Anda di halaman 1dari 8

PROSIDING 

‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 
POLA RUANG SANGA MANDALA
SEBAGAI KONSEP EKOLOGI
DALAM PENATAAN RUMAH TINGGAL TRADISIONAL BALI

I Made Jayadi Waisnawa


Institut Seni Indonesia Denpasar
dekwivijay@yahoo.com

ABSTRAK
Manusia saat ini sudah tidak selaras dengan alam. Hal ini sangat bertentangan dengan
ajaran agama Hindu yang menjadikan alam sebagai pertimbangan dalam menjalankan
kehidupan. Tri Hita Karana, Hulu-teben dan Sanga Mandala adalah empat contoh konsep
yang mengajarkan keselarasan terhadap alam. Empat konsep ini teraplikasi pada tata cara
manusia dalam menentukan pola pemukiman, penataan lingkungan rumah tinggal dan
Arsitektur. Pola pemukiman dengan konsep Hulu-Teben yang linier mengikuti arah aliran
sungai dimaksudkan untuk menghindari banjir. Pola ini juga merupakan sumbu kosmologis
yaitu hulu(gunung) dan teben(laut). Perpaduan orientasi kosmologis(utara-selatan) dengan
orientasi religius(timur-barat) ini menhasilkan konsep Sanga mandala.
Konsep sanga mandala membagi area rumah tinggal masyarakat tradisional Bali
menjadi sembilan bagian. Pembagian sembilan area ini menghasilkan tiga area diagonal dari
arah tenggara menuju barat laut. Tiga area ini dalam aplikasinya adalah ruang kosong yang
memiliki fungsi masing-masing. Area sudut tenggara dipergunakan untuk berkebun atau
beternak. Area tengah disebut dengan natah dipergunakan untuk kegiatan sakral dan profan.
Area pada sudut barat laut adalah tempat sakral untuk memohon keselamatan lingkungan
rumah tinggal.
Pola ruang kosong diagonal dari konsep ruang Sanga mandala ini memiliki hubungan
terhadap ekologi aliran udara. Berdasarkan posisi geografis pulau Bali, aliran udara pada
musim kemarau dan hujan saling berlawanan, yaitu dari tenggara menuju barat laut dan
begitu pula sebaliknya. Hal ini membuktikan bahwa masyarkat tradisional Bali sangat
mempertimbangkan ekologi. Selain ruang kosong tersebut, konsep sanga mandala juga
mampu memberikan penghawaan dan pencahayaan ke masing-masing bangunan.
Kata kunci: Pola ruang, Sanga Mandala, Ekologi.

I. PENDAHULUAN
Konsep pembangunan yang tidak terencana menjadi salah satu faktor kerusakan alam.
Hal ini dapat dilihat dari pola pembangunan perumahan yang tidak memperhatikan sona hijau
seperti daerah aliran sungai dan pertanian. Kondisi ini semakin parah dengan pola dan
bentuk rumah tinggal yang tidak memperhitungkan ekologi. Keluasan area yang dimiliki

