Anda di halaman 1dari 55

TOPIK 1

ASUHAN KEPERAWATAN PERTUSIS

1.1 Definisi
Pertussis (batuk rejan) adalah infeksi saluran nafas atas, yang pertama kali
ditemukan pada tahun 1.500 an dan menjadi penyakit endemis di Eropa pada
tahun 1.600 an (Altunaiji, 2012).
Menurut Bayhan et al. (2012), pertussis atau disebut juga dengan batuk rejan,
“whooping cough”, adalah batuk yang ditandai dengan adanya suara tarikan nafas
yang keras atau inspiratory whoop yang mengikuti serangan batuk yang hebat
sebelumnya. Penyakit ini merupakan penyakit yang sangat menular, disebabkan
oleh Bordatella pertussis.Pertussis-like syndrome disebabkan oleh spesies
Bordetella lain seperti B. parapertussis, B. bronchiseptica dan B. holmesii, dengan
gejala umum yang mirip dengan penyakit pertusis namun lebih ringan (Zouhari et
al., 2012).
Batuk pada pertussis dapat berlangsung beberapa hari, minggu,
hinggaberbulan-bulan. Gejala ini mengganggu kegiatan sehari-hari dan dapat
menyebabkan gangguan tidur yang signifikan (Heininger, 2012).

1. 2 Epidemiologi
Batuk rejan merupakan epidemi pada era sebelum adanya vaksin, yaitu
sebelum pertengahan 1940 an).Pertussis bisa dicegah dengan vaksinasi dan sejak
adanya imunisasi rutin, morbiditas dan mortalitas batuk rejan telah menurun
tajam. Meskipun sudah ada vaksinasi, penyakit tersebut belum diberantas dan
dilaporkan terdapat peningkatan kejadian selama dua dekade terakhir pada tahun
1990 an. Hal tersebut masih berlangsung hingga saat ini (Muloiwa et al., 2015).
Menurut WHO (1999) terdapat 20 hingga 40 juta kasus batuk rejan setiap
tahunnya. Sembilan puluh persen kasus terjadi di negara berpendapatan rendah
dan mengakibatkan sekitar 200.000- 300.000 kematian tiap tahunnya. Sementara
menurut Espinoza et al (2015) dan Gabutti dan Rota (2012), di seluruh dunia,
setiap tahun terdapat sekitar 16 juta kasus pertusis, 95% diantaranya terjadi di
negara berkembang, dan mengakibatkan 195.000 anak meninggal setiap tahunnya.
Kejadian pertusis selalu meningkat dari tahun ke tahun dengan angka peningkatan
yang bermakna, bahkan di negara-negara yang cakupan vaksinasinya tinggi
sekalipun (Cherry, 2012; Espinoza et al., 2015; Kayina et al., 2015). Puncak
insidensi pertusis terjadi setiap 2 – 5 tahun sekali (Crespo et al., 2011). Berdasar
data CDC, di Amerika Serikat saat ini terdapat kejadian pertusis terbanyak dalam
50 tahun terakhir. Jumlah kejadiannya mencapai 800.000 sampai 1 juta kasus
setiap tahunnya (Cherry, 2012).

Gambar 1. Insidensi pertusis per 100.000 populasi di Amerika Serikat, antara


tahun 1980 – 2011 (Cherry, 2012).

Meskipun orang dewasa dan anak-anak memiliki gejala ringan hingga sedang,
bayi kurang dari 6 bulan, yang belum menerima 3 dosis vaksin DTP (Difteri-
Pertussis-Tetanus) dan anak pra-sekolah yang belum diimunisasi lengkap
memiliki resiko tinggi terjadinya pertussis berat dan berujung pada komplikasi
yaitu kematian. Batuk rejan sangat menular. 70-100% anggota rumah tangga yang
rentan dan 50-80% kontak sekolah yang retan menjadi terinfeksi setelah terpapar
kasus pertussis akut (Altunaiji, 2012).
Penyakit ini dapat menyerang semua kelompok umur, terutama pada anak-
anak, dan dapat menyebabkan kematian terutama pada anak berusia kurang dari 1
tahun (Gabutti dan Rota, 2012).CDC pada tahun 1997-2000 menunjukkan bahwa
29.048 orang dengan batuk rejan, 8.390 orang (29%) berusia < 1 tahun, 3.359
orang (12%) berusia 1-4 tahun, 2.835 orang (10%) berusia 5-9 tahun, 8.529 orang
(29%) berusia 10-19 tahun, dan 5.935 orang (20%) berusia > 20 tahun (Altunaiji,
2012).
Tingkat kejadian rata- rata tahunan yang tertinggi terjadi pada bayi berusia < 1
tahun (55,5 kasus per 100.000 penduduk). Anak usia 1-4 tahun lebih rendah, yaitu
5,5 kasus per 100.000 penduduk. Anak usia 5-9 tahun 3,6 kasus per 100.000
penduduk. Anak usia 10-19 tahun 5,5 kasus per 100.000 penduduk, dan individu
berusia > 20 tahun sebanyak 0,8 kasus per 100.000 penduduk (Altunaiji, 2012).
Angka kematian di negara berkembang diperkirakansekitar 3% hal ini
dikarenakan negara terbatas dalam hal sumber daya karenasejumlah faktor,
termasuk misdiagnosis, kurangnya pengetahuan, dan pelaporan kasus(Hartzel dan
Joshua, 2014).
Sebelum adanya antibiotik dan imunisasi, insidensi dan case fatality rate dari
penyakit ini sangat tinggi. Adanya terapi antibiotik dan imunisasi sangat jauh
menurunkan angka kejadian dan kematian dari penyakit ini. Vaksinasi juga
menggeser insidensi penyakit dari yang pada awalnya umum menyerang anak-
anak dengan usia dini, menjadi lebih sering pada dewasa. Hal tersebut karena
munculnya imunitas tubuh pasca vaksinasi dan menghilangnya kekebalan setelah
4 – 12 tahun (Gabutti dan Rota, 2012). Sementara apabila seseorang terinfeksi
pertusis secara alami, maka kekebalan alaminya akan menghilang setelah 4 – 20
tahun (Zepp, et al., 2011).
Gambar 2. Epidemiologi pertusis pre dan post imunisasi (Gabutti dan Rota,
2012)

Gambar 3. Insidensi pertusis per 100.000 populasi di Eropa tahun 2009,


dikelompokkan berdasar usia (Gabutti dan Rota, 2012)

Penelitian di Belanda pada tahun 2007, menyatakan bahwa saudara yang lebih
tua (usia 9 – 13 tahun) dan ibu memiliki peran yang sangat penting dalam
penularan penyakit kepada bayi yang baru lahir (Gabutti dan Rota, 2012).
Di Asia Pasifik, persebaran penyakit pertusis digambarkan seperti dalam
gambar di bawah ini pada rentang usia anak-anak. Di Indonesia penderita
penyakit pertusis terbanyak adalah usia di bawah satu tahun (Hartzel dan Joshua,
2014).

Gambar 4. Epidemiologi Pertusis di Asia Pasifik

Gambar 5. Sumber penularan Pertussis pada anak (Skoff et al., 2015)

Menurut Skoff et al. (2015), sumber penularan pertussis paling umum


pada bayi adalah dari saudara kandungnya. Strategi pencegahan pertussis
melalui vaksinasi tetap harus dioptimalkan.

1.3 Etiologi
Bordetella pertussis (B. pertussis) adalah penyebab pertussis dan biasanya
menyebabkan pertussis sporadic (Altunaiji, 2012).B.pertussis adalah bakteri
coccobacillus, menginfeksi saluran nafas, dan sangat mudah menular melalui
droplet (Espinoza, 2015; Gabutti dan Rota, 2012). McGirr dan Fisman (2015)
menyebutkan bahwa B.pertussis adalah bakteri gram negatif yang menjadi
patogen bagi manusia, dengan tidak diketahui adanya reservoir hewan maupun
lingkungan. Bordetella pertusis pertama kali ditemukan oleh Bordet dan Gengou
pada tahun 1906(Malvin dan Jeffrey, 2014).Menurut Bolanos et al. (2011),
B.pertussis pertama kali disebutkan oleh Guillaume de Baillou (1538-1616)
sebagai epidemi di Perancis. Catatan Nils Rosen von Reosenstein menyebutkan
bahwa penyakit dimulai di Perancis pada tahun 1414.
Spesies lainBordetella, terutama Bordetella parapertussis danBordetella
bronchiseptica, dapat menyebabkan gejala seperti pertusis namun lebih ringan.
Variasi dalam ekspresi faktor pertusis mempengaruhi virulensi (Malvin dan
Jeffrey, 2014).

1.4 Patogenesis
Terdapat tiga fase dalam perjalanan penyakit pertusis, yaitu: fase kataral,
paroksismal, dan konvalesen. Fase paling infeksius adalah fase kataral dan awal
fase paroksismal (Espinoza, 2015). Transmisi penyakit ini terjadi melalui droplet
respiratorik (Bolanos et al., 2011). Masa inkubasinya berkisar antara 7 – 10 hari,
gejala klinis yang terjadi bergantung pada usia ketika terinfeksi, imunitas tubuh,
vaksinasi, dan terapi antibiotik yang diterima (Gabutti dan Rota, 2012), sementara
menurut Altuniaji (2012), masa inkubasi sekitar 7 hingga 10 hari (range 4-21 hari)
dan bisa terjadi namun jarang, selama 42 hari.

1.5 Manifestasi klinis


Manifestasi dari infeksi B.pertussis bermacam-macam mulai dari
asimptomatis, batuk-batuk ringan sampai batuk yang tak menentu sampai muntah
pasca batuk. Manifestasi bergantung dari beberapa faktor seperti riwayat infeksi
sebelumnya, riwayat imunisasi, jenis bakteri, dan jenis kelamin. Pasien dengan
riwayat infeksi atau imunisasi tidak terjadi limfositosis dan berbeda dengan pasien
yang baru pertama kali terinfeksi. Pada pasien pertusis demam bukan manifestasi
klinis utama kecuali terdapat infeksi sekunder seperti pneumonia (Cherry dan
Paddock, 2012).
Manifestasi klinis pada pertusis dibagi berdasarkan stadiumnya, antara lain
stadium kataral, stadium paroksismal, dan stadium konvalesen, sebagai berikut
(Marcdante et al., 2011).
1. Stadium kataral
Stadium ini ditandai oleh gejala klinis yang tidak spesifik (mata merah,
peningkatan sekresi nasal, dan demam ringan) yang berlangsung selama 1-2
minggu
2. Stadium Paroksismal
Stadium paroksismal merupakan gejala paling khas pada pertusis yang
berlangsung selama 2-4 minggu. Batuk terjadi saat ekspirasi, sehingga pada
anak kecil tidak sempat bernapas dan menjadi sesak. Hal ini terjadi karena
epitel pada saluran napas mengalami nekrotik selain itu terdapat cairan mukus
yang kental yang menambah keparahan dari batuk. Bunyi “whoop” terjadi
akibat tekanan inhalasi pada glottis yang mengalami penyempitan setelah
batuk paroksismal terjadi. Seringkali pasien akan muntah pasca batuk.
3. Stadium Konvalesen
Pada stadium ini ditandai dengan perbaikan gejala klinis secara bertahap
sekitar 1-2 minggu dan batuk sudah mulai mereda, suara “whoop” juga sudah
mulai menghilang. Walaupun umumnya penyakit ini berlangsung selama 6-8
minggu akan tetapi batuk masih dapat terjadi sampai berbulan-bulan apabila
terjadi stress fisik ataupun iritasi pada saluran pernapasan.
Menurut Altuniaji (2012), pertussis ditandai dengan adanya batuk berat
spasme (paroksism). Paroksism berlanjut tanpa inspirasi hingga akhir dan sering
ditandai dengan adanya whoopsaat inspirasi, muntah post-tussive, atau keduanya.
Onset penyakit tersebut perlahan namun mengejutkan, dengan gejala yang mirip
dengan infeksi saluran nafas atas minor. Selama 1 hingga 2 minggu pertama,
umumnya terjadi coryza (a head cold) dengan batuk non produktif yang
intermitten. Fase ini diikuti oleh episode batuk paroksismal yang berlangsung
selama beberapa minggu. Puncak keparahan penyakit terjadi setelah 1 atau
beberapa minggu dari batuk paroksismal dan menurun perlahan dengan periode
konvalesen selama 2-6 minggu; periode konvalesen bisa berlangsung hingga 3
bulan dalam beberapa kasus.Sementara menurut Espinoza (2012), gejala klinis
pasien pertusis dapat berupa:
- Demam
- Batuk yang berat
- Rinorrhea
- Distress pernafasan
- Wheezing
- Kongesti faring
- Berdahak
- Vomitus
- Diare
- Asthenia
- Kongesti abdominal
- Nyeri abdomen
- Nyeri kepala
- Otalgia
- Myalgia
Gejala klinis pada anak usia lebih dari 16 tahun biasanya tidak khas dan sulit
dibedakan dengan penyakit infeksi pernafasan lain (Miyasitha et al., 2013).

