Anda di halaman 1dari 11

Desi Hapidi semua hal telusuri

18th January 2013 Tes Kesastraan

Pengajaran sastra (Indonesia) di sekolah tidak berdiri sendiri sebagai


sebuah mata pelajaran yang mandiri, melainkan “hanya” menjadi bagian
mata pelajaran bahasa Indonesia. Dengan demikian, seorang guru bahasa
Indonesia juga berarti guru apresiasi sastra. Ia bertugas mengukur hasil
belajar bahasa dan sastra siswa yang menjadi asuhannya. Hal ini juga
berarti ia dituntut untuk mampu menyusun tes kebahasaan dan kesastraan
sebagai salah satu sarana mengungkap hasil belajar siswa.
                      Penggabungan sastra ke dalam pengajaran bahasa (indonesia)
memang wajar dan dapat dimengerti. Untuk memahami karya sastra yang
merupakan salah satu atau langkah dalam usaha mengapresiasi karya
sastra, penguasaan terhadap bahasa yang bersangkutan merupakan karya
sastra, penguasaan terhadap bahasa yang bersangkutan merupakan suatu
hal yang tak dapat ditawar.
Idealnya terjadi kaitan yang erat antara pengajaran bahasan dengan
pengajaran sastra yang bersifat saling mengisi dan menunjang. Dengan
demikian, terdapat kolerasi antara kemampuan berbahasa dengan
kemampuan berapresiasi sastra. Kemampuan bebahasa yang tinggi yang
dimiliki seorang siswa akan menjadi petunjuk bahwa ia juga tinggi
kemampuan apresiasi sastranya. Demikian pula sebaliknya.

Tujuan, bahan dan penilaian dalam pengajaran kesastraan


Komponen tujuan, bahan yang diajarkan, dan penilaian terhadap
hasil kegiatan pengajaran berkaitan erat. Bahan pengajaran hendaklah
dijabarkan berdasarkan tujuan-tujuan itu sendiri dimungkinkan tercapai
jika ditunjang oleh bahan yang sesuai. Kadar ketercapaian tujuan atau
tingkat penguasaan bahan akan diketahui melalui kegiatan penilaian,
sedang penilaian akan ada artinya jika dalam kaitanya dengan tujuan dan
bahan yang telah diajarkan. Hal itu berlaku pula untuk pengajaran
(apresiasi) sastra.   

1.      Tujuan dan bahan pengajaran sastra


Tujuan pengajaran sastra secara umum ditekankan, atau demi
terwujudnya, kemampuan siswa untuk mengapresiasi sastra secara
memadai. Kejelasan tujuan pengajaran (sastra) penting sebab ia akan
memberikan pedoman bagi pemilihan bahan yang sesuai. Pemilihan bahan
pengajaran, dan juga bahan untuk diteskan, harus menopang tercapainya
tujuan: membimbing dan meningkatkan kemampuan mengapresiasi sastra
siswa.
Secara garis besar bahan pengajar sastra dapat dibedakan ke dalam
dua golongan: (i) bahan apresiasi tak langsung, dan (ii) bahan apresiasi
langsung. Namun, pembedaan tersebut tidak bersifat eksak, sebab
dimungkinkan terjadinya ketumpangtindian di antara keduanya. Bahan
pengajar apresiasi sastra yang tak langsung terutama berfungsi untuk
memunjang berhasilnya pengajaran apresiasi sastra yang bersifat
langsung. Bahan apresiasi yang tak langsung menyaran pada bahan
pengajar yang bersifat teoritis dan sejarah, tepatnya teori sastra dan
sejarah sastra, atau pengetahuan tentang sastra.