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  71 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 
seluruhnya dipergunakan sebagai bangunan tanpa memperhatikan ruang terbuka dan area
resapan air. Bentuk bangunan juga tidak memperhatikan bukaan ruang sehingga
mengakibatkan sirkulasi udara yang tidak baik. Beberapa contoh tersebut membuktikan
bahwa Alam tidak lagi dipertimbangkan oleh manusia dalam sebuah perencanaan
pembangunan. Manusia saat ini sudah tidak mempertimbangkan ekologi dalam memenuhi
keinginannya. Berdasarkan pemahaman interaksi manusia dengan lingkungan, manusia
memiliki kemampuan untuk mengubah lingkungannya sesuai dengan standar yang
diinginkan(iskandar,2012). Hal tersebut dapat dipahami bahwa sesuai sifat manusia yang
tidak terbatas, ekologi akan semakin parah sampai keingginan manusia terpenuhi.
Pemahaman tersebut sangat bertentangan dengan pemahaman yang dimiliki oleh manusia
tradisional yang selalu ingin selaras dengan alam.
Ekologi merupakan sebuah hubungan timbal balik antara maklhuk hidup dengan
lingkungan sekitarnya(frick,2011). Sebuah siklus yang mengajarkan manusia untuk selalu
menghargai semua maklhuk hidup dan alam semesta. Hal tersebut sejalan dengan konsep
yang selalu dianut oleh masyarakat tradisional Bali yang selalu mempertimbangkan alam
dalam setiap aktivitas kehidupan. Masyarakat tradisional Bali mengenal tiga konsep yang
selalu mempertimbangkan dan menghargai alam dalam melaksanakan aktivitas hidup.
Konsep Tri Hita Karana adalah konsep dasar universal yang dimiliki masyarakat tradisional
Bali. Konsep ini mengajarkan manusia untuk selalu selaras dengan Tuhan(prahyangan),
manusia(pawongan) dan lingkungan(palemahan). Hulu-Teben adalah konsep yang
dipergunakan masyarakat tradisional Bali untuk menata pola penukiman atau desa. Pola
pemukiman terencana yang membagi sona menjadi tiga bagian yaitu utama(tempat suci),
madya(pemukiman) dan nista(kuburan). Pola pemukiman ini juga selalu menempatkan area
tertinggi sebagai sumbu kosmologis(hulu)menuju area terendah(teben). Pola ini dimaksudkan
selalu mengikuti arah aliran sungai dengan tujuan menghindari luapan air sungai atau
banjir(Parwata,2009). Berdasarkan rasa menghargai alam semesta, masyarakat tradisional
Bali mengembangkan konsep dasar tersebut dengan menggabungkan antara sumbu
kosmologis(hulu-teben) dengan sumbu religius(timur-barat). Penggabungan tersebut
menghasilkan konsep sanga mandala yaitu sebuah konsep yang membagi area menjadi
sembilan sona. Konsep ini diaplikasikan pada lingkungan rumah tinggal masyarakat
tradisional Bali. Pembagian sembilan area ini menggunakan tiga sona dasar seperti pada
konsep hulu-teben yaitu utama, madya dan nista.

72 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 
PROSIDING ‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 
Konsep sanga mandala diciptakan berdasarkan pertimbangan terhadap alam sehingga
sangat memperhatikan ekologi. Tulisan ini membahas tentang hubungan konsep sanga
mandala terhadap ekologi. Hal ini didasari oleh banyaknya rumah tinggal saat ini yang tidak
mempertimbangkan alam dalam perencanaannya. Keterbatasan lahan secara tidak langsung
memaksa untuk memanfaatkan seluruh lahan menjadi bangunan. permasalahan tersebut
jangan sampai menjadi penghalang untuk tetap mempertimbangkan ekologi. Seperti
masyarakat tradisional Bali, keterbatasan dalam segala hal tidak menjadi penghalang mereka
untuk tetap mempertimbangkan alam dalam menata pemukiman dan rumah tinggal.
Bergesernya pemahaman terkait rumah tinggal dikhawatirkan akan memberikan dampak
negatif terhadap alam. Konsep sanga mandala memiliki beberapa hal yang dapat dijadikan
pengetahuan dalam menciptakan ekologi pada lingkungan rumah tinggal. Pola ruang yang
dimiliki oleh konsep sanga mandala sudah mempertimbangkan arah aliran angin yang
menjadi penghawaan alami. Pola penataan tersebut juga sangat memperhatikan pencahayaan
alami yang dapat dimanfaatkan oleh bangunan. Berdasarkan pemahaman tersebut diharapkan
konsep sanga mandala yang diwariskan oleh masyarakat tradisonal diadaptasi ke dalam
rumah tinggal masyarakat modern sehingga ekologi dapat tetap terjaga.