1.6 Pemeriksaan Penunjang


Gold standard penegakan diagnosis untuk pertusis adalah dengan kultur dan
uji molekuler salah satunya adalah PCR (Espinoza et al., 2015). IsolasiB.
pertussis pada spesimen klinis memiliki tingkat spesifisitas yang tinggi sehingga
banyak digunakan untuk penegakan diagnosis, meskipun tingkat sensitifitasnya
bergantung dari berbagai macam faktor, seperti transportasi dan metode
pemeriksaan laboratorium yang digunakan, fase penyakit, usia pasien, status
vaksinasi, dan terapi antibiotik yang telah diterima sebelumnya. Untuk mengatasi
kekurangan dari teknik kultur tersebut, telah dikembangkan teknik amplifikasi
DNA (seperti PCR) untuk mendeteksi DNA pertusis dengan mentargetregio
promoter dari gen yang mengkode ptxA, elemen insersi IS481 and IS 1001, gen
adenylate cyclase, dan gen porin (Bayhan et al., 2015). Teknik amplifikasi DNA
dapat lebih cepat dan lebih sensitif dalam mendeteksi B. pertussis. Namun dalam
praktek klinis, diagnosis biasanya ditegakkan tanpa melakukan pemeriksaan
mikrobiologi untuk mempercepat pemberian terapi dan mencegah komplikasi
(Espinoza et al., 2015).
B. pertusis banyak hidup di epitel bersilia pada saluran pernafasan, oleh
karena itu, pengambilan spesmen klinis dilakukan pada permukaan sel epitel
bersilia yang terdapat di tenggorokan, swab nasofaring, dan aspirasi nasofaring.
Pengambilan sputum atau epitel rongga hidung bagian anterior tidak disarankan
karena tidak mengandung epitel bersilia yang adekuat. Aspirasi melalui pipa
endotrakheal dan bronkoalveoler juga bisa dilakukan untuk mengambil specimen
(Zouhari e al., 2012).
Untuk swab nasofaring, digunakan swab dakron atau kalsium alginat yang
fleksibel. Swab kalsium alginat sebaiknya tidak digunakan untuk PCR. Swab
dakron direkomendasikan untuk PCR terutama apabila kedua prosedur kultur dan
PCR dilakukan. Swab dengan ujung kapas tidak direkomendasikan karena
mengandung asam lemak yang bersifat toksik terhadap Bordatella dan
menginhibisi PCR. Gagang swab diinsersi secara perlahan melalui lubang hidung
dan diputar perlahan selama beberapa detik. Idealnya, swab ditempelkan selama
10 detik pada dinding faring posterior sebelum ditarik keluar.
Untuk mengumpulkan sampel dengan cara aspirasi, feeding tube ukuran balita
disambungkan dengan hand-operated vacuum pump with tubing melalui mucus
trap. Ujung kateter dimasukkan ke dalam lubang hidung menuju faring posterior,
sepanjang dasar nasofaring. Setelah aspirasi, kateter dibilas dengan 1 ml normal
saline untuk mengangkat spesimen. Teknik aspirasi lebih disukai untuk dilakukan
apabila memungkinkan karena memiliki tingkat isolasi B. pertussis yang lebih
tinggi. Namun prosedur ini lebih sulit dan harus dikerjakan oleh tenaga medis
yang professional (Zouhari et al., 2012).
Transport sampel adalah proses yang penting dalam keberhasilan
pemeriksaan. Untuk keberhasilan transport, medium transport yang digunakan
harus dapat mencegah hilangnya B. pertussis dan mencegah pertumbuhan flora
normal nasofaring. Medium yang banyak dipilih adalah Regan – Lowe medium.
Preinkubasi medium dilakukan pada suhu 36°C selama semalam sebelum
digunakan memungkinkan pertumbuhan Bordatella maksimal dan meningkatkan
multiplikasinya media transport non-nutritif seperti asam Casamino yang terbuat
dari asam hydrolyzedcasein 1% juga bisa digunakan. Waktu transport harus
diusahakan secepat mungkin, jarak antara pengambilan sampel hingga dilakukan
kultur tidak boleh melebihi 24 jam (ZOuhari et al., 2015).
Medium klasik yang digunakan untuk mengisolasi Bordatella adalah agar
Bordet–Gengou (BG). Medium ini terbuat dari kentang sehingga mengandung
banyak serat. Serat berfungsi untuk menetralkan material toksik yang terkandung
dalam agar maupun dalam spesimennya sendiri. Medium ini juga mengandung
gliserol sebagai agen penstabil dan sumber karbon.
Intuk mengisolasi Bordatella, agar plates diinkubasi pada suhu 36°C ± 1°C
dengan tekanan udara sama dengan lingkungan dan kelembaban tinggi. Inkubasi
pada udaran dengan kadar karbondioksida tinggi harus dihindari. Plates
diinkubasi selama 7 – 10 hari (Zouhari et al., 2015).
Literatur menunjukkan bahwa isolasi B. pertussis kebanyakan berhasil jika
spesimen diambil antara fase kataral hingga awal fase paroksismal (Zouhari et al.,
2015).
Pertusis dapat sulit didiagnosis pada anak berusia kurang dari 1 tahun pada
musim dingin, karena patogen lain seperti influenza juga umum menginfeksi.
Pada kasus ini, gejala akut pertusis dapat bertumpang tindih dengan bronkiolitis
atau infeksi pernafasan lain yang tidak spesifik (Espinoza et al., 2015).

1.7 Diagnosis
Berdasarkan WHO (2003), pertussis didefinisikan sebagai (Gabutti dan Rota,
2012) :
a. Penyakit yang didiagnosis oleh dokter sebagai pertusis,
b. Seseorang yang mengalami batuk yang berlangsung selama lebih dari 2
minggu, dengan minimal 1 dari gejala:
1. Serangan batuk yang hebat
2. Tarikan nafas yang keras/berat
3. Muntah pasca batuk tanpa penyebab lain yang jelas
Kriteria laboratorum:
1. Isolasi Bordatella pertussis
2. Terdeteksinya sekuens genom yang bermakna pada pemeriksaan PCR
3. Pemeriksaan serologi positif
Berdasarkan CDC (2011), dinyatakan pertusis bila terjadi batuk ≥14 hari
dengan minimal 1 dari gejala (Gabutti dan Rota, 2012) :
1. Serangan batuk yang hebat
2. Suara nafas keras/berat
3. Muntah pasca batuk
Kriteria laboratorium:
1. Isolasi Bordatella pertussis dari spesimen klinis
2. Pemeriksaan PCR positif untuk B. pertussis

Tabel 1. Metode laboratorium untuk mendiagnosis pertussis


Total Sensitifitas Spesifisitas Waktu Keuntungan Kerugian
(%) (%) optimal
Kultur 12 – 60 100 <2 Sangat Kurang
minggu spesifik sensitif,
setelah terdapat
onset jangka waktu
antara
pengambilan
spesimen dan
diagnosis

PCR 97 – 99 86 – 100 <4 Rapid test, Tidak


minggu lebih terstandarisasi
setelah sensitif FDA,
onset dibanding potensial
kultur, positif palsu,
organisme dapat terjadi
tidak harus kontaminasi
viable, hasil DNA silang
tetap positif
meskipun
paska terapi
antibiotik

Serologi 90 – 92 72 – 100 Awal Efektif Diagnosis


berpasangan gejala s/d untuk terlambat,
4–6 menentukan tidak ada
minggu antibiotik standarisasi
setelahnya yang efektif FDA

Serologi 36 – 76 99 Minimal 2 Berguna Tidak ada


tungal minggu untuk standarisasi
setelah diagnosis FDA, bisa
onset, yang bias akibat
sebaiknya terlambat vaksinasi
4–8 atau paska
minggu terapi
setelah antibiotik
onset

Uji laboratorium yang dapat menentukan jenis bakteri dan spesifik pada
penyakit pertusis adalah biakan sekret nasofaring pada saat stadium kataralis dan
stadium paroksismal. Waktu yang paling tepat untuk melakukan biakan adalah
kurang dari 2 minggu pasca batuk terjadi (Snyder dan Fisher, 2012).
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penegakan diagnosis pertusis
antara lain (Gabutti dan Rota, 2012) :
a. Anamnesis
1. Waktu muncul gejala
2. Karakteristik batuk: serangan batuk hebat, muntah setelah batuk, suara
tarikan nafas berat, memburuk ketika malam hari
3. Riwayat kontak dengan pasien pertussis pada masa inkubasi (7 – 21
hari)
4. Status vaksinasi: vaksinasi pertusis terdahulu
b. Konfirmasi biologis
1. Bayi baru lahir dan balita di rumah sakit: kultur dan real-time PCR pada
aspirasi nasofaring atau swab nasofaring, kultur harus dilkukan untuk
menganalisis evolusi populasi bakteri
2. Anak-anak, remaja, dan dewasa:
a. Durasi batuk ≤ 21 hari: real-time PCR, kultur
b. Durasi batuk > 21 hari:
 PCR dan kultur tidak lagi bermakna
 Apabila terdapat pasien kedua yang terinfeksi setelah pasien
pertama, maka PCR harus dilakukan pada pasien kedua
 Jika tidak ada pasien kedua, analisis serologis harus dilakukan
untuk memberi antibodi toxin anti-pertussis jika pasien belum
pernah mendapatkan vaksinasi pertussis sebelumnya, atau
dalam 2 tahun terakhir.
3. Kultur
a. Aspirasi nasofaring dan transport ke laboratorium secepatnya
b. Sensitifitas tinggi pada fase awal penyakit, penyakit yang berat,
pasien yang belum mendapat vaksinasi, dan pada balita
c. Hasil kultur bergantung pada antibiotik yang dikonsumsi
sebelumnya
4. PCR
a. Kemungkinan diagnosis meningkat apabila dikombinasi dengan
kultur
b. PCR paling sensitif pada fase awal penyakit dan pada fase
paroksismal
c. Akurasi diagnostik mungkin bervariasi pada berbagai laboratorium
5. Serologi
a. Diagnosis serum tunggal dapat berguna untuk fase akhir penyakit (3
– 4 minggu setelah onset), pemeriksaan serologi berpasangan
dengan pengambilan spesimen klinis kedua pada fase selanjutnya
dapat membantu penegakan diagnosis
b. Antibodi (IgG dan IgA) terhadap toksin pertussis atau filamentous
haemagglutinin dapat ditemukan di serum
c. Satu hasil titer IgG terhadap toksin pertussis yang tinggi (>100 –
125 U/ml pada pemeriksaan ELISA) memiliki sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi untuk diagnosis
d. Interpretasi pada hasil serologi dapat sulit pada pasien yang baru
saja mendapat imunisasi.

