Anda di halaman 1dari 6

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hibah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dimana
Pemberi tersebut dalam kondisi masih hidup. Secara materil, eksistensi hibah ada
Hubungannya dengan kewarisan. Hal ini secara gamblang ditegaskan dalam
Hukum positif di indonesia seperti; Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan
KUH Perdata. Selain itu, adanya posibilitas pembatalan hibah yang telah
Diberikan oleh seorang pemberi hibah kepada yang menerima hibah sebagaimana
Dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdata. Hibah
Dalam bahasa Belanda adalah schenking, sedangkan menurut istilah yang
Dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab UndangUndang Hukum
Perdata, adalah: Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah
Diwaktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali,
Menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima

Harta adalah anugerah dari Allah SWT yang menjadi sarana


mempermudah kehidupan manusia yang dapat berdampak baik dan berdampak
tidak baik.1Harta benda atau kekayaan dalam berbagai bentuknya telah diciptakan
untuk makhluk hidup di muka bumi ini. Kemudian pengelolaan alam diserahkan
kepada manusia sebagai khalifah, sebagaimana difirmankan oleh Allah yang
artinya:Dialah yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
sekalian.(Q.S. Al-Baqarah: 29).

Manusia harus menyadari hakikat harta itu sendiri, bahwa harta hanyalah
titipan Allah, kepemilikan sepenuhnya hanya ditangan Allah.Allah dapat
mengambil sewaktu-waktu harta pada diri manusia. Allah berfirman dalam surat
An-Najm ayat 31 yang artinya:Dan hanya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di
langit dan apa yang ada di bumi, supaya Dia memberi balasan kepada orang-orang
yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberibalasan
kepada orang-orang yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (syurga.)
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hibah?
2. Bagaimana persyaratan hibah?
3. Apa rukun hibah?
4. Apa tabiat akad hibah dan hukum menarik kembali hibah?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian hibah.
2. Untuk mengetahui persyaratan hibah.
3. Untuk mengetahui rukun hibah.
4. Untuk mengetahui tabiat hibah dan hukum menarik kembali hibah.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Hibah

Hibah menurut bahasa adalah menyedekahkan atau memberi sesuatu, baik


berbentuk harta maupun selain itu kepada orang lain. Menurut istilah syar'i, hibah
adalah suatu akad yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan harta dari
seseorang kepada orang lain dengan tanpa balasan, dan dilakukan selama masih
hidup. Daud Ali menjelaskan bahwa hibah merupakan pengeluaran harta semasa
hidup atas dasar kasih sayang untuk kepentingan seseorang atau kepentingan
badan sosial keagamaan, juga kepada orang yang berhak menjadi ahli warisnya.
Dalam rumusan Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf 9, hibah adalah
pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada
orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

Kata hibah berasal dari bahasa Arab ُ‫ ال ِهبَة‬yang memiliki arti pemberian yang
dilakukan seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan dalam
bentuk apa pun. Pemberian ini dilakukan saat seseorang masih hidup dan wujudnya dapat
berupa harta secara fisik atau benda-benda lainnya yang tidak tergolong sebagai harta atau
benda berharga.

Pada dasarnya, Islam memiliki pemahaman yang serupa dengan asumsi masyarakat
umum selama ini, yaitu pengertian hibah adalah barang berharga yang dapat diberikan
kepada orang lain yang mana bukan saudara kandung atau suami/istri. Pihak penerima tidak
diwajibkan memberikan imbalan jasa atas hadiah yang diterima sehingga tidak ada
ketetapan apa pun yang mengikat setelah harta atau barang berharga diserah terima.

Dalam pandangan Islam, hibah adalah perbuatan untuk mendekatkan diri kepada
sesama umat sebagaimana telah disabdakan oleh Nabi Muhammad ‫ﷺ‬, yaitu:

‫تَهَا ُدوْ ا تَ َحابَوْ ا‬


Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai [HR. Al-Bukhâri dalam al-Adâbul
Mufrad no. 594].
B. Persyaratan Hibah

Pahami syarat hibah supaya pemberian hibah tidak berujung pada tuntutan di kemudian
hari. (Foto: Pixabay)

Jumlah hibah biasanya tidak sedikit sehingga pemberian hibah kepada orang lain bisa saja
berujung pada tuntutan apabila ada pihak yang merasa dirugikan. Untuk menghindari hal
tersebut, pemberian hibah perlu disertai dengan surat persetujuan dari anak kandung
ataupun ahli waris pemberi hibah. Selain itu, pemberian hibah juga sebaiknya tidak
melanggar hak mutlak ahli waris atau bagian warisan yang telah ditetapkan oleh undang-
undang untuk tiap-tiap ahli waris.

Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah pemberian hibah sesuai dengan syarat-
syarat hibah. Menurut KUHPerdata, berikut ini beberapa syarat hibah.

1. Pemberi dan penerima hibah sudah dewasa menurut undang-undang.


2. Suatu hibah harus dilakukan dengan akta notaris yang aslinya disimpan oleh notaris.
3. Penghibahan kepada orang yang belum dewasa atau seseorang yang berada di bawah
kekuasaan orang tua harus diterima oleh orang yang melakukan kekuasaan orang tua.

Jika ingin memberikan hibah dalam bentuk tanah, ada syarat lainnya yang perlu
diperhatikan. Setelah Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
berlaku, tiap pemberian hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT). Jika hibah berupa tanah tidak dibuat oleh notaris, maka tidak
akan memiliki kekuatan hukum.

C. Rukun Hibah

Rukun Hibah Berdasarkan Hukum Islam


Kehadiran pemberi Hibah. Kehadiran penerima Hibah. Barang yang dihibahkan jelas terlihat,
dapat berupa barang bergerak maupun barang tidak bergerak. Akad hibah, yaitu serah
terima barang hibah antara pemberi dan penerima secara nyata dan ikhlas.
Pada sisi pemahaman Islam, dikenal dengan istilah rukun atau syarat hibah, yang mana
ketentuannya sebagai berikut.

Pada sisi pemahaman Islam, dikenal dengan istilah rukun atau syarat hibah, yang mana
ketentuannya sebagai berikut.

1. ehadirann pemberi Hibah.


2. Kehadiran penerima Hibah.
3. Barang yang dihibahkan jelas terlihat, dapat berupa barang bergerak maupun barang
tidak bergerak.
4. Akad hibah, yaitu serah terima barang hibah antara pemberi dan penerima secara nyata
dan ikhlas.
Hibah yang telah diberikan tidak boleh ditarik kembali. Hal ini berdasarkan sabda Nabi
SAW, berbunyi:

ِ ‫العائِ ُد في ِهبَتِ ِه ك َْالك َْل‬


:‫ب يَعُوْ ُد فِي قَ ْيئِ ِه‬

Orang yang menarik kembali hibahnya seperti anjing yang menjilat kembali muntahnya [HR. Al-
Bukhâri]

Larangan menarik kembali hibah dalam hadits ini menunjukkan secara tegas bahwa hibah ini
disyari’atkan

Karena itu dapat disimpulkan bahwa:

1. Hibah merupakan perjanjian sepihak yang dilakukan oleh penghibah ketika hidupnya
untuk memberikan suatu barang dengan Cuma-Cuma kepada penerima hibah.;
2. Hibah harus dilakukan antara dua orang yang masih hidup;

D.Tabiat Akad Hibah dan Hukum Kembali Menarik Hibah

Akad hibah tidak sah kecuali setelah diserah terimakan menurut pendapat

mayoritas Ulama. Hal ini menghasilkan akad hibah dari sisi kepermanenannya

melalui dua fase: Fase sebelum diserah-terimakan. Ketika itu, hibah belum bersifat

permanen. Mayoritas Ulama berdalil dengan hadits Ummu Kultsum binti Abu

Salamah Radhiyalahu anhuma yang menyatakan:

Ketika Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu Salamah

Radhiyallahu anhuma, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,

“Sungguh aku telah memberikan hadiah kepada Najasyi berupa pakaian dan

beberapa botol misk dan saya yakin Najasyi sudah wafat dan hadiahku tersebut akan

dikembalikan kepadaku. Apabila dikembalikan kepadaku maka itu menjadi

milikmu.