II. PEMBAHASAN
Memepertimbangkan ekologi berarti menghargai warisan budaya masyarakat
tradisional Bali sekaligus menyelaraskan diri dengan alam. Konsep sanga mandala yang
dalam aplikasinya adalah pola pembagian sona lingkungan rumah tinggal menjadi sembilan
bagian merupakan sebuah pemikiran yang sangat bijaksana. Manusia sebagai maklhuk
tertinggi dengan anugrah kamampuan berfikir sudah seharusnya melindungi maklhuk yang
lebih lemah yaitu hewan dan tanaman. Pemikiran terhadap pola konsep sanga mandala ini
memperlihatkan bahwa masyarakat tradisional Bali mampu memahami bagaimana sistem
alam semesta. Pola ini mampu menerapkan prinsip-prinsip ekologis ke dalam lingkungan
rumah tinggal. Terdapat dua unsur ekologis yang mampu didapatkan oleh lingkungan rumah
tinggal dengan menggunnakan pola konsep sanga mandala yaitu penghawaan dan
pencahayaan. Pola yang membagi area menjadi sembilan bagian ini mampu memahami
sirkulasi udara sesuai dengan letak geografis. Sumbu religius timur-barat yang menjadi dasar
pola penataan konsep sanga mandala mampu memaksimalkan potensi pencahayaan. Dua
unsur ini didukung oleh unsur lainnya yang terdapat pada rumah tinggal yaitu arsitektur dan
tanaman.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  73 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 
Berdasarkan iklim di negara Indonesia yaitu tropis, pergerakan angin pada musim
kearau dan hujan memiliki arah yang berlawanan(frick,2011). Lintasan pergerakan angin di
wilayah pulau Bali pada pada dua musim tersebut adalah dari arah tenggara menuju barat laut
dan sebaliknya. Pergerakan angin tersebut sangat mendukung sirkulasi udara dari pola dari
konsep sanga mandala. Konsep sanga mandala yang membagi area menjadi sembilan sona
dalam aplikasinya memiliki ruang kosong yang membentuk garis diagonal dari tenggara
menuju barat laut.
Barat laut

PENUTUP
DAFTAR PUSTAK
tenggara

Gambar 1. Visualisasi penghawaan alami


sumber. Produksi penulis

Tiga sona ruang kosong ini dalam konsep sanga mandala masing-masing bernama
nistaning utama, madyaning madya dan utamaning nista(Glebet, 1985). Masing-masing sona
ruang kosong ini memiliki fungsi yang berbeda. Sona pada arah tenggara(nistaning utama)
difungsikan untuk bercocok tanam atau memlihara hewan ternak. Pada sona ini juga biasanya
ditempatkan sebuah lumbung yang berfungsi menyimpan hasil kebun dan pertanian. Sona ini
dalam perkembangannya oleh masyarakat saat ini biasanya disungsikan sebagai taman atau
penempatan hewan peliharaan berupa burung, anjing atau hewan peliharaan lainnya. Sona
ruang kosong pada bagian tengah(madyaning madya) oleh masyarakat tradisional Bali
diberikan nama natah. Sona ruang kosong ini merupakan pusat dari seluruh sona pada konsep
sanga mandala. Sona ini hanya ruang kosong dengan aktivitas yang bersifat sementara seperti
upacara atau penerimaan tamu. Natah dalam aktivitas upacara dipergunakan sebagai tempat