1.8 Penatalaksanaan
Tabel 2. Regimen Antibiotik untuk Terapi dan Profilaksis Pertussis (Snyder dan
Fisher, 2012)
Obat Dosis dan sediaan
Azitromisin - < 6 bulan: 10 mg/kg selama 5 hari
- ≥6 bulan: 10 mg/kg (max 500 mg) selama 1 hari, diikuti 5
mg/kg selama 1 hari, kemudian 250 mg/ hari selama 2 – 5
hari
- Dewasa: 500 mg selama 1 hari, dilanjutkan 250 mg/hari
selama 2 – 5 hari
Claritromisin - < 1 bulan: tidak direkomendasikan
- > 1 bulan: 15 mg/kg/hari (max 1g/hari) dibagi dalam 2 dosis
selama 7 hari
- Dewasa: 1 g/hari dibagi dalam 2 dosis selama 7 hari
Eritromisin - < 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari dibagi dalam 4 dosis.
Monitoring ketat karena beresiko stenosis pylorica
- > 1 bulan: 40 – 50 mg/kg/hari (max 2 g/hari) dibagi dalam 4
dosis selama 14 hari
- Dewasa: 2 g/hari dibagi dalam 4 dosis selama 14 hari
TMP – SMX - < 2 bulan: kontraindikasi
- >2 bulan: TMP 8 mg/kg/hari, SMX 40 mg/kg/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 14 hari
- Dewasa: TMP 320 mg/hari, SMX 1600 mg/hari, dibagi
dalam 2 dosis selama 14 hari
B.pertussis secara sendirinya dapat hilang secara spontan dari nasofaring
dalam waktu 2 sampai 4 minggu pasca infeksi. Ketika mulai di awal perjalanan
penyakit, selama tahap katarhal, antibiotik dapat mempersingkatgejala dan
mengurangi keparahan pertusis. Setelah tahap paroksismal antibiotic tidak efektif
dalam mengubah perjalanan penyakit. Dengan initahap, manifestasi klinis
penyakit yang disebabkan oleh toksin Bordetella pertussis, dan dengan demikian
tidak terpengaruh oleh terapi antimikroba.Meskipun perjalanan klinis pertusis
tidak mudah dipengaruhi oleh pengobatan, penggunaan antibiotik namun dapat
mengurangi masa penularan (Snyder dan Fisher, 2012).
Antibiotik yang direkomendasikan untuk tatalaksana pertusis untuk anak
berusia lebih dari 1 tahun adalah makrolid, seperti eritromisin, claritromisin, dan
azitromisin. Sedangkan untuk anak berusia kurang dari 1 tahun lebih
direkomendasikan menggunakan azitromisin atau claritromisin intravena (Bayhan
et al., 2012).
Studi terbaru menurut Snyder dan Fisher (2012) menunjukkan azitromisin
adalah obat yang memiliki efek samping gastrointestinal yang lebih sedikit,
karena tidak menghambat sistem sitokrom P450. Selain itu, eritromisin telah
dikaitkan dengan peningkatan risiko stenosis pilorus bila diberikan untuk bayi di
pertama 2 minggu setelah kelahiran.Sementara menurut Bayhan et al. (2012),
claritromisin sangat efektif dan aman untuk terapi pada pasien dengan apnea,
hipoksia dan kesulitan makan.
Altuniaji (2012) menunjukkan bahwa pemberian antibiotik untuk pengobatan
pertussis efektif dalam mengeliminasi B.pertussis agar tidak menular tetapi tidak
mengubah perjalanan klinis dari penyakit. Regimen antibiotik yang efektif antara
lain:
1. Azitromicin (10 mg/kgBB) single dose selama 3 hari
2. Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5 mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hinga hari ke-15 terapi).
3. Clarithrimycin (7,5mg/kgBB/dosis 2x/hari) selama 7 hari
4. Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 7-14 hari
5. Eritromicin (60mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis) selama 14 hari
6. Oxytetracyclin (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
7. Kloramfenikol (50mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis) selama 7 hari
Regimen terbaik untuk microbiological clearance dengan sedikit efek
samping adalah sebagai berikut :
1. Azitromicin (10mg/kgBB) single dose selama 3 hari
2. Azitromicin (10mg/kgBB pada hari pertama terapi dan 5mg/kgBB sekali
sehari pada hari kedua hingga hari ke-15 terapi), atau
3. Claritromycin (7,5mg/kgBB/dosis) dua kali sehari selama 7 hari

1.9 Pencegahan
Belum ada bukti ilmiah yang cukup yang membuktikan bahwa terapi
profilaksis pertussis memberikan keuntungan. Profilaksis dengan antibiotik
berhubungan dengan efek samping dan tidak secara signifikan memperbaiki
gejala klinis, whoop, batuk paroksismal, jumlah kasus yang berkembang menjadi
kultur positif B. pertussis atau batuk paroksismal lebih dari 2 minggu. Karena
resiko tinggi terjadinya morbiditas dan kematian pada bayi < 6 bulan yang belum
diimunisasi lengkap, profilaksis kontak direkomendasikan untuk keluarga. Pilihan
antibiotik dan dosisnya sama dengan regimen terapi (Altuniaji, 2012).
Menurut Zepp et al. (2011), penyebaran infeksi hanya dapat dicegah dengan
meningkatkan cakupan imunisasi di atas 92%. Menurut Witt et al., (2013),
pertusis merupakan salah satu penyakit terbanyak di dunia yang kejadiannya dapat
dicegah dengan vaksinasi. Vaksin pertusis ada 2 jenis yaitu whole pertussis (wP)
dan acellular pertussis (aP). Vaksin wP terbukti lebih baik dibandingkan vaksin
aP karena memiliki efektifitas yang lebih tinggi dan waktu perlindungan yang
lebih lama dibandingkan aP.
Sejalan dengan hal tersebut, penelitian oleh Glansz et al. (2013) menunjukkan
bahwa pencegahan pertussis dapat dilakukan dengan vaksinasi DTaP tepat waktu.
Dalam penelitian Glansz et al. (2013) disebutkan bahwa status undervaccination
terhadap vaksin DTaP menempatkan bayi dan anak-anak pada peningkatan resiko
terjadinya pertussis. Hal tersebut juga mengancam populasi sekitarnya yang
beresiko tinggi untuk terjadinya komplikasi serius dari pertussis.
Vaksinasi memiliki peran yang sangat penting dalam pencegahan pertusis.
Pada tahun 2008, WHO menyatakan terjadi sekitar 16 juta kasus pertusis di
seluruh dunia, 95% diantaranya terdapat di negara berkembang, dan terjadi sekitar
195.000 kematian. Pada tahun tersebut, imunisasi telah berhasil mencegah sekitar
680.000 kematian (Gabutti dan Rota, 2012).
Menurut Tiwari et al. (2015), selama wabah pertussis, perlu dilakukan
vaksinasi pertussis dosis pertama tepat waktu pada usia 6 minggu dan segera
diberikan terapi antibiotik yang sudah direkomendasikan secara dini Rekomendasi
tersebut berlaku secara global, khususnya di negara-negara dimana vaksinasi
DTP/DaTP rutin dimulai pada usia 6 minggu. Bayi yang tidak memenuhi syarat
usia untuk vaksinasi akan mendapatkan keuntungan dan tercegah dari paparan B.
pertussis.
Imunitas terhadap pertusis, baik yang diperoleh secara alami maupun didapat
dengan imunisasi tidak bertahan seumur hidup, imunitas yang didapat dari vaksin
hanya melindungi selama 4 – 12 tahun saja (Gabutti dan Rota, 2012). Sedangkan
imunitas yang diperoleh secara alami bertahan 4 – 20 tahun (Zepp et al., 2011). Di
Amerika Serikat, setiap anak mendapatkan 5 dosis vaksin difteri, tetanus dan
pertusis aseluler (DTaP) sebelum usia 7 tahun dan kekebalannya mulai
menghilang setelah 5 tahun (Klein et al., 2012). Menurut penelitian oleh McGirr
dan Fisman (2015), vaksinasi pertussis perlu diulang saat dewasa, hal tersebut
juga termasuk untuk menjaga agar cakupan populasi yang tercover dengan vaksin
tetap tinggi. Penelitian tersebut juga menyebutkan bahwa durasi imunitas protektif
terhadap pertussis setelah dosis kelima DaTP adalah 3-4 tahun, dengan rata-rata
perlindungan selama 3 tahun dengan sumsi efikasi vaksin 85%. Dengan hilangnya
perlindungan oleh vaksin, diperkirakan bahwa hanya 10% anak yang divaksinasi
DaTP akan terlindung 8,5 tahun setelah vaksin terakhir. Dengan diberikannya
booster untuk anak prasekolah usia 4-6 tahun diperkirakan akan sangat sedikit
anak > 10 tahun yang terlindung dari pertussis, sehingga diperlukan booster Tdap
untuk remaja awal.

1.10 Komplikasi
Menurut Altunaiji (2012) pertussis bisa menyebabkan sakit berat dan
mengarah pada komplikasi seperti apneu, sianosis, kesulitan intake, pneumonia,
dan ensefalopati.Menurut Bayhan et al. (2012), komplikasi dari pertusis yang
paling penting adalah infeksi sekunder (seperti pneumonia dan otitis media), gagal
napas (apnea dan hipertensi pulmonal), gangguan fisik karena serangan batuk
yang hebat (fracture costae, berdarahan konjunctiva, hernia inguinal), kejang,
ensefalopati, dan kematian. Pneumonia akibat pertusis adalah keadaan serius dan
membutuhkan prosedur ventilasi mekanik insasif untuk memasang alat bentu
pernafasan. Menurut Jackson dan Rohani (2013), kematian akibat pertussis
banyak dihubungkan dengan pneumonia.

1.11 Prognosis
Sebagian besar anak akan membaik, mengalami perbaikan epitel pada saluran
respiratori dan fungsi paru yang normal setelah sembuh. Pada anak dengan usia
lebih muda akan cenderung membutuhkan rawat inap, hal ini disebabkan
memiliki angka kematian lebih besar. Pada anak yang terkena pertusis dapat
mengalami gangguan disabilitas akibat enselopati (Marcdante et al., 2011).
Prognosis penyakit dapat memburuk pada tahun pertama dan kedua kehidupan
dimana angka masuk rumah sakit dan angka kematiannya tinggi (Case Fatality
Rate 0,2% dan 4% pada negara maju dan negara berkembang). Pada anak yang
sudah mendapat imunisasi, gejala biasanya ringan dan tidak spesifik, sehingga
jarang terdiagnosis (Gabutti dan Rota, 2012).
1.12 Asuhan Keperawatan Pertusis
1. Pengkajian
1)  Identitas ( Ngastiyah, 1997 ; 32 )
(1) Mengenai semua golongan umur, terbanyak mengenai anak umur 1-5th
(2) Lebih banyak anak laki –laki dari pada anak perempuan.
2)  Keluhan Utama
Batuk disertai muntah
3) Riwayat Penyakit Sekarang.
Batuk makin lama makin bertambah berat dan diikuti dengan muntah terjadi
siang dan malam. Awalnya batuk dengan lendir jernih dan cair disertai panas
ringan, lama–kelamaan batuk bertambah hebat (bunyi nyaring) dan sering,
maka tampak benjolan, lidah menjulur dan dapat terjadi pendarahan sub
conjungtiva.
4)   Riwayat Penyakit Dahulu.
(1)   Adanya gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas.
(2)  Batuk dan panas ringan, batuk mula-mula timbul pada malam hari,
kemudian siang hari dan menjadi hebat.
5)  Riwayat Penyakit Keluarga.
Dalam keluarga atau lingkungan sekitarnya,  biasanya didapatkan ada yang
menderita penyakit pertusis.
6)  Riwayat Imunisasi
JENIS UMUR CARA JUMLAH
BCG 0 – 2 bulan 1C 1x
DPT 2, 3, 4 bulan 1M 3x
Polio 1-5 bulan Refisi 4x
Capak 9 bulan 5C 4x
Heportits 0, 1, 6 bulan 1M 3x

7) Riwayat Tumbuh Kembang


1.   Personal Sosial
Pasien mengatakan kalau dirumah anaknya lincah, tidak mau diam.
2.   Motorik Halus
Anak terbiasa melakukan gerakan seperti memasukkan benda kedalam
mulutnya, menangkap objek atau benda – benda, memegang kaki dan
memegang kaki dan mendorong kearah mulutnya.
3.   Motorik Kasar
Anak dapat tengkurap dan berbalik sendiri, dapat merangkak mendekati
benda atau seseorang.
4.   Kognitif
Anak berusaha memperluas lapangan pandangan, tertawa dan menjerit
karena gembira bila diajak bermain, mulai berbicara tapi belum jelas
bahasanya.
USIA FISIK Motorik Kasar Motorik Halus Sosial Emosional
15 bln Berjalan sendiri      Pegang cangkir Bermain solitary
     Memasukkan jariplay
kelubang
     Membuka kotak
     Melempar benda
18 bln      Lari jatuh      Menggunakan sendok
     Menarik mainan      Membuka hal. Buku
     Naik dengan tangga     Menyususn balok
bantuan
     Berlari sudah baik     Membuka pintu
24 bln    BB 4x BB lhr
    TB bauik      Naik tangga sendiri     Membuka kunci
     Menggunting
     Menggunakan sendok
dengan baik