2.      Penilaian dalam pengajaran sastra


Kaitan antara komponen tujuan bahan, dengan (alat) penilaian
dalam pengajaran sastra dapat menjadi lebih tajam. Penilaian dalam hal
ini dapat berfungsi ganda (i) mengungkap kemampuan apresiasi sastra
siswa, dan (ii) menunjang tercapainya tujuan pengajaran apresiasi sastra.
Fungsi pertama jelas dan menjadi tujuan penulisan ini. Fungsi kedua pun
akan terjadi jika penilaian yang dilakukan lebih ditekankan pada tujuan
untuk mengungkapkan kemampuan apresiasi siswa secara langsung. Jadi,
tidak sekedar mengungkapkan pengetahuan siswa tentang sastra.
Pemilihan bahan yang diajukan dan kegiatan yang harus dilakukan
oleh siswa tentu saja hendaknya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan kejiwaan dan kognitif siswa.

Pendekatan taksonomis tes kesastraan


Pendekatan taksonomis beranggapan bahwa keluaran hasil belajar
walau pada kenyataannya merupakan satu kesatuan yang padu dalam diri
siswa, dapat dibedakan ke dalam berbagai aspek, jenis, dan angkatan
tertentu. Pendekatan taksonomis yang banyak diikuti orang adalah
taksonomis Bloom, yaitu yang membedakan keluaran hasil belajar ke
dalam tiga ranah: kognitif, afektif, dan psikomotoris.

1.      Penilaian ranah kognitif


Hasil belajar sastra yang bersifat kognitif lebih banyak berhubungan
dengan kemampuan dan proses berfikir. Ia dibedakan ke dalam tingkatan
yang paling sederhana, tingkat ingatan (C1), sampai tingkat yang paling
kompleks, tingkat evaluasi (C6). Hasil belajar kognitif ini dapat diukur
dengan mempergunakan berbagai bentuk tes objektif ataupun esai, secara
lisan ataupun tertulis. Pelaksanaan penilaian dapat dilakukan dalam
proses pengajaran, tes formatif, atau pada akhir pengajaran, tes sumatif.
Tes sumatif biasanya dilaksanakan dalam bentuk ulangan umum atau
ujian semester dengan alat penilaian yang berupa tes tertulis.  

