
2) Pneumonia akibat virus
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza. Gejala
awal dari pneumonia akibat virus sama seperti gejala influenza, yaitu
demam, batuk kering, sakit kepala, nyero otot, dan kelemahan. Dalam
12 hingga 36 jam penderita menjadi sesak, batuk lebih parah, dan
berlendir sedikit, terdapat panas tinggi disertai membirunya bibir.
Tipe pneumonia itu bisa ditumpangi dengan infeksi pneumonia
karena bakteri. Hal itu yang disebut dengan superinfeksi bacterial.
Salah satu tanda terjadi superinfeksi bacterial adalah keluarnya lendir
yang kental dan berwarna hijau atau merah tua.
3) Pneumonia Jamur
Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah.
c. Berdasarkan predileksi infeksi
1) Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus
(percabangan besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
2) Pneumonia bronkopneumia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak
infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang
disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang
tua. Pada penderita pneumonia, kantong udara paru-paru penuh
dengan nanah dan cairan yang lain. Dengan demikian, fungsi paru-
paru, yaitu menyerap udara bersih (oksigen) dan mengeluarkan udara
kotor menjadi terganggu. Akibatnya, tubuh menderita kekurangan
oksigen dengan segala konsekuensinya, misalnya menjadi lebih
mudah terinfeksi oleh bakteri lain (super infeksi) dan sebagainya. Jika
demikian keadaannya, tentu tambah sukar penyembuhannya.
Penyebab penyakit pada kondisi demikian sudah beraneka ragam dan
bisa terjadi infeksi di seluruh tubuh.
4.3 Etiologi
a. Bakteri : Streptococcus pneumoniae, streptokokus grup A, Haemophilus
Influenza dan staphilococcus aureus.
b. Jamur : Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Aspergillus,
Blastomcyes dermatitis, Cryptococcus, dan Candida sp.
c. Virus : Respiratorik Sensitisial Virus (RSV), Virus Parainfluenza,
Adenovirus, Rhinovirus, Virus Influenza, Virus Varisela dan rubella,
Chlamydia trachomatis, Mycoplasma Pneumoniae, Pneumocystis carinii.
d. Kimiawi : Aspirasi hidrokarbon alifatik. (Rudolph.2007)
Pada bayi dan anak-anak penyebab yang paling sering adalah : virus
sinsial pernafasan, adenovirus, virus parainfluenza dan virus influenza. Faktor-
faktor yang meningkatkan risiko kematian akibat pneumonia :
1. Umur di bawah 2 bulan
2. Tingkat sosioekonomi rendah
3. Gizi kurang
4. Berat badan lahir rendah
5. Tingkat pendidikan ibu rendah
6. Tingkat pelayanan (jangkauan) kesehatan rendah
7. Kepadatan tempat tinggal
8. Imunisasi yang tidak memadai
9. Menderita penyakit kronis.
4.4 Patofisiologi
Pneumonia merupakan penyebabkan utama pneumonia. Pneumococcus
masuk ke dalam paru melalui jalan pernapasan secara percikan (droplet). Proses
radang pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium, yaitu : (1) stadium kongesti :
kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih,
bakteri dalam jumlah banyak, beberapa neutrofil dan makrofag, (2) Stadium
hepatisa merah, lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak
mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam
alveolus didapatkan fibrin, leukosit neutrofil, eksudat dan banyak sekali eritrosit
dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek, (3) Stadium hepatisa kelabu,
lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu. Permukaan
pleura suram karena diliputi oleh fibrin, Alveolus terisi fibrin dan leukosit,
tempat terjadi fagositosis pneumococcus. Kapiler tidak lagi kongestif, (4) Stadium
resolusi eksudat berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit
mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin di reabsorbsi dan menghilang.
Secara patologi anatomis bronkopneumonia berbeda dari pneumonia lobaris
dalam hal lokalisasi sebagai bercak – bercak dengan distribusi yang tidak teratur.
Dengan pengobatan antibiotik urutan stadium khas ini tidak terlihat
(Prof.DR.Iskandar Wahidiyat.1985)
4.6 Penatalaksanaan
a. Oksigen 1-2 l/menit
b. IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1, +KCl 10 mEq/500 ml cairan
sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status dehidrasi.
c. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap
melalui selang nasogastirk dengan feeding drip.
d. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agois untuk memperbaiki transport mukosiler.
e. Koreksi gangguan keseimbangan asam dan basa elektrolit.
f. Antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :
1. Untuk kasus pneumonia communiti base :
1) Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
2) Kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
2. Untuk kasus pneumonia hospital base :
1) Sefotaksim 100 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
2) Amikasin 10-15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian.
4.7 Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi struktural dapat juga menyatakan abses
luas/infiltrate, empiema, infiltrasi menyebar atau terlokalisasi, atau
penyebaran/perluasan infiltrate nodul. Pada pneumonia mikoplasma, sinar X
dada mungkin bersih.
2) GDA
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlihat dan
penyakit paru yang ada.
3) JDL
Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun seperti AIDS, memungkinkan
berkembangnya pneumonia bakterial.
4) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi trakeal, bronkoskopi fiberoptik,
atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Lebih
dari 1 tipe organisme ada, bakteri yang umum Diplococcus pneumonia,
stapilococcus aureus, A-hemolitik streptococcus, Haemophilus, CMV.
5) Pemeriksaan serologi : Membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus
6) LED Meningkat
7) Pemeriksaan fungsi paru
Volume mungkin menurun, tekanan jalan napas mungkin meningkat dan
komplain menurun, mungkin terjadi perembesan.
8) Elektrolit
Natrium dan klorida mungkin rendah
9) Bilirubin Mungkin meningkat
10) Aspirasi perkuatan/biopsi jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intraniklear tipikal dan keterlibatan sitoplastik,
karakteristik sel raksasa.
4.8 Komplikasi
1. Abses paru
2. Efusi pleural
3. Empisema
4. Gagal napas
5. Perikarditis
6. Meningitis
7. Atelektasis
8. Hipotensi
9. Delirium
10. Asidosis metabolik
11. Dehidrasi
12. Penyakit multi lobular
LATIHAN SOAL
Buatlah Asuhan Keperawatan Pneumonia!
TOPIK 5
ASMA BRONCHIALE
5.1 Definisi
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat
mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi
berupa serangan asma (Ngastiyah, 2005).
Asma adalah penyakit yang menyebabkan otot-otot di sekitar saluran
bronchial (saluran udara) dalam paru-paru mengkerut, sekaligus lapisan saluran
bronchial mengalami peradangan dan bengkak (Espeland, 2008).
Asma adalah suatu peradangan pada bronkus akibat reaksi hipersensitif
mukosa bronkus terhadap bahan alergen (Riyadi, 2009).
5.2 Etiologi
Adapun faktor penyebab dari asma adalah faktor infeksi dan faktor non infeksi.
Faktor infeksi misalnya virus, jamur, parasit, dan bakteri sedangkan faktor non
infeksi seperti alergi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis (Mansjoer, 2000).
5.3 Patofisiologi
Faktor-faktor penyebab seperti virus, bakteri, jamur, parasit, alergi, iritan,
cuaca, kegiatan jasmani dan psikis akan merangsang reaksi hiperreaktivitas
bronkus dalam saluran pernafasan sehingga merangsang sel plasma menghasilkan
imonoglubulin E (IgE). IgE selanjutnya akan menempel pada reseptor dinding sel
mast yang disebut sel mast tersensitisasi. Sel mast tersensitisasi akan mengalami
degranulasi, sel mast yang mengalami degranulasi akan mengeluarkan sejumlah
mediator seperti histamin dan bradikinin. Mediator ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga timbul edema mukosa, peningkatan produksi
mukus dan kontraksi otot polos bronkiolus. Hal ini akan menyebabkan proliferasi
akibatnya terjadi sumbatan dan daya konsulidasi pada jalan nafas sehingga proses
pertukaran O2 dan CO2 terhambat akibatnya terjadi gangguan ventilasi.
Rendahnya masukan O2 ke paru-paru terutama pada alveolus menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan CO2 dalam alveolus atau yang disebut dengan
hiperventilasi, yang akan menyebabkan terjadi alkalosis respiratorik dan
penurunan CO2 dalam kapiler (hipoventilasi) yang akan menyebabkan terjadi
asidosis respiratorik. Hal ini dapat menyebabkan paru-paru tidak dapat memenuhi
fungsi primernya dalam pertukaran gas yaitu membuang karbondioksida sehingga
menyebabkan konsentrasi O2 dalam alveolus menurun dan terjadilah gangguan
difusi, dan akan berlanjut menjadi gangguan perfusi dimana oksigenisasi ke
jaringan tidak memadai sehingga akan terjadi hipoksemia
5.6 Penatalaksanaan
1. Oksigen 4 - 6 liter / menit
2. Pemeriksaan analisa gas darah mungkin memperlihatkan penurunan
konsentrasi oksigen.
3. Anti inflamasi (Kortikosteroid) diberikan untuk menghambat inflamasi jalan
nafas.
4. Antibiotik diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi
5. Pemberian obat ekspektoran untuk pengenceran dahak yang kental
6. Bronkodilator untuk menurunkan spasme bronkus/melebarkan bronkus
7. Pemeriksaan foto torak
8. Pantau tanda-tanda vital secara teratur agar bila terjadi kegagalan pernafasan
dapat segera tertolong.
Anonymous. (2009). Asma Bisa Sembuh atau Problem Seumur Hidup. Diperoleh
tanggal 29 Juni 2009, dari http://www.medicastore.com/asma/
Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa keperawatan. (Edisi 6). Jakarta: EGC
Doenges, M.E.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan. (Edisi 3). Jakarta: EGC
Espeland, N. (2008). Petunjuk Lengkap Mengatasi Alergi dan Asma pada Anak.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Gaffar, L.O.J. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC
Hidayat, A.A.A.(2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Surabaya: Salemba
Medika
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. (Edisi 3), Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. (Edisi 2). Jakarta: EGC
Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Price, S.A & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi. (Edisi 6). Jakarta: EGC
Riyadi, S. (2009). Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu
Zainal, A.H. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta: Yayasan
Bunga Raflesia