8) Riwayat Antenatal, Natal Dan Postnatal


a.       Antenatal
Kesehatan ibu selama hamil, penyakit yang pernah diderita serta upaya yang
dilakukan untuk mengatasi penyakitnya, berapa kali perawatan antenatal , kemana
serta kebiasaan minum jamua-jamuan dan obat yang pernah diminum serat
kebiasaan selama hamil.
b.      Natal
Tanggal, jam, tempat pertolongan persalinan, siapa yang menolong, cara
persalinan (spontan, ekstraksi vakum, ekstraksi forcep, section secaria dan
gamelli), presentasi kepala dan komplikasi atau kelainan congenital. Keadaan saat
lahir dan morbiditas pada hari pertama setelah lahir, masa kehamilan (cukup,
kurang, lebih ) bulan. Saat lahir anak menangis spontan atau tidak.
c.       Postnatal
Lama dirawat dirumah sakit, masalah-masalah yang berhubungan dengan
gagguan sistem, masalah nutrisi, perubahan berat badan, warna kulit,pola
eliminasi dan respon lainnya. Selama neonatal perlu dikaji adanya ashyksia,
trauma dan infeksi.
9) ADL
a)   Nutrisi                         : muntah, anoreksia.
b)   Aktivitas                     : pada stadium akut paroksimal terjadi lemas /  lelah
c)   Istirahat tidur           : terganggu, akibat serangan batuk panjang dan
berulang-ulang.
d)  Personal hygiene         : lidah menjulur keluar dan gelisah yang berakibat
keluar liur berlebihan.
e)  Eliminasi                     : sering terberak-berak, terkencing-kencing  bila
sedang batuk
10) Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Saat batuk mata melotot, lidah menjulur, batuk     dalam waktu
yang lama dan berkeringat
Kesadaran            :Composmetis,
TTV                     :nadi meningkat(120-125x/mnt), respirasi meningkat (30
35x/mnt)
Head to toe
1. Kepala : tidak ada bekas luka ataupun bengkak.
2. Rambut :  warna rambut hitam, lurus, distribusi merata, tidak terdapat
ketombe.
3. Wajah : simetris, bentuk bulat, tidak terdapat kelainan kulit 
4. Mata : sklera berwarna putih,mata tampak menonjol
5. Hidung : lubang hidung simetris, hidung berair, terdapat pernafasan
cuping hidung.
6. Mulut : mukosa lembab, lidah menjulur
7. Telinga : Daun telinga simetris, membran timpani putih mengkilat, tidak
ada benda asing
8. Leher : Tidak terdapat pembesaran JVP, tidak ada tanda-tanda pembesaran
kaku kuduk dan pembesaran kelenjar tiroid.
9. Dada    
Inspeksi         : Terdapat tarikan otot bantu pernafasan dengan cepat        
Palpasi           : Tidak ada krepitasi
Perkusi           : paru sonor, jantung dallnes
Auskultasi      : Wheezing inspirasi                          
10. Abdomen           
Inspeksi           :Terdapat distensi abdomen 
Auskultasi       : Bising usus 9x/mnt
Palpasi             : tidak terdapat pembesaran lien dan hepar, turgor kulit bisa
menurun bisa normal
Perkusi            : perut tidak kembung
Ekstremitas
              Atas : tidak ada odem, pada bagian kiri terpasang infus.
              Bawah : tidak ada odem, tidak ada bekas luka.
12. Genetalia : bersih, tidak berbau tak sedap, tidak terdapat varises atau
odem.
13. Anus
Inspeksi : bersih, tidak terdapat hemoroid, tidak ada perdarahan.
Palpasi : tidak ada benjolan, massa, ataupun tumor.
14. Pemeriksaan penunjang
1) Melakukan pemeriksan hapusan skret di nasofaring / lendir yang 
dimuntahkan.
2) Pada hapusan darah tepi akan dijumpai (20.000 – 50.000 sel / mm 3
darah) dengan limfositosis yang predominan (60 %).
3) Pemeriksaan serologis (imunofluorecent antibody) yaitu untuk
mengetahui ada tidaknya kuman.
2. Diagnosa Keperawatan Pertusis
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif  berhubungan dengan penumpukan
secret
2) Pola napas tidak efektif b/d dispnea
3) Resiko kekurangan volume cairan b/d intake klien yang kurang
4) Ganggaun pemenuhan kebutuhan nutrisi (kurang dari kebutuhan)
berhubungan dengan muntah yang lebih dan anoreksi
3. Intervensi Keperawatan Utama Pertusis
a) Bersihan jalan nafas tidak efektif  berhubungan dengan penumpukan secret
Tujuan   : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, status
ventilasi saluran pernafasan baik
Kriteria Hasil   : 
1. Keluarga mampu mengetahui ttg sakit yang dialami anaknya
2. Px mengungkapkan pernafasan menjadi mudah
3. Px mampu melakukan batuk efektif
4. Rata-rata pernafasan normal(16-24x/mnt)
Intervensi       :
1. Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan dan gerakan dada .
Rasional : takipnea, pernapasan dangkal,dan gerakan dada tak simetriks
sering terjadi karena ketidak nyamanan gerakan dinding dada dan/ cairan
paru
2. Auskultasi area paru.
Rasional : penurunan aliran udara terjadi pada area konsulidasi dengan
cairan. Bunyi napas bronchial (normal pada bronkus) dapat juga terjadi
pada area konsulodasi. Krekes,ronki,dan mengi terdengar pada inspirasi
dan/ ekspirasi pada respon terhadap pengumoulan cairan, secret .
3. Bantu pasien latihan napas sering. Tunjukkan/ bantu pasien melakukan
batuk, misalnya menekan dada dan batuk efektif.
Rasional : napas dalam memudahkan ekspansi maksimum paru-paru/jalan
napas lebih kecil. Batuk adalah mekanisme pembersihan jalan napas
alami, membantu silia untuk mempertahankan jalan napas paten.
Penekanan menurunkan ketidaknyamanan dada dan posisi duduk
memungkinkan upaya napas lebih dalam dan kuat.
4. Pengisapan sesuai indikasi
Rasional : merangsang batuk atau pembersihan jalan napas secara mekanik
pada pasien yang tak mampu melakukan karena
5. Berikan cairan sedikitnya 2500 ml/hari (kecuali kontraindikasi). Tawarkan
air hangat daripada dingin.
Rasional : cairan (khususnya yang hangat) memobilisasi dan
mengeluarkan secret.
6. Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi
Rasional : untuk menurunkan sekresi secret dijalan napas dan menurunkan
resiko keparahan

LATIHAN SOAL
Buatlah intervensi keperawatan dan evaluasi dari diagnosa keperawatan no 2,3,
dan 4!
DAFTAR PUSTAKA

Altunaiji SM, Kukuruzovic RH, Curtis NC, Massie J (2012). Antibiotics for
whooping cough (pertussis) (Review). Evid.-Based Child Health 7:3: 893–956
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
(2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554
Bayhan GI, Tanir G, Otgun SN, Teke TA, Timur OM, Oz FN (2012). The clinical
characteristics and treatment of pertussis patients in a tertiary center over a
four-year period. The Turkish Journal of Pediatrics, 54 : 596-60
Cherry JD (2012). Epidemic Pertussis in 2012: The Resurgence of a Vaccine-
Preventable Disease. The New England Journal of Medicine, 2012 (367) : 9
Cherry JD, Paddock CD (2014). Pathogenesis andhistopathology of pertussis :
implications for immunizationExpert Rev. Vaccines, 13 (9) : 1115–112
Crespo I, Cardenosa N, Godoy P, Carmona G, Sala MR, Barrabeig I, et al (2011).
Epidemiology of pertussis in a country with high vaccination coverage.
Vaccine, 2011 (29) : 4244 – 4248
Cherry JD, Paddock CD (2014). Pathogenesis andhistopathology of pertussis :
implications for immunizationExpert Rev. Vaccines, 13 (9) : 1115–112
Espinoza IP, Medina SB, Alzamora AH, Weilg P, Pons MJ, Luis MA, et al
(2015). BioMed Central Infectious Disease, 15: 554
Gabutti G, Rota MC (2012). Pertussis: A Review of Disease Epidemiology
Worldwide and in Italy. International Journal of Environmental Research anf
Public Health, 9: 4626-4638
Glanz JM, Narwaney KJ, Newcomer SR, Daley MF, Hambidge SJ, Rowhani-
Rahbar A, Lee GM, Nelson JC, Naleway AL, Nordin JD, Lugg MM,
Weintraub ES (2013). Association Between Undervaccination With
Diphtheria,Tetanus Toxoids, and Acellular Pertussis (DTaP) Vaccine andRisk
of Pertussis Infection in Children 3 to 36 Months of Age. JAMA Pediatr.
167(11):1060-1064
Hartzell, Joshua Det al (2014). Whooping Cough in 2014 and BeyondAn Update
and Review.CHEST, 146 (1) : 205-214
Heininger U (2012). Pertussis:What the Pediatric Infectious Disease Specialist
Should Know. The Pediatric Infectious Disease Journal. 31 (1) : 78-79
Jackson DW, Rohani P (2013). Review Article: Perplexities of pertussis: recent
global epidemiological trends and their potential causes. Epidemiol. Infect. 1-
13.
Kayina V, Kyobe S, Katabazi FA, Kigozi E, Odongkara B, Babikako HM,
Whalen CC, Okee M, Joloba ML, Musoke PM, Mupere E (2015). Pertussis
Prevalence and Its Determinantsamong Children with Persistent Cough
inUrban Uganda, PLOS ONE, 2015: 1-12
Klein NP, Bartlett J, Rahbar AR, Fireman B, Baxter R (2012). Waning Protection
after Fifth Dose of Acellular Pertussis Vaccine in Children. The New England
Journal of Medicine, 367: 11
Marcdante, Karen J et al. (2011). Nelson Ilmu Kesehatan Anak Esensial. Edisi 6.
Elsevier : Singapura, pp: 523-525
McGirr A, Fisman DN (2015). Duration of Pertussis Immunity AfterDTaP
Immunization: A Meta-analysis. Pediatrics. 135 (2): 1-15
Melvin, Jeffrey A (2014). Bordetella pertussis pathogenesis:current and future
challenges.
Miyashita N, Akaike H, Teranishi H, Kawai K, Ouchi K, Kato T, et al (2013).
BioMed Central Infectious Disease, 13: 129
Muloiwa R, Kagina BM, Engel ME, Hussey GD (2015). The burden of pertussis
in low- andmiddle-income countries since the inceptionof the Expanded
Programme on Immunization(EPI) in 1974: a systematic review protocol. .
Systematic Reviews (2015) 4:62
Pérez-Bolaños C, Proenza-AlfonzoLL, Fando-Calzada R (2011). Epidemiology,
reemergence of pertussis and vaccinedevelopment in Latin America: an
overview. Revista CENIC Ciencias Biológicas, 42 (3) :153-158
Skof Th, Kenyon C, Cocoros N, Liko J, Miller L, Kudish K, Baumbach J, Zansky
S, Faulkner A, Martin SW (2015). Sources of Infant Pertussis Infection inthe
United States. Pediatrics, 136 (4) :1-9
Snyder J, Fisher D (2012). Pertussis in Childhood. Pediatrics in Review, 33 : 412
Tiwari TSP, Baughman AL, Clark TA (2015). First Pertussis Vaccine Dose
andPrevention of Infant Mortality. Pediatrics, 135 (6) : 1-12
Witt MA, Arias L, Katz PH, Truong ET, Witt DJ (2013). Reduced Risk of
Pertussis Among Persons Ever Vaccinated with Whole Cell Pertussis Vaccine
Compared to Recipients of Acellular Pertussis Vaccines in a Large US Cohort.
Clinical Infectious Disease, 56: 1248 – 1254
Zeep F, Heininger U, Mertsola J, Bernatowska E, Guiso N, Roord J, Tozzi AE, et
al (2011). Rationale for pertussis booster vaccination throughout life in
Europe. The Lancet, 2011 (11) : 557 – 570
Zouhari A, Smaoi H, Kechrid A (2012). The diagnosis of pertussis: which method
to choose? Informa Healthcare, 38(2): 111–121
TOPIK 2
ASUHAN KEPERAWATAN DIFTERI