2.      Penilaian ranah afektif


Ranah afektif berhubungan dengan masalah sikap, pandangan dan
nilai-nilai yang diyakini seseorang. Bagaimana sikap dan pandangan
sesorang terhadap sastra antara lain nampak tingkah lakunya
“memperlakukan” sesuatu yang bersangkutan. Keluaran hasil belajar yang
bersifat afektif dapat dinilai dengan melakukan wawancara, pengamatan
terhadap tingkah laku yang mencerminkan sikap siswa terhadap sastra,
atau juga dengan memberikan tugas-tugas tertulis. Pengukuran dengan
pemberian tugas tertulis dapat mempergunakan bentuk skala (umumnya
skala Likert), jawaban singkat ”ya” dan “tidak”, atau juga berupa prosedur
nominasi.
Pengukuran sikap dengan skala Likert dilakukan dengan
menyediakan skala jawaban terhadap suatu pertanyaan yang diberikan.
Skala jawaban itu terdiri dari, misalnya lima atau lebih pertanyaan yang
disusun berturut-turut dari yang paling positif ke negatif tau sebaliknya.
Pertanyaan itu misalnya: sangat setuju - setuju - agak setuju - tidak setuju -
sangat tidak setuju. Berikut contohnya.
·                Setiap siswa diwajibkan membuat rangkuman sebuah novel
atau kumpulan cerpen sebulan sekali.
SS                    S                      AS                   TS                    STS
·                Sebaiknya dilakukan kegiatan diskusi berbagai hal tentang
kesastraan minimal dua minggu sekali.
SS                    S                      AS                   TS                    STS
Pilihan siswa terhadap pertanyaan akan mencerminkan bagaimana
sikapnya terhadap sastra. Jawaban yang paling positif “SS” diberi skor 5
dan seterusnya 4, 3, 2, dan 1. Penilaian dilakukan dengan menjumlahkan
skor pertanyaan-pertanyaan yang diserdiakan. Pertanyaan “SS” dengan
“S”, “S” dengan “AS”. Dan seterusnya dapat diperhalus perbedaannya
dengan memberikan kemungkinan untuk memilih di antara dua
pertanyaan. Jika kita memilih cara ini, berarti skala menjadi lebih besar,
dan untuk contoh di atas menjadi berskala sembilan:
SS        1          S          1          AS       1          TS        1          STS
9          8          7          6          5          4          3          2          1
Pengukuran sikap dengan jawaban singkat “ya” dan “tidak”
dilakukan dengan menyediakan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut
jawaban atau dapat dijawab dengan “ya” atau “tidak” oleh siswa. jawaban
yang diberikan siswa juga mencerminkan sikapnya terhadap pertanyaan
itu. Berikut contohnya.
·                Saya membaca buku-buku sastra sekedar untuk mengisi
waktu luang.
YA                  TIDAK
·                Saya sengaja menyediakan waktu secara khusus untuk
membaca buku-buku karya sastra.
YA                  TIDAK
·         Saya lebih suka membaca buku-buku komik dan novel-novel
hiburan yang pop daripada novel yang tergolong sastra.
YA                  TIDAK
·                Bagi saya, membaca novel adalah semata-mata untuk
mendapatkan cerita saja sehingga tak perlu adanya sikap kritis
seperti yang dibutuhkan jika kita akan menganalisisnya.
YA                  TIDAK
Pengukuran dengan prosedur nominasi dapat dilakukan dengan
menyusun siswa menyebutkan judul-judul buku, nama-nama pengarang,
tema cerita, pengalaman, dan lain-lai yang paling disukainya. Misalnya
pertanyaan berbunyi berikut.
·         Lima orang pengarang Indonesia yang terpenting dewasa ini
adalah:
------------------, --------------------, -------------------, -----------------, --------------
·                Lima judul buku yang ceritanya paling menarik dan terasa
wajar adalah:
------------------, --------------------, -------------------, -----------------, --------------
Prosedur nominasi dapat juga dilakukan dengan menyediakan
sejumlah pertanyaan yang merupakan tanggapan atas pertanyaanyang
dikemukakan sebelumnya. Siswa diminta untuk memilih salah satu
pertanyaan yang paling sesuai dengan pandangannya. Berikut dicontohkan
sebuah “pertanyaan” yang dimaksud.
Pada bulan Desember yang akan datang akan diadakan seminar
kesastraan di FKIP oleh salah seorang tokoh sastra yang terkenal. Rencana
saya adalah:
·                Mengikuti kegiatan seminar karena hal itu penting artinya
untuk dapat mengikuti perkembangan kehidupan sastra
Indonesia dewasa ini.
·                Mengikuti kegiatan seminar karena ada sangkut-pautnya
dengan salah satu mata kuliah yang sedang ditempuh.
·                Mengikuti kegiatan seminar karena pasti akan diwajibkan
oleh Ketua Jurusan (dan mungkin diabsen)
·         Mengikuti kegiatan seminar sekedar untuk menampakkan diri
agar kelihatan aktif di mata kawan atau dosen.
·                Meninggalkan kegiatan di FKIP mumpung ada kesempatan
dan dapat untuk melakukan kegiatan lain yang lebih penting.
Teknik penilaian untuk model ini dapat mempergunakan
teknik skala (jawaban ke-1: 5, ke-2: 4. Dan seterusnya) seperti
pada skala Likert di atas.   