74 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 
PROSIDING ‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 
menanam persembahan(caru) yang dipercaya mampu menetralisir kekuatan alam. Sona ruang
kosong pada bagian barat laut(utamaning nista) difungsikan sebagai tempat mendirikan
bangunan suci(tugu karang) yang dipercaya dapat melindungi lingkungan rumah tinggal dari
kekuatan negatif.
Adanya tiga ruang kosong ini membuktikan bahwa masyarakat tradisional Bali sangat
memahami dan mempertimbangkan alam dalam menata rumah tinggal. sirkulasi udara dari
arah tenggara masuk menuju ke sona ruang kosong pada bagian tengah(natah) kemudian
menyebar dan mengalir ke arah barat laut. Sirkulasi ini berbalik ketika pergantian musim
sehingga menghasilkan sirkulasi udara silang. Hal ini sangat sesuai dengan ilmu fisika
bangunan yang menyarankan adanya sirkulasi udara silang pada ruang(Latifah,2015). Pola
ruang konsep sanga mandala ini juga mendukung pergerakan udara ke masing-masing
bangunan. Adanya ruang kosong pada bagian tengah(natah) dan orientasi bangunan terpusat
memungkinkan udara masuk ke masing-masing bangunan.
Posisi geografis Bali terletak dekat dengan garis khatulistiwa sehingga menjadikan
cahaya matahari bersifat merata sepanjang tahun. Masyarakat tradisional Bali memanfaatkan
pencahayaan alami untuk mendukung aktivitas. Keterbatasan teknologi menjadikan
pencahayaan alami sebagai faktor penting dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari. Pola
pembagian sona pada konsep sanga mandala menempatkan sona tengah(natah) sebagai pusat
orientasi dari seluruh bangunan. Orientasi ini ditunjukkan dengan bentuk bangunan
tradisional Bali yang memiliki ciri khas terbuka dengan akses utama ke arah tengah(natah).
Ruang terbuka berupa teras ini dimiliki oleh seluruh bangunan pada rumah tinggal
masyarakat tradisional Bali. Adanya ruang teras ini memiliki fungsinya masing-masing pada
setiap bangunan. Pada bangunan dapur, ruang terbuka difungsikan sebagai aktivitas persiapan
memasak. Bangunan lainnya yang masing-masing terletak pada bagian utara, timur dan barat
mempergunakan teras sebagai area menerima tamu, rapat dan bersantai.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  75 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 

Gambar 2. Visualisasi orientasi pola bangunan dan pencahayaan alami


sumber. Produksi penulis

Pola penataan bangunan pada konsep sanga mandala yang berorientasi pada bagian
tengah mampu mamantulkan cahaya ke seluruh bangunan. Berdasarkan cara tersebut setiap
bangunan dilengkapi dengan teras yang menghadap ke area tengah. Desain bangunan yang
dilengkapi dengan teras pada bagian depan memiliki fungsi penting dalam pemanfaatan
pencahayaan alami. Aktivitas yang dilaksanakan pada area teras tidak menerima cahaya
secara langsung sehingga memberikan kenyamanan pada mata(Manurung, 2012). Pemantulan
pencahayaan alami ini juga memperhatikan lingkungan rumah tinggal. Pemakaian material
alami berupa tanah atau rumput mampu menyerap intensitas cahaya yang tinggi. Selain teras,
bukaan ruang seperti pintu dan jendela juga berorientasi ke bagian tengah(natah). Hal ini
dimaksudkan untuk mendapatkan pencahayaan alami terhadap bagian tengah bangunan.
Konsep pemanfaatan pencahayaan dan penghawaan alami sangat sesuai diaplikasikan saat
ini. Masyarakat modern yang cenderung konsumtif dapat melakukan manipulasi kondisi
lingkungan untuk kenyamanan fisik manusia dan ruangsekaligus menghemat
energi(Karyono,2014).
Selain memperhatikan penghawaan dan pencahayaan alami, pola konsep sanga
mandala memberikan area yang luas untuk penempatan tanaman. Penataan tanaman yang
tepat akan memberikan manfaat bagi penghuni dan bangunan yang terdapat di area rumah
tinggal. Tanaman dapat menghasilkan oksigen yang sangat dibutuhkan oleh manusia.