2.1 Definisi Difteri


Difteri adalah penyakit infeksi akut yang sangat menular yang terjadi secara
lokal pada mukosa saluran pernafasan atau kulit, yang disebabkan bakteri
Corynabacterium Diphteria, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang membentuk
membran pada tempat infeksi, dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang
ditimbulkan oleh eksotoksin yang diproduksi bakteri tersebut (Sudoyo Aru,2009)

2. 2 Etiologi
Disebabkan oleh Corynabacterium Diphteria, bakteri gram positif yang
bersifat polimorf, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan dapat
memproduksi eksotoksin (Sudoyo Aru,2009). Klasifikasi penyakit difteri secara
klinis adalah menurut lokasinya :
1. Difteri Nasal Anterior
2. Difteri Nasal Posterior
3. Difteri Fausial (Farinks)
4. Difteri Laryngeal
5. Difteri Konjungtiva
6. Difteri Kulit
7. Difteri Vulva / Vagina
Menurut tingkat keparahannya (Sudoyo Aru,2009) :
1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mokosa hidung
dengan gejala hanya pilek dan gangguan menelan
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan
laringsehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-
gejala yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisis dan
nefritis

2.3 Tanda dan Gejala


Masa inkubasi dari bakteri Corynabacterium Diphteria umumnya 2-5 hari.
(range 1-10 hari), pada difteri kutan adalah 7 hari sesudah infeksi primer pada
kulit. Tanda gejala pada pasien dengan difteri :
1. Demam dengan suhu sekitar 38oC
2. Kerongkongan sakit dan suara parau
3. Perasaan tidak enak, mual muntah dan lesu
4. Sakit kepala
5. Rinorea, berlendir dan kadang-kadang bercampur darah (Sudoyo Aru, 2009)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Bakteriologik, preparat apusan kuman difteri dari bahan asupan mukosa
hidung dan tenggorokan (nasofaringeal swab)
2. Darah rutin : Hb, leukosit, hitung jenis, eritrosit, albumin
3. Urin lengkap : aspek, protein, dan sidimen
4. Enzim CPK, segera saat masuk RS
5. Ureum dan kreatinin (Bila dicurigai ada komplikasi ginjal)
6. EKG (Endo Kardio Gram)
7. Pemeriksaan radiografi torak untuk mengecek adanya hiperinflasi
8. Tes schick (Hidayat,2006)

2.5 PENATALAKSANAAN
1. Memperhantikan intake cairan dan makanan
2. Pastikan kemudahan depekasi
3. Pemberian antitusif untuk mengurangi batuk
4. Aspirasi skret secara periodik
5. Berikan oksigen dan trakeostomi
6. Pemberian serum anti difteri (SAD)
7. Antibiotik
8. Kortikostiroid (Hidayat,2006)
2.6 Asuhan Keprawatan Difteri
1. Pengakjian
Identitas : dapat terjadi pada semua golongan umur tapi sering dijumpai pada
anak (usia 1-10 tahun).
Keluhan utama : biasanya klien dating dengan keluhan kesulitan bernapas
pada waktu tidur, nyeri pada waktu makan , dan bengkak pada tenggorokan
/leher.
Pemeriksaan fisik
- Pada difteri tonsil-faring terdapat malise, suhu tubuh > 38,9 C, terdapat

pseudomembran pada tonsil dan dinding faring, serta bullnek.


- Pada difteri laring terdapat stidor,suara parau, dan batuk kering,
sementara pada obstruksi laring yang besar terdapat retraksi supra sterna,
sub costal, dan supra clavicular.
- Pada difteri hidung terdapat pilek ringan,secret hidung yang serosauinus
sampai mukopurulen dan membrane putih pada septum nasi.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi jalan
napas.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan penurunan intake makanan.
3. Kurang pengetahuan berhubungan dengan tidak mengetahui sumber
informasi.
4. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
3. Intervensi Keperawatan (Utama)

NO Diagnosa Tujuan Intervensi


Keperawatan
1. Bersihan jalan NOC NIC
nafas tidak Setelah diberikan 1. Berikan pasien posisi
efektif askep selama 3x24 semi atau fowler
berhubungan jam diharapkan 2. Ajarkan cara batuk
dengan bersihan jalan napas efektif
obstruksi jalan pasien efektif 3. Catat kemampuan
napas. dengan criteria untuk mengeluarkan
hasil : secret , catat karakter,
1. Orangtua klien jumlah sputum, ada
mengatakan atau tidak hemoptisis.
sesak anaknya 4. Kaji fungsi
mulai berkurang pernapasan klien
2. Tidak ada (bunyi
retraksi dada napas,kecepatan,dan
3. RR : 15-30 x irama napas pasien)
/menit 5. Kolaborasi dengan
4. Penurunan dokter pemberian
produksi sputum obat bronkodilator
5. Tidak sianosis dan mukolitik.
6. Batuk efektif 6. Bersihkan secret dari
saluran pernapasan
dengan suction bila
perlu

LATIHAN SOAL
Buatlah intervensi keperawatan dan evaluasi dari diagnosa keperawatan no 2,3,
dan 4!
DAFTAR PUSTAKA

Bulechrck, Goria M., dkk. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC) Ed. 6.
United Kingdom: Elsevier
Herdman, T Heater. 2015. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi
2015-2017. Jakarta : EGC
Hidayat, A. A. 2005. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC
Moorhead, Sue., dkk. 2013. Nursing Outcomes Clasification (NOC) Ed.5. Uniteed
Kingdom : Elsevier
TOPIK 3
ASUHAN KEPERAWATAN BRONCHIOLITIS

3.1 Definisi
Bronkiolitis adalah penyakit inflamasi akut dari saluran atas dan bawah
menyebabkan obstruksi dari saluran napas kecil.(3)

3. 2 Etiologi
Respiratory Syncytial Virus (RSV) adalah agen yang paling sering yang
ditemukan dalam isolasi sebanyak 75% pada anak-anak kurang dari 2 th yang
menderita bronkiolitis dan dirawat di rumah sakit. Penyebab lain yang
menyebabkan bronkiolitis termasuk didalamnya adalah virus para influenza tipe 1
dan 3, influenza B, para influenza tipe 2, adenovirus tipe 1,2,5 dan mycoplasma
yang paling sering pada anak-anak usia sekolah. Terdapat pembuktian bahwa
kompleks imunologis yang memainkan peranan penting dari patogenesis dari
bronkiolitis dengan RSV. Reaksi alergi tipe 1 dimediasi oleh antibodi Ig E hal ini
dapat dihitung untuk signifikansi dari bronkiolitis. Bayi yang meminum ASI
dengan colustrum tinggi yang didalamnya terdapat Ig A tampaknya lebih relaktif
terproteksi dari bronkiolitis.(4)
Adenovirus dapat dihubungkan dengan komplikasi jangka lama, termasuk
bronkiolitis obliterans dan sindrom paru hiperlusen unilateral (sindrom Swyer-
James).
1. Virus sinsisial respiratorik
VSR adalah virus RNA terikat membran berukuran medium yang berkembang
dalam sitoplasma sel yang terinfeksi dan matang dengan pertunasan dari membran
plasma. Berbagai strain VSR menunjukan beberapa heterogenitas antigenik.
Variasi ini terutama ditemukan pada hanya satu dari dua glikoprotein permukaan
dari virus menunjukan reaksi pada hospes manusia seperti satu serotip. VSR
menghasilkan sitopatologis sinsitial khas dalam biakan jaringan spesimen dikirim
dengan cepat dalam es basah karena labil. (4)
2. Adeno virus
Adenovirus adalah virus DBA ukuran sedang, yang diklasifikasikan menjadi
subgena A sampai G. Tipe 1-39 ada dalam subgena A sampai E, tipe 40 adalah
subgenus F, dan tipe 41 adalah subgenus G, virion mempunyai pembungkus
ikosahedral yang tersusun dari berbagai protein, yang paling berlebihan darinya
adalah “hexon”, antigen biasa yang bereaksi silang dengan semua adenovirus
mammalia. “penton” memberi spesifisitas tipe, dan antibodi terhadapnya adalah
protektif. Penton ini juga sitotoksik pada biakan jaringan, dan sifat sofatoksik
telah dianggap berasal darinya juga in vivo. Adenovirus dapat juga
diklasifikasikan dengan mencetakkan “sidik jari” DNAnya pada jelli sesudah
terdigesti dengan pembatasan endonuklease, dan klasifikasi ini biasanya sesuai
dengan tipe-tipe antigeniknya. (4)
Semua tipe adenovirus kecuali tipe 40 dan 41 tumbuh dalam sel ginjal
embrional manusia primer, dan kebanyakan tumbuh pada sel Hep-2 atau HeLa,
menghasilkan pengaruh sitopatik, destruktif khas. Tipe 40 dan 41 (dan serotip lain
juga), tumbuh pada 293 sel, deretan sel ginjal embrional manusia yang kepadanya
telah dimasukkan gena adenovirus “awal” tertentu.
Banyak tipe adenovirus, tetapi terutama tipe anak biasa (1,2 dan 5), dilepas
selama masa yang panjang dari saluran pernafasan maupun saluran cerna. Tipe ini
juga menyebabkan infeksi tonsil ringan dan kronik. (4)
3. Virus para influenza
Ada empat virus dalam famili parainfluenza yang menyebabkan sakit pada
manusia, ditandai tipe 1-4. Virus mempunyai genom RNA helai tunggal, tidak
bersegmen dengan pembungkus mengandung lipid yang berasal dari pertunasan
melalui membran sel. Bagian antigenik utama adalah tonjolan-tonjolan protein
pembungkus yang menunjukan sifat-sifat hemaglutinasi (protein HN) dan fusi sel
(protein F). (4)

3.3 Klasifikasi
Bronkiolitis dapat diklasifikasikan menjadi :
 Bronkiolitis akut
 Bronkiolitis obliteran.
Bronkiolitis akut dengan bronkiolitis obliteran dibedakan pada bronkhiolus
dan saluran pernafasan yang lebih kecil terjejas, karena upaya perbaikan
menyebabkan sejumlah besar jaringan granulasi yang menyebabkan obstruksi
jalan nafas, lumen jalan nafas terobliterasi oleh masa noduler granulasi dan
fibrosis. Bronkiolitis obliterans merupakan komplikasi yang lazim pada
transplantasi paru.(1)

3.4 Epidemiologi
Epidemi dari RSV berkembang pada iklim dengan musim hujan dan
menjelang kemarau, dan biasanya juga muncul pada musim yang bersamaan
dengan menjangkitnya para-influenza. Terdapat bukti bahwa RSV endemik di
daerah sub tropis dari Asia Tenggara sepanjang tahun , dan memuncak antara
bulan Oktober sampai Februari dan berkurang pada bulan Maret sampai Juli. 2
dari sub tipe RSV telah di ketahui, yaitu tipe A dan tipe B, dengan tipe yang
paling sering menyebabkan infeksi yang berat. Tipe B biasanya mendominasi
apabila tipe A tidak dalam musim endemi. Penyakit ini sangat menular, penularan
disebarkan melalui sekresi hidung yang keluar dan sangat menular pada hari ke 6
sampai hari ke 21 setelah gejala muncul. Waktu inkubasi antara 2 - 5 hari. Infeksi
terjadi pada anggota keluarga sebanyak 46 %, 98 % pada anak yang dititipkan
pada perawatan harian, 42 % pada staff rumah sakit dan sebanyak 45 % pada bayi
yang dirawat di RS tetapi tidak terinfeksi. Infeksi menyebar melalui muntahan dan
penggunaan sarung tangan, sedangkan baju khusus dapat mengurangi penyebaran
infeksi nosokomial. 25 % anak umur dibawah 1 tahun dan 13 % anak umur antara
1 sampai 2 tahun akan mendapatkan infeksi saluran nafas. Separuh dari angka
tersebut didapatkan gejala bersin yang diasosiasikan dengan infeksi saluran nafas.
RSV dapat ditemukan pada kultur pasien yang dirawat di RS yang menderita
infeksi tersebut dan 80 % nya berumur kurang dari 6 bulan. Diantaranya bayi
yang sehat 80 % dirawat di RS pada tahun pertama kehidupannya dan sekitar 50
% perawatan di rumah sakit adalah bayi antara umur 1-3 bulan. Kurang dari 5 %
perawatan di RS pada neonatus, kemungkinan dengan adanya antibodi yang
masih terdapat dari transplasental-maternal. Faktor resiko untuk onset yang dini
dari penyakit ini dan kemungkinan perawatan intensif dihubungkan dengan berat
badan lahir rendah, prematuritas, sosio-ekonomi rendah, hidup didaerah padat,
orang tua perokok, tidak diberikannya ASI ekslusif, dan perawatan harian.(4)
Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggih dilakukan terhadap
populasi besar bayi-bayi normal. Analisis tindak lanjut menunjukan bahwa
penyakit paru mengi secara bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi yang
hantaran pernafasan total awalnya ada pada sepertiga terendah dari mereka yang
diuji. Penurunan fungsi paru dapat memainkan peran penting dalam menentukan
bayi mana yang dengan infeksi virus yang akan berkembang bronkiolitis.(1)