3. Penilaian Ranah Psikomotor


            Ranah psikomotor adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan
aktivitas otot, fisik, atau gerakan-gerakan anggota badan. Keluaran hasil
belajar yang bersifat psikomotor adalah keterampilan-keterampilan gerak
tertentu yang diperoleh setelah mengalami peristiwa belajar. Penilaian
hasil belajar psikomotor harus juga dilakukan dengan alat tes berupa tes
perbuatan. Peniaian dilakukan dengan jalan pengamatan. Tes psikomotor
kesastraan misalnya walau tetap ada unsur kognitif dan sikap karena yang
utama adalah kadarnya tugas mendeklamasi, membaca puisi, cerpen,
drama (kesemuanya dengan gerak mimik dan pantomimik), dramatisasi
(bentuk yang lebih sungguhan: pentas drama), dan lain-lain. Untuk
melakukan yang pengamatan, terlebih dahulu kita perlu menentukan
aspek-aspek yang dinilai sekaligus kriteria penilaiannya. Aspek-aspek yang
unik untuk beberapa contoh tersebut misalnya pemahaman, penghayatan,
intonasi, ekspresi, kewajaran, dan sebagainya, sedangkan kriteria
penilaiannya misalnya mempergunakan angka terendah 0 dan tertinggi
100.
                      Penilaian ranah psikomotor sebaiknya dilakukan dalam proses,
yaitu sewaktu pengajaran masih berlangsung. Penialaian tidak harus
dilakukan secara khusus, dalam arti menyelenggarakan tes itu, melainkan
dapat bersifat kesewaktuan dan kapan saja. Penialaian yang demikian
kiranya akan lebih mencerminkan penampilan dan sikap siswa yang
sesungguhanya.
                      Dalam hubungan ini penilaian yan dilakukan setelah siswa
(mahasiswa) menyelesaikan studinya pun masih dimungkinkan. Tentu saja
penilaian dalam keadaan itu lain dengan penilaian yang dilakukan di
sekolah. Mungkin dapat berupa kegiatan pemantauan, pengamatan
tingkah laku siswa di masyarakat, atau bentuk-bentuk kegiatan tak formal
lainnya, serta dapat pula kegiatan formal seperti penelitian. Bagaimana
sikap dan penampilan siswa di masyarakat dalam memperlakukan sastra
justru lebih mencerminkan keberhasilan pengajaran (apresiasi) sastra di
sekolah.