76 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 
PROSIDING ‐SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 
Pembuatan taman dan kolam ikan selain mendukung penghawaan alami juga dapat
dimanfaatkan sebagai daya tarik ruang dan lingkungan sekitar. Penempatan pohon dapat
melindungi bangunan dari terpaan angin kencang dan intensitas caahaya tinggi. Berdasarkan
hal diatas membuktikan bahwa masyarakat tradisional bali sangat mempertimbangkan alam
dalam setiap aktivitas. Terciptanya konsep sanga mandala yang memiliki pembagian
sembilan pola ruang sangat memperhatikan ekologi. pada prinsipnya, konsep penataan ruang
yang diciptakan oleh masyarakat tradisional Bali tidak hanya dapat diaplikasikan pada
lingkungan pemukiman dan rumah tinggal. seperti halnya dasar terbentuknya konsep sanga
mandala, pengembangan dapat dilakukan lebih detail dan fokus yaitu pada desain interior.
Objek desain interior tidak hanya pada rumah tinggal melainkan pada desain interior komersil
seperti kantor, perpustakaan, museum, restoran, gedung olehraga bahkan pusat perbelanjaan.
Konsep sanga mandala merupakan hasil budaya masyarakat tradisional Bali yang
dihasilkan dari kolaborasi alam dan religi. Konsp budaya yang memperhatikan alam dan riligi
ini tidak hanya sesuai untuk kehidupan masyarakat tradisional namun juga pada masyarakat
moder serta sekaligus menjaga keberlangsungan sistem alam semesta. Pelestarian warisan
leluhur berupa konsep khususnya penataan pemukiman dan rumah tinggal dapat dilakukan
dengan catatan tetap mempertahankan prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya.

III. PENUTUP
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Pola pembagian ruang pada konsep sanga mandala memiliki tiga ruang kosong masing-
masing pada bagian tenggara(nistaning utama), bagian tengah(madyaning-madya) dan
bagian barat laut(utamaning-nista).
2. Pola ruang terbuka tersebut berbentuk garis diagonal yang searah dengan pergerakan angin
pada musim hujan dan kemarau.
3. Pola ruang kosong pada konsep sanga mandala mampu mengalirkan udara ke seluruh
lingkungan rumah tinggal dengan adanya ruang kosong pada bagian tengah(natah).
4. Pola penataan bangunan pada konsep sanga mandala yang berorientasi ke tengah(terpusat)
mampu memaksimalkan pencahayaan alami.
5. Bentuk bangunan dengan ruang teras mampu memberikan cahaya tidak langsung pada
aktivitas.

UNIVERSITAS HINDU INDONESIA  I  77 
 
PROSIDING ‐ SEMINAR NASIONAL 
Agama, Adat, Seni dan Sejarah Di Zaman Milenial 
ISBN : 978‐602‐5225‐1‐2 
 
DAFTAR PUSTAKA

Dwijendra, Acwin Ketut Ngakan, (2009), Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuna, Udayana
University Press, Bali
Dalem, Raka A.A. Dkk. (2007), Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup,
Universitas Udayana, Denpasar.
Frick, Heinz, (2007), Dasar-dasar Arsitektur Ekologis, Kanisius, Yogyakarta.
Glebet, I Nyoman. Dkk. (1986), Arsitektur Tradisional Bali, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Denpasar.
Iskandar, Zulriska, (2012), Psikologi Lingkungan, PT Refika Aditama, Bandung.
Karyono, Tri harso, (2014), Green Architecture, Rajawali pers, Jakarta.
Latifah, Nur Laela, (2015), Fisika Bangunan 1, Griya Kreasi, Jakarta.
Manurung, Parmonangan. (2012), Pencahayaan Alami Dalam Arsitektur, ANDI, Yogyakarta.
Medisatika, Christina E, (2013), Hemat Energi dan Lestari Lingkungan melalui Bangunan,
CV Andi, Yogyakarta.
Parwata, Wayan, (2009), Humanisasi, Yayasan Tri Hita Karana, Bali.
Seorjani, Mohamad, (2009), Pendidikan Lingkungan, Institut Pendidikan dan Pengembangan
Lingkungan, Jakarta.

78 I UNIVERSITAS HINDU INDONESIA     
 

Anda mungkin juga menyukai