3.5 Patogenesis
Bronkiolitis akut ditandai dengan obstruksi bronkiolus yang disebabkan oleh
edema dan kumpulan mukus dan oleh invasi bagian-bagian bronkus yang lebih
kecil oleh virus. Karena tahanan/ resistensi terhadap aliran udara didalam saluran
besarnya berbanding terbalik dengan radius/ jari-jari pangkat empat, maka
penebalan yang sedikit sekali pun pada dinding bronkiolus bayi dapat sangat
mempengaruhi aliran udara. Tahanan pada saluran udara kecil bertambah selama
fase inspirasi dan ekspirasi, namun karena selama ekspirasi jalan nafas menjadi
lebih kecil, maka hasilnya adalah obstruksi pernafasan katup yang menimbulkan
udara terperangkap dan overinflasi. Atelektasis dapat terjadi ketika obstruksi
menjadi total dan udara yang terperangkap diabsorbsi.(1)
Proses patologis menggangu pertukaran gas normal di dalam paru. Perfusi
ventilasi yang tidak seimbang mengakibatkan hipoksemia, yang terjadi pada awal
perjalanannya. Retensi karbondioksida (hiperkapnia) biasanya tidak terjadi
kecuali pada pasien yang terkena berat. Makin tinggi frekuensi pernapasan
melebihi 60/menit; selanjutnya hiperkapnia berkembang menjadi takipnea.(1)
Beberapa fakta memberi kesan cidera imunologis sebagai faktor faktor pada
patogenesis bronkiolitis yang disebabkan VSR : (1) bayi yang sekarat karena
bronkitis telah menunjukkan imunoglobulin maupun virus dalam jaringan
bronkiolus yang terjejas; (2) anak yang mendapat vaksin RSV yang diberikan
secara parenteral sangat antigenik, inaktif pada pemajanan RSV berikutnya,
penyakitnya menjadi lebih berat dan lebih sering kambuh dibandingkan anak-anak
lainnya ; (3) bronkiolitis yang bergabung kedalam asma pada bayi yang lebih tua,
dan RSV seringkali merupakan serangan asma akut yang dikenali pada anak usia
1-5 tahun; dan (4) antibodi imunoglobulin E (IgE) yang mengarah langsung ke
RSV ditemukan pada sekresi konvalesen pada bayi dengan bronkiolitis.(1)
Disamping pengruh destruktif virus dan respons hospes yang menyertai,
belum jelas peran apa yang dimainkan oleh bakteri yang menumpanginya. Pada
kebanyakan bayi dengan bronkiolitis, dengan atau tanpa pneumonia interstitial,
pengalaman klinis memberi kesan bahwa bakteri memainkan peran yang tidak
berarti.(1)
Penyakit ini juga berkembang pada bayi-bayi yang biasanya terdapat titer
antibodi maternal (IgG) menetralkan RSV tetapi tidak terdapat antibodi sekretorik
(IgA) pada saluran nafas, sehingga terdapat pada sekret hidung yang memproteksi
terhadap infeksi RSV. Fakta tersebut telah mengarah ke spekulasi bahwa fakta
tersebut penyebab alamiah terjadinya bronkiolitis.(5)
Berbeda antara bayi, anak besar dan orang dewasa dapat mentoleransi udem
saluran napas dengan lebih baik. Oleh karena itu, pada anak besar dan orang
dewasa jarang terjadi bronkiolitis bila terkena infeksi oleh virus.(2)
Ada pendapat bahwa bronkiolitis merupakan hasil dari reaksi kompleks imun
antara antibodi non-neutralizing dengan virus. Pendapat tersebut berdasarkan
pengamatan di mana terjadinya infeksi oleh virus ketika umur masih muda,
terutama kurang dari 6 bulan. Saat itu, antibodi yang secara pasif didapatkan dari
ibu masih cukup tinggi.(2)

3.6 Manifestasi Klinis


1) Bronkiolitis Akut
Mula-mula bayi mendapatkan infeksi saluran napas ringan berupa pilek encer,
batuk, bersin-bersin, dan kadang-kadang demam. Gejala ini berlangsung beberapa
hari, kemudian timbul distres respirasi yang ditandai oleh batuk paroksimal,
mengi, dispneu, dan iritabel. Timbulnya kesulitan minum terjadi karena napas
cepat sehingga menghalangi proses menelan dan menghisap. Pada kasus ringan,
gejala menghilang 1-3 hari. Pada kasus berat, gejalanya dapat timbul beberapa
hari dan perjalananya sangat cepat. Kadang-kadang, bayi tidak demam sama
sekali, bahkan hipotermi. Terjadi distres pernapasan dengan frekuensi napas 60
x/menit, terdapat napas cuping hidung, penggunaan otot pernapasan tambahan,
retraksi, dan kadang-kadang sianosis. Retraksi biasanya tidak dalam karena
adanya hiperinflasi paru (terperangkapnya udara dalam paru). Hepar dan lien bisa
teraba karena terdorong diafragma akibat hiperinflasi paru. Mungkin terdengar
ronki pada akhir inspirasi dan awal ekpirasi. Ekpirasi memanjang dan mengi
kadang-kadang terdengar dengan jelas.(2)
Gambaran radiologik biasanya normal atau hiperinflasi paru, diameter
anteroposterior meningkat pada foto lateral. Kadang-kadang ditemukan bercak-
bercak pemadatan akibat atelektasis sekunder terhadap obtruksi atau anflamasi
alveolus. Leukosit dan hitung jenis biasanya dalam batas normal. Limfopenia
yang sering ditemukan pada infeksi virus lain jarang ditemukan pada brokiolitis.
Pada keadaan yang berat, gambaran analisis gas darah akan menunjukkan
hiperkapnia, karena karbondioksida tidak dapat dikeluarkan, akibat edem dan
hipersekresi bronkiolus.(2)
2) Bronkiolitis Obliterans
Bronkiolitis obliterans adalah suatu peradangan kronik pada bronkiolitis
dimana sudah terjadi obliterasi pada bronkiolus.Pada mulanya dapat terjadi batuk,
kegawatan pernafasan dan sianosis dan disertai dengan periode perbaikan nyata
yang singkat. Penyakit yang progresif terlihat dengan bertambahnya dispnea,
batuk, produksi sputum, dan mengi. Polanya dapat menyerupai bronkitis,
bronkiolitis atau pneumonia.(7)
Temuan rontgenografi dada berkisar dari normal sampai pola yang memberi
kesan tuberkulosis milier. Sindrom Swyer James dapat berkembang dengan
dijumpainya hiperlusensi unilateral dan pengurangan corak pembuluh darah paru
pada sekitar 10% kasus. Bronkografi menunjukan obstruksi bronkiolus, dengan
sedikit atau tidak ada bahan kontras yang mencapai perifer paru. Tomografi
terkomputasi (CT) dapat menunjukan bronkiektasia yang terjadi pada banyak
penderita. Temuan-temuan uji fungsi paru bervarisasi, yang paling sering adalah
obstruksi berat, namun demikian retreksi atau kombinasi obstruksi dan retraksi
dapat ditemukan. Diagnosis dapat dikonfirmasikan melalui biopsi paru.(7)

3.7. Faktor resiko


Salah satu faktor resiko yang terbesar untuk menjadi bronkiolitis pada umur
kurang dari 6 bulan, sebab paru-paru dan sistem kekebalan tidak secara penuh
berkembang dengan baik. Anak laki-laki cenderung untuk mendapatkan
bronkiolitis lebih sering dibanding anak-anak perempuan. faktor lain yang telah
dihubungkan dengan peningkatan resiko bronkiolitis pada anak-anak meliputi:
a. Tidak pernah diberi air susu ibu sehingga tidak menerima perlindungan
kekebalan dari ibu
b. Kelahiran prematur
c. Pajanan ke asap rokok
d. Sering dititipkan pada tempat banyak bayi-bayi contoh tempat penitipan anak,
panti asuhan
e. Saudara kandung lebih tua dengan kontak infeksi dari sekolah/ tempat
bermain.(8)
Bayi dengan ibu perokok pasif mempunyai peningkatan resiko infeksi RSV
dengan suatu perbandingan rintangan dilaporkan 3.87 untuk itu telah banyak studi
atas efek dari perokok pasif pada penyakit yang berhubungan dengan pernapasan
di bayi dan anak-anak. Di dalam suatu tinjauan ulang yang sistematis dari perokok
pasif dan infeksi saluran nafas bawah pada bayi dan anak-anak, Strachan Dan
Cook menunjukkan suatu perbandingan digabungkan dari 1.57 jika kedua orang
tua perokok dan suatu perbandingan dari 1.72 jika ibu yang merokok. Stock Dan
Dezateux meninjau 20 kasus studi dari fungsi berkenaan dengan paru-paru di
bayi. Studi ini menunjukkan suatu penurunan fungsi paru-paru di bayi para ibu
yang merokok selama kehamilan. Aliran Expirasi berkurang kira-kira 20%.
ukuran lain-lain fungsi berkenaan dengan paru-paru demikian juga abnormal.
Bapak yang merokok juga mempunyai suatu efek, prevalensi penyakit bidang
berhubung pernapasan bagian atas meningkat dari 81.6% ke 95.2% di bayi di
bawah 1 tahun usia jika hanya bapak yang merokok.(9)
Air susu ibu (ASI) telah menunjukkan mempunyai faktor kebal terhadap RSV
yang mencakup immunoglobulin G dan Suatu antibodies160 dan interferon-161.
ASI telah pula ditunjukkan untuk mempunyai menetralkan aktivitas melawan
terhadap RSV. Di satu studi merujukan ke rumah sakit yang relatif dengan RSV
adalah anak-anak yang tidak diberi ASI .Di dalam studi lain, 8 ( 7%) dari 115
anak-anak di opname dengan infeksi RSV adalah disusui, dan 46 ( 27%) dari 167
pasien sebagai kendali disusui.(9)
Suatu meta-analysis hubungan menyusui dengan opname untuk infeksi
saluran nafas bawah di (dalam) awal kelahiran menguji 33 studi, semua dari yang
menunjukkan suatu asosiasi bersifat melindungi antara menyusui dan resiko
opname untuk infeksi saluran nafas bawah. Sembilan studi dijumpai pada semua
ukuran-ukuran pemasukan analisa. Kesimpulan adalah bahwa bayi yang tidak
disusui ASI hampir meningkatakan resiko yang lebih besar lipat tiga diopname
untuk infeksi saluran nafas bawah dibanding yang disusui ASI eklusif untuk 4
bulan ( perbandingan resiko: 0.28).(9)