4. Tingkat Tes Kesastraan


Tingkatan tes kesastraan yang dimaksudkan di sini, seperti halnya
tes kebahasaan di atas, menunjuk pada tes tingkatan tes kognitif yang
terdiri dari keenam tingkatan, tingkatan ingata (C1) sampai tingkat
penilaian (C6). Menyusun kesastraan untuk tingkatan awal yang biasanya
hanya mencakup teori dan sejarah, memang lebih mudah dilakukan dan
itu pula sebabnya tes kesastraan susunan kebanyakanguru di sekolah
sebagian besar atah bahkan hanya mencakup tingkatan kognitif yang lebih
sederhana saja. Tes kesastraan yang lebih tinggi, yang sebenarnya lebih 
mencerminkan kemampuan apresiasi siswa kurang mendapat perhaian.
            Di bawah ini akan mencoba membedakan dan mencontohkan tes
kesastraan ke dalam keenam tingkatan kognitif tersebut. Namun, perlu
juga dikemukakan sebelumnya bahwa pembedaan tingkatan-tingkatan itu
tidak bersifat pilah benar. Pembedaan pokok yang ditekankan adalah
perbedaan tingkat kompleksitas kerja kognitif yang di tuntut untuk
tingkatan kognitif yang lebih tinggi.
(1) Tes Kesastraan Tingkat Ingatan
            Tes kesastraan pada tingkat ingatan sekedar mengkehendaki siswa
untuk mampu mengungkap kembali kemampuan ingatannya yang
berhubungan dengan fakta, konsep, pegertian, definisi, deskripsi atau
penamaan tentang sesuatu hal, dan sebagainya. Contoh tes tingkat ingatan
ini misalnya sebagai berikut.
·         Apa yang di maksud dengan alur?
·         Sebutkan pembagian angkatan kesusastraan Indonesia modern.
·         Siapakah pelopor penulisan puisi angkatan’45?
·         Sebutkan tiga buah novel karya Mochtar Lubis.
(2) Tes Kesastraan Tingkat Pemahaman
                      Tes kesastraan pada tingkat pemahaman mengkehendaki siswa
untuk mampu memahami, membedakan, dan menjelaskan fakta,
hubungan antarkonsep dan lain-lain yang sifatnya lebih dari sekedar
mengingat. Kemampuan pemahaman antara lain berupa kemampuan
menangkap isi prosa atau puisi yang dibacanya, meringkas atau membuat
sinopsis novel atau cerpen, menyimpulkan cerita fiksi membedakan secara
teoritis prosa dengam puisi, pantun dengan syair, angkatan yang satu
dengan yang lain, dan sebagainya. Contoh-contoh butir soal misalnya
berbunyi sebagai berikut.
·                Buatlah ringkasan cerita (sinopsis) cerpen yang berjudul Perpisahan
karangan Gajus Siagian.
·         Tema apakah yang ingin dikemukakanChairil Anwar dalam puisinya yang
berjudul “Dipenogoro”?
·         Jelaskan persamaa dan perbedaan antara pantun dengan soneta.
·                Jelaskan ciri-ciri perbedaan antara angkatan Pujangga Baru dengan
angkatan ’45.
Tugas yang berupa memberi atau mengenali contoh yang sederhana
juga tergolong tes tingkat pemahaman, tetapi memberi contoh yang
menuntut aktivitas kognitif yang lebih kompleks termasuk tingkatan yang
lebih tinggi. Misalnya soal yang berbunyi: buatlah tiga buah contoh
penuturan yang bergaya metafora, atau: kalimat di bawah ini yang bergaya
personifikasi adalah ....., ....., ....., ....., hanya merupakan tugas memberi dan
mengenali contoh yang sederhana saja, maka soal tersebut masih tergolong
tingkat pemahaman.
(3) Tes Kesastraan Tingkat Penerapan
                      Tes kesastraan pada tingkat penerapan menuntut siswa untuk
mampu menerapkan pengetahuan teoritisya ke dalam kegiatan praktis