” Ummu Kultsum Radhiyallahu anhuma berkata, “Dan terjadilah seperti

yang Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan dan dikembalikan hadiahnya

kepada Beliau, lalu Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan setiap istrinya

sebotol minyak misk dan memberikan sisa minyak misk dan pakaian kepada Ummu

Salamah [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban, namun hadits ini dihukumi lemah oleh

Syaikh al-Albani dalam al-Irwa’, no. 1620

Juga karena hibah adalah akad tabarru’ (nirlaba), seandainya sah tanpa

serah terima, tentulah yang diberi hibah memiliki hak untuk menuntut pemberi

hibah agar menyerahkan hadiah tersebut kepadanya, sehingga menjadi seperti akad
dhamân (ganti rugi). Ini tidak sesuai. Ditambah lagi penarikan hibah sebelum terjadi

serah terima menunjukkan si pemberi hibah tidak ridha dengan pemberian tersebut.

Apabila dipaksa harus menyerahkan, maka sama dengan mengeluarkan harta tanpa

keridhaan. Ini bertentangan dengan tabiat hibah itu sendiri

BAB III

PENUTUP

A.Kesimpulan

Dari haikat hibah serta waris sendiri yang berbeda, namun didalam

Kompilasi Hukum Islam dijelaskan tentang Hibah dari orang tua kepada

ananya dapat diperhitungkan sebagai warisan, kemudian peneliti dapat

mengambil kesimpulan yang merupakan jawaban dari penelitian ini,

adapun kesimpulan sebagai berikut :

1. Didalam analisa yuridis, hukum positif memberikan pengertian sebagai

Hukum yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu yang

memiliki daya ikat yang dibuat oleh penguasa. Kekuatan hukum positif

aian terdapat bermamengenai hukum hibah dan waris dapat dipahami

karena hukum Islam yang diperoleh dari ijtihad, yang memiliki sifat

yang berbeda-beda sehingga sering diperdebatkan, dan kemudian

memiliki pendapat yang bermacam-macam pendapat dari para imam

maszhab, sehingga hukum Islam tidak memiliki kepastian hukum yang

mengikat yaitu memositifkan hukum Islam untuk menyelesaikan suatu

permasalahan hibah dan waris. Karena persengketaan waris sering kali

dialami oleh masyarakat atas rasa ketidakadilan yang dirasakan oleh

ahli waris, sehingga pewaris memberikan harta peninggalan dengan

cara hibah, oleh karena itu dapat dipositifkan peraturan tersebut

kedalam pasal 211 Kompilasi Hukum Islam.


2. Didalam analisis filosofis, dalam memandang permasalahan hubah dan

waris manusia harus mendasarkan pada sifat-sifat mulia dari manusia

itu sendiri dimana dalam hibah dan waris tidak hanya logis, namun

harus sesuai dengan hati. Karena manusia sebagai pengelola,

pengemban amanat, serta memamurkan kehidupan masyarakat dari

sifat yang suka berselisish.

Sehingga dapat mengetahui petunjuk

tentang pemahaman hukum hibah dan waris dengan bijasana, dapat

menyikapi kedua hukum tersebut. selain itu seseorang harus selalu

meluruskan niat bahwa yang menjadi tujuan hibah dan waris adalah

untuk bisa berbuat adil, bijak, serta mengharap Ridho Allah.

Eksistensi hukum hibah dan waris diperoleh dari Al Qur’an dan sunah.

Yang menjadi sumber dan peranan yang penting dan keti’entuan

tersebut adalah syari’ah. Pemahaman atas syari’ah atas hibah dan waris

merupakan fiqih, yang kemudian menjadi aturan dalam masyarakat

yang biasa disebut dengan hukum Islam, tahapan menjadi hukum Islam

telah di keluarkannya Kompilasi Hukum Islam.

3. Dalam analisis sosiologis, atas kebiasaan masyarakat yang berpegang

prinsip pembagian secara adil, tanpa membedakan ahli waris satu

dengan yang lainnya serta masyarakat yang telah menganggap hal

tersebut sebagai sarana untuk mempertahankan solidaritas kekerabatan

dalam masyarakat. Peraturan terdapat dalam masyarakat juga tidak

mengikat secara tertulis, akan tetapi kebiasaan yang telah dilaukan

dalam peraturan masyarakat mempunyai kekuatan yang lebih

B. Saran

Mengingat hukum Islam sangat penting, akan tetapi dari masyarakat sudah

banyak yang menggunakan hukum adat, maka hukum adat yang di ambil harus

dipertimbangkan dengan hukum Islam terutama tentang hukum faraid, sehingga

tidak dan menjadikan haram

Anda mungkin juga menyukai