3.8 Diagnosis
Bronkiolitis adalah diagnosa klinis. Keterlibatan VSR pada setiap penyakit
anak tertentu dapat dicurigai pada berbagai tingkat kepastian dari musim tahunan
dan adanya wabah khas pada saat tersebut. Tanda lain yang mungkin membantu
adalah umur anak ( selain VSR, satu-satunya virus respiratori yang sering
menyerang bayi umur beberapa bulan pertama adalah virus parainfluenza tipe-3 )
dan epidemiologi keluarga.(10)
Masalah terbesar dalam diagnostik bronkiolitis adalah adanya kemungkinan
keterlibatan infeksi bersama dengan bakteri atau klamidia. Bila bronkiolitis ringan
atau infiltrat tidak tampak pada roentgenogram, ada kemungkinan infeksi
komponen dengan bakteri. Pada bayi usia 1-4 bulan, pneumonitis interstisial dapat
disebabkan oleh chlamydia trakhomatis. Pada keadaan ini mungkin riwayat
konjungtivitis, dan penyakit cenderung subakut. Terdapat keluhan batuk sering
tetapi tidak ada mengi dan tanpa demam.(10)
Konsolidasi tanpa tanda-tanda lain atau dengan efusi pleura dianggap berasal
dari bakteri sampai terbukti lain. Tanda-tanda lain yang mengarah pada
pneumonia bakteri adalah kenaikan angka neutrofil, depresi jumlah sel darah
putih bila ada penyakit berat, ileus atau tanda-tanda perut lain, demam tinggi, dan
kolaps sirkulasi.(10)
Diagnosis pasti infeksi VSR didasarkan pada deteksi virus atau antigen virus
dalam sekresi pernafasan. Spesimen harus diletakkan diatas es, dan langsung
dibawa ke laboratorium untuk diproses dengan deteksi antigen atau ditanamkan
pada suatu sel yang rentan. Aspirat mukus dari lubang hidung posterior ( nasal
washing ) merupakan spesimen yang optimal. Pulasan nasofaring atau tenggorok
juga dapat diterima. Aspirat trakhea tidak perlu.(10)

3.9 Pemeriksaan penunjang


 Darah lengkap
Dengan hitungan jumlah sel darah lengkap jarang bermanfaat karena sel
darah putih pada umumnya di dalam batas normal atau naik dan hitung
jenis mungkin normal atau bergeser kekanan atau kekiri
 Urin
Berat jenis urin dapat menyediakan informasi bermanfaat mengenai
balance cairan dan kemungkinan dehidrasi.
 Serum darah
Kimia serum darah tidaklah terpengaruh secara langsung oleh
infeksi/peradangan tetapi dapat membantu menerka beratnya derajat
dehidrasi.
 Analisa gas darah
Analisa gas darah mungkin diperlukan pada pasien yang sakitnya berat,
terutama yang menuntut ventilasi mekanik atau buatan.
 Radiologi
Foto sinar x dada cukup diperlukan meliputi foto anterior-posterior dan
lateral. dapat terlihat gambaran (tergantung berat ringannya penyakit)
o Hiperinflasi dan infiltrat yang tertutup, gambaran ini adalah
nonspesifik dan mungkin juga dapat pada gambaran pasien dengan
sakit asma, pneumonia yang tidak lazim atau karena virus, dan aspirasi
cairan.
o Ateletaksis fokal
o Gambaran udara yang terperangkap
o Gambaran sekat diafragma yang rata
o Peningkatan gambaran Garis tengah Antero posterior
o Peribronchial Cuffing
o Foto sinar x dapat juga mengungkapkan bukti alternatif untuk
diagnosa banding, seperti pneumonia lobaris , gagal jantung kongestif,
atau aspirasi benda asing.
 Pemeriksaan lainnya:
o Antigen Test pada nasal wash, dapat mengungkap dengan cepat
( pada umumnya di dalam 30 min) dan akurat ( kepekaan 87-91%,
ketegasan 96-100%) dalam pendeteksian RSV.
o Kultur positif dengan direct fluorescent antibody, test hasil
percobaan dapat mengkonfirmasikan infeksi karena RSV .
o Nasal washing test harus diperoleh dari anak-anak yang diperlukan
opname dan anak-anak yang berhadapan dengan resiko berat.
o Kultur RSV lebih sedikit sensitip ( 60%) tetapi spesifitas mencapai
100%.
o Panel karena virus yang berhubungan dengan pernapasan, kultur
untuk RSV atau lain virus, atau pendeteksian dengan direct fluorescent
antibody atau dengan polymerase chain reaction mungkin bermanfaat
untuk pertimbangan yang berikut:
 Sebagai pemeriksaan konfirmasi lainnya
 Untuk mencari agen lain infeksius yang lain
 Karena tujuan epidemiologik. (11)

LATIHAN SOAL
Buatlah intervensi keperawatan bronkiolitis!
TOPIK 4
PNEUMONIA

4.1 Defenisi
Pneumonia adalah suatu penyakit peradangan akut pada parenkim paru yang
disebabkan oleh bakteri, virus, atau parasit (Standar Profesi Ilmu Kesehatan Anak
FK Unsri Palembang, 2000).
Pneumonia adalah suatu proses peradangan dimana terdapat konsolidasi yang
disebabkan pengisian rongga alveoli oleh eksudat.Pertukaran gas tidak dapat
berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi dan darah dialirkan
kesekitar alveoli yang tidak berfungsi. Hipoksemia dapat terjadi tergantung
banyaknya jaringan paru-paru yang sakit ( Doenges & Moorhouse, 2000 : 67 )
Pneumonia adalah penyakit infeksi akut paru yang disebabkan terutama oleh
bakteri; merupakan penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang paling
sering menyebabkan kematian pada bayi dan anak balita (Said 2007).

4. 2 Klasifikasi
Menurut buku pneumonia komuniti, pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia, 2003 menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia.
a. Berdasarkan klinis dan epidemiologis :
1) Pneumonia komuniti
2) Pneumonia nasokomial
3) Pneumonia aspirasi
4) Pneumonia pada penderita immunocompromised
b. Berdasarkan penyebab
1) Pneumonia bakteri/tipikal
Dapat terjadi pada semua usia. Pneumonia sering diistilahkan
dengan pneumonia akibat kuman. Pneumonia jenis itu bisa menyerang
siapa saja, dari bayi hingga mereka yang telah lanjut usia, para
peminum alkohol, pasien yang terbelakang mental, pasien pasca
operasi, orang yang menderita penyakit pernapasan lain atau infeksi
virus adalah yang mempunyai sistem kekebalan tubuh rendah dan
menjadi sangat rentan terhadap penyakit itu. Pada saat pertahanan
tubuh menurun, misalnya karena penyakit, usia lanjut, dan malnutrisi,
bakteri pneumonia akan dengan cepat berkembang biak dan merusak
paru-paru.
Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, atau
pun seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru
(tiga di paru-paru kanan, dan dua di paru-paru kiri) menjadi terisi
cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke
seluruh tubuh melalui peredaran darah. Bakteri pneumokokus adalah
kuman yang paling umum sebagai penyebab pneumonia bakteri
tersebut.
Biasanya pneumonia bakteri itu didahului dengan infeksi saluran
nafas ringan satu minggu sebelumnya. Misalnya, karena infeksi virus
(flu), infeksi virus pada saluran pernapasan dapat mengakibatkan
pneumonia disebabkan mukus (cairan/lendir) yang mengandung
pneumokokus dapat terhisap masuk ke dalam paru-paru. Beberapa
bakteri mempunyai tedensi menyerang seseorang yang peka, misalnya
klebsiella pada penderita alkoholik, staphylococcus pada penderita
pasca infeksi influenza, pneumonia atipikal. Disebabkan mycoplasma,
legionella, dan chalamydia.
2) Pneumonia akibat virus
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza. Gejala
awal dari pneumonia akibat virus sama seperti gejala influenza, yaitu
demam, batuk kering, sakit kepala, nyero otot, dan kelemahan. Dalam
12 hingga 36 jam penderita menjadi sesak, batuk lebih parah, dan
berlendir sedikit, terdapat panas tinggi disertai membirunya bibir.
Tipe pneumonia itu bisa ditumpangi dengan infeksi pneumonia
karena bakteri. Hal itu yang disebut dengan superinfeksi bacterial.
Salah satu tanda terjadi superinfeksi bacterial adalah keluarnya lendir
yang kental dan berwarna hijau atau merah tua.
3) Pneumonia Jamur
Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada
penderita dengan daya tahan lemah.
c. Berdasarkan predileksi infeksi
1) Pneumonia lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus
(percabangan besar dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
2) Pneumonia bronkopneumia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak
infeksi pada berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang
disebabkan virus atau bakteri dan sering terjadi pada bayi atau orang
tua. Pada penderita pneumonia, kantong udara paru-paru penuh
dengan nanah dan cairan yang lain. Dengan demikian, fungsi paru-
paru, yaitu menyerap udara bersih (oksigen) dan mengeluarkan udara
kotor menjadi terganggu. Akibatnya, tubuh menderita kekurangan
oksigen dengan segala konsekuensinya, misalnya menjadi lebih
mudah terinfeksi oleh bakteri lain (super infeksi) dan sebagainya. Jika
demikian keadaannya, tentu tambah sukar penyembuhannya.
Penyebab penyakit pada kondisi demikian sudah beraneka ragam dan
bisa terjadi infeksi di seluruh tubuh.

4.3 Etiologi
a. Bakteri : Streptococcus pneumoniae, streptokokus grup A, Haemophilus
Influenza dan staphilococcus aureus.
b. Jamur : Histoplasma capsulatum, Coccidioides immitis, Aspergillus,
Blastomcyes dermatitis, Cryptococcus, dan Candida sp.
c. Virus : Respiratorik Sensitisial Virus (RSV), Virus Parainfluenza,
Adenovirus, Rhinovirus, Virus Influenza, Virus Varisela dan rubella,
Chlamydia trachomatis, Mycoplasma Pneumoniae, Pneumocystis carinii.
d. Kimiawi : Aspirasi hidrokarbon alifatik. (Rudolph.2007)
Pada bayi dan anak-anak penyebab yang paling sering adalah : virus
sinsial pernafasan, adenovirus, virus parainfluenza dan virus influenza. Faktor-
faktor yang meningkatkan risiko kematian akibat pneumonia :
1. Umur di bawah 2 bulan
2. Tingkat sosioekonomi rendah
3. Gizi kurang
4. Berat badan lahir rendah
5. Tingkat pendidikan ibu rendah
6. Tingkat pelayanan (jangkauan) kesehatan rendah
7. Kepadatan tempat tinggal
8. Imunisasi yang tidak memadai
9. Menderita penyakit kronis.

4.4 Patofisiologi
Pneumonia merupakan penyebabkan utama pneumonia. Pneumococcus
masuk ke dalam paru melalui jalan pernapasan secara percikan (droplet). Proses
radang pneumonia dapat dibagi atas 4 stadium, yaitu : (1) stadium kongesti :
kapiler melebar dan kongesti serta di dalam alveolus terdapat eksudat jernih,
bakteri dalam jumlah banyak, beberapa neutrofil dan makrofag, (2) Stadium
hepatisa merah, lobus dan lobulus yang terkena menjadi padat dan tidak
mengandung udara, warna menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar. Dalam
alveolus didapatkan fibrin, leukosit neutrofil, eksudat dan banyak sekali eritrosit
dan kuman. Stadium ini berlangsung sangat pendek, (3) Stadium hepatisa kelabu,
lobus masih tetap padat dan warna merah menjadi pucat kelabu. Permukaan
pleura suram karena diliputi oleh fibrin,  Alveolus terisi fibrin dan leukosit,
tempat terjadi fagositosis pneumococcus. Kapiler tidak lagi kongestif, (4) Stadium
resolusi eksudat berkurang. Dalam alveolus makrofag bertambah dan leukosit
mengalami nekrosis dan degenerasi lemak. Fibrin di reabsorbsi dan menghilang.
Secara patologi anatomis bronkopneumonia berbeda dari pneumonia lobaris
dalam hal lokalisasi sebagai bercak – bercak dengan distribusi yang tidak teratur.
Dengan pengobatan antibiotik urutan stadium khas ini tidak terlihat
(Prof.DR.Iskandar Wahidiyat.1985)

4.5 Manifestasi Klinis


Tanda dan gejala berupa :
1. Batuk nonproduktif
2. Ingus (nasal discharge)
3. Suara napas lemah
4. Retraksi intercosta
5. Penggunaan otot bantu napas
6. Demam
7. Ronchii
8. Cyanosis
9. Thorak photo menunjukkan infiltrasi melebar
10. Batuk
11. Sakit kepala
12. Sesak nafas
13. Menggigil
14. Berkeringat
15. Lelah.