yang kongkret. Artinya siswa telah dituntut benar-benar untuk
memperlakukan karya sastra secara nyata. Kemampuan aplikatif ini antara
lain berupa kemampuan mengubah, memodifikasi, mendemonstrasikan,
mengoperasikan, menerapkan sesuatu hal atau kemampuan. Misalnya
mengubah cerita bentuk naratif (cerpen, novel) ke dalam bentuk dialog
(drama), gaya “aku” ke gaya “dia” atau sebaliknya, membahasakan puisi
kembali dengan kata-kata sendiri atau membuat parafrase, memberi
penanda-penanda hubungan pada puisi, memberi penanda jeda (baca),
menunjukkan suatu hal atau keadaan dalam suatu karya misalnya
berbagai gaya bahasa, latar (setting), alur dan sebagainya. Berikut contoh
butir soal tingkat penerapan.
                      Dikutip sebuah wacana prosa, misalnya dari Belenggu, sepanjang
satu halaman (ingat pemenggalan wacana harus layak). Tugas yang
diberikan misalnya berbunyi.
·         Ubahlah cerita prosa diatas menjadi bentuk dialog
·                Sudut pandang apa yang dipergunakan dalam cerita di atas, ungkapkan
kembali cerita di atas dengan sudut pandang yang berbeda, misalnya dari
gaya “dia” ke “aku” atau sebaliknya
·         Tunjukkan semua gaya bahasa yang terdapat dalam wacana di atas.
·                Tunjukkan ungkapan yang menyatakan bahwa ....... (tergantung
permasalahan yang ada, tapi ingat jangan semata-mata hanya
menunjukkan fakta, melainkan harus yang bersifat problematis, tugas ini
mudah dijadikan tes objektif).
(4) Tes Kesastraan Analisis
                      Tes kesastraan pada tingkat analisis, di samping menuntut siswa
untuk telah benar-benar membacanya karya sastra tertentu, siswa
diharapkan mampu untuk melakukan kerja analisis terhadapnya. Aktivitas
membaca karya sastra tidak sekedar untuk mengetahui isi cerita saja, jika
ia berupa fiksi, melainkan harus disertai sikap kritis, baik terhadap unsur-
unsur yang mendukungnya maupun karya sastra sebagai suatu
keseluruhan. Adanya sikap kritis dan usaha lebih lanjut untuk menganlisis
secara terinci inilah yang membedakannya dengan tes tingkat penerapan
di atas. Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa kerja analisis terhadaoa karya
sastra dimaksudkan untuk dapat mamahami secara baik karya yang
bersangkutan.
                      Tugas kemampuan analisis antara lain berupa identifikasi dan
analisis terhadapa unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik karya sastra,
analisis unsur bentuk dan isi; membedakan, meyeleksi, memilih, dan
merinci lebih lanjut unsur-unsur karya sastra, misalnya konflik pokok yang
tepat dipandang sebagai klimaks dengan konflik-konflik yang lain, tema
(pokok) dengan sub-sub tema, alur pokok dengan alur tambahan, teknik
pelukisan karakter yang dominan dan teknik-teknik lain yang
dipergunakan, dan sebagainya. Tentu saja semua analisis tersebut perlu
disertai bukti-bukti konkret yang terdapat (atau bahkan di kutip) dalam
karya yang bersangkutan. Berikut contoh butir soal untuk tingkat analisis.
·                Bagaimanakah cara pegarang melukiskan perwatakan para tokoh dalam
novel Belenggu?
·         Bagaimanakah karakter tokoh-tokoh utama novel Belenggu?
·         Jelaskan cara pengarang mengembangkan alur novel Belenggu?
·         Jelaskan apa tema dan sub-tema,alur pokok dan alur tambahan novel Maut
dan Cinta.
·                Jelaskan efektivitas unsur bunyi dalam sajak yang berjudul “Isa” karya
Chairil Anwar.
(5) Tes Kasastraan Tingkat Sintesis
                      Tes kesastraan pada tingkat sintesis, sebagai kelanjutan berpikir
analisis, menutut siswa untuk mampu mengkatagorikan, menghubung dan
mengkombinasikan, menjelaskan, dan meramalkan hal-hal yang
berkenaan dengan unsur-unsur karya sastra dan antarkarya sasta. Tugas
kemampuan sintesis ini antara lain berupa kemampuan mengkategorikan
suatu ciri atau keadaan yang sejenis, misalnya puisi, cerpen, atau novel
yang memiliki persamaan unsur tertetntu seperti gaya, tema, alur, dan
latar; menunjukkan dan menjelaskan kaitan antara beberapa hal baik
dalam sebuah karya maupun beberapa karya. Berikut contoh butir soal
untuk mengukur kemampuan sintesis.
·         Jelaskan bahwa aantara tokoh Hasan dalam Atheis dan Hanafi dalam Salah
Asuhan mempunyai persamaan.
·                Secara struktural Atheis sama sekali tidak baru, melainkan hanya
mengikuti struktur Di Bawah Lindungan Kak-bah. Jelaskan pernyataan
tersebut.
·         Jelaskan benarkah kaitan antara karakteristik latar, penokohan, dan tema
dalam Harimau ! Harimau ! Harimau ! bersifat padu dan wajar.
·         Mengapa Maria dimatikan dan justru Tuti yang dikawinkan dengan Yusuf
dalam Layar Terkembang?
·                Mengapa bait pertama yang berbunyi: Itu Tubuh/mengucur darah/
mengucur darah/ pada puisi “Isa” diulang lagi pada bait terakhir?
(6) Tes Kesastraan Tingkat Penilaian
            Tes kesastraan pada tingkat evaluasi menuntut siswa untuk mampu
melakukan penilaian terhadap berbagai masalah kesastraan, baik karya
sastra dengan berbagai unsurnya maupun kehidupan sastra secara
keseluruhan. Kerja analisis terhadapa karya sastra biasanya dilanjutkan
dengan penilaian terhadapnya. Data-data dan bukti-bukti yang diperoleh
melalui kerja analisis itulah antara lain yang dijadikan dasar penelitian.
Masalah dapat dipertanggungajawabkan atau tidaknya suatu penilaian
dalam kesastraan terutama dilihat dari argumentasi yang mendasarinya
dan kuatnya argumentasi itu sendiri harus di dukung oleh bukti-bukti yang
kuat pula.
                      Kemampuan berpikir tingkat evaluasi antara lain berupa
kemampuan menilai suatu hal, misalnya masalah ketepatan pilihan kata
dan makna keseluruhan sajak, ketapatan alur, penokohan, latar, gaya,
tema, dan unsur-unsur yang lain dalam membentuk kesatuan yang padu
dalam sebuah fiksi. Berikut contoh butir soal untuk mengukur kemampuan
evaluasi.
·                Jelaskan mengapa penokohan dalam novel Layar Terkembamg   sering
dianggap lemah.
·                Tokoh Yah dalam Belenggu bukan merupakan tokoh konkret, melainkan
hanya tokoh khayalan Tono. Setujukah Saudara dengan pendapat itu? Beri
penjelasan seperlunya !
·                Jelaskan unsur-unsur kebaruan yang terdapat dalam novel Telegram ?
atau: mengapa novel Telegram di pandang sebagai novel kontemporer?
·                Mengapa sajak-sajak Chairil Anwar di pandang lebih berhasil dari pada
sajak-sajak sebelumnya karya pengarang Pujangga Baru?
·                Mengapa puisi-puisi Sutarji tak dapat disamakan dengan puisi-puisi
Rendra?
·                Setujukah Saudara terhadap adanya pendapat yang mengatakan bahwa
telah lahir angkatan baru sesudah angkatan 66. Sertailah jawaban Saudara
dengan bukti dan alasan sepenuhnya