4.6 Penatalaksanaan
a. Oksigen 1-2 l/menit
b. IVFD dekstrose 10% : NaCl 0,9% = 3:1, +KCl 10 mEq/500 ml cairan
sesuai berat badan, kenaikan suhu dan status dehidrasi.
c. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makanan enteral bertahap
melalui selang nasogastirk dengan feeding drip.
d. Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin
normal dan beta agois untuk memperbaiki transport mukosiler.
e. Koreksi gangguan keseimbangan asam dan basa elektrolit.
f. Antibiotik sesuai hasil biakan atau berikan :
1. Untuk kasus pneumonia communiti base :
1) Ampisilin 100 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
2) Kloramfenikol 75 mg/kg BB/hari dalam 4 kali pemberian
2. Untuk kasus pneumonia hospital base :
1) Sefotaksim 100 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian
2) Amikasin 10-15 mg/kg BB/hari dalam 2 kali pemberian.
4.7 Pemeriksaan Diagnostik
1) Sinar X
Mengidentifikasikan distribusi struktural dapat juga menyatakan abses
luas/infiltrate, empiema, infiltrasi menyebar atau terlokalisasi, atau
penyebaran/perluasan infiltrate nodul. Pada pneumonia mikoplasma, sinar X
dada mungkin bersih.
2) GDA
Tidak normal mungkin terjadi, tergantung pada luas paru yang terlihat dan
penyakit paru yang ada.
3) JDL
Leukositosis biasanya ada, meskipun sel darah putih rendah terjadi pada
infeksi virus, kondisi tekanan imun seperti AIDS, memungkinkan
berkembangnya pneumonia bakterial.
4) Pemeriksaan gram/kultur sputum dan darah
Dapat diambil dengan biopsi jarum, aspirasi trakeal, bronkoskopi fiberoptik,
atau biopsi pembukaan paru untuk mengatasi organisme penyebab. Lebih
dari 1 tipe organisme ada, bakteri yang umum Diplococcus pneumonia,
stapilococcus aureus, A-hemolitik streptococcus, Haemophilus, CMV.
5) Pemeriksaan serologi : Membantu dalam membedakan diagnosis organisme
khusus
6) LED Meningkat
7) Pemeriksaan fungsi paru
Volume mungkin menurun, tekanan jalan napas mungkin meningkat dan
komplain menurun, mungkin terjadi perembesan.
8) Elektrolit
Natrium dan klorida mungkin rendah
9) Bilirubin Mungkin meningkat
10) Aspirasi perkuatan/biopsi jaringan paru terbuka
Dapat menyatakan intraniklear tipikal dan keterlibatan sitoplastik,
karakteristik sel raksasa.
4.8 Komplikasi
1. Abses paru
2. Efusi pleural
3. Empisema
4. Gagal napas
5. Perikarditis
6. Meningitis
7. Atelektasis
8. Hipotensi
9. Delirium
10. Asidosis metabolik
11. Dehidrasi
12. Penyakit multi lobular

LATIHAN SOAL
Buatlah Asuhan Keperawatan Pneumonia!
TOPIK 5
ASMA BRONCHIALE

5.1 Definisi
Asma adalah penyakit paru dengan ciri khas yakni saluran nafas sangat
mudah bereaksi terhadap berbagai rangsangan atau pencetus dengan manifestasi
berupa serangan asma (Ngastiyah, 2005).
Asma adalah penyakit yang menyebabkan otot-otot di sekitar saluran
bronchial (saluran udara) dalam paru-paru mengkerut, sekaligus lapisan saluran
bronchial mengalami peradangan dan bengkak (Espeland, 2008).
Asma adalah suatu peradangan pada bronkus akibat reaksi hipersensitif
mukosa bronkus terhadap bahan alergen (Riyadi, 2009).

5.2 Etiologi
Adapun faktor penyebab dari asma adalah faktor infeksi dan faktor non infeksi.
Faktor infeksi misalnya virus, jamur, parasit, dan bakteri sedangkan faktor non
infeksi seperti alergi, iritan, cuaca, kegiatan jasmani dan psikis (Mansjoer, 2000).

5.3 Patofisiologi
Faktor-faktor penyebab seperti virus, bakteri, jamur, parasit, alergi, iritan,
cuaca, kegiatan jasmani dan psikis akan merangsang reaksi hiperreaktivitas
bronkus dalam saluran pernafasan sehingga merangsang sel plasma menghasilkan
imonoglubulin E (IgE). IgE selanjutnya akan menempel pada reseptor dinding sel
mast yang disebut sel mast tersensitisasi. Sel mast tersensitisasi akan mengalami
degranulasi, sel mast yang mengalami degranulasi akan mengeluarkan sejumlah
mediator seperti histamin dan bradikinin. Mediator ini menyebabkan peningkatan
permeabilitas kapiler sehingga timbul edema mukosa, peningkatan produksi
mukus dan kontraksi otot polos bronkiolus. Hal ini akan menyebabkan proliferasi
akibatnya terjadi sumbatan dan daya konsulidasi pada jalan nafas sehingga proses
pertukaran O2 dan CO2 terhambat akibatnya terjadi gangguan ventilasi.
Rendahnya masukan O2 ke paru-paru terutama pada alveolus menyebabkan
terjadinya peningkatan tekanan CO2 dalam alveolus atau yang disebut dengan
hiperventilasi, yang akan menyebabkan terjadi alkalosis respiratorik dan
penurunan CO2 dalam kapiler (hipoventilasi) yang akan menyebabkan terjadi
asidosis respiratorik. Hal ini dapat menyebabkan paru-paru tidak dapat memenuhi
fungsi primernya dalam pertukaran gas yaitu membuang karbondioksida sehingga
menyebabkan konsentrasi O2 dalam alveolus menurun dan terjadilah gangguan
difusi, dan akan berlanjut menjadi gangguan perfusi dimana oksigenisasi ke
jaringan tidak memadai sehingga akan terjadi hipoksemia

5.4 Manifestasi Klinis


Adapun manifestasi klinis yang ditimbulkan antara lain mengi/wheezing,
sesak nafas, dada terasa tertekan atau sesak, batuk, pilek, nyeri dada, nadi
meningkat, retraksi otot dada, nafas cuping hidung, takipnea, kelelahan, lemah,
anoreksia, sianosis dan gelisah.

5.5 Pemeriksaan Diagnostik


1) Pemeriksaan Radiologi
a. Foto thorak
Pada foto thorak akan tampak corakan paru yang meningkat, hiperinflasi
terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik, atelektasis juga
ditemukan pada anak-anak  6 tahun.
b. Foto sinus paranasalis
Diperlukan jika asma sulit terkontrol untuk melihat adanya sinusitis.
2) Pemeriksaan darah
Hasilnya akan terdapat eosinofilia pada darah tepi dan sekret hidung, bila
tidak eosinofilia kemungkinan bukan asma.
3) Uji faal paru
Dilakukan untuk menentukan derajat obstruksi, menilai hasil provokasi
bronkus, menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit. Alat
yang digunakan untuk uji faal paru adalah peak flow meter, caranya anak
disuruh meniup flow meter beberapa kali (sebelumnya menarik nafas dalam
melalui mulut kemudian menghebuskan dengan kuat).
4) Uji kulit alergi dan imunologi
Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara goresan atau tusuk. Alergen yang
digunakan adalah alergen yang banyak didapat di daerahnya.

5.6 Penatalaksanaan
1. Oksigen 4 - 6 liter / menit
2. Pemeriksaan analisa gas darah mungkin memperlihatkan penurunan
konsentrasi oksigen.
3. Anti inflamasi (Kortikosteroid) diberikan untuk menghambat inflamasi jalan
nafas.
4. Antibiotik diberikan berdasarkan etiologi dan uji resistensi
5. Pemberian obat ekspektoran untuk pengenceran dahak yang kental
6. Bronkodilator untuk menurunkan spasme bronkus/melebarkan bronkus
7. Pemeriksaan foto torak
8. Pantau tanda-tanda vital secara teratur agar bila terjadi kegagalan pernafasan
dapat segera tertolong.

5.7 Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan (Gaffar, 1999). Pada tahap
ini akan dilaksanakan pengumpulan, pengelompokan dan penganalisaan data.
Pada pengumpulan data akan diperoleh data subyektif yaitu data yang diperoleh
dari keterangan pasien atau orang tua pasien. Data obyektif diperoleh dari
pemeriksaan fisik. Dari data subyektif pada pasien asma biasanya diperoleh data
anak dikeluhkan sesak nafas, batuk, pilek, nafsu makan menurun, lemah,
kelelahan dan gelisah. Dari data obyektif diperoleh data mengi/wheezing
berulang, ronchi, dada terasa tertekan atau sesak, pernapasan cepat (takipnea),
sianosis, nafas cuping hidung dan retraksi otot dada.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon aktual/potensial
terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan. Dari pengkajian yang dilakukan
maka didapatkan diagnosa keperawatan yang muncul seperti : (Carpenito, 2000 &
Doenges, 1999)
a) Bersihan jalan nafas tak efektif berhubungan dengan
peningkatan produksi sputum/sekret.
b) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan
dengan peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap anoreksia akibat
rasa dan bau sputum.
c) Kerusakan pertukaran gas berubungan dengan perubahan
membran alveolar kapiler.
d) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan
umum, ketidakseimbangan antara suplay dan kebutuhan oksigen.
e) Nyeri akut berhubungan dengan inflamasi parenkim paru,
batuk menetap.
f) Ansietas orang tua berhubungan dengan perubahan status
kesehatan, kurangnya informasi.
3. Intervensi
Perencanaan merupakan preskripsi untuk perilaku spesifik yang diharapkan
dari pasien dan/atau tindakan yang harus dilakukan oleh perawat (Doenges, 1999).
Perencanaan diawali dengan memprioritaskan diagnosa keperawatan
berdasarkan berat ringannya masalah yang ditemukan pada pasien (Zainal, 1999).
Rencana keperawatan yang dapat disusun untuk pasien asma yaitu: (Doenges,
1999).
1) Bersihan jalan napas tak efektif berhubungan dengan
inflamasi trakeabronkial
Tujuan : bersihan jalan nafas efektif
Rencana tindakan :
a) Ukur vital sign setiap 6 jam
b) Observasi keadaan umum pasien
c) Kaji frekuensi/ kedalaman pernafasan dan gerakan dada
d) Auskultasi area paru, bunyi nafas, misal krekel, mengi dan ronchi
e) Ajarkan pasien latihan nafas dalam dan batuk efektif
f) Anjurkan banyak minum air hangat
g) Beri posisi yang nyaman (semi fowler/fowler)
h) Delegatif dalam pemberian bronkodilator, kortikosteroid, ekspktoran dan
antibiotic
LATIHAN SOAL
Buatlah intervensi keperawatan dan evaluasi dari diagnosa keperawatan no 2,3,
dan 4!
DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. (2009). Asma Bisa Sembuh atau Problem Seumur Hidup. Diperoleh
tanggal 29 Juni 2009, dari http://www.medicastore.com/asma/
Carpenito, L.J. (2000). Diagnosa keperawatan. (Edisi 6). Jakarta: EGC
Doenges, M.E.(1999). Rencana Asuhan Keperawatan. (Edisi 3). Jakarta: EGC
Espeland, N. (2008). Petunjuk Lengkap Mengatasi Alergi dan Asma pada Anak.
Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Gaffar, L.O.J. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional, Jakarta: EGC
Hidayat, A.A.A.(2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Surabaya: Salemba
Medika
Mansjoer, A. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. (Edisi 3), Jilid 1. Jakarta: Media
Aesculapius
Ngastiyah. (2005). Perawatan Anak Sakit. (Edisi 2). Jakarta: EGC
Nursalam. (2001). Proses dan Dokumentasi Keperawatan. Jakarta: EGC
Price, S.A & Wilson, L.M. (2005). Patofisiologi. (Edisi 6). Jakarta: EGC
Riyadi, S. (2009). Asuhan Keperawatan pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu
Zainal, A.H. (1999). Pengantar Keperawatan Profesional. Jakarta: Yayasan
Bunga Raflesia

Anda mungkin juga menyukai