 ...............................................................................................
1.      Tes Kesastraan Tingkat Informasi
Tes kesastraan tingkat informasi dimaksudkan untuk mengungkap
kemampuan siswa yang berkaitan dengan hal-hal pokok yang berkenaan
dengan sastra, baik yang menyangkut data-data tentang suatu karya
maupun data-data lain yang dapat dipergunakan untuk membantu
menafsirkannya. Data-data yang dimaksud berhubungan dengan
pertanyaan-pertanyaan; apa yang terjadi, di mana, kapan, berapa, nama,
nama-nama pelaku, dan sebagainya. Data-data tentang suatu karya sastra
misalnya menanyakan masalah genre, kejadian pokok, kapan terjadi, di
mana terjadi, siapa saja tokoh x, dan sebagainya. Data-data yang dapat
membantu penafsiran antara lain berupa biografi pengarang: siapa
namanya, dilahirkan di mana, kapan, apa pekerjaannya, status sosial,
karya yang keberapa, tahun berapa karya ditulis, tahun berapa terbit, di
mana dan siapa penerbitnya, dan lain-lain.
Butir-butir soal yang dimaksudkan untuk mengukur pengetahuan
siswa tentang informasi diatas sangat mudah disusun karena hampir
semuanya hanya menanyakan sesuatu yang bersifat hafalan. Jadi, tes
tingkat informasi ini ada persamaannya dengan tes tingkat C1 (ingatan)
pada taksonomi Bloom, tetapi juga sudah sedikit melibatkan kemampuan
pemahaman (C2)
2. Tes Kesastraan Tingkat Konsep
Tes kesastraan tingkat konsep berkaitan dengan persepsi tentang
bagaimana data-data atau unsur-unsur karya sastra itu diorganisasikan.
Unsur-unsur karya merupakan hal pokok yang dipersoalkan dalam tes
tingkat ini. Masalah-masalah yang dimaksud antara lain berupa
(pertanyaan): apa sajakah unsur-unsur yang terdapat dalam fiksi dan puisi,
mengapa pengarang justru memilih unsur yang seperti itu, apa efek
pemilihan unsur itu, apa hubungan sebab akibat unsur atau peristiwa-
peristiwa itu, apa konflik pokok yang dipermasalahkan, konflik apa sajakah
yang timbul, faktor-faktor apa saja yang terlibat dalam atau
mempengaruhi terjadinya konflik, dan sebagainya.
Masalah-masalah yang ditanyakan dalam tingkat konsep, juga untuk
tingkatan-tingkatan lain kategori moody, tidak bersifat icoretis, melainkan
lebih langsung berorientasi pada karya tertentu, baik prosa maupun puisi.
Dengan demikian, jika kita hanya berbekal teori saja tanpa secara nyata
“menggauli” suatu karya, hal itu akan kurang ada artinya.
3. Tes Kesastraan Tingkat Perspektif
Tes kesastraan pada tingkat perspektif berkaitan dengan pandangan
siswa, atau pembaca pada umumnya,sehubungan dengan karya sastra
yang dibacanya. Bagaimana pandangan dan reaksi siswa terhadap sebuah
karya akan ditentukan oleh kemampuannya memahami karya yang
bersangkutan. Tes kesastraan tingkat perspektif menuntut siswa untuk
mampu memperhubungkan antara sesuatu yang ada dalam karya sastra
dengan sesuatu yang berada di luar karya itu. Adapun butir-butir soal
tingkat perspektif ini antara lain dicontohkan sebagai berikut.
a.       Kesimpulan apakah yang Anda ambil setelah membaca novel
Burung-burung Manyar?
b.          Apakah anda merasakan adanya manfaat setelah membaca
novel Burung-burung Manyar? Jika ada, manfaat apa sajakah
itu?
Tes bentuk esai memang lebih tepat untuk mengungkap kemampuan
siswa tingkat perspektif diatas, walau tak perlu diartikan bahwa tes
objektif tak mungkin dilakukan, walau tentu saja tidak mudah disusun
atau kurang menghemat tempat.
4. Tes Kesastraan Tingkat Apresiasi
Tes kesastraan tingkat apresiasi terutama berkisar pada
permasalahan dan kaitan antara bahasa sastra dengan linguistik. Seperti
apa bahasa sastra, atau apa ciri khas bahasa sastra, belum ada kesepakatan
yang diterima oleh semua orang. Usaha mengenali dan memahami bahasa
sastra melalui ciri-cirinya, kemudian membandingkan efektivitasnya
dengan penuturan bahasa secara umum untuk pengungkapan hal yang
kurang lebih sama itulah terutama yang dipermasalahkan dalam tes
tingkat apresiasi.
Kemampuan kognitif yang dituntut untuk mengerjakan butir-butir
tes tingkat apresiasi juga kemampuan kognitif tingkat tinggi. Siswa dituntut
untuk mampu mengenali, menganalisis, membandingkan,
menggeneralisir, dan menilai bentuk-bentuk kebahasaan yang
dipergunakan dalam sebuah karya yang dibahas. Butir-butir soal yang
dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan tingkat apresiasi tersebut
dicontohkan dibawah ini.
·                Mengapa Linus Suryadi dalam Pengakuan Pariyem dan Y.B.
Mangunwijaya dalam Burung-burung Manyar justru banyak
memilih kata-kata dan ungkapan Jawa untuk mengungkapkan
maksud-maksud tertentu? 

Sumber: 
Nurgiyantoro, Burhan. 1987. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa
dan Sastra. Yogyakarta:   BPFE
Diposting 18th January 2013 oleh Anonymous

Label: Makalah MK Evaluasi Pembelajaran Desi-Eko-Rayudha

1 Lihat komentar

ANDIEN RACH 7 Maret 2016 18.49

Sangat membantu

Balas

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: Elih Solihat Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya

Anda mungkin juga